• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang disurvei dalam studi ini memberikan contoh potensi IB untuk memberikan manfaat tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan. Studi ini menemukan sejumlah kegiatan CSR di sepanjang rantai nilai perusahaan yang dapat dikategorikan sebagai praktik bisnis inklusif.

PT. Trimitra Baterai Prakasa, misalnya, menerapkan konsep IB kepada masyarakat sekitarnya untuk menyediakan peralatan penunjang bagi perusahaan berdasarkan alasan biaya dan ketersediaan. Oleh karena itu, perusahaan tersebut menganggap praktik ini sebagai kegiatan bisnis biasa, meski memiliki dampak sosial yang besar terhadap masyarakat dengan memberikan kesempatan penghasilan tambahan. Bentuk kegiatan CSR perusahaan sebagian besar ditujukan pada penyediaan lapangan kerja bagi anggota masyarakat, khususnya yang kurang beruntung.

Landasan tindakan perusahaan dituangkan dalam misi perusahaan, yakni memberdayakan masyarakat, terutama yang kurang mampu, sebagai respons perusahaan terhadap tanggung jawab sosial. Awalnya, sebagai proyek uji coba, perusahaan berusaha untuk melibatkan masyarakat setempat yang terkena dampak kegiatan perusahaan ke dalam kegiatan CSR sebagai rantai pasokan perusahaan. Setelah terbukti bahwa kegiatan ini membawa hasil positif tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi perusahaan karena biaya yang lebih rendah atau tingkat produktivitas yang lebih baik, maka perusahaan kemudian mampu merancang dan mengimplementasikan bisnis inklusif.

Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang keadaan dan potensi IB di antara anggota APINDO dan memberikan inspirasi dan saran tentang IB di seluruh komunitas bisnis Indonesia secara keseluruhan.

Deskripsi Kegiatan: Nama Perusahaan: Objek Sasaran: Kegiatan: Deskripsi Kegiatan: Nama Perusahaan: Objek Sasaran: Kegiatan: F oto: PT . T rimitra Bate rai Pr akasa F oto: PT . Unile ve r Indones ia, T

bk. Untuk mendapatkan kualitas tinggi dan pasokan berkelanjutan

untuk kedelai hitam, pada tahun 2000 PT. Unilever Indonesia, Tbk, bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) melibatkan petani agar menanam kedelai hitam. Kedelai hitam kurang lazim ditanam dibanding varietas kuning. Setelah penelitian mendalam Malika diperkenalkan kepada petani bekerjasama dengan UGM. Benih dibagikan secara gratis dan PT. Unilever Indonesia, Tbk, memberikan pelatihan, konsultasi dan pengawasan untuk petani. Hasilnya, petani kedelai bisa meningkatkan produksi dari 1,5 ton/Ha menjadi 1,9 ton/Ha, yang memberi pendapatan tambahan bagi petani. Petani juga menerima jaminan pasar dari PT. Unilever Indonesia, Tbk, untuk membeli kedelai hitam tersebut. Para petani juga memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam praktik pertanian berkelanjutan. Program ini mencakup lebih dari 50 Kabupaten di Jawa dan telah melatih lebih dari 9.000 petani termasuk 2.000 perempuan.

Masyarakat setempat

PT. Trimitra Baterai Prakasa Pasokan Bak Air

Setiap bulan perusahaan perlu mengganti bak air di pabrik. Bak terbuat dari bahan fiber glass yang dapat dibentuk dengan mudah. Perusahaan melihat bahwa di lingkungan sekitarnya, ada individu yang mempunyai keterampilan dalam mencetak fiber glass.

Perusahaan memberikan spesifikasi dan pengawasan dalam proses produksi. Seiring dengan proses ini, perusahaan mendidik lebih banyak orang dan mendirikan kerjasama dengan karang taruna. Omzet bulanan untuk pasokan tersebut antara Rp. 200 - 400 juta.

Keuntungan bagi perusahaan:

• pasokan yang handal karena PT. Trimitra Baterai Prakasa juga memantau produksi

• penghematan biaya karena rendahnya biaya transportasi

Petani Kedelai

PT. Unilever Indonesia, Tbk. Pemberdayaan Petani Kedelai

Quality assurance training for the community in the Cilincing area in water bath production

Deskripsi Kegiatan: Nama Perusahaan: Objek Sasaran: Kegiatan: Deskripsi Kegiatan: Nama Perusahaan: Objek Sasaran:

Kegiatan:

F oto: PT . Adis Dime nsion F ootw ear F oto: PT . Adar o Indones ia Petani Karet PT. Adaro Indonesia

Pemberdayaan Petani Karet

Menjadi kewajiban perusahaan pertambangan untuk melakukan reklamasi untuk daerah pasca tambang. Reklamasi merupakan bagian dari operasi bisnis inti bagi perusahaan pertambangan yang bertanggung jawab. PT. Adaro Indonesia menyadari bahwa dalam waktu dekat lapangan pertambangan yang dieksploitasi akan harus dihutankan kembali. Salah satu komoditas yang akan cocok untuk daerah tersebut adalah tanaman karet. Sejalan dengan misi perusahaan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat, perusahaan meluncurkan program untuk pertanian karet. Perusahaan memberikan pelatihan dan pendidikan mengenai pertanian karet strategis untuk panen yang optimal. Hasilnya kini adalah 700 hektar lahan bera telah direklamasi untuk pertanian karet, yang melibatkan 7.500 kepala keluarga. Menggabungkan operasi bisnis (reklamasi untuk daerah paska-tambang) dengan misi perusahaan untuk mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar adalah contoh lain untuk pendekatan bisnis inklusif.

Penjaja makanan

PT. Adis Dimension Footwear

Penyediaan ruang bagi penjaja makanan

Salah satu masalah yang dihadapi perusahaan adalah masalah logistik, terutama penyediaan makan siang untuk ribuan pekerja. Mengizinkan pekerja untuk meninggalkan tempat untuk mencari makanan akan menciptakan masalah yang lebih besar: tidak ada jaminan bahwa makanan tersebut higienis dan disiplin pekerja akan terancam karena waktu kerja mereka bisa dikurangi oleh keterlambatan atau penyakit yang dibawa makanan. Untuk merespons masalah ini, perusahaan meluncurkan program dengan menyediakan ruang di wilayah pinggiran perusahaan bagi penjaja makanan untuk menjual barang-barang mereka. Perusahaan menyediakan pelatihan tentang penanganan makanan dan keamanan makanan, serta pengelolaan limbah. Hasilnya, saat ini ada daftar

tunggu penjaja yang menunggu untuk membuka stand mereka di daerah ini karena jauh lebih menguntungkan bagi mereka serta aman. Perusahaan juga mendapat manfaat dari lebih baiknya tingkat disiplin dan terkendalinya kualitas makanan yang tersedia untuk para pekerjanya.

Deskripsi Kegiatan: Nama Perusahaan: Objek Sasaran: Kegiatan: F oto: PT . Adis Dime ns ion F ootw ear Karyawan

PT. Adis Dimension Footwear

Pekerja sering membutuhkan dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, seperti biaya kuliah anak-anak dan kebutuhan lainnya. Perusahaan jelas tidak akan dapat memenuhi kebutuhan semua pekerjanya, terutama karena besarnya tenaga kerja. Untuk merespons masalah ini, perusahaan menyediakan sejumlah modal dan membentuk badan koperasi yang berfungsi sebagai fasilitas simpan-pinjam bagi para pekerja. Hal ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Koperasi juga melakukan fungsi lain selain fungsi simpan-pinjam yang ditentukan dengan mendirikan Adis Mart, yakni gerai yang memungkinkan anggota untuk berbelanja di sana menggunakan sistem kartu yang terintegrasi. Adis Mart juga mengoperasikan layanan pembayaran kurir dan online yang memungkinkan karyawan untuk membayar tagihan utilitas publik seperti tagihan listrik dan menggunakan sistem TI canggih, yang dikembangkan secara internal berdasarkan model open-source dan yang memungkinkan mereka untuk lebih meningkatkan kualitas kerjanya. Saat ini, Adis Mart beroperasi dengan pendapatan Rp 5 miliar per bulan. Karena keberhasilan model koperasinya, perusahaan ini secara rutin menerima kunjungan dari berbagai pihak ketiga (perusahaan, pemerintah, koperasi, universitas dan pengunjung internasional) untuk pembelajaran dan pertukaran pengetahuan secara peer-to-peer.

Peluang

Studi ini mengungkapkan bahwa ada sejumlah manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan IB, yaitu:

1. Perusahaan dapat mengurangi biaya pengadaan barang dan bahan baku, baik dari segi efisiensi maupun kontinuitas proses. Contohnya adalah PT. Trimitra Baterai Prakasa dengan program pasokan bak airnya. Perusahaan ini tidak hanya mendapatkan biaya yang lebih murah, tetapi juga jaminan kualitas dan pasokan kontinyu untuk peralatan yang diperlukan setiap bulan.

2. Masalah tenaga kerja, khususnya ketidakmampuan untuk mendapatkan karyawan yang memenuhi syarat, adalah masalah yang sering dihadapi oleh kebanyakan perusahaan. Perusahaan yang memberikan pelatihan kepada masyarakat kurang mampu, terutama penduduk setempat, dapat menghasilkan karyawan dengan keterampilan yang meningkat dan produktivitas serta loyalitas yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan pembukaan pusat pelatihan oleh PT. Adis Dimension Footwear untuk melatih penduduk setempat dalam keterampilan menjahit dan pembuatan sepatu. Hasilnya, PT. Adis Dimension Footwear memecahkan masalah tenaga kerja dan mendapatkan karyawan dengan keterampilan yang diperlukan dan loyalitas yang tinggi, sehingga meningkatkan produktivitas. 3. Rantai pasok – jaminan pasokan dapat menjadi kendala bagi perusahaan terutama yang berkaitan

dengan produk pertanian. Partisipasi masyarakat dalam rantai pasokan dapat menjadi solusi untuk masalah ini. Satu contoh sukses adalah PT. Unilever Indonesia, Tbk, dengan pemberdayaan petani kedelai hitam di pulau Jawa.

Tantangan

Permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan untuk dapat memulai suatu kegiatan inklusif adalah tantangan bagi perusahaan. Permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan adalah:

1. Kurangnya keterampilan dan pengetahuan yang memadai di BOP merupakana tantangan bagi perusahaan untuk dapat melibatkan penduduk berpenghasilan rendah di dalam rantai nilai perusahaan.

2. Kesenjangan informasi - dan kurangnya pemahaman perusahaan mengenai bisnis inklusif. Perusahaan melaporkan bahwa mereka tidak mampu melaksanakan bisnis inklusif karena mereka biasanya tidak berhubungan langsung dengan masyarakat yang kurang beruntung.

3. Kerangka peraturan - kurangnya peraturan yang jelas mengenai pelaksanaan CSR menjadi kendala bagi perusahaan untuk berinovasi bisnis inklusif. Perusahaan

yang beroperasi terutama di sekitar sumber daya alam, misalnya, membutuhkan bimbingan mengenai apa saja kegiatan CSR yang disetujui atau ditolak, sehingga mereka mampu setiap tahun menyusun anggaran untuk kegiatan tersebut karena besarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk CSR, baik materiil maupun non-materiil.

“Kami membantu mitra bisnis kami untuk meningkatkan

kemampuan mereka.”

Sancoyo Antarikso, External Relations Director & Corporate Secretary, PT. Unilever Indonesia

Tbk and Board of Founders of Indonesia’s Global Compact

Potensi IB

Analisis bab sebelumnya menunjukkan bahwa kegiatan IB telah dilakukan oleh perusahaan yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Setiap perusahaan, sadar atau tidak sadar, telah melakukan bisnis inklusif sampai tingkat tertentu dalam operasi mereka.

Masalah inti dari korporasi adalah pemahaman IB itu sendiri. Sebagian perusahaan tidak menyadari bahwa sejumlah kegiatan mereka adalah bisnis inklusif. Misalnya, program pasokan bak air yang diluncurkan oleh salah satu perusahaan responden. Pada awalnya program ini dipandang sebagai program bisnis biasa. Perusahaan ini awalnya tidak menyadari bahwa ada dampak sosial yang lahir dari program tersebut. Secara umum, kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut masih berbasis filantropi atau amal tanpa pertimbangan keuntungan finansial atau manfaat. Ini pada dasarnya sejalan dengan salah satu misi dan tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan: ikut serta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

4. Terbatasnya akses keuangan - karena bisnis inklusif masih dianggap sebagai kegiatan sosial atau kegiatan dengan risiko yang sulit diukur oleh lembaga keuangan di Indonesia, dan karena masyarakat masih dianggap tidak bankable, maka lembaga keuangan membatasi kebebasan untuk mengucurkan pinjaman kecuali perusahaan dapat memperkuat pinjaman dengan aset dan reputasi sebagai jaminan. Karena alasan ini, PT. Adis Dimension Footwear mendanai sendiri modal awal koperasi tersebut. 5. Kurangnya sarana-prasarana - biasanya petani tinggal di daerah pedesaan yang memiliki akses jalan

dan transportasi terbatas. Hal ini menyebabkan tingginya biaya transportasi, sehingga mengurangi daya saing mereka.

(1) Masih ada persepsi di kalangan bisnis serta regulator di Indonesia bahwa CSR hanya terkait dengan motif sosial. Tujuan dari mayoritas program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan responden adalah memberdayakan para pemangku kepentingan sosial mereka. Dalam pelaksanaannya, mayoritas menggunakan pendekatan yang tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan kegiatan, baik dari sisi sektor swasta (misalnya melaksanakan kegiatan CSR sebagai bagian dari ‘biaya sosial’ atau beban atau kewajiban bukan investasi) dan dari sisi masyarakat sasaran CSR (misalnya proyek jangka pendek dengan dampak yang rendah).

(2) Dari studi ini, ada potensi bagi perusahaan Indonesia untuk membuat kegiatan CSR mereka lebih strategis, untuk menciptakan keberlanjutan dan juga saling menguntungkan bagi perusahaan serta penerima manfaat. Menggunakan prinsip inklusivitas dalam rantai pasokan perusahaan sebagai bagian dari kegiatan CSR mereka adalah salah satu cara untuk melakukan CSR strategis. Praktek ini, yang disebut Inclusive Business, diyakini dan dibuktikan dalam penelitian ini meningkatkan efektivitas peran sektor swasta dalam memacu pembangunan di Indonesia.

(3) Keberhasilan menggeser kegiatan CSR perusahaan dari tindakan filantropi atau amal ke kegiatan yang lebih strategis ditentukan oleh pimpinan perusahaan dan manajemen mereka. Komitmen kuat mereka terhadap IB harus dikomunikasikan dengan jelas kepada pemangku kepentingan perusahaan dan diterjemahkan secara praktis oleh staf mereka ke dalam tindakan nyata, dengan mengembangkan sistem dan mekanisme untuk mengelolanya. Untuk mendorong pemimpin bisnis agar mengembangkan model IB, bukti kuat harus disajikan yang menunjukkan manfaat sosial (seperti mendapatkan izin sosial untuk beroperasi); dan manfaat ekonomi, yang memaksimalkan keuntungan dan/atau meminimalkan risiko (seperti penguatan rantai nilai, memperluas kumpulan tenaga kerja, atau mengembangkan pasar baru).

(4) Kegiatan Inclusive Business dapat dipraktikkan oleh setiap jenis perusahaan di Indonesia, terlepas dari ukurannya (kecil, menengah, atau besar), jenis industrinya (garmen, barang konsumsi, manufaktur, pertambangan, dll), dan kepemilikannya (nasional, multinasional, milik keluarga atau milik negara), selama mereka bisa memetakan peluang untuk menyertakan BoP (Base of Pyramid atau orang-orang yang rentan dan miskin) ke dalam rantai pasok atau nilai mereka, mengadaptasikan proses bisnis mereka untuk memungkinkan BoP ambil bagian dalam rantai pasok atau nilai, dan memanfaatkan kekuatan BoP untuk memastikan mereka memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh industri. (5) Faktor sukses lain dalam mempraktikkan Inclusive Business adalah memahami tantangan yang akan

datang (seperti kesenjangan informasi, terbatasnya keterampilan dan pengetahuan, kurangnya akses ke modal, kurangnya sarana-prasarana dan juga kerangka peraturan yang tidak efektif) dan mengetahui cara mengurangi tantangan tersebut. Untuk mengatasi tantangan, perusahaan dapat berkolaborasi dengan bisnis lain (atau asosiasi bisnis), atau kadang dengan mitra non-tradisional, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan penyedia layanan publik. Melalui kolaborasi tersebut, perusahaan dapat memperoleh akses ke kemampuan komplementer dan kumpulan sumber daya untuk mengatasi tantangan tersebut.

Terakhir, penelitian ini mengajukan delapan rekomendasi bagi perusahaan anggota APINDO dan perusahaan di Indonesia secara lebih luas untuk membuat CSR mereka lebih strategis:

1. Berpartisipasi dalam pertukaran pendapat rutin di antara perusahaan anggota APINDO untuk membahas praktik terbaik dan tantangan dalam CSR dan mengidentifikasi sinergi antar perusahaan

2. Mempromosikan rasa memiliki kegiatan CSR di antara karyawan dan manajemen melalui materi informasi yang lebih baik, kunjungan ke lokasi dan acara

3. Mempertimbangkan investasi di bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia sebagai bagian dari kebijakan CSR strategis mereka dan menggabungkan Pengembangan Sumber Manusia internal dengan program pengabdian masyarakat dan pelatihan bagi masyarakat (idealnya sebagai program pendidikan formal bukan pelatihan informal jangka pendek). 4. Meihat CSR sebagai kegiatan jangka panjang dan mengembangkan visi untuk pemrograman

CSR yang bertumpu pada kerangka waktu lebih panjang untuk membuat program yang lebih berkelanjutan

5. Mengambil pendekatan rantai nilai terhadap CSR dengan menganalisis potensi kegiatan CSR di sepanjang seluruh rantai nilai perusahaan

6. Mengidentifikasi dan mengembangkan potensi bisnis inklusif dalam rantai nilai dan mendokumentasikan temuan untuk bekerja sebagai pejuang untuk menginspirasi perusahaan lain 7. Menyelaraskan kegiatan CSR dengan SDGs untuk memfasilitasi evaluasi dan penelusuran

dampak bersama pada skala global

8. Membuat studi kasus mendalam tentang praktik terbaik sebagai bahan ajar dan bekerja sama dengan sekolah-sekolah bisnis untuk mempromosikan topik tersebut dalam dunia akademis

Dokumen terkait