• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

mbar 1 Stuktur kimia minyak jarak pagar

upakan tumbuhan buhan ini dikenal . Walaupun telah makin mendapat in diesel karena

Indonesia telah i sumber energi aan tanaman jarak aman jarak pagar inyak bumi yang

% minyak nabati, asar. Berdasarkan k pagar, diketahui leat, asam stearat, rvariasi, sementara sam lemak jenuh, tur kimia minyak bar 1.

Komposisi asam lemak dalam minyak jarak pagar (Jatropha curcas) dibandingkan dengan asam lemak dari minyak sawit dan minyak kedelai, memiliki beberapa kemiripan. Minyak jarak pagar didominasi oleh asam jenis oleat dan asam linoleat, minyak sawit didominasi oleh asam palmitat dan asam oleat sedangkan minyak kedelai didominasi oleh asam linoleat dan asam oleat (Tabel 1).

Tabel 1 Komposisi asam lemak dalam minyak biji jarak pagar, minyak sawit, dan minyak kedelai

Asam lemak Minyak jarak pagar Minyak sawit Minyak kedelai Miristat Palmitat Stearat Arakidat Palmitoleat Oleat Linoleat Linolenat 14:0 16:0 18:0 20:0 16:1 18:1 18:2 18:3 0 – 0.1 14.1 – 15.3 3.7 – 9.8 0 – 0.3 0 – 1.3 34.3 – 45.8 29.0 – 44.2 0 – 0.3 0.9 – 1.5 39.2 – 45.8 3.7 – 5.1 0 – 0.04 0 – 0.4 37.4 – 44.1 8.7 – 12.5 0 – 0.6 - 2.3 – 10.6 2.4 – 6 - - 23.5 – 31 49 – 51.5 2 – 10.5 Sumber: Gubitz et al. (1999); Rios (2003)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adebowale dan Adedire (2006), kandungan trigliserida dalam minyak jarak pagar (Jatropha curcas) menggunakan sampel biji jarak dari Nigeria adalah sebesar 88,2%, digliserida sebesar 2,5%, monogliserida 1,7%, asam lemak bebas 3,4%, lipid polar 2,0%, dan sterol 2,2%. Komposisi asam lemak dan parameter fisiko-kimia berdasarkan penelitian tersebut berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak Jatropha curcas

Komposisi Persentase Asam palmitat (C16:0) Asam stearat (C18:0) Asam oleat (C18:1) Asam linoleat (C18:2) Asam arakidat (C20:0) Asam arakidoleat (C20:1) Asam behenat (C22:0) 11.3 17.0 12.8 47.3 4.7 1.8 0.6 Sumber: Adebowale & Adedire (2006).

Tabel 3 Parameter fisiko-kimia minyak Jatropha curcas

Parameter Nilai parameter

Warna Massa jenis Indeks bias

Asam lemak bebas (%) Bilangan asam (mg KOH/g) Bilangan saponifikasi(mg KOH/g) Angka Iod (mg.I2.g-1)

Angka peroksida (mg reac.O2/g)

Merah keemasan 0.8601 1.4735 4.54 4.24 169.9 111.6 3.5 Sumber: Adebowale & Adedire (2006).

Menurut Shah (2003), biji jarak pagar mengandung 40-60% minyak. Sifat fisik dan kimia dari minyak yang dihasilkan mirip dengan minyak kedelai. Sugita et al. (2007b), melaporkan kromatogram GC-MS dari minyak jarak pagar menunjukkan adanya kandungan asam lemak tak jenuh sebesar 55.14% yang teridentifikasi dalam bentuk metil ester. Berdasarkan kromatogram, ester takjenuh didominasi oleh metil palmitoleat, yaitu sebanyak 54.24%. Keberadaan ester tak jenuh tersebut didukung oleh bilangan iodin metil ester jarak pagar sebesar 97.2574 g I2/100 g.

Epoksidasi dan Pembukaan Cincin Epoksida

Epoksida atau oksirana merupakan eter siklik yang beranggotakan tiga buah atom. Keregangan cincin dalam molekul membuatnya lebih reaktif dibandingkan dengan eter lainnya. Reaksi epoksida penting dalam sintesis organik, karena epoksida yang terbentuk merupakan zat antara yang dapat diubah menjadi beraneka ragam produk (Solomon 1980). Epoksidasi dengan menggunakan hidrogen peroksida dan sejumlah katalis bersifat tidak toksik, sehingga berpotensi untuk dikembangkan ke skala industri (Lane & Burges 2002). Pereaksi nukleofilik sangat tidak reaktif terhadap alkena. Alkena dapat bereaksi dengan nukleofil jika atom karbon yang memiliki ikatan rangkap mengikat gugus penarik elektron yang kuat.

Senyawa epoksida sering dibuat dengan mereaksikan alkena dengan perasam (asam perbenzoat, asam perasetat, asam mono perftalat dan lain-lain).

Mekanisme reaksi alkena dengan perasam telah dikemukakan oleh Bartlett dalam Dryuk (1976), dimana perasam akan mentransfer atom oksigennya ke alkena.

Reaksi epoksidasi alkena dengan perasam merupakan reaksi ordo dua dengan ordo satu untuk masing-masing reaktan (March 1992; Edenborough 1999). Lynch & Pausacker dalam Isaacs (1974) mendapatkan fakta bahwa reaksi epoksidasi dipermudah oleh adanya gugus pendorong elektron pada alkena dan oleh gugus penaruk elektron pada perasam. Hal ini merupakan bukti bahwa alkena berfungsi sebagai nukleofil dan perasam sebagai elektrofil.

Pada dasarnya ada empat cara untuk menghasilkan epoksida dari alkena, yaitu (1) epoksidasi dengan asam perkarboksilat, 2) epoksidasi dengan peroksida organik dan anorganik, 3) epoksidasi dengan halohidrin, dan 4) epoksidasi dengan molekul oksigen (Rios 2003). Metode pertama dan kedua lebih bersih dan efisien. Sementara metode ketiga, penggunaan halohidrin sangat berbahaya terhadap lingkungan dan membutuhkan perlakuan khusus. Pada cara keempat, molekul oksigen memiliki selektivitas dan aktivitas yang bergantung pada katalis yang mengandung unsur dari golongan IV-VIB menghasilkan selektivitas yang tinggi, tetapi prosesnya lama, sedangkan untuk katalis yang mengandung unsur dari golongan I, VII, dan VIIIB, proses epoksidasi berlangsung dengan cepat tetapi dengan selektivitas yang rendah (Rios 2003).

Asam peroksida dibentuk melalui interaksi antara asam karboksilat dan hidrogen peroksida. Reaksi ini dapat dipersingkat dengan menggunakan hidrogen peroksida yang berlebih (Gall & Greenspan 1955). Pembentukan asam peroksi dengan menggunakan hidrogen peroksida dapat dilakukan dengan empat cara seperti yang dikemukakan oleh Kirk & Othmer (1965), yaitu asam peroksi asetat atau format yang dibentuk terlebih dahulu dan asam asetat atau asam format yang dibentuk secara in situ. Reaksi epoksidasi menggunakan teknik in situ memiliki beberapa keuntungan, antara lain mengurangi pemakaian hidrogen peroksida dan hemat biaya. Broshears et al. (2004), melaporkan senyawa okson dapat digunakan untuk menghasilkan dimetil dioksirana secara in situ dari aseton. Dioksirana kemudian mengoksidasi alkena menjadi epoksida.

Wood & Termini (1958) mengatakan bahwa proses epoksidasi biasanya dilakukan pada suhu 65-75oC. Bila digunakan suhu yang lebih rendah akan memperpanjang waktu epoksidasi dan menurunkan efisiensi epoksidasi. Hasil penelitian Haya (1991) menunjukkan bahwa epoksidasi yang dilakukan pada suhu 100-105oC menghasilkan senyawa epoksida dengan kandungan oksigen oksirana yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu 65-75oC. Proses epoksidasi dapat dipersingkat dengan penggunaan katalis seperti: Amberlite IR-120 dan zeolit.

Campanella & Baltanas (2005), melaporkan reaksi epoksidasi minyak kedelai yang memiliki komposisi mirip dengan minyak jarak pagar secara teoretis dapat menghasilkan epoksida minyak kedelai dengan bilangan oksirana sebesar 5.5% yang setara dengan 0.34 mol oksigen tiap 100 g epoksida minyak kedelai yang dimaksud. Mannari & Goel (2007) juga melaporkan bahwa epoksida minyak kedelai dapat mencapai bilangan oksirana sebesar 4.2%.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, diprediksi minyak jarak pagar bila diepoksidasi memiliki kandungan bilangan oksirana sedikit lebih rendah dari epoksida yang dihasilkan dari minyak kedelai. Nilai bilangan oksirana yang lebih rendah memungkinkan diperolehnya bilangan hidroksil yang lebih rendah pula jika dilakukan reaksi pembukaan cincin epoksida menjadi poliol. Poliol dengan bilangan hidroksil yang lebih rendah memberikan keuntungan untuk aplikasinya sebagai bahan baku pelapis.

Epoksida atau oksirana memiliki sifat kimia yang berbeda dengan eter. Pada umumnya eter tidak reaktif tetapi epoksida sangat reaktif terhadap beberapa pereaksi kimia. Cincin epoksida tidak memiliki sudut ikatan sp3 sebesar 109o, tetapi sudut ikatannya hanya 60o, sehingga orbital yang membentuk ikatan tidak dapat mencapai tumpang tindih secara maksimal. Hal ini menyebabkan cincin epoksida menderita terikan cincin. Adanya polaritas ikatan C-O dan adanya terikan cincin, mengakibatkan epoksida lebih reaktif dibandingkan eter lainnya (Fessenden & Fessenden 1986).

Reaksi khas epoksida adalah reaksi pembukaan cincin. Pembukaan cincin epoksida terjadi karena terputusnya satu ikatan antara karbon dan oksigen, yang

dapat berlangsung baik dalam suasana asam maupun basa (Gambar 2). Campanella & Baltanas (2005), telah melakukan penelitian untuk membuka cincin epoksida pada epoksida minyak bunga matahari dan epoksida minyak kedelai menggunakan hidrogen peroksida dan H2SO4 98% sistem cair-cair (polar-organik). Pembukaan cincin epoksida pada minyak nabati juga dapat dilakukan dengan menggunakan asam akrilat (Fies et al. 2007).

O H O OH Nu +H+ Nu

Gambar 2 Mekanisme reaksi pembukaan cincin epoksida berkatalis asam

Pembukaan cincin epoksida juga dapat terjadi dalam suasana basa. Walaupun atom oksigen merupakan gugus pergi yang kurang baik pada reaksi

SN2 namun akibat terikan cincin beranggota tiga dari epoksida reaksi pembukaan

cincin dapat terjadi. Nukleofil akan menyerang pada atom karbon kurang terintangi untuk menghindari pengaruh sterik pada keadaan transisi. Penyerangan nukelofil pada karbon memenuhi urutan karbon primer>sekunder>tersier (Royall & Harel 1955).

Reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat telah dilakukan oleh Rios

(2003) dengan menggunakan metanol dan neopentanol pada suhu 60oC dengan

ragam nisbah metanol/epoksida 1/1 g/g dan 0.5/1 g/g untuk tiap-tiap penggunaan katalis yang berbeda. Katalis yang digunakan adalah Amberlyst 15 dan SAC 13. Hasil reaksi menunjukkan konversi total epoksida diperoleh setelah 60 menit (rasio metanol/epoksida 0.5/1 g/g) dan 90 menit (rasio metanol/epoksida 1/1 g/g) pada penggunaan katalis SAC 13 sedangkan pada penggunaan katalis Amberlyst 15 konversi epoksida total diperoleh setelah 180 menit (rasio metanol/epoksida 0.5/1 g/g) dan 440 menit (rasio metanol/epoksida 1/1 g/g). Peningkatan rasio metanol/epoksida menghasilkan waktu reaksi yang lebih cepat.

Senyawa hidroksi eter merupakan senyawa utama yang diharapkan dari reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat yang dilakukan oleh Rios (2003), tetapi selektivitas pembentukan senyawa hidroksi eter bukan merupakan fungsi yang linear dari konsentrasi reaktan, kekuatan asam dari katalis dan waktu reaksi. Selain menghasilkan senyawa hidroksi eter reaksi pembukaan cincin epoksida metil oleat juga menghasilkan senyawa keton, senyawa transesterifikasi hidroksi-eter, dan senyawa transesterifikasi keton.

Menurut Mannari & Goel (2007), reaksi pembukaan cincin epoksida dengan asam berbasa dua dapat menghasilkan senyawa hidroksi poliester, sedangkan reaksi pembukaan cincin epoksida dengan asam karboksilat menghasilkan senyawa beta-hidroksi ester (Gambar 3)

Hidroksi poliester

Beta-hidroksi ester

Gambar 3 Skema reaksi pembentukan hidroksi poliester dari epoksida O O OH ~~~OOC-R-COO OOC-R-COO~~~ HO HOOC-R-COOH + O + R-COOH HO O R O

Poliol

Poliol merupakan bagian dari teknologi poliuretan yang penting setelah isosianat. Poliol polieter (polipropilen glikol dan triol) yang memiliki bobot molekul 400-10.000 mendominasi aplikasi busa poliuretan. Poliester poliol adalah kelompok penting dari bahan baku uretan untuk aplikasi dalam bidang elastomer, perekat dan lain-lain. Poliester poliol dibuat dari asam adipat dan etilena glikol menjadi polietilen adipat atau butana diol dan asam adipat menjadi polibutilen adipat. Beberapa struktur kimia poliol komersial ditunjukkan pada Gambar 4

(Kricheldorf et al. 2005).

Polypropylene oxide (PPO) poliol

Poliester polycaprolactone diol

Gambar 4 Struktur kimia poliol komersial

Poliol untuk aplikasi pelapis (coating), rigid foams, dan perekat

mengandung cincin aromatik pada strukturnya untuk meningkatkan rigiditas. Poliol ini dapat mengkristal, dan hal ini merupakan aspek penting pada beberapa aplikasi seperti perekat. Minyak castor adalah triol alami dengan bilangan

hidroksil 160 mg KOH/g (fungsionalitas = 2,7) (Kricheldorf et al. 2005).

Poliol yang dikembangkan khusus dari minyak nabati untuk aplikasi pelapis dilaporkan oleh Mannari & Goel (2007). Penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku poliol memiliki beberapa keunggulan antara lain: cocok untuk berbagai jenis permukaan, memiliki gugus fungsi reaktif untuk pengeringan

dengan crosslinker, memungkinkan untuk dimodifikasi, lebih murah, dapat

nabati dapat diaplikasikan untuk pelapis berbasis air (waterborne coating) dan

pelapis dengan konsentrasi padatan tinggi (high solid coating).

Poliol sebagai turunan senyawa yang mengandung gugus fungsi hidroksil dapat berbentuk polimer dan oligomer yang merupakan senyawa antara yang sangat bernilai untuk bahan pelapis sistem poliuretan, sistem pengering melamin dan sistem termoset. Konversi minyak nabati menjadi poliol dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: epoksidasi dilanjutkan dengan hidrolisis, alkoholisis, hidroformilasi dilanjutkan dengan reduksi, konversi mikrobial dan fungsionalisasi poliol (Mannari & Goel 2007).

Reaksi alkoholisis dengan metanol (berlebih) terhadap epoksida minyak nabati dengan adanya asam sebagai katalis dapat menghasilkan poliol. Gambar 5 menunjukkan reaksi epoksida minyak kedelai dengan metanol pada suhu refluks

metanol, katalis yang digunakan dapat berupa H2SO4, HBF4, atau zeolit asam

menghasilkan poliol dengan bilangan hidroksil 170-173 mg KOH/g (Ionescu 2005).

Poliol nabati

Gambar 5 Reaksi alkoholisis epoksida nabati menjadi poliol

Budi (2001) telah berhasil melakukan sintesis poliol dari minyak sawit

menjadi poliol dengan reagen H2O2 dan HCOOH dengan kondisi optimum reaksi

jam. Poliol yang dihasilkan mempunyai bilangan hidroksil 148 mg KOH dan telah dicoba untuk aplikasi dalam formulasi busa poliuretan. Karakteristik hasil aplikasinya diperoleh busa berwarna kuning dengan sifat keras dan kaku dan busa berwarna putih dengan sifat lembut dan fleksibel. Analisis serapan IR telah digunakan untuk menjelaskan perbedaan karakteristik fisik tersebut.

Gugus hidroksil dalam resin poliol memiliki beberapa fungsi penting dalam bahan pelapis sistem poliuretan (Massingill 2006). Fungsi dan

kegunaannya antara lain: gugus hidroksil berperan dalam crosslinking dengan

gugus lain, berpengaruh pada daya rekat terhadap substrat logam dan meningkatkan kompatibilitas dengan berbagai jenis resin dan pelarut.

Poliuretan

Reaksi poliadisi antara isosianat (poliisosianat) dengan poliol akan menghasilkan polimer yang lebih dikenal dengan poliuretan. Poliuretan yang dihasilkan dari reaksi poliadisi ini sangat bervariasi dan kompleks. Kompleksitas polimer disebabkan oleh banyaknya variabel yang mempengaruhi sifat-sifat fisik akhir polimer. Sebagian variabel-variabel tersebut adalah:

1. Bobot molekul dan fungsionalitas poliol dan poliisosianat 2. Sifat-sifat kelarutan komponen dan hasil reaksi

3. Variasi pada kinetika reaksi poliadisi menyebabkan macam-macam efek dan pengendaliannya

4. Penggunaan bermacam-macam katalis, surfaktan, aditif dan filler untuk memodifikasi sifat-sifat fisik dan performa polimer.

Isosianat adalah komponen penting dalam teknologi poliuretan. Isosianat yang biasa digunakan dalam pembuatan poliuretan ada dua jenis, yaitu isosianat aromatis dan alifatis. Poliuretan yang dibuat dari isosianat alifatis mempunyai warna yang stabil, tetapi isosianat alifatis kurang reaktif dibandingkan dengan isosianat aromatis dan harga isosianat alifatis lebih mahal. Oleh karena itu, hampir 95% produk poliuretan dihasilkan dari isosianat aromatis, yaitu TDI, MDI dan turunannya. TDI yang digunakan umumnya merupakan campuran dua bentuk molekul yaitu isomer 2,4 dan 2,6 TDI dengan perbandingan 80:20 (Gambar 6).

Beberapa jenis triiso seperti trifenilmetana

G

Isosianat arom lainnya yang dimung yang berlebih karena pelapis pada kondisi Salah satu sikloalifat aromatis dapat menga relatif tinggi karena dibandingkan isosiana Reaktivitas ya elektroniknya yang Reaktivitas suatu iso molekul yang melek daripada isosianat a perbedaan reaktivitas

Gam

Reaksi antara reaksi yang paling p

sosianat juga digunakan dalam aplikasi pela a triisosianat (Thomson 2005).

Gambar 6 Strukur molekul isomer TDI

romatis kurang cocok untuk aplikasi pelap ngkinkan terkena radiasi sinar matahari dan

na dapat berubah menjadi kuning (yellowing).

si tersebut dibutuhkan isosianat jenis alifatis d fatis isosianat yang populer adalah IPDI. Mes

gakibatkan yellowing, penggunaannya dalam te

na menghasilkan tekstur lapisan film yan nat alifatis.

yang tinggi dari senyawa isosianat disebabka g dapat beresonansi seperti ditunjukkan pa isosianat bergantung pada letak gugus isos lekat. Prinsipnya umumnya isosianat aromat alifatis. Reaktivitasnya juga bergantung p as dua grup gugus isosianat akibat kenaikan suh

mbar 7 Struktur resonansi gugus isosianat

ra isosianat dengan alkohol atau gugus hidro penting dalam sintesis poliuretan. Menurut

lapis dan perekat

apis dan aplikasi n pengaruh cuaca ). Untuk aplikasi s dan sikloalifatis. eskipun isosianat teknologi pelapis yang lebih keras

kan oleh struktur pada Gambar 7. osianat dan jenis atis lebih reaktif pada suhu dan suhu.

roksil merupakan t Ionescu (2005),

reaksi isosianat dengan alkohol menghasilkan uretan termasuk reaksi eksotermis (Gambar 8).

Isosianat alkohol uretan

Gambar 8 Reaksi isosianat dengan alkohol

Selain bereaksi dengan gugus hidroksil, isosianat juga dapat bereaksi dengan gugus-gugus lainnya. Isosianat dapat bereaksi dengan asam-asam organik membentuk senyawa antara yang tidak stabil yang terdekomposisi menjadi amida

dan CO2. (Gambar 9a). Isosianat bereaksi dengan HCl membentuk adduct yang

terdekomposisi kembali pada suhu tinggi (Gambar 9b). Reaksi isosianat dengan anhidrida menghasilkan imida (Gambar 9c). Isosianat juga bereaksi dengan epoksida menghasilkan senyawa siklis – oxazolidon (Gambar 9d).

Gambar 9 Reaksi-reaksi isosianat dengan gugus bukan hidroksil

(a) (b)

(c)

(d)

(e)

Isosianat uretan allophanat

Katalis dalam teknologi poliuretan memegang peran penting dalam mengontrol reaksi poliol dan isosianat. Senyawa yang mengkatalisis reaksi poliol dan isosianat dapat berjenis nukleofilik (misal: basa amina tersier, garam-garaman dan asam-asam lemah) atau berjenis elektrofilik (misal: senyawa organometalik).

(Kricheldorf et al. 2005).

Pembentukan kompleks teraktivasi

N C O R' N R3R3 + R"OH R'N C O N R3R3 H O R" + R' HN C O + OR" NR3

Gambar 10 Reaksi pembentukan uretan berkatalis amina

Senyawa amina adalah salah satu jenis katalis yang sering digunakan sebagai katalis reaksi poliol dengan isosianat. Mekanisme reaksi poliol-isosianat dengan katalis amine diasumsikan terjadi melalui pembentukan kompleks teraktivasi antara amina dan isosianat. Kompleks isosianat teraktivasi kemudian bereaksi dengan alkohol membentuk produk antara. Produk antara selanjutnya terdekomposisi menghasilkan uretan dan katalis terbentuk kembali (gambar 10). Pada senyawa-senyawa yang mengandung gugus hidroksil dengan tingkat keasaman yang tinggi, memungkinkan terjadinya transfer proton dari alkohol ke amina.

Film Poliuretan

Suatu bahan pelapis (coating) terdiri dari binder (resin polimer), pelarut,

pigmen dan bahan pengisi (filler). Bahan pelapis poliuretan memiliki posisi

khusus di antara binder alami dan sintetik dalam industri bahan pelapis karena

R3N + R'NCO R'N C O N R3 R3 N C O R' N R3R3

memiliki daya rekat yang sangat baik terhadap berbagai bahan. Bahan pelapis poliuretan dan varnisnya dapat dikelompokkan menjadi beberapa grup sebagai berikut:

1. Sistem dua komponen, dimana satu komponen adalah poliisosianat dan

komponen kedua adalah poliol dengan aditif. Sistem ini dibuat dengan atau tanpa pelarut.

2. Sistem satu komponen yang dapat kering dengan uap air disekitarnya. Sistem

ini dibuat dengan atau tanpa pelarut.

3. Sistem satu komponen yang mengandung campuran poliol dan blocked

isosianat. Pada temperatur yang lebih tinggi, isosianat teraktivasi dan bereaksi

dengan poliol. Powder coating termasuk dalam kategori ini.

4. Sistem urethan non reaktif yang mengandung poliuretan yang dilarutkan di

dalam pelarut. Sistem menjadi kering setelah pelarutnya diuapkan. 5. Uretan alkyds atau uretan oils.

6. Sistem Poliuretan yang terdispersi di air.

(Petrovic dalam Kricheldorf et al. 2005).

Sistem dua komponen merupakan salah satu kelompok yang cukup berkembang. Dua komponen dalam sistem yaitu isosianat dan poliol serta aditif dicampur kemudian dapat diaplikasikan dengan teknik aplikasi seperti kuas,

semprot, roller, dipping dan teknik lainnya. Persyaratan isosianat yang digunakan

dalam formulasi harus memiliki tekanan uap yang rendah, sebagai ganti dari penggunaan isosianat murni, isosianat terpolimerisasi, isosianurat atau prepolimer lebih disukai. Metilena diisosianat (MDI), juga digunakan dalam bentuk monomernya karena memiliki tekanan uap yang rendah. Sebagai contoh isosianat

yang digunakan dalam industri coating adalah Desmodur L dari Bayer, yang

berbasis trimetilol propana dan toluena diisosianat (Kricheldorf et al. 2005).

Hasil aplikasi campuran poliol-isosianat atau lebih dikenal sebagai poliuretan akan menghasilkan bahan pelapis dengan kualitas yang beragam. Kualitas lapisan film yang dihasilkan bergantung pada beberapa hal antara lain: jenis resin poliol, jenis isosianat, aditif yang digunakan, metode aplikasi yang dipakai, dan bahan yang dilapis. Pengujian kinerja bahan pelapis dapat dilakukan

dengan menggunakan parameter standar yang menjadi acuan industri seperti

ASTM dan JIS (Japanese Industrial Standard). Jenis pengujian lapisan film

bahan pelapis yang sering dilakukan antara lain: daya kilap, tingkat kekerasan dan daya rekat.

Daya kilap lapisan film pada teknologi bahan pelapis didefinisikan sebagai banyaknya cahaya yang dipantulkan ke mata pengamat oleh permukaan lapisan film (Talbert 2008). Semakin banyak cahaya yang dipantulkan oleh permukaan lapisan film, maka daya kilapnya semakin tinggi. Tingkat kehalusan permukaan lapisan film menentukan banyaknya cahaya yang dipantulkannya, sehingga semakin halus permukaan lapisan film, maka daya kilapnya semakin tinggi. Daya kilap diukur dengan alat fotoelektrik (glossmeter). Sudut refleksi dari glossmeter

dapat bermacam-macam yaitu: 20o, 45o, 60o, 90o, atau beberapa nilai lainnya.

Dalam penelitian ini digunakan glossmeter bersudut refleksi 60 o.

Tingkat kekerasan lapisan film adalah parameter yang penting dari bahan pelapis. Tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis berhubungan dengan kerapuhan dan permeabilitas terhadap air (Talbert 2008). Tingkat kekerasan lapisan film bahan pelapis yang telah dikeringkan atau dalam proses pengeringan dapat diukur dengan menggunakan pensil hardness (metode yang umum digunakan). Tingat kekerasan lapisan film bahan pelapis berpengaruh terhadap ketahanan mekanik dan fleksibilitas.

Selain daya kilap dan tingkat kekerasan lapisan film, daya rekat merupakan parameter kualitas bahan pelapis yang penting. Tanpa daya rekat yang cukup, lapisan film bahan pelapis yang memiliki daya kilap, tingkat kekerasan, ketahanan terhadap bahan kimia yang baik menjadi tidak berguna, sehingga dalam formulasi bahan pelapis, daya rekat perlu diperhatikan (Arthur 2007). Pengukuran

daya rekat umumnya dilakukan dengan menggunakan metode crosscut test.

Metode pengukuran daya rekat lainnya adalah dengan menggunakan tanda “X” yang digoreskan pada lapisan film kemudian dihentakkan dengan selotif berperekat khusus (Talbert 2008).

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : minyak jarak pagar, asam Akrilat (Sigma), natrium hidrogen karbonat (E.Merck), natrium sulfat anhydrous (E.Merck), toluena (E. Merck), aseton (E.Merck), KOH, trietilamin

(TEA), NaOH, H3PO4, asam asetat, anhidrida asetat, H2O2, dan toluen diisosianat

(TDI) grade industri.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: satu set alat refluk, rotary evaporator, set alat titrasi, erlenmeyer, bekerglass, mantel heater, pengaduk magnetik, hot plate, piknometer, panel test untuk cat, dan tes kit resin dan cat, spektrofotometer FTIR Thermo Nicolet AVATAR 360, Glossmeter BYK Chemie, 3M Crosscut tape, dan Mistubishi Pencil Hardness.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai bulan November 2008, di Laboratorium Penelitian Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Semarang, Laboratorium Riset dan Pengembangan PT Murni Cahaya Pratama Bogor, dan Laboratorium Terpadu UII Yogyakarta.

Prosedur Penelitian

Penelitian ini secara garis besar terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) epoksidasi minyak jarak pagar, (2) pembuatan poliol, dan (3) pembuatan formula yang menghasilkan film poliuretan. Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

1. Epoksidasi Minyak Jarak Pagar

Bahan baku penelitian adalah minyak jarak pagar hasil pengepresan biji

jarak pagar yang telah melalui proses deguming dan telah dikarakterisasi bilangan

Iod dan bilangan oksirananya. Tahap epoksidasi bertujuan untuk mengkonversi gugus ikatan rangkap pada asam lemak tak jenuh minyak jarak pagar menjadi

epoksida minyak jarak pagar (EJP) menggunakan prosedur yang telah

dikembangkan oleh Sugita et al. (2007a).

Menurut Sugita et al. (2007a), prosedur epoksidasi minyak jarak pagar

adalah sebagai berikut: sebanyak 100 g minyak jarak pagar, 8 ml asam asetat

Dokumen terkait