BAB 4 ANALISIS KESTABILAN TRANSIEN SISTEM
4.2 Hasil Simulasi Kestabilan Transien
4.2.6 Studi Kasus pada Tahun 2050
Pada studi kasus ini menunjukkan hasil simulasi short circuit pada beberapa line backbone 500 kV di tahun 2023. Dalam kasus ini disimulasikan gangguan terjadi pada detik ke 2 dan memiliki fault time sebesar 0.1 detik.
4.2.6.1 3-Phase Short Circuit pada Line Backbone Tanjung Redeb 500 kV – Bontang 500 kV
Grafik berikut ini menunjukkan respon frekuensi dari beberapa bus backbone 500 kV pada saat terjadi studi kasus ini pada Gambar 4.94 – Gambar 4.96.
88
Gambar 4. 94 Respon Frekuensi bus backbone Bontang 500 kV
Gambar 4. 95 Respon Frekuensi bus backbone Palangkaraya 500 kV 48.5
49 49.5 50 50.5 51 51.5
0 5 10 15 20
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
48.5 49 49.5 50 50.5 51 51.5
0 5 10 15 20
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
89
Gambar 4. 96 Respon Frekuensi bus backbone Sei Raya 500 kV Respon frekuensi pada bus backbone Bontang 500 kV setelah terkena gangguan short circuit pada detik ke 2 naik hingga 100.6%
kemudian turun hingga 99.7% lalu stabil pada detik ke 10.56, sedangkan pada bus backbone Palangkaraya 500 kV turun hingga 98.69% lalu naik hingga 100.3% kemudian stabil pada detik ke 5.19, pada bus backbone Sei Raya 500 kV frekuensi turun hingga 99.47%, kemudian stabil pada detik 5.97. Hasil menunjukkan bahwa naik turunnya frekuensi akibat gangguan masih dalam batas toleransi. Ketika terjadi short circuit, arus akan mengalur menuju titik gangguan dan tidak ada arus yang mengalir pada rectifier sehingga transmisi HVDC mati seketika membuat area sisi rectifier seperti kehilangan beban sehingga frekuensi seketika naik lalu stabil. Sebaliknya dengan area sisi inverter seperti kehilangan suplai daya sehingga frekuensi seketika turun lalu stabil.
Grafik berikut ini menunjukkan respon sudut rotor dari beberapa pembangkit pada saat terjadi studi kasus ini pada Gambar 4.97 – Gambar 4.99.
90
Gambar 4. 97 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Asam 1
Gambar 4. 98 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Kaltim FTP 1 -10
91
Gambar 4. 99 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Kalbar 2-2 Respon sudut rotor pada PLTU Asam 1 setelah terjadi gangguan dari -2.431˚ memiliki nilai terendah -3.567˚ dan nilai tertinggi -1.356˚, sedangkan pada PLTU Kaltim FTP 1 dari -7.007˚ memiliki nilai tertinggi 2.868˚ dan nilai terendah -10.962˚, pada PLTU Kalbar 2-2 dari -18.040˚
memiliki nilai tertinggi -14.827˚ dan nilai terendah -21.087˚. Dari grafik tersebut dapat dikatakan bahwa setelah terkena gangguan, perubahan pada sistem masih dalam batas toleransi.
4.2.6.2 Generator Outage pada PLTU Kalbar 1
Grafik berikut ini menunjukkan respon frekuensi dari beberapa bus backbone 500 kV pada saat terjadi studi kasus ini pada Gambar 4.100 – Gambar 4.102.
-40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 10
0 5 10 15 20
Sudut Rotor (˚)
Waktu (s)
92
Gambar 4. 100 Respon Frekuensi bus backbone Bontang 500 kV
Gambar 4. 101 Respon Frekuensi bus backbone Palangkaraya 500 kV 48.5
49 49.5 50 50.5 51 51.5
0 10 20 30 40 50 60
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
49.8 49.85 49.9 49.95 50 50.05 50.1 50.15 50.2
0 10 20 30 40 50 60
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
93
Gambar 4. 102 Respon Frekuensi bus backbone Sei Raya 500 kV Respon frekuensi pada bus backbone Bontang 500 kV setelah terkena gangguan short circuit pada detik ke 2 naik hingga 101.2%, sedangkan pada bus backbone Palangkaraya 500 kV turun hingga 99.86%, pada bus backbone Sei Raya 500 kV frekuensi turun hingga 99.86%. Hasil menunjukkan bahwa naik turunnya frekuensi akibat gangguan masih dalam batas toleransi. Frekuensi pada backbone Palangkaraya 500 kV dan Sei Raya 500 kV turun akibat kehilangan suplai daya dari salah satu generator sehingga frekuensi turun seketika.
Grafik berikut ini menunjukkan respon sudut rotor dari beberapa pembangkit pada saat terjadi studi kasus ini pada Gambar 4.103 – Gambar 4.105.
49.8 49.85 49.9 49.95 50 50.05 50.1 50.15 50.2
0 10 20 30 40 50 60
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
94
Gambar 4. 103 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Asam 1
Gambar 4. 104 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Kaltim FTP 1 -10
95
Gambar 4. 105 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Kalbar 2-2 Respon sudut rotor pada PLTU Asam 1 setelah terjadi gangguan dari -2.431˚ memiliki nilai tertinggi -2.076˚, sedangkan pada PLTU Kaltim FTP 1 relatif stabil saat terjadi gangguan, pada PLTU Kalbar 2-2 dari -18.040˚ memiliki nilai tertinggi -17.877˚ dan nilai terendah -28.040˚.
Dari grafik tersebut dapat dikatakan bahwa setelah terkena gangguan, perubahan pada sistem masih dalam batas toleransi. Pada PLTU Kaltim FTP 1 relatif stabil karena terletak pada area sisi rectifier sedangkan PLTU Asam 1 dan PLTU Kalbar 2-2 berosilasi hingga akhirnya stabil karena beban pada generator bertambah yang dikarenakan salah satu generator mati.
4.2.6.3 HVDC Short Circuit pada Line HVDC
Grafik berikut ini menunjukkan respon frekuensi dari beberapa bus backbone 500 kV pada saat terjadi studi kasus ini pada Gambar 4.106 – Gambar 4.108.
-30 -25 -20 -15 -10 -5 0
0 5 10 15 20
Sudut Rotor (˚)
Waktu (s)
96
Gambar 4. 106 Respon Frekuensi bus backbone Bontang 500 kV
Gambar 4. 107 Respon Frekuensi bus backbone Palangkaraya 500 kV 48.5
49 49.5 50 50.5 51 51.5
0 5 10 15 20
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
48.5 49 49.5 50 50.5 51 51.5
0 5 10 15 20
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
97
Gambar 4. 108 Respon Frekuensi bus backbone Sei Raya 500 kV Respon frekuensi pada bus backbone Bontang 500 kV setelah terkena gangguan short circuit pada detik ke 2 naik hingga 100.5%
kemudian turun hingga 99.8% lalu stabil pada detik ke 9.999, sedangkan pada bus backbone Palangkaraya 500 kV turun hingga 99.5% kemudian stabil pada detik ke 7.749, pada bus backbone Sei Raya 500 kV frekuensi turun hingga 99.75% kemudian stabil pada detik 8.069. Hasil menunjukkan bahwa naik turunnya frekuensi akibat gangguan masih dalam batas toleransi.
Grafik berikut ini menunjukkan respon sudut rotor dari beberapa pembangkit pada saat terjadi studi kasus ini pada Gambar 4.109 – Gambar 4.111.
48.5 49 49.5 50 50.5 51 51.5
0 5 10 15 20
Frekuensi (Hz)
Waktu (s)
98
Gambar 4. 109 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Asam 1
Gambar 4. 110 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Kaltim FTP 1 -20
-15 -10 -5 0 5 10
0 5 10 15 20
Sudut Rotor (˚)
Waktu (s)
-20 -15 -10 -5 0 5 10
0 5 10 15 20
Sudut Rotor (˚)
Waktu (s)
99
Gambar 4. 111 Respon Sudut Rotor Pembangkit PLTU Kalbar 2-2 Respon sudut rotor pada PLTU Asam 1 setelah terjadi gangguan dari -2.431˚ memiliki nilai tertinggi -0.706˚ dan nilai terendah -3.651˚, sedangkan pada PLTU Kaltim FTP 1 dari -7.007˚ memiliki nilai tertinggi -2.540˚ dan nilai terendah -8471˚, pada PLTU Kalbar 2-2 dari -18.040˚
memiliki nilai tertinggi -11.326˚ dan nilai terendah -20.846˚. Dari grafik tersebut dapat dikatakan bahwa setelah terkena gangguan, perubahan pada sistem masih dalam batas toleransi.
-40 -35 -30 -25 -20 -15 -10 -5 0 5 10
0 5 10 15 20
Sudut Rotor (˚)
Waktu (s)
100
Halaman ini sengaja dikosongkan
101
BAB 5 KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Analisis kestabilan transien ini dilakukan untuk menentukan apakah sistem kelistrikan Kalimantan yang menggunakan sistem transmisi HVAC dan HVDC ini dapat mempertahankan kestabilannya setelah terkena gangguan transien, dan didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari 3 kasus yang telah dilakukan pada sistem kelistrikan Kalimantan selama 2029 sampai 2050, tidak ada yang melebihi batas toleransi dan mampu mempertahankan frekuensi dan sudut rotornya.
2. Kenaikan frekuensi tertinggi terjadi pada tahun 2032 di bus backbone Bontang 500 kV pada saat terjadi gangguan 3-phase short circuit pada line backbone Tanjung Redeb 500 kV – Bontang 500 kV sebesar 101.7%, tetapi masih dalam batas toleransi.
3. Frekuensi naik dikarenakan ketika terjadi short circuit, seluruh arus pada sistem akan menuju ke titik gangguan, sehingga tidak ada arus yang menuju ke rectifier, dapat dikatakan transmisi HVDC mati seketika, sehingga area sisi rectifier seakan-akan kehilangan beban sehingga frekuensi naik seketika.
4. Penuruan frekuensi terendah terjadi pada tahun 2029 di bus backbone Palangkaraya 500 kV pada saat terjadi ganggu 3-phase short circuit pada line backbone Tanjung Redeb 500 kV – Bontang 500 kV sebesar 94.53%, tetapi masih dalam batas toleransi.
5. Frekuensi turun dikarenakan ketika terjadi short circuit, seluruh arus pada sistem akan menuju ke titik gangguan, sehingga tidak ada arus yang menuju ke rectifier, dapat dikatakan transmisi HVDC mati seketika, sehingga area sisi inverter seakan-akan kehilangan suplai daya sehingga frekuensi turun seketika.
6. Pada kasus short circuit, area di seberang transmisi HVDC tidak terpengaruh oleh gangguan tersebut sehingga tidak memberikan arus kontribusi pada titik gangguan.
7. Pada kasus generator outage, ketika salah satu generator dengan kapasitas yang besar pada pusat beban yaitu Kalimantan Barat, generator lainnya akan bertambah bebannya, sehingga frekuensi akan turun pada Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatang Tengah, tetapi pada area
102
Kalimantan Timur Utara tidak terpengaruh. Begitu pula dengan sudut rotor pada pembangkitnya.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan dari studi ini untuk di masa yang akan datang adalah:
1. Melakukan studi kasus short circuit pada bus.
2. Melakukan studi analisis kestabilan small signal agar mengetahui kestabilan sistem terhadap gangguan kecil.
103
DAFTAR PUSTAKA
[1] PT. PLN Persero, “Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2016-2025,” 2016.
[2] G. Andersson, Power System Analysis: Power Flow Analysis, Fault Analysis and Power System Dynamics and Stability. 2012.
[3] J. J. Grainger and W. D. Stevenson, Power System Analysis:
McGraw-Hill Education. 1994.
[4] M. Pavella, D. Ernst, and D. Ruiz-Vega, Transient Stability of Power Systems, A Unified Approach to Assessment and Control. 1934.
[5] P. Kundur, J. Paserba, V. Ajjarapu, G. Andersson, A. Bose, and C.
Canizares, “Definition and classification of power system stability IEEE/CIGRE joint task force on stability terms and definitions.”
[6] P. Kundur, Power System Stability and Control: McGraw-Hill Education. 1994.
[8] J. C. Das, Power System Analysis: Short-Circuit Load Flow and Harmonics. .
[9] O. Peake, “The History of High Voltage Direct Current Transmission,” 2009.
[10] F. Mahmoud and B. Fernando, “DC Short Circuit Ride-through Strategy for a Full-Bridge MMC HVDC Transmission System.”
[11] D. Sudarmadi and R. Muhamad, “DC Interconnection between Java and Sumatra, in Indonesia,” IEEE Power Syst. Conf. Expo., 2006.
104
Halaman ini sengaja dikosongkan
105
BIODATA PENULIS
Angga Prasetya, merupakan laki-laki tulen kelahiran 8 Agusuts 1995 di sebuah keluarga kecil yang bahagia dan sederhana. Dilahirkan oleh pasangan Heru Irmunanto dan Margiana sebagai anak kedua dari dua bersaudara, lahir setelah kakaknya, Pradipta Rizky Rahadi. Penulis memulai jejak pendidikannya di SD Hangtuah 10 Juanda, yaitu sekolah swasta yang lumayan ternama di juanda, kemudian memutuskan untuk meneruskan nasibnya ke sekolah di Surabaya, yaitu SMPN 13 Surabaya. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikannya di sekolah yang teramat dicintainya yaitu SMAN 2 Surabaya. Lalu setelah penulis telah tamat sekolah menengah, penulis sempat melanjutkan studinya di perguruan tinggi negeri Universitas Brawijaya, malang, dengan jurusan teknik elektro. Tak lama setelah itu, penulis mengikuti lagi tes penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri, sehingga penulis masuk di perguran tinggi negeri Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dengan jurusan yang sama yaitu teknik elektro. Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam berorganisasi. Pada tahun kedua perkuliahan, penulis mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Teknik Elektro sebagai staff departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa selama satu tahun kepengurusan, penulis juga mengikuti organisasi pecinta alam jurusan, yaitu Kalpataru Elektro ITS. Selain itu, penulis juga sempat mengikuti organisasi Society of Petroleum Engineering ITS. Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan acara, diantaranya yaitu Gerigi ITS, IPEE dan Electra. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected].
106
Halaman ini sengaja dikosongkan