• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV BANTUAN HUKUM ADVOKAT

1. Substansi Bantuan Hukum Dalam Menangkis Gugatan

Substansi Bantuan hukum dalam menangkis gugatan antara lain :

a. Timbulnya transaksi jual-beli berawal dari hutang piutang antara Penggugat dengan Tergugat I.

Gugatan dengan bukti-bukti yang diajukan terdapat ketidak sinkronan, dimana dalil gugatan Penggugat adalah tentang jual-beli sementara bukti-bukti sebagai pendukungnya justru tentang hutang piutang. Bukti yang diajukan penggugat tidak sesuai dengan gugatan yang di tujukan kepada Tergugat, hal ini dibuktikan dengan Bukti P-1 dan P-2, antara lain:

Bukti P-1 berupa pengakuan hutang tertanggal 24 Agustus 2006 yang menerangkan Tergugat I mengaku mempunyai hutang kepada Penggugat berupa :

- 1(satu) buah mobil dengan nilai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

- 1(satu) buah sepeda motor dengan nilai Rp 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah)

- Uang (gadai perhiasan) sebesar Rp 85.000.000,-(delaan puluh lima juta rupiah)

- Bunga uang gadai selama 5(lima) bulan sebesar Rp 12.750.000,- (dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

Bukti P-2 berupa surat penyelesaian hutang tertanggal 24 Agustus 2006, yang menerangkan Tergugat I aan mengembalikan sebagian dari pinjaman kepada Penggugat sebesar Rp 85.000.000,-(delaan puluh lima juta rupiah).

Bukti-bukti P-1 dan P-2 serta keterangan saksi Penggugat telah dapat dibuktikan dan benar, bahwa Tergugat I mempunyai hutang kepada Penggugat.

b. Adanya paksaan dalam perjanjian

Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sub bab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu :

1) Paksaan

2) Kekhilafan, dan 3) Penipuan.

Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa ( psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Jadi kalau seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda tangan di bawah sepucuk surat perjanjian, maka itu bikanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan di sini, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang

dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya, sedangkan yang dipersoalkan di sini adalah orang yang memberikan persetujuan (perizinan). 16

c. Tidak ada penyerahan surat-surat tentang hak yang berkenaan dengan bangunan tersebut

Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu menjadi milik si pembeli. Jadi, penyerahan (levering) itu, suatu perbuatan hukum yang harus dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu ke orang lain,dari si penjual kepada si pembeli. Kita sudah melihat bahwa menilik macam-macamnya barang yang harus diserahkan itu dalam hukum perdata ada tiga macam dalam penyerahan (barang bergerak, barang tak bergerak, dan piutang atas nama).

Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan harus dipikul oleh si pembeli, juka tidak diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1476 KUHPerdata).

Penyerahan harus dilakukan di tempat dimana barang yang diperjual belikan itu berada, pada waktu ditutupnya perjanjian jual-beli tersebut, jika tentang itu tidak ada perjanjian lain (Pasal 1477 KUHPerdata).

Barang harus diserahkan dalam keadaaan dimana ia berada pada saat ditutupnya perjanjian jual-beli. Sejak saat itu segala hasil menjadi kepunyaan si pembeli (Pasal 1481 KUHPerdata)

16Ibid, h. 23

Sebagaimana diketahui dalam hukum benda mengenai penyerahan barang tidak bergerak, terjadi dengan pengutipaan sebuah ”akta transport”, dalam register tanah di depan pegawai balik nama (Ordonansi Balik Nama L.N 1834/27). Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (Undang- undang No.5 Tahun 1960) dengan pembuatan akta jual beli oleh pejabat pembuat akta tanah. Tanpa ada penyerahan maka hak milik tidak akan berpindah dengan sendirinya walaupun telah melakukan perjanjian jual - beli.

Hak milik belum berpindah pada pihak tergugat karena perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja, jual-beli itu belum memindahkan hak milik, dikemukan mengenai sifat jual-beli dari Pasal 1459 KUHPerdata yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan

d. Landasan suami istri, istri menjual rumah telah mendapat persetujuan suami

Sesuai Pasal 1320 ayat 2 KUHPerdata “cakap untuk membuat sutu perjanjian”, Orang yang membuat pejanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah seagai berikut :

1. Orang-orang yang belum dewasa

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Duduk perkara dalam perjanjian jual-beli rumah antara Turut Tergugat dan Tergugat I adalah sah karena Tergugat I telah dapat ijin dari sang suami yaitu Tergugat II untuk melakukan jual-beli rumah. Hal ini didukung oleh Pasal 108 KUHPerdata yaitu seorang perempuan yang bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya.

e. Perjanjian Jual-beli antara turut Tergugat dengan tergugat I dilakukan dihadapan notaris

Perjanjian jual-beli rumah antara Turut Tergugat dengan Tergugat telah terjadi kesepakaan sebelumnya dan perjanjian jual-beli rumah tersebut dilakukan dihadapan notaris.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang – undang ini( Pasal 1 angka 1 UU no.30 tahun 2004).

Tugas dan kewenangan Notaris ini diatur dalam pasal 15 UU no.30 tahun 2004 ayat 1, yaitu :

“Notaris berwenang juga membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang”

Perjanjian agar dilakukan dihadapan notaris guna mendapatkan kepastian hukum mengenai perjanjian yang dibuat.

f. Perjanjian jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I dilakukan perjanjian di bawah tangan.

Perjanjian yang dibuat hanya antara para pihak saja, yaitu Pihak Penggugat dan Tergugat I tanpa dihadiri atau dibuat dihadapan notaris sehingga tidak ada kepastian hukum mengenai perjanjian yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat I.

g. Tidak adanya itikad baik yang ditunjukkan Penggugat

Pihak Penggugat ingin memiliki obyek bangunan berupa rumah milik Tergugat, karena Tergugat dianggap belum sanggup untuk melunasi hutangnya, usaha yang dilakukan oleh pihak tergugat yaitu mengalihkan perjanjian utang piutang kepada perjanjian jual-beli, tentu hal ini merupakan suatu usaha untuk merubah esensi dari perjanjian pokok, yang pada awalnya adalah perjanjian hutang piutang berubah menjadi perjanjian jual beli, disini kuasa hukum tergugat menyimpulkan tidak adanya itikad baik yang ditunjukkan oleh pihak Penggugat dalam melakukan perjanjian jual beli. Yang dimaksud dengan itikad baik dala Pasal 1338 BW adalah

pelaksaanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Apabila yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu undang-undang tidak memberikan rumusannya, tapi jika dilihat dari arti katanya kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian kecocokan, sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari kata-kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab sebagaimana sama- sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Jika terjadi selisih pendapat tentang pelaksanaan itikad baik, hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutam dan kesusilaan itu. Ini berarti bahwa hakim berwenang menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya apabila pelaksanaan menurut kata-kata itu bertentangan dengan itikad baik yaitu norma kepatutan dan kesusilaan. Pelaksanaan yang sesuai dengan norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil. Tujuan hukum adalah menciptakan keadilan.

Menurut Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (dalam bahasa Belanda tegoeder

trouw; dalam bahasa Inggris in good faith, dalam bahasa Prancis de bone

foi). Norma yang dituliskan di atas ini merupakan suatu sendi yang terpenting dalma hukum perjanjian. Apakah artinya, bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik itu?.

Pertama, mengenai istilah itikad baik, diterangkan bahwa kita menjumpai istilah tersebut dalam hukum benda, dimana misalnya ada perkataaan-perkataan memegang barang yang beritikad baik, membeli barang yang beritikad baik dan lain sebagainya sebagai lawan dari orang- orang yang beritikad buruk. Seorang membeli barang yang beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual sungguh-sungguh pemilik sendiri dari barang-barang yang dibelinya itu. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia membeli dari seorang yang bukan pemilik. Ia adalah seorang pembeli jujur. Dalam hukum benda, diganti dengan itikad baik yang berarti kejujuran atau bersih. Si pembeli yang beritikad baik adalah orang yang jujur, orang yang bersih, ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya. Artinya cacat mengenai usul-usulya. Dalam hukum benda itu itikad baik adalah suatu anasir subyektif. Bukan anasir subyektif inilah yang dimaksudkan oleh Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata tersebut di atas bahwa semua perjanjian harus ilaksanakan dengan itikad baik. Yang dimaksudkan, pelaksanaan itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksaan tadi. ”Pelakasanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar”. 17

Dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksaaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan

17Ibid., h. 41

itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, mana kala pelaksaan menurut huruf itu akan bertentangan dengan itikad baik. Kalau ayat ke satu Pasal 1338 KUHPerdata dapat kita pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji tu mengikat), maka ayat ke tiga ini harus kita pandang sebagai suatu tuntutan keadilan.

Bahwa hakim dengan memakai alasan itikad baik itu dapat mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam suatu perjanjian, dalah suatu hal yang sudah diterima oleh hogeraad di negeri Belanda. Pokoknya dengan pedoman bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, hakim berkuasa mencegah suatu pelaksanaan yang terlalu amat menyinggung rasa keadilan. 18

2. Alasan-alasan Tangkisan Tergugat

Alasan-alasan tangkisan tergugat antara lain : a. Tergugat memiliki hutang kepada Penggugat

Tergugat memiliki hutang pada tergugat, antara lain berupa :

- 1(satu) buah mobil dengan nilai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

- 1(satu) buah sepeda motor dengan nilai Rp 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah)

- Uang (gadai perhiasan) sebesar Rp 85.000.000,-(delapan puluh lima juta rupiah)

18Ibid., h. 43

- Bunga uang gadai selama 5(lima) bulan sebesar Rp 12.750.000,- (dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

Tergugat I menerangkan pada Penggugat bahwa akan mengembalikan sebagian dari pinjaman kepada Penggugat sebesar Rp 85.000.000,- (delapan puluh lima juta rupiah).

b. Adanya bentuk paksaan oleh Penggugat terhadap Tergugat I agar melaksanakan transaksi jual-beli dihadapan pengurus RT/RW.

Tergugat mengalami kendala dalam melunasi utang, Tergugat merasa dirinya terpaksa dalam melakukan perjanjian jual-beli rumah karena Tergugat merasa dirinya ditekan agar segera melunasi hutangnya kepada Penggugat., sehingga Penggugat menginginkan agar dilakukan jual-beli atas bangunan berupa rumah milik Tergugat

c. Transaksi jual-beli anatara Tergugat I dan Turut Tergugat dilakukan dihadapan notaris

d. Transaksi tersebut antara Penggugat dan Tergugat I dilakukan di bawah tangan/tidak dihadapan pejabat yang berwenang.

Transaksi jual-beli antara Penggugat dan Tergugat tidak melalui notaris melainkan Penggugat dan Tergugat melakukan perjanjian di bawah tangan

e. Transaksi jual-beli tidak disertai adanya penyerahan surat-surat asli atas obyek tersebut dan Transaksi jual-beli tidak ada penyerahan fisik atau obyek

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa pendaftaran tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga sesuai

dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian BW, perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak telah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. Menurut Subekti, asas tersebut harus disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu Pasal yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjiian dan tidak dari pasal 1338 (1) KUHPerdata seperti diajarkan oleh beberapa penulis karena dengan kata lain kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Perjanjian yang dibuat secara sah itu diberikan oleh Pasal 1320 KUHPerdata dengan hanya mengenai ketentuan pertama yaitu sepakat saja disebutkan tanpa dituntut suatu bentuk/cara (formalitas) apapun. Sepertinya dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai kata sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang yang membuatnya

b. Jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat

untuk membayar yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain, membayar harga yang telah disetujuinya

jual-beli atas sebidang tanah dan bangunan yang terletak di Jl. Dharmawangsa VII/20-A Surabaya yang didasarkan pada hutang piutang tidak dapat dibenarkan dan dapat dikatakan tidak sah sesuai Pasal 1320 BW didukung dengan putusan Mahkamah Agung RI No. 2584.K/Pdt/1988 tanggal 4 April 1988, yang menyatakan:

o Suatu akta pengakuan hutang yang memuat klausul milik beding yaitu

tanah akan jatuh menjadi milik kreditor apabila debitur tidak membayar hutang secara umum tidak dapat dibenarkan, begitu pula pemberian kuasa mutlak tidak dapat dibenarkan

c Substansi Bantuan hukum dalam menangkis gugatan antara lain :

1.) Timbulnya transaksi jual-beli berawal dari hutang piutang antara Penggugat dengan Tergugat I.

2.) Adanya paksaan dalam perjanjian

3.) Tidak ada penyerahan surat-surat tentang hak yang berkenaan dengan bangunan tersebut

4.) Landasan suami istri, istri menjual rumah telah mendapat persetujuan suami

5.) Perjanjian Jual-beli antara turut Tergugat dengan tergugat I dilakukan dihadapan notaris

6.) Perjanjian jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I dilakukan perjanjian di bawah tangan.

7.) Tidak adanya itikad baik yang ditunjukkan Penggugat 2. Saran

a. Seharusnya apabila pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian jual- beli dapat menaati dan memenuhi aturan-aturan yang terdapat dalam perjanjian yang telah dibuatnya.

b. Hakim harusnya cermat dalam pertimbangan hukum tidak terpengaruh oleh adanya upaya penggiringan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bermaksud mengaburkan kenyataan yang sebenaranya dan membutakan mata keadilan.

c. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak harusnya dilandasi dengan suatu sikap itikad baik, sebab suatu perjanjian yang dilandasi dengan itikad baik oleh para pihak tidak akan menimbulkan akibat hukum.

DAFTAR BACAAN

Abdulkadir, Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2000.

www.legalitas.org, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang diakses tanggal 26 Mei

2010.

______, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 1992 tentang

Perumahan dan Pemukiman, yang diakses tanggal 26 Mei 2010.

______, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang

Advokat, yang diakses tanggal 26 Mei 2010.

______, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang diakses tanggal 26 Mei 2010

______, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau biasa disebut UUKPKPU

(Undang-undang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), yang diakses

tanggal 26 Mei 2010.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,

PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2004.

Marwan,M. dan P, Jimmy, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Universitas

Indonesial, Jakarta, 1986

R. Subekti., Aneka Perjanjian, Cetakan X, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 ________., Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Bandung, 2005

________., Pokok-pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2001

Subekti dan R.Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT.Pradia Paramita, Jakarta, 2006.

Suharmoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisis Kasus, Kencana, Jakarta, 2004

Prodjodikoro,Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000

Dokumen terkait