• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK TERHADAP NOVEL

5.2 Subjek Kolektif

Subjek kolektif merupakan istilah yang diberikan untuk menggantikan istilah masyarakat dalam kajian strukturalisme genetik. Subjek kolektif dalam kajian ini dibagi dua, yaitu subjek individual dan transindividual. Subjek individual merupakan subjek yang melakukan aktivitas bedasarkan emosi atau naluri libinal. Subjek ini berbeda dengan subjek transindividual, sebab subjek ini merupakan subjek yang melakukan aktivitas secara kolektif dalam kondisi sosialnya. Oleh karena itu, subjek ini disebut juga subjek kolektif, yaitu subjek yang mewakili atau merupakan perwujudan dari aspirasi dan aktivitas setiap individu dalam masyarakatnya.

Subjek kolektif dalam SAZZ dapat dilihat dari penggunaan nama pada tokoh dan kata

ganti. Dari penggunaan nama tokoh itu dapat diketahui bahwa subek SAZZ adalah realistik.

Subjek yang ditampilkan terdiri dari beragam yaitu subjek individual dan kolektif. Dari keseluruhan strukturasi SAZZ tersebut diperoleh gambaran, bahwa SAZZ lebih banyak

menggunakan nama tokoh daripada kata ganti yang merujuk makna lugas kekolektivitasannya.

Setelah meneliti penggunaan nama tokoh dalam kajian strukturalisme genetik ini diperoleh kenyataan, bahwa dalam SAZZ tidak semua merujuk kepada subjek individual. Hal

ini dikemukakan dari sudut tema individualitas dan tema kolektivitas. Demikian juga dengan suasana yang ditimbulkan oleh penggunaan nama lebih merujuk pada kehadiran bersama atau lebih merupakan perwakilan dari kelompok sosial.

Keberadaan subjek SAZZ merujuk pada kolektivitasan dapat dilihat dari pemanggilan

nama tokoh yang satu dengan tokoh yang lain seperti Bu Nauli memanggil suaminya Bang Lindung. Konsepsi pengarang menunjukkan Syamsuri menjadikan novelnya sebagai perwujudan aktivitas masyarakat Mandailing. Dalam strukturalisme genetik, perwujudan inilah yang dikategorikan sebgaai subjek kolektif.

5.2.1 Subjek Individual

Subjek individual dalam SAZZ karya Maulana Syamsuri mengandung fakta individual.

Subjek ini ditandai dengan adanya nama-nama tokoh seperti Bu Nauli, Bang Lindung, Tiurma, dan Bang Pandapotan.

Dari tokoh-tokoh tersebut ditemukan persesuaian antara fakta individual dengan subjek individual. Kesesuaian itu ditentukan oleh aktivitas libinal subjek individual yang secara konsekuen menghasilkan fakta individual. Hal ini berarti novel SAZZ yang mengandung

fakta individual merupakan cermin emosi dan nafsu tokoh-tokoh. Pencerminan ini menempatkan fakta individual dalam mempertinggi kualitas diri menghadapi masyarakatnya.

Subjek individual dalam novel SAZZ pada hakikatnya menampilkan empat karakter

manusia. Pertama, manusia religius yang melakukan transendensi atas dosa-dosanya di bumi. Kedua, manusia individualistik yang menjadikan diri sendiri sebagai pusat kehidupannya. Ketiga, pecinta sejati yang mensakralkan cinta terhadap kekasih sebagai amanah Tuhan. Keempat, pedamba anak yang menempatkan anak sebagai puncak kebahagiaan dalam rumah

tangganya.

Pertama, manusia religius. Manusia religius dapat dilihat dari sosok tokoh Bu Nauli yang senantiasa melakukan solat, puasa, dan membaca Al Qur’an. Manusia ini ditampilkan melalui watak yang takut kepada Tuhan. Rasa takut atau takwa ini merupakan hasil intropeksi subjek individual terhadap dosa-dosanya di bumi. Intropeksi ini dilakukan tanpa bantuan orang lain, sehingga aktivitas libidinal dapat dipusatkan untuk menemukan jatidirinya.

Perjalanan subjek individual menemukan jatidiri religius menempatkannya dalam dunia tragik. Hal ini diperlihatkan dari kegagalan berasimilasi dalam sikap menghayati alim ulama dengan sungguh-sungguh pada saat sadar diberi amanat menjadi khalifah di bumi. Subjek individual terus-menerus melakukan transendensi dengan pasrah.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Sungguh beda dengan Bu Nauli yang sama sekali tidak mempercayainya. Jauh di dasar hatinya yang paling dalam, dia tidak dapat menerima ritual itu. Sama sekali Bu Nauli tidak percaya lelaki itu terbang ke Pusuk Buhit dalam sesaat. Juga tidak percaya sang dukun berdialog dengan roh-roh halus bukit itu. Sulit untuk diterima akal sehat Ompung Datu memetik tumbuhan ramuan di Pusuk Buhityang terletak di Pulau Samosir dan harus menyebrangi Danau Toba. Lebih tidak percaya lagi Ompung Datu mengatakan, bahwa dalam dirinya melekat begu jahat. Dalam hati, Bu Nauli hanya mengucap Istighfar berkali-kali, bahkan beribuan kali.” (SAZZ, 2005:45)

Kedua, manusia individualistik. Manusia ini ditampilkan terlalu mementingkan diri sendiri dan menjadikan diri sendiri sebagai pusat alasan hidupnya. Wujud manusia seperti ini ditandai dengan tidak mau menyalahkan orang lain dan berusaha menilik diri sendiri dalam menyelesaikan persoalan hidupnya.

itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Andainya suatu saat Bang Lindung harus menikah lagi, dia hanya berharap Bang Lindung tetap mencintainya. Biarlah dua malam bersama isterinya yang mampu memberinya keturunan dan satu malam lagi di sisinya. Bu Nauli akan lebih banyak mengalah nanti.” (SAZZ, 2005:58)

diri sendiri. Penampilan itu telah membentuk jati diri manusia yang toleran dan harmonis dalam hidupnya.

Keberadaan subjek individual yang mengutamakan diri sendiri diperlihatkan dari sikap Bu Nauli yang pasrah dan berserah. Sikap tersebut merupakan cermin individualistik manusia menghadapi kondisi sosial dan individualnya. Sikap ini dapat dilihat dari keegoisan individu untuk tetap mengendalikan diri sesuai kemampuan diri sendiri.

Ketiga, pecinta sejati. Subjek individual ii merupakan transformasi manusia religius. Hal ini disebabkan subjek individual ini mengarahkan rasa cinta kepada kekasih seperti rasa cinta kepada Tuhan. Hal yang membedakan adalah Tuhan bersifat mahaabstrak dan sakral sedangkan kekasih bersifat konkret dan tidak sakral.

Keteguhan subjek individual mempertahankan cinta sejati kepada kekasihnya diperlihatkan pada kutipan “Namun Bu Nauli hanya mampu pasrah kepada Tuhan. Hanya mampu berdoa dan memohon agar Bang Lindung tetap setia dan tetap selalu berada di sisinya.” (SAZZ, 2005:53). Pecinta sejati dalam kutipan diperlihatkan secara eksplisit melalui

doa untuk setia sampai meninggal dunia. Ekspresi cinta ini menempatkan manusia sebagai kekasih dalam sikap religius.

Keempat, pedambaan anak. Manusia pedamba anak memiliki keyakinan bahwa puncak kebahagiaan berumah tangga terletak pada kehadiran seorang anak. Pandangan seperti ini dalam novel SAZZ telah menghadirkan rasa sabar, sayang, dan rindu dalam duka dan

meminta belas kasih. Itu diperlihatkan pada kutipan di baawah ini,

“Padahal Bu Nauli sudah amat merindukan kehadiran seorang bayi. Dia sudah amat ingin memberikan asi kepada bayi yang lahir dari rahimnya sendiri. Padahal perkawinannya sudah berlangsung lebih delapan tahun. Berbagai usaha dan cara sudah ditempuh pasangan suami isteri itu.” (SAZZ, 2005:11)

Keberadaan anak dalam percintaan dan rumah tangga subjek individual telah membangkitkan suka dan dukanya. Keinginan itu ternyata tidak mampu menepis duka,

sehingga hasrat libidinal subjek individual terus-menerus mengumandangkan kebahagiaan memiliki anak. Kehadiran anak diyakini akan menepiskan kedukaan.

Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Bu Nauli selalu termenung. Selalu terbayang di pelupuk matanya betapa indahnya menimang bayi, memberinya asi, menidurkannya diiringi dendang “bue-bue” atau meninabobokkan serta mengajaknya bermain-main setelah berusia dua atau tiga tahun.” (SAZZ, 2005:15)

5.2.2 Subjek Transindividual

Subjek transindividual dalam novel SAZZ karya Maulana Syamsuri ditemukan kutipan

yang mengandung kritik sosial dan kemanusiaan. Kutipan-kutipan itu dihubungkan dengan fakta sosial. Fakta sosial itu dijalin dengan sandaran kritik sosial dan kemanusiaan sehingga subjek transindividual memiliki kemungkinan lebih luas dalam melakukan kritik yang seimbang. Hal ini relevan dengan fakta kemanusiaan sebagai hasil usaha manusia mencapai keseimbangan hidup dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, struktut sosial yang dihasilkan subjek transindividual akan lebih harmonis dan saling menguntungkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Subjek transindividual SAZZ dapat dikenal melalui aktivitas tokoh. Aktivitas tersebut

merupakan perwujudan aktivitas fisik dan verbal suatu kelompok masyarakat. Aktivitas yang menonjol adalah kritik terhadap pemegang kekuasaan dan kekayaan serta pemakluman terhadap nasib orang miskin dan tertindas. Di antara kedua pihak yang bertentangan kondisi inilah subjek transindividual melakukan aktivitas kolektifnya, sehingga dapat mengakomodasikan diri dalam struktur masyarakat yang mengalami kerusakan moral.

Pengakomodasian diri menjadi cara hidup yang dipilih subjek transindividual dalam novel

SAZZ karya Maulana Syamsuri. Hal ini disebabkan kesulitan subjek transindividual

melakukan asimilasi dalam kondisi sosial yang tidak dielaborasikan. Itu dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Nauli hanya tersenyum. Dia tidak pernah merasa iri meski pun tingkat kehidupan sahabatnya jauh lebih baik. Nauli sudah cukup bahagia meskipun hidup sederhana sebagai guru di desa dan suaminya cuma pemilik mobil tua yang selalu mengangkut hasil panen. Bu Nauli merasa cukup bahagia kalau hari minggu menerima uang storan dari suaminya setelah mobil tua itu dicarter oleh warga desa untuk menghadiri pesta di desa lain yang jauh letaknya.” (SAZZ, 2005:33)

Aktivitas itu memperlihatkan subjek individual yang merupakan bagian dari subjek kolektif merasa bahagia hidup sederhana di dalam masyarakat desa. Kehidupan sederhana merupakan akibat penolakan subjek transindividual berasimilasi dalam struktur masyarakat yang hidup mewah.

Perwujudan subjek transindividual dapat dilihat dari keberadaan subjek kolektif sebagai kehadiran bersama dalam persoalan lingkungan hidup. Masyarakat desa yang masih menjaga lingkungan disekitarnya dan melestarikan lingkungan dalam novel SAZZ menjadi wujud

kebersamaan di dalam masyarakat. Perwujudan tersebut mengakibatkan terciptanya alam desa yang masih indah dan terawat. Hal itu dikarenakan masyarakat desa memiliki nilai tanggung jawab bersama.

Dokumen terkait