• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA 1.Pengertian Jaminan Fidusia

2. Subjek Dan Objek Jaminan Fidusia a. Subjek Jaminan Fidusia

Subyek dari jaminan Fidusia antara lain :57

1. Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.

57

Tan Kamello,Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, op.cit., hal. 32.

2. Debitur adalah orang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.

3. Pemberi Fidusia adalah orang atau badan usaha yang memiliki benda jaminan fidusia.

4. Penerima Fidusia adalah bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang terhadap pemberi jaminan fidusia yang pembayarannya dijamin dengan benda jaminan fidusia dan harta kekayaan lainnya dari pemberi jaminan fidusia.

Sedangkan mengenai macam-macam obyek dari jaminan fidusia dapat dilihat dari pasal 1 butir 2 dan 4 serta pasal 3 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, yang disebutkan bahwa yang dapat dijadikan objek fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat berupa benda berwujud dan benda tidak berwujud, terdaftar atau tidak terdaftar, bergerak ataupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dibebani dengan hak tanggungan atau hipotek.58

b. Objek Jaminan Fidusia

Objek jaminan fidusia adalah benda sebagaimana Undang-Undang jaminan fidusia secara jelas menegaskan bahwa jaminan fidusia adalah

58

H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Penerbit PT.RajaGrafindo, Persada, Jakarta, 2004, hal. 86.

agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid atau security right in rem) yang memberikan kedudukan yang didahulukan kepada penerima fidusia, dimana hak yang didahulukan dari penerima fidusia ini menurut ketentuan pasal 1 butir 2 Undang-Undang fidusia tidak hapus dengan pailitnya pemberi jaminan fidusia tersebut.

Ketentuan dalam pasal 4 Undang-Undang fidusia ditegaskan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan atau eksesor (accesoir) dari suatu perjanjian pokok oleh karena itu maka sebagai akibat dari sifat aksesor ini adalah bahwa jaminan fidusia hapus demi hukum bilamana utang yang dijamin dengan jaminan fidusia hapus.

Pada ketentuan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatur bahwa selain benda yang sudah dimiliki pada saat dibuatnya jaminan fidusia, maka benda yang diperoleh dikemudian hari dapat juga dibebani dengan jaminan fidusia pada saat benda tersebut menjadi milik pemberi fidusia.

Mengenai bentuk perjanjian fidusia maka ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia menegaskan bahwa untuk perjanjian fidusia harus tertulis dan harus dibuat dengan akta notaris dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Jika yang dibuat adalah Akta bawah tangan atau perjanjian yang dibuat dibawah tangan, maka kekuatan pembuktiannya hanya antara para pihak dan apabila para pihak tersebut tidak menyangkal dan mengakui adanya

perjanjian mengenai pengakuan tanda tangannya di dalam perjanjian yang telah dibuat. Artinya salah satu pihak dapat menyangkal akan kebenaran tanda tangannya yang ada dalam perjanjian tersebut. Akta bawah tangan atau perjanjian yang dibuat dibawah tangan memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut :59

a. Bentuknya yang bebas;

b. Pembuatannya tidak harus dihadapan pejabat umum;

c. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak disangkal oleh pembuatnya;

d. Dalam hal harus dibuktikan maka pembuktian tersebut harus dilengkapi dengan saksi-saksi dan bukti lainnya dan oleh karena itu, biasanya dalam akta dibawah tangan, sebaiknya dimasukkan 2 (dua) orang saksi yang sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian;

Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu

bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”.

Kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya antara para pihak beserta para ahli warisnya atau para penggantinya.

Sedangkan di dalam Pasal 1871 KUHPerdata menyatakan :

59

“Suatu akta otentik namunlah tidak memberikan bukti yang sempurna

tentang apa yang termuat didalamnya sebagai suatu penuturan belaka, selain sekedar apa yang dituturkan itu ada hubungan langsung dengan pokok isi akta.

Jika apa yang termuat di situ sebagai suatu penuturan belaka tidak ada hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka itu hanya dapat berguna sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.

Pasal 13 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatur tentang :

(1) Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia; dan

(2) Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat : a. Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;

b. Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang memuat akta Jaminan Fidusia a. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

b. Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; c. Nilai Penjaminan; dan

(3) Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sedangkan bunyi pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu sebagai berikut :

(1) Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada Penerima Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.

(2) Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia memuat catatan tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (2).

(3) Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.

Dengan demikian melalui keharusan Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia ini telah memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang berbunyi :

(2) Dalam hal benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.

Mengingat bahwa pemberi fidusia tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan dialah yang memakai serta merupakan pihak yang sepenuhnya memperoleh manfaat ekonomis dari pemakaian benda tersebut, maka pemberi fidusialah yang bertanggung jawab atas semua akibat dan harus memikul semua risiko yang timbul berkaitan dengan pemakaian dan keadaan benda jaminan tersebut berdasarkan ketentuan pasal 24 Undang-Undang Fidusia.

Jaminan fidusia menganut prinsip kebendaan “droit de suite” sebagaimana telah diatur pada ketentuan pasal 20 Undang-Undang Fidusia. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal benda yang menjadi objek fidusia yang merupakan benda persediaan dan hak kepemilikannya dialihkan dengan cara dan prosedur yang lazim berlaku pada usaha perdagangan dan dengan memperhatikan persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 21 Undang-Undang Fidusia.

Dengan memperhatikan sifat dari jaminan fidusia sebagai perjanjian aksesoir dari suatu perjanjian pokok, maka demi hukum jaminan fidusia hapus apabila utang yang bersumber pada perjanjian pokok tersebut dijamin dengan fidusia hapus.

Berkaitan dengan ketentuan pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Fidusia maka hal tersebut diatur guna memberikan kepastian kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk melakukan pencoretan terhadap pencatatan jaminan fidusia dari Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi.

Menafsirkan bahwa yang harus didaftar adalah benda dan ikatan jaminan, yang akan sangat menguntungkan.60 Karena dengan terdaftarnya ikatan jaminan dan janji-janji fidusia secara langsung mengikat pihak ketiga. 3. Wanprestasi Dan Akibat Hukumnya

Prestasi atau yang dalam Bahasa Inggris disebut juga dengan istilah

performance”, dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu

pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah

mengingat diri untuk itu, pelaksana mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana dimaksudkan dalam kontrak yang bersangkutan.61

Ada beberapa macam para pihak yang tidak memenuhi prestasinya walaupun sebelumnya sudah setuju untuk dilaksanakan. Macam-macam wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi. b. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi. 60

J Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan kebendaan Fidusia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 247.

61

c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi.

d. Wanprestasi melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.62

Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut: a. Perikatan tetap ada

Kreditur masih dapat memenuhi kepada debitur pelaksanaan prestasi apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya;

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata);

c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegangan pada keadaan memaksa;

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata. Sebagaimana diketahui bahwa subjek-subjek dalam suatu perikatan itu terdiri atas pihak kreditur dan debitur. Pihak kreditur merupakan pihak yang 62

berhak atas pemenuhan prestasi, sedangkan pihak debitur adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan prestasi dari pihak kreditur. Namun, semuanya itu mungkin tidak dapat saja berjalan sebagaimana yang dikehendaki dimana dapat terjadi seorang debitur cidera janji atau lalai untuk memenuhi kewajiban. Alasan mengapa seorang debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain:

a. Karena pada diri debitur gagal memenuhi kewajibannya untuk berprestasi. Keadaan ini dinamakan wanprestasi.63

b. Sebab yang kedua mengapa debitur tidak dapat memenuhi prestasi kepada seorang kreditur dikarenakan adanya overmacht atau keadaan memaksa diluar kemampuan debitur. Keadaan wanprestasi itu tidak selalu bahwa seorang debitur tidak dapat memenuhi sama sekali seluruh prestasi. Mungkin saja seorang debitur hanya tidak tepat waktu dalam memenuhi prestasi atau tidak memenuhi prestasi yang baik. Perlu mendapat perhatian bahwa penilaian atas wanprestasi itu tidak dengan sendirinya ada, melainkan harus dinyatakan lebih dahulu bahwa debitur itu lalai. Pernyataan lalai tersebut dikenal dengan istilah ingebreke stelling atau sommatie yaitu pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur

63

Hartono Hadi Saputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Penerbit RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 43.

yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu yang pada pokoknya bahwa utang itu harus ditagih terlebih dahulu.

Dalam masyarakat ada kesan bahwa dalam hubungan antara bank dan nasabah debitur, bank selalu berada diposisi yang lebih kuat. Pada waktu kredit akan diberikan, pada umumnya memang bank dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan calon nasabah debitur. Hal tersebut karena pada saat pembuatan perjanjian itu, calon nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit dari bank. Umumnya calon nasabah debitur tidak akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank. Hal ini menyebabkan posisi tawar-menawar bank menjadi sangat kuat. Tetapi setelah kredit diberikan berdasarkan perjanjian kredit, ternyata kedudukan bank lemah. Kedudukan bank setelah kredit diberikan banyak bergantung kepada integritas nasabah debitur. Bila nasabah debitur tidak membayar kredit yang telah dipinjam maka memang bank perlu harus mencari penyelesaian melalui bantuan hukum. Untuk dapat melindungi kepentingan bank.

Kedudukan para pihak yang tidak seimbang itulah yang dimanfaatkan oleh pihak bank untuk membuat klausula-klausula

yang memberatkan nasabah debitur, sebaliknya pihak bank terlindungi oleh karenanya pihak nasabah debitur dibebani dengan sejumlah kewajiban dan merupakan hak-hak bank yang mesti dipenuhinya. Dengan kelemahan kedudukan nasabah debitur itulah pihak bank memanfaatkannya dengan lebih banyak membuat klausula-klausula yang tidak wajar dan tidak adil.

D. TINJAUAN UMUM TENTANG GIRO

Dokumen terkait