• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pengelolaan Hutan Rakyat di KTH Girimukt

5.1.1 Sub Sistem Produks

Sub sistem produksi yang dilakukan di KTH Girimukti terdiri dari: persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. Temuan ini sejalan dengan penelitian Djajapertjunda (2003) yang menyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat terdapat beberapa teknik silvikultur yang dilakukan oleh petani antara lain, persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan, serta penebangan. Berikut dideskripsikan kegiatan-kegiatan sub sistem produksi yang dilakukan di KTH Girimukti.

Persiapan Lahan

Kegiatan persiapan lahan merupakan langkah awal dalam membangun sebuah hutan rakyat dan tergolong ke dalam sub sistem produksi. Berikut

Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan di KTH Girimukti terdiri dari pembersihan lahan dan pengolahan tanah. Dari data penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden telah melakukan persiapan lahan sebelum penanaman sesuai dengan kesepakatan bersama di dalam kelompok. Alat persiapan lahan yang digunakan anggota pada pembersihan lahan dan pengolahan tanah adalah cangkul, garpu, dan sabit. Apabila kegiatan persiapan lahan diupahkan kepada orang lain atau buruh tani, maka upah yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp 20.000,- per hari per orang.

Kegiatan persiapan lahan di hutan rakyat berbeda metodenya dengan yang diterapkan di unit manajemen kehutanan lain, seperti di Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam membersihkan lahan, anggota KTH Girimukti hanya melakukannya pada sekitar areal yang akan ditanami karena penanaman bibit pohon umumnya tidak dilakukan sekaligus, seperti yang disajikan pada Gambar 2. Hal ini sejalan dengan penelitian Djajapertjunda (2003) yang mengungkapkan bahwa lahan hutan rakyat yang akan ditanami umumnya sudah berupa kebun yang memiliki tanaman lain dan relatif tidak mengandung tumbuhan liar. Oleh karena itu sebelum dilakukan penanaman, lahan hutan rakyat tidak perlu dibersihkan secara keseluruhan.

Hampir seluruh responden menyatakan, kelompok peduli terhadap kegiatan persiapan lahan. Hal ini dilakukan kelompok melalui pembentukan bagian atau seksi di dalam kelompok yang mengurusi masalah persiapan lahan. Hampir seluruh responden merasakan adanya kerjasama di antara sesama anggota kelompok dalam persiapan lahan anggota. Hal ini dilakukan dengan kerja bakti dalam pembersihan lahan.

Kelompok telah membuat penentuan waktu yang terbaik untuk persiapan lahan anggota, sehingga efektif untuk dilakukan kegiatan penanaman setelah persiapan lahan. Berdasarkan kondisi tersebut dan hasil olah data, kegiatan persiapan lahan yang dilakukan kelompok termasuk ke dalam kategori tinggi (73,4%), seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Gambar 2. Kegiatan pembersihan lahan di hutan rakyat anggota KTH Girimukti

Persiapan Bibit

Persiapan bibit merupakan bagian dari sub sistem produksi. Dari data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan manfaat kelompok dalam kegiatan persemaian bibit yang dilakukan bersama di dalam kelompok. Usaha persemaian bibit di dalam kelompok pernah dilakukan, namun pada saat ini usaha persemaian tersebut memerlukan pemeliharaan, karena ada sebagian bibit yang tumbuh menjadi pepohonan di lokasi persemaian.

Sebagian besar responden menyatakan telah merasakan adanya kerjasama di antara sesama anggota kelompok dalam persiapan bibit. Manfaat lain keberadaan kelompok yang dirasakan anggota dalam hal persiapan bibit adalah adanya bantuan bibit. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari hampir seluruh responden pernah menerima bantuan bibit dari pihak luar yang disalurkan melalui kelompok. Bantuan bibit terakhir diperoleh pada tahun 2011 berupa bibit sengon sebanyak 10.000 bibit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis, seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Anggota KTH Girimukti melakukan persiapan bibit dengan beberapa cara, yaitu: 1) membeli bibit ke pedagang bibit tanaman kehutanan; 2) memperoleh bantuan bibit dari pihak lain yang disalurkan melalui kelompok; 3) mengambil benih langsung dari pohon yang telah layak dijadikan pohon benih; dan atau 4) memelihara tunas yang tumbuh dari pohon tertentu yang dikenal dengan istilah trubusan.

Tabel 3. Data bantuan bibit di KTH Girimukti

Jenis tanaman Jumlah bantuan Tahun Sumber bantuan bibit

cengkeh 1200 bibit 2002 Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Ciamis

kapulaga Rp 30 juta 2010 Dinas Pertanian

Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat

mahoni dan sengon

25.000 bibit 2010 Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ciamis

sengon 10.000 bibit 2011 Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Ciamis

Sumber: data sekunder KTH Girimukti

Pedagang yang menjual bibit ke anggota KTH Girimukti antara lain, beberapa penggergajian kayu yang berada di sekitar Desa Sidamulih dan PT. Albasia Parahyangan yang terletak di Kota Banjar atau sekitar 15 km dari Desa Sidamulih. Harga bibit sengon dengan ukuran panjang 30 cm berkisar Rp 700,- sampai Rp 1.000,- per bibit, bibit mahoni ukuran panjang 30 cm seharga Rp 1000,- per bibit, dan bibit jati ukuran panjang 20 cm seharga Rp 3.000,- per

bibit.

Pemilihan metode persiapan bibit yang dilakukan oleh anggota KTH Girimukti dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah berdasarkan sifat dan jenis tanaman. Hal ini sejalan dengan penelitian Djajapertjunda (2003) yang mengungkapkan bahwa, pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya stek atau cangkokan, sedangkan persiapan bibit secara generatif dilakukan dengan langsung menanamkan biji di lapangan atau di persemaian. Pemilihan metode ini tergantung pada sifat dan jenis tanaman. Berdasarkan kondisi di atas dan hasil olah data, kegiatan persiapan bibit yang dilakukan kelompok termasuk ke dalam kategori tinggi (66,9%), sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Penanaman

Kegiatan penanaman merupakan bagian dari kegiatan produksi. Dari data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan manfaat dari adanya sosialisasi pengurus tentang pentingnya kegiatan penanaman serta adanya kesepakatan bersama di dalam kelompok untuk aktif melakukan penanaman. Hampir seluruh responden menyatakan telah melakukan penanaman berdasarkan kesepakatan kelompok tentang waktu/musim tanam yang tepat bagi anggota agar bibit yang ditanam tumbuh dengan baik. Waktu tanam yang disepakati di dalam kelompok adalah pada Bulan Desember hingga Bulan Maret dengan alasan pada bulan-bulan tersebut kondisi air untuk penyiraman tanaman mencukupi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Hadi dan Napitupulu (2010) yang menyatakan bahwa waktu terbaik untuk penanaman tanaman kehutanan seperti sengon dan jati adalah pada saat musim hujan.

Hampir seluruh responden merasakan adanya kerjasama di antara anggota kelompok dalam kegiatan penanaman, misalnya melalui saling tukar informasi tentang jenis bibit yang sebaiknya ditanam serta cara-cara penanamannya. Namun sebaiknya kelompok perlu membuat jadwal kerja bakti penanaman di lahan anggota yang membutuhkan bantuan tenaga kerja.

Himbauan kelompok kepada anggota tentang jarak tanam rata-rata untuk tanaman kehutanan adalah sebesar 2 m x 5 m, namun kenyataannya anggota lebih memilih menggunakan jarak tanam sebesar 2 m x 3 m dan 3 m x 3 m. Penentuan jarak tanam sangat ditentukan oleh komposisi tanaman. Hal ini sejalan dengan penelitian Djajapertjunda (2003) yang menjelaskan bahwa, apabila tanaman kehutanan akan ditanami homogen maka jarak tanam yang digunakan lebih rapat misalnya 3 m x 3 m. Namun apabila akan dilakukan tumpang sari dengan jenis

tanaman lain, maka dapat dipilih jarak tanam yang lebih lebar, misalnya 4 m x 5 m, sedangkan di antara dua larikan pohon masih ada ruang untuk ditanami

palawija atau tanaman agroforestri lainnya sebagai tanaman campuran. Dengan jarak tanam yang benar, maka pertumbuhan tanaman yang dibudidayakan secara campuran tidak akan saling mengganggu.

Daur tanaman kehutanan di KTH Girimukti belum sepenuhnya ditaati, karena motivasi menebang yang sangat bervariasi. Sebagian anggota KTH

Girimukti akan menebang pohonnya jika kebutuhan mendesak seperti membeli kendaraan, berobat, dan naik haji. Namun pada umumnya anggota KTH Girimukti menerapkan daur sengon 3-5 tahun, jati 10-15 tahun, mahoni 10-15 tahun, dan suren 10 tahun.

Pemilihan jenis tanaman yang ditanam di hutan rakyat oleh anggota KTH Girimukti umumnya berdasarkan alasan ekonomis. Jenis tanaman bukan kayu yang dipilih anggota KTH Girimukti umumnya adalah tanaman kapulaga (Amomum cardamomum), kopi (Coffea sp.), jahe (Zingiber officinale), dan pisang (Musa sp.).

Tanaman kayu yang ditanam di hutan rakyat anggota umumnya adalah sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia mahagoni), jati (Tectona grandis), dan suren (Toona sureni). Pemilihan jenis tanaman sengon, mahoni, dan jati dikarenakan tanaman-tanaman kayu tersebut memiliki daur finansial dan permintaan pasar yang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadi dan Napitupulu (2010) yang menyatakan bahwa, jati, mahoni, sengon, jabon, pinus, meranti, kemenyan, kemiri, gaharu, dan kayu manis sebagai tanaman investasi pendulang rupiah. Sementara itu untuk pemilihan jenis tanaman suren dilakukan, karena pohon suren memiliki fungsi ganda yaitu selain sebagai penghasil kayu juga sebagai anti hama bagi tanaman kehutanan (BPDAS 2010). Berdasarkan kondisi di atas dan hasil olah data, kegiatan penanaman yang dilakukan kelompok termasuk ke dalam kategori tinggi (81,4%), sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman hutan rakyat termasuk ke dalam bagian sub sistem produksi. Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan di KTH Girimukti antara lain: Kegiatan penyiangan, pendangiran, pemupukan, penjarangan, dan pemberantasan hama/penyakit. Dari data penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden menyatakan sudah melakukan pemeliharaan tanaman sesuai dengan arahan dan kesepakatan bersama di dalam kelompok. Arahan yang dilakukan kelompok terkait pemeliharaan tanaman antara lain tentang frekuensi, dosis, serta cara pelaksanaannya.

Kegiatan penyiangan dilakukan tergantung kondisi lapangan. Umumnya pada umur satu hingga dua tahun disiangi sebanyak setahun dua kali, setelah umur dua tahun intensitas penyiangan dikurangi menjadi satu tahun sekali. Hal ini sejalan dengan penelitian Djajapertjunda (2003) yang menyatakan bahwa tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma yang berlebihan seperti, semak dan alang-alang. Salah satu metode untuk mengurangi gulma adalah dengan menanam palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kedelai, kacang wijen, dan lain-lain. Pemeliharaan tanaman dengan melakukan penyiangan akan sangat membantu pertumbuhan tanaman kayu yang masih kecil.

Kegiatan pendangiran yang bertujuan untuk menggemburkan sekaligus membersihkan lahan di sekitar tanaman yang dipelihara dilakukan setahun sekali dengan menggunakan cangkul dan garpu. Kegiatan pemupukan yang dilakukan anggota KTH Girimukti adalah dua kali setahun. Pemupukan pada tanaman yang masih kecil biasanya dilakukan dengan membuat lubang di sekitar tanaman lalu dimasukkan pupuknya sedangkan pada tanaman yang sudah besar, pupuk cukup ditabur saja. Jenis pupuk yang digunakan adalah Urea, TSP, dan NPK. Selain pupuk-pupuk kimia tersebut anggota juga lazim menggunakan pupuk kandang, seperti kotoran kambing. Pupuk kimia dapat diperoleh di pasar Desa Sidamulih yang terletak di tengah-tengah Desa Sidamulih.

Penjarangan pohon yang dilakukan pada pohon milik anggota KTH Girimukti akan dijelaskan sebagai berikut: 1) pohon sengon umumnya dijarangi pada umur tiga tahun; 2) pohon mahoni dan jati umumnya dijarangi pada umur lima hingga tujuh tahun; dan 3) pohon suren hanya akan dijarangi apabila ada yang terkena penyakit berat. Hal ini dikarenakan jumlah pohon suren yang ditanam di lahan hutan rakyat anggota KTH Girimukti umumnya hanya dua hingga lima pohon saja. Jenis pepohonan yang dominan di hutan rakyat milik anggota KTH Girimukti adalah jenis sengon, jati, dan mahoni.

Kelompok dibantu penyuluh kehutanan Kecamatan Pamarican juga telah mengadakan upaya pemeliharaan tanaman secara bersama, seperti mengadakan diskusi tentang penanggulangan hama ulat pada tanaman sengon. Anggota KTH Girimukti menggunakan pestisida pastak untuk menanggulangi hama ulat di luar permukaan pohon dan pestisida furadanuntuk menanggulangi hama ulat di dalam

pohon. Furadan dapat dibeli seharga Rp 24.000,- per kemasan (2 kg). Kemudian untuk mengatasi masalah gulma, mereka menggunakan herbisida merek roundup yang dapat dibeli seharga Rp 65.000,- per liter. Berdasarkan kondisi di atas dan hasil olah data, kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan kelompok termasuk ke dalam kategori tinggi (89,5%), sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

Pemanenan

Setelah pemeliharaan, kegiatan sub sistem produksi selanjutnya adalah pemanenan. Dari data penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pemanenan sudah termasuk ke dalam tujuan kelompok, sehingga kelompok mengupayakan pemanenan yang semakin efektif. Sebagian besar responden menyatakan kelompok telah memberikan kemudahan bagi anggota untuk melakukan pemanenan, misalnya kelompok membantu anggota yang kesulitan untuk mengurus surat izin tebang. Sebagian besar responden menyatakan adanya kerja sama di antara sesama anggota KTH Girimukti dalam kegiatan pemanenan. Kelompok juga memfasilitasi penanaman kembali pada lahan bekas tebangan milik anggota. Hal ini didukung kuatnya minat masyarakat Desa Sidamulih untuk melestarikan lingkungan. Diniyati (2009) menyatakan bahwa, hampir tidak ada lahan kosong di Desa Sidamulih, sebagian besar lahan darat petani ditanami dengan tanaman kayu-kayuan.

Sistem pemanenan hasil hutan rakyat yang dilakukan di KTH Girimukti umumnya adalah kelompok bermitra dengan penggergajian kayu di sekitar kelompok. Pada saat ini ada tiga penggergajian kayu yang dijadikan mitra kelompok. Keuntungan yang diperoleh kelompok adalah pihak penggergajian kayu akan memberikan bantuan materi secara cuma-cuma untuk memenuhi keperluan kelompok, misalnya pada saat ada kegiatan di kelompok, pihak penggergajian kayu akan memberikan bantuan dana atau barang agar acara tersebut dapat berlangsung lancar.

Ukuran pohon yang ditebang untuk jenis sengon, mahoni, dan jati umumnya berdiameter 20–30 cm. Alat penebangan yang digunakan adalah tali tambang untuk mengarahkan jatuhnya pohon dan chainsaw untuk menebang pohon dan membagi batang. Dalam kegiatan penebangan, diperlukan 2 orang

pekerja dengan upah sebesar Rp 210.000,- per hari untuk dua orang pekerja. Teknik pengangkutan pohon dilakukan dengan menggunakan motor dan ada juga yang menggunakan tenaga manusia dengan cara dipikul. Efektivitas kayu yang diangkut menggunakan motor akan lebih tinggi daripada dipikul oleh buruh tani, namun pemilihan alat pengangkutan yang dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Besarnya upah yang dikeluarkan untuk kegiatan pengangkutan menggunakan motor adalah Rp 130.000,- per hari per motor, sedangkan untuk

pengangkutan menggunakan tenaga manusia dengan cara dipikul adalah Rp 35.000,- per hari untuk satu orang pekerja.

Pengangkutan pohon yang dilakukan di KTH Girimukti diangkut melewati jalan desa, apabila melintasi pekarangan orang lain sudah tidak perlu minta izin, hanya saja akan dikenakan ganti rugi jika merusak tanaman atau bangunan di atas pekarangan yang dilewati tersebut. Berdasarkan kondisi di atas dan hasil olah data, kegiatan pemanenan yang dilakukan kelompok termasuk ke dalam kategori sedang (61,7%), sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

5.1.2 Sub Sistem Pengolahan Hasil

Pengolahan hasil merupakan kegiatan untuk meningkatkan mutu produk yang dihasilkan pada sub sistem produksi. Dari data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan manfaat kelompok dalam mengatasi masalah pengolahan hasil hutan rakyat, misalnya kelompok membangun komunikasi yang baik dengan penggergajian kayu yang sudah menjadi mitranya agar mengolah hasil hutan rakyat anggota dengan pelayanan yang memuaskan. Namun sebaiknya, keterlibatan petani semakin besar dalam pengolahan hasil produknya. Petani seharusnya mampu mengolah kayunya menjadi produk yang lebih berkualitas, seperti papan, balok, reng, kaso, dan bentuk hasil olahan lainnya secara mandiri. Hal ini sejalan dengan penelitian Hardjanto (2003) yang menyatakan bahwa keterlibatan petani hutan rakyat dalam pengolahan hasil hutan rakyatnya masih kecil. Pengolahan hasil umumnya masih didominasi oleh pelaku industri kecil dan industri besar.

Sebagian besar responden menyatakan adanya kerja sama di dalam kelompok dalam pengolahan hasil hutan rakyat, misalnya untuk kasus tertentu beberapa anggota bekerja sama mengolah kayunya menjadi papan dengan menggunakan chainsaw. Hal ini sejalan dengan penelitian Hardjanto (2003) yang menyatakan bahwa, petani hutan rakyat umumnya mampu membuat papan atau kaso dengan menggunakan peralatan sederhana seperti, kapak dan chainsaw baik untuk digunakan sendiri maupun untuk dijual.

Hasil hutan rakyat anggota KTH Girimukti terdiri dari dua macam, yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Pengolahan hasil hutan kayu yang dilakukan oleh sebagian besar anggota KTH Girimukti adalah dengan menyerahkannya ke penggergajian kayu. Keterbatasan kemampuan kelompok untuk membangun industri kayu/hasil hutan dan latar belakang ekonomi anggota yang belum mendukung menjadi beberapa alasan sehingga kayu anggota diolahkan ke penggergajian kayu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik penggergajian kayu Dua Sekawan, yaitu sebuah penggergajian kayu yang terletak di sekitar Desa Sidamulih, sekaligus mitra KTH Girimukti menyebutkan bahwa kayu yang masuk ke penggergajian kayu ini terdiri dari: jati, mahoni, sengon, dan kayu rimba campuran. Jika tidak ada pesanan khusus maka log jati tidak akan diolah di penggergajian kayu ini karena pertimbangan analisis biaya usaha. Log jati akan dijual tanpa diolah ke pabrik yang lebih besar di Kota Surabaya dan Semarang. Sementara itu, jenis kayu yang lain akan diolah menjadi papan, reng, balok, palet, dan kaso. Apabila ada pemesanan akan dibuat juga kusen. Sebelum potongan pohon diolah di mesin penggergajian kayu yang disebut bensaw, maka dilakukan scalling dan grading ulang oleh pegawai penggergajian kayu.

Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menggergaji kayu di bensaw umumnya dua orang. Satu pekerja mendorong kayu ke bensaw dan satu lagi menarik kayu pada arah yang berhadapan. Namun jika kayu yang akan digergaji melebihi kekuatan si pendorong dan penarik kayu, maka digunakan alat bantu yang disebut lori, seperti yang disajikan pada Gambar 3. Lori berfungsi sebagai pembawa kayu besar ke mata bensaw. Lori biasanya didorong oleh dua orang atau lebih.

Setelah potongan pohon diolah maka akan dihasilkan papan, balok, reng, kaso, kayu sisa gergajian, dan serbuk gergaji. Seluruh hasil ini bermanfaat bagi pemilik penggergajian kayu walaupun sebenarnya kayu sisa gergajian dan serbuk gergaji adalah limbah pabrik. Rendemen sengon sebesar 70% dan mahoni 55%. Artinya dalam setiap 1 m³ sengon yang digergaji akan dihasilkan 0,7 m³ papan, reng, balok, atau kaso dan 0,3 m³ lagi limbah pabrik. Demikian halnya dengan mahoni, dalam setiap 1 m³ mahoni yang digergaji akan dihasilkan 0,55 m³ papan, reng, balok, atau kaso dan 0,45 m³ lagi limbah pabrik.

Gambar 3. Lori pada salah satu penggergajian kayudi Desa Sidamulih

Hasil tanaman agroforestri di KTH Girimukti adalah kapulaga, kopi, jahe, dan pisang. Seluruh hasil tanaman agroforestri ini belum dapat diolah oleh anggota KTH, tetapi langsung dijual ke tengkulak di pasar Pamarican atau dikonsumsi sendiri. Produktivitas dari beberapa tanaman agroforestri tersebut dijelaskan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Produktivitas tanaman agroforestri anggota KTH Girimukti

Jenis Produktivitas

kapulaga Satu rumpun kapulaga berumur 2 tahun dengan luasan 1 m2 menghasilkan 3 kg buah kapulaga

kopi Satu pohon kopi mulai umur 2-3 tahun menghasilkan 0,5 kg buah kopi per tahun

jahe Satu rumpun jahe berumur 9-12 bulan dengan luasan 1 m2 menghasilkan 0,5 kg jahe

pisang Satu tanaman pisang menghasilkan 7,5 kg buah pisang per tahun Sumber: hasil wawancara dengan anggota KTH Girimukti

Tanaman agroforestri merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai penutup permukaan tanah dari terpaan air hujan secara langsung, sehingga akan mengurangi laju erosi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Muslich dan Krisdianto (2006), yang menyatakan bahwa sistem agroforestri pada hutan rakyat telah mampu mencegah erosi dan banjir serta meningkatkan kesuburan lahan dan upaya konservasi sumber air. Berdasarkan kondisi di atas dan hasil olah data, sub sistem pengolahan hasil yang dilakukan kelompok termasuk ke dalam kategori sedang (52,5%), sebagaimana disajikan pada Tabel 2.

5.1.3 Sub Sistem Pemasaran Hasil

Setelah kegiatan pengolahan hasil, kegiatan selanjutnya dalam pengelolaan hutan rakyat adalah pemasaran hasil. Dari data penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan anggota lebih terarahkan untuk memasarkan kayunya. Hal ini disebabkan kelompok telah menjalin kerjasama dengan beberapa penggergajian kayu di Desa Sidamulih yang juga merupakan salah satu tempat pemasaran kayu anggota. Kegiatan pemasaran hasil sudah dimasukkan ke dalam tujuan kelompok, sehingga kelompok akan mengupayakan pemasaran hasil yang semakin efektif. Sebagian besar responden menyatakan adanya kerjasama di dalam kelompok dalam pemasaran hasil hutan rakyat, misalnya sesama anggota KTH saling membantu untuk memberikan informasi harga dan hal lain yang dapat mempercepat bahkan meningkatkan nilai kayu tersebut di pasar.

Saluran pemasaran pohon/kayu yang ada di KTH Girimukti pada umumnya adalah anggota/petani hutan rakyat menjual kayunya ke penggergajian kayu yang sudah menjadi mitra kelompok, kemudian dari penggergajian kayu, dilanjutkan ke pembeli kedua/berikutnya. Pembeli kedua/berikutnya adalah pabrik kayu yang lebih besar seperti pabrik kayu yang berada di Kota Surabaya, Semarang, Banjar, Tegal, dan Bekasi. Selain pabrik kayu yang lebih besar, pembeli kedua/berikutnya juga merupakan pembeli yang datang langsung ke industri penggergajian kayu untuk membeli produk secara borongan atau eceran, seperti papan, balok, reng, kaso, palet, dan lain-lain.

Selain dijual ke penggergajian kayu, sebagian anggota ada yang menjual pohonnya secara borongan ke tengkulak. Hal ini sejalan dengan penelitian tentang petani hutan rakyat yang dilakukan Andayani (2003) yang menyatakan bahwa penjualan pohon/kayu oleh petani di beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Wonosobo masih dijual dalam bentuk pohon berdiri. Hasil hutan bukan kayu digunakan sendiri untuk kebutuhan pribadi atau ada juga yang menjualnya ke tengkulak yang berada di pasar Kecamatan Pamarican tanpa diolah terlebih

Dokumen terkait