Studi Kasus Tentang Putusan Jual Beli Rumah
di Pengadilan Negeri Surabaya
SKRIPSI
Oleh :
RUDY SETIAWAN
NPM. 0671010106
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR SURABAYA
di Pengadilan Negeri Surabaya
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
UPN “Veteran”Jawa Timur
Oleh :
RUDY SETIAWAN
NPM. 0671010106
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR SURABAYA
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karuniaNya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI BERDASAR PADA
PERJANJIAN UTANG PIUTANG SEBAGAI PERJANJIAN POKOK Studi Kasus Tentang Putusan Jual Beli Rumah di Pengadilan Negeri Surabaya.
Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir
yaitu penyusunan skripsi. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu, khususnya kepada :
1. Bapak Haryo Sulistyantoro, S.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang selalu siap
membantu penulis serta selalu memberikan pengarahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik..
2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek II Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan selaku Dosen Pembimbing
Kedua yang membantu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini..
3. Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
kepada peneliti dalam pembuatan skripsi ini, sehingga dalam hal ini peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
5. H.M. Ibnu Hadjar, S.H., M.M selaku Mantan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang selalu
membantu memberikan dukungan dan bimbingan serta pengarahan kepada
Mahasiswa Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jatim
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
7. Bapak Soetomo, S.H., M.Hum selaku pemilik kantor advokat yang
memberikan peneliti ruang serta tempat untuk melakukan praktik magang
serta selalu sabar dan selalu menyediakan waktu serta kesempatan kepada
penulis untuk bertanya dan berkonsultasi, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Soedarmadi dan Ibu Rurit Tjahyaningsih
SPd., MSi., yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil serta
doanya selama ini.
9. Adik tercinta, Novy Rachmawati yang selalu siap membantu mengetik bila
peneliti lelah.
10.Sahabat yang selalu bersedia berbagi ilmu Prama Priyahita S.H., atas saran
skripsi ini.
12.Adi Adrian dan Christianto Aji C.N. Teman satu team yang selalu saling
bantu-membantu dan memberikan saran sebagai masukan di dalam pembuatan
skripsi ini.
13.Kawan-kawan semester VII,. Wawan, Adhitama, Riskan Samcong, Sigit Pri,
Yudi, Yudhian, Adit W, Pringgo, Koko, Angga, Acep, Eka, Ruben, Fadoli,
Rio, Alfian, Adept, Deni Ag, Deni At, Helmy, Farit K, Farit A, Intan, Iqbal,
Amel, Tika, Indah, Kiki, Maya, Leny, Argo, Ardi, Ricky, Shinta, Vita, Devi,
Amanda, Ivannius Tuba, Niken, Echa, Nanda, Munir, C-Nyo, Rois, Taufiq,
Resa, Bagus, Jefry, Gufron, Ishak, Praja, Bori, Rey Dkk, serta maaf apabila
tidak semua nama dapat disebutkan dan tidak ada unsur kesengajaan hanya
tidak dapat mengingat secara keseluruhan.
Peneliti menyadari bahwa ibarat ”Tiada Gading yang Tak Retak“, maka
peneliti berharap semoga skripsi ini dapat menjadi momentum awal yang berharga
dan bermanfaat bagi perkembangan disiplin ilmu terutama dalam bidang Ilmu
Hukum serta tegaknya hukum di Indonesia.
Surabaya, Juni 2010
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI . .... ... iv
ABSTRAK... ... vi
BAB I PENDAHULUAN ...1
1. Latar Belakang Masalah...1
2. Rumusan Masalah...6
3. Tujuan Penelitian ...6
4. Manfaat Penelitian ...6
5. Kajian Pustaka ...7
6. Metode Penelitian ... 14
7. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II PERJANJIAN JUAL-BELI BERDASAR PERJANJIAN UTANG PIUTANG ... 19
1. Perjanjian Hutang Piutang Sebagai Perjanjian Pokok ... 19
2. Terjadinya Perjanjian Jual-Beli ... 23
BAB III PUTUSAN HAKIM ATAS JUAL-BELI RUMAH ... 27
1. Keabsahan Perjanjian Jual-Beli Rumah... 27
2. Dasar Pertimbangan Hakim ... 33
BAB IV BANTUAN HUKUM ADVOKAT TERHADAP TERGUGAT ... 37
1. Kesimpulan... 48
2. Saran ... 50
DAFTAR BACAAN DAFTAR LAMPIRAN
Pengadilan Negeri, Putusan No.594 / Pdt. G / 2008 Surabaya tentang Jual-Beli
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah perjanjian jual-beli rumah berdasarkan pada perjanjian hutang piutang sebagai perjanjian pokok dapat berlangsung, dan mengetahui pertimbangan hakim tentang jual-beli rumah, serta mengetahui dasar alasan-alasan pertimbangan advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pihak tergugat
Jenis penelitiannya adalah hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau penelitian hukum kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang merupakan pendekatan dengan tujuan mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti. Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder yaitu data dari penelitian kepustakaan. Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi pustaka yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku dan dari sumber-sumber data sekunder. Metode yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah Editing yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan.Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari kasus–kasus individual nyata ke hal yang umum-abstrak.
Perjanjian jual-beli dapat terjadi cukup dengan kata sepakat antara para pihak yang menyelenggarakannya, tetapi agar mempunyai kekuatan hukum, tentu harus dibuatkan akta jual-beli oleh pejabat yang berwenang. Dalam berlangsungnya perjanjian jual-beli rumah yang perlu diperhatikan yaitu, sepakat mengenai barang dan harga atau dilakukan secara tunai dan terang, dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta jual-beli, dan didaftarkan di Badan Pertanahan untuk perolehan haknya (hak atas tanah.).
Perjanjian jual-beli adalah perjanjian pokok dalam perjanjian jual-beli rumah pada umumnya, namun bagaimana jika dalam suatu perjanjian jual-beli tersebut didasari dengan perjanjian utang-piutang sehingga perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang ?
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual-beli berdasar utang-piutang sebagai perjanjian pokok dalam pelaksanaannya tidak dapat terjadi, karena Perjanjian pokoknya adalah utang piutang dan obyek berupa rumah tidak dijaminkan sebelumnya sebagai jaminan hutang.
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan
teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor
penting dalam peningkatan harkat dan martabat mutu kehidupan serta
kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Semakin bertambahnya tahun dan dengan semakin majunya
perkembangan jaman, jumlah penduduk Indonesia, khususnya kota Surabaya
mengalami peningkatan yang cukup banyak. Dengan semakin banyaknya
penduduk, maka kebutuhan akan tanah dan bangunan/rumah juga semakin
tinggi.
Tanah sebagaimana sudah dijelaskan dalam UUPA bahwa tanah itu
hanya merupakan salah satu bagian dari bumi, di samping ditanam di bumi
ataupun di tubuh bumi. Pasal 1 ayat 2 PP 24 tahun 1997, maka dinyatakan
bahwa bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan
bidang yang terbatas, dan itu saja yang merupakan obyek dari pendaftaran
tanah di Indonesia
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
kebutuhan primer manusia selain pangan dan sandang. Sebagian orang
menganggap mempunyai rumah adalah suatu kemewahan yang akan sulit
untuk dijangkau, namun sebagian orang menganggap bahwa rumah merupakan
kebutuhan utama yang harus dimiliki terlebih dahulu dalam membangun suatu
keluarga, tidak peduli sederhana atau mewahkah rumah yang akan dihuni.
Rumah merupakan obyek yang sering diperjanjikan dalam masyarakat
dan telah diatur dalam lingkup hukum perjanjian. Pengertian perjanjian ada
dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan sumber perikatan ada dalam Pasal 1233
KUHPerdata. Perbedaan antara perjanjian dan perikatan yaitu perjanjian
adalah peristiwa hukum dan perikatan adalah hubungan hukum. Hukum
perjanjian dianggap paling penting, karena hukum perjanjian paling diperlukan
dalam lalu lintas hukum sehari-hari dan dalam suasana mengodifikasi hukum
nasional sekarang ini, tidak akan mengalami banyak perubahan, di dalam
hukum perjanjian terdapat macam-macam perjanjian yang salah satunya
adalah perjanjian jual-beli.
Sebagaimana diketahui berlangsungnya jual-beli pada umumnya yang
perlu diperhatikan harus ada kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat
mengenai harga dan ada barangnya atau dilakukan secara tunai dan terang. Hal
ini didukung oleh Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat syahnya perjanjian
yang pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Adanya sepakat
atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki
oleh pihak satu, juga dikehendaki oleh pihak lain.
Transaksi jual-beli yang terjadi antara penjual dan pembeli kadangkala
mengalami hambatan di dalam realisasi transaksinya. Penjual dan pembeli
sudah sepakat dan setuju untuk melakukan penjualan dan pembelian, namun
ada hal-hal yang masih belum lengkap dalam rangka memenuhi syarat-syarat
penjualan tersebut.
Misalnya saja sertifikat tanah yang bersangkutan sedang dalam proses
pengurusan pada Badan Pertanahan setempat, atau Sertifikat Tanah tersebut
masih dalam jaminan bank atau uang pembeli belum mencukupi sehingga
pembayaran dilakukan dengan cara bertahap dan alasan-alasan lain yang
menyebabkan transaksi penjualan tersebut belum dapat diselesaikan secara
sepenuhnya. Untuk itu biasanya diadakan suatu perjanjian yang
dapat mengikat kedua belah pihak, di mana penjual dan pembeli berjanji dan
mengikatkan diri untuk melakukan jual beli sampai terpenuhinya segala
sesuatu yang menyangkut jual beli tersebut. Baik dari segi kelengkapan
surat-surat tanahnya maupun pembayarannya. Perjanjian seperti ini biasanya disebut
perikatan jual beli. Realisasinya adalah penjual dan pembeli membuat suatu
akta perikatan jual beli dimana akta ini merupakan akta notaris dan bukan akta
PPAT. Karena syarat-syarat bagi terpenuhinya suatu jual beli tanah belum
sepenuhnya dapat dipenuhi baik oleh penjual maupun pembeli.
Dalam Akta Perikatan Jual Beli (Pengikatan Jual Beli) ini dicantumkan
bukan akta Jual Beli (PPAT) mengingat salah satu pihak belum dapat
memenuhi syarat-syaratnya sedangkan keduanya telah setuju untuk melakukan
transaksi Jual Beli. Selain itu juga dicantumkan harga jual yang telah
disepakati, cara pembayarannya dan hal lainnya yang terkait.
Dalam Akta Perikatan Jual Beli tersebut juga dicantumkan kuasa-kuasa
yang diberikan kepada Pembeli. Kuasa ini gunanya adalah untuk memberikan
kemudahan kepada Pembeli apabila ia akan melakukan pengurusan Balik
Nama (biasanya melalui kantor PPAT) pada sertifikat tanah yang
bersangkutan pada saatnya nanti. Jadi penjual memberikan kuasa kepada
Pembeli walaupun tanpa dihadiri atau diurus langsung oleh Penjual untuk
melakukan segala sesuatunya yang menyangkut proses pengurusan maupun
hal lainnya dalam kaitannya dengan Balik Nama sertifikat tanah tersebut ke
atas nama Pembeli. Penjual tidak perlu direpotkan untuk mengurus
kepentingan Pembeli nantinya.
Perjanjian jual-beli dapat terjadi cukup dengan kata sepakat antara
para pihak yang menyelenggarakannya, tetapi agar mempunyai kekuatan
hukum, tentu harus dibuatkan akta jual-beli oleh pejabat yang berwenang.
Dalam berlangsungnya perjanjian jual-beli rumah yang perlu diperhatikan
yaitu, sepakat mengenai barang dan harga atau dilakukan secara tunai dan
terang, dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta
jual-beli, dan didaftarkan di Badan Pertanahan untuk perolehan haknya (hak
Perjanjian jual-beli adalah perjanjian pokok dalam perjanjian jual-beli
rumah pada umumnya, namun bagaimana jika dalam suatu perjanjian jual-beli
tersebut didasari dengan perjanjian utang-piutang sehingga perjanjian
pokoknya adalah perjanjian utang piutang ?. Hubungan hukum yang
diwujudkan oleh perutangan senantiasa terdapat sekurang-kurangnya dua
orang, kreditur (yang berpiutang) dan debitur (yang berutang). Dalam
perikatan ada pihak kreditur yaitu yang berhak atas prestasi dan pihak debitur
yang berkewajiban untuk berprestasi. Pada pihak debitur terdapat schuld yaitu
hutang atau kewajiban berprestasi tergantung dari perikatannya dan ada
haftung jaminan untuk pelunasan hutang yaitu jaminan yang ditentukan dalam
Pasal 1131 KUHPerdata. Subyek perikatan kreditur dan debitur sedangkan
obyek perikatan yaitu prestasi yang ada dalam Pasal 1234 KUHPerdata yaitu:
memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Jual-beli dan
utang piutang merupakan perjanjian yang berbeda.
Ada beberapa contoh kasus yang berhubungan dengan perjanjian
jual-beli berdasar pada utang piutang sebagai perjanjian pokok yang terdapat dalam
ringkasan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tentang jual-beli rumah adalah
sebagai berikut, HJ.Siti Rochma (Penggugat) mengajukan gugatan kepada
Sudarmi (Tergugat I), Sumarwan (Tergugat II) dan Liana Saraswati (turut
Tergugat) atas bangunan yang terletak di JL. Dharmawangsa VII/20A,
Surabaya, Penggugat dan Tergugat I dan Tergugat II terikat perjanjian utang
piutang, karena Tergugat I mengalami masalah pembayaran, Penggugat
JL. Dharmawangsa VII/20A, Surabaya, akan tetapi sebelum terjadi penyerahan
akan rumah tersebut Tergugat I menjual kembali rumah tersebut kepada turut
Tergugat diikuti dengan penyerahan rumah kepada turut Tergugat.
2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka masalah dirumuskan
sebagai berikut:
a. Dapatkah perjanjian jual beli rumah berdasar perjanjian utang piutang?
b. Mengapa hakim memutuskan pembatalan atas jual-beli rumah?
c. Bagaimanakah bantuan hukum advokat terhadap tergugat?
3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :
a.Untuk mengetahui dan menganalisis apakah perjanjian jual-beli rumah
berdasarkan pada perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok dapat
berlangsung.
b.Untuk mengetahui dan menganalisis dasar alasan-alasan pertimbangan
hakim tentang jual-beli rumah
c.Untuk mengetahui dan menganalisis dasar alasan-alasan pertimbangan
advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pihak tergugat
4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian skripsi ini adalah :
aManfaat Teoritis :
Agar substansi penyelesaian sengketa di bidang hukum perjanjian jual-beli
pokok dapat berguna bagi perkembangan hukum perjanjian khususnya
mengenai perjanjian jual-beli
bManfaat Praktis :
(1)Bagi pihak Tergugat I dan II
Agar mengetahui duduk perkara serta tahap penyelesaian sengketa
(2)Bagi pihak turut Tergugat
Agar lebih hati-hati dalam melakukan perjanjian jual-beli rumah
(3)Bagi Penggugat
Agar mengetahui dasar serta alasan-alasan tangkisan Tergugat
(4)Bagi Advokat
Agar mengetahui teori yang digunakan sebagai dasar pertimbangan
hukum dalam penyelesaian sengketa mengenai jual-beli
(5)Bagi Hakim
Agar tetap berpegang teguh pada rasa Keadilan yang berdasar
Ketuhanan agar hukum berjalan dengan semestinya tanpa ada
pengingkaran terhadap kebenaran dan keadilan.
5. Kajian Pustaka
a. Keabsahan ( Legitimasi)
Legitimasi adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan
putusan dalam peradilan, dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat
mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang
diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks legitimasi, maka
ditentukan adalah keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak
kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin.1 b. Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi
Perjanjian dapat ditemukan dalam doktrin (Ilmu Pengetahuan Hukum),
diantaranya pendapat Subekti mengatakan “perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2
c. Jual-Beli
Jual-beli adalah “suatu perjanjian, dengan mana para pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang
lain utuk membayar harga yang telah dijanjikan”.3
Perjanjian jual-beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang
melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang
membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban
untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana
umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan
asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320
KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya
dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan asas kebebasan
berkontrak ini para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian
diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian
yang melahirkan kewajiban apa saja selama atau sepanjang prestasi yang
wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal
1337 KUHPerdata menyatakan bahwa ”Suatu sebab adalah terlarang
apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata telah memberikan
gambaran umum, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan
diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung
prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar
Undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.
Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang menetapkan ”Jual beli dianggap sudah terjadi antara
kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang
barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar.
d. Utang-Piutang
“Utang-piutang adalah meminjamkan sesuatu kepada seseorang
dengan perjanjian bahwa orang yang meminjam akan mengembalikannya
sejumlah uang yang dipinjam”. Pengertian Utang menurut UUKPKPU
Undang-undang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No.37
baik mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul
karena perjanjian dan atau Undang-undang wajib dipenuhi oleh Debitur
dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat
pemenuhanya dari harta kekayaan Debitur. Pasal 1131 KUHPerdata yang
bunyinya “ Segala kebendaan si berutang,baik yang bergerak maupun yang
tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemdian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa debitur
bertanggung jawab terhadap utang-utangnya, tanggung jawab tersebut
dijamin dengan harta yang sudah ada dan yang akan ada dikemudian hari,
baik harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Ketentuan ini
didasarkan kepada azas tanggung jawab agar para debitur supaya
melaksanakan kewajibannya dan tidak merugikan Krediturnya.
e. Rumah
Undang-undang Republik Indonesia nomer 4 tahun 1992 tentang
Perumahan dan Pemukiman Pasal 1 ayat 1, Rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga. f. Tanah
Sebagaimana sudah dijelaskan dalam UUPA bahwa tanah itu hanya
merupakan salah satu bagian dari bumi, di samping ditanam di bumi
Pasal 1 ayat 2 PP 24 Tahun 1997, menyatakan bahwa bidang tanah
adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang
terbatas, dan itu saja yang merupakan obyek dari pendaftaran tanah di
Indonesia.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
1997tentang Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian surat tanda bukri haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah
ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa pengertian “land”
menurut hukum Inggris adalah pengertian yang kita kenal dengan
pengertian agraria karena seperti sudah dijelaskan sebelumnya mencakup
bumi, air dan ruang angkasa tersebut dan bahwa tanah menurut hukum
Indonesia (UUPA) hanya bagian terkecil dari bumi tersebut.
g. Hakim
Undang-undang nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Pasal 31menjelaskan ”Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam undang-undang”.
Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik
didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan undang-undang tentang Advokat. Berdasarkan Kode
Etik Advokat yang baru, Advokat adalah Warga Negara Indonesia yang
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam
mempertahankan keadilan dan kebenaran yang dilandasi moral yang tinggi,
luhur, dan mulia dan dalam menjalankan tugasnya menjunjung tinggi
hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Kode Etik
Advokat, serta sumpah jabatannya.
i. Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang –
undang ini( Pasal 1 angka 1 UU no.30 tahun 2004).
Tugas dan kewenangan Notaris ini diatur dalam pasal 15 UU no.30 tahun
2004, yaitu :
(1) Notaris berwenang juga membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
( 2 ) Notaris berwenang pula :
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membuat kopi dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan;
c. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat asli;
d. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar pada
buku khusus;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
f. membuat akta yang berakitan dengan pertanahan;
g. membuat akta risalah lelang;
j. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Pasal 1 angka 1 PP no.37 tahun 1998 menjelaskan yang
dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum mengenai
Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
Tugas pokok dan kewenagan PPAT diatur dalam Pasal 2 PP no.37
tahun 1998, yang berbunyi sebagai berikut :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran
perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut :
a. jual beli
b. tukar-menukar
c. hibah
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e. pembagian hak bersama
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan
6. Metode Penelitian
a. Jenis dan Tipe Penelitian
Jenis penelitian ini adalah adalah penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka atau penelitian hukum kepustakaan”.4 Tipe penelitian
studi kasus, ”studi kasus merupakan pendekatan yang bertujuan
mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti”.5
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder
adalah data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri
dari 3 ( tiga ) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:
1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat
berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya
dengan permasalahan yang dibahas. Terdiri dari :
a) PP no.37 Tahun 1998 tentang PPAT
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
e) Undang-undang Republik Indonesia Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan
bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku
literatur, hasil karya sarjana. Terdiri dari:
- Buku-buku tentang hukum perjanjian - Buku-buku tentang Penelitian Hukum
- Handout-handout mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum - KUHPerdata, Subekti
5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Universitas Indonesial,
- Pengadilan Negeri Surabaya, Putusan Nomer 594/ Pdt.G/ 2008 Tanggal 9 juni 2008 tentang jual beli rumah
3) Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai
pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya yaitu kamus hukum.6
c. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi pustaka. Studi
kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku
dan dari sumber-sumber data sekunder. Sebab ”Such documents not only
describe contemporary events, but also help to reveal how these events
have appeared to those living through them”.7
d. Metode Pengolahan Data
Metode yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah
”Editing yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat diper-
Tanggungjawabkan”. 8
e. Metode Analisis Data
Metode analisis data menggunakan metode deduktif, yaitu menalar
dari kasus –kasus individual nyata ke hal yang umum-abstrak.9
f. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai
tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban
6 Ibid., h.13
7 Indrati Rini, Handout Metode Penelitian Hukum
8Ibid
terhadap masalah. Lokasi yang di pilih sebagai lokasi penelitian adalah
Kantor Advokat Bapak Soetomo, S.H., M.Hum yang beralamat di Jl.
Rungkut Permai V-J / 11, Surabaya sebab sebagai tempat praktik magang.
g. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini adalah 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan Mei
2010. Penelitian. Tahap persiapan penelitian ini, meliputi : penentuan
judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, penyusunan skripsi
dan sidang skripsi.
7. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui keseluruhan isi dari skripsi ini, maka dibuat suatu
sistematika secara garis besar yang terdiri dari 4 (empat) bab, yang
selengkapnya adalah sebagi berikut :
BAB I, merupakan pendahuluan yang meliputi uraian tentang latar balakang
masalah, latar belakang ini adalah dasar dari pemilihan judul skripsi, setelah
didapatkan permasalahan maka dimasukkan ke dalam rumusan masalah yang
akan menjadi topik pembahasan. Di dalam bab I ini juga terdapat tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penjelasan judul, metodologi, lokasi dan waktu
penelitian. Agar keempat bagian tersebut dapat digunakan dalam menentukan
arah dari skripsi ini. Dengan maksud apa yang akan dikonsepkan dapat terarah
dengan jelas. Dan yang terakhir adalah sistematika penulisan yang berguna
BAB II, berisi tentang Perjanjian Jual-beli Berdasar Perjanjian Utang-piutang.
Penulis ingin mendeskripsikan apakah dapat berlangsung atau tidak Perjanjian
Jual-beli Berdasar Perjanjian Utang-piutang.
BAB III, berisi tentang alasan-alasan mengapa hakim memutuskan
pembatalan atas jual-beli rumah yang diajukan Penggugat.
BAB IV, berisi tentang Bantuan Hukum Advokat Terhadap Tergugat. Dalam
bab ini penulis ingin mendeskripsikan bentuk bantuan hukum Advokat
Terhadap Tergugat
BAB V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari pokok permasalahan
BAB II
PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH
BERDASAR PERJANJIAN UTANG PIUTANG
1. Perjanjian Utang Piutang Sebagai Perjanjian Pokok
Buku ketiga KUHPerdata membicarakan perutangan-perutangan akan
tetapi lalai menunjukkan apa yang dimaksud dengan perutangan itu. Dari
isinya ternyata bahwa perutangan itu ada seringkali seseorang (si
berhutang/debitur) terhadap seseorang lain (si berpiutang/kreditur) diwajibkan
untuk sesuatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui peradilan atau dengan
perkataan lain perutangan itu merupakan hubungan hukum yang atas dasar itu
seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseorang yang lain, jika
perlu dengan perantara hakim.
Perutangan-perutangan yang diatur dalam buku ketiga KUHPerdata,
dikatakan:
- Semua perutangan yang tertuju pada suatu prestasi yang dapt dipaksakan
melalui pengadilan, selama tidak diatur secara khusus ditempat lain, baik
di dalam KUHPerdata maupun di dalam kitab Undang-undang atau
Undang-undang yang lain, sebab juga di luar BW dan terutama dalam
WvK (KUHD) terdapat banyak hukum perutangan.
Tentang sifat perutangan hendaknya diperhatikan bahwa itu terdiri dari
termasuk hak-hak relatif (hak-hak nisbi) masih dapat ditunjukkan bahwa hak
yang timbul dari perutangan itu sendiri juga dapat dipandang sebagai suatu
”anak”.
Ciri perbedaan antara hak atas suatu benda dan hak yang timbul dari
perutangan ialah bahwa hak atas benda itu lebih bersifat tetap, sedangkan
tujuan yang normal dari perutangan ialah pemenuhannya, yang karenanya
perutangan itu hapus. Jika jumlah hal-hal kebendaan terbatas maka jumlah
perutangan-perutangan, terutama perutangan-perutangan yang timbul dari
perjanjian adalah tak terbatas.
Beberapa hal pokok dalam hukum perutangan :
a. Dalam hubungan hukum yang diwujudkan oleh perutangan senantiasa
terdapat sekurang-kurangnya dua orang, kreditur yang berpiutang dan
debitur yang berutang, tetapi dapat juga ada lebih dari seorang kreditur dan
atau debitur. Debitur harus selalu diketahui, karena tidak dapat orang
menagih dari seorang yang tak diketahui. Berlainan halnya tentang
kreditur, ia tidak hanya secara sepihak (artinya tanpa turut sertanya
debitur) dapat diganti (terutama dengan jalan cessi daripada piutangnya).
b. Debitur wajib untuk suatu prestasi, yang dapat berupa memberi, berbuat,
atau tidak berbuat (Pasal 1234 KUHPerdata).
c. Prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, tak dapat orang diwajibkan
untuk sesuatu yang isinya tidak diketahui dan juga tidak dapat ditetapkan.
Syarat ini, yang praktis hanya penting bagi perutangan-perutangan
d. Selanjutnya prestasi itu harus mungkin dan halal.
e. Prestasi dapat berupa suatu perbuatan satu kali, jadi sifatnya sepintas/lalu
(misal levering daripada sebuah benda), atau serentetan
perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya sedikit banyak terus menerus, itu antara lain
halnya pada perjanjian sewa menyewa dan perjanjian kerja. Dapat juga
prestasi itu berupa tingkah laku yang pasif belaka (perutangan untuk tidak
berbuat Pasal 1234 KUHPerdata).
f. Kebanyakan perutangan tidak berdiri sendiri melainkan bersama-sama
dengan perutangan lain-lain yang sifatnya berlain-lainan secara timbal
balik merupakan suatu hubungan hukum yang dapat dipandang sebagai
satu keseluruhan.
g. Untuk pemenuhan perutangan-perutangan si debitur bertanggung-gugat
dengan seluruh harta kekayaannya : Pasal dalam hal-hal pengecualian
dapat diterapkan paksaan badan.
Pembedaaan perutangan, perutangan-perutangan dapat dibeda-bedakan
menurut berbagai cara, salah satunya ialah perutangan prinsipal atau pokok
dan perutangan accesoir atau tambahan. Yang pertama merupakan pokok
sesuatu hubungan hukum, seperti misalnya pada perjanjian jual-beli,
kewajiban si penjual melever dan menanggung bebas (vrijewaren) Pasal 1474
KUHPerdata dan kewajiban si pembeli untuk membayar pasal 1513
KUHPerdata. Disamping perutangan-perutangan pokok ini terdapat
perutangan-perutangan tambahan, seperti misalnya kewajiban-kewajiban yang
1519 KUHPerdata. Akan tetapi dalam hal lain lagi masih terdapat pembedaan
yang disebut dengan nama-nama yang sama. Suatu perutangan dapat
mempunyai sifat berdiri sendiri, jadi terwujud tanpa sesuatu hubungan hukum
yang lain, tetapi dapat juga mempunyai sifat accesoir oleh sebab adanya
tergantung daripada adanya perutangan pokok yang lain. Suatu perutangan
jenis terakhir ini ialah perutangan yang timbul daripada bergtocht : itu tidak
dapat ada tanpa perutangan pokok. Perutangannya yang accesoir batal jikalau
perutangannya yang prinsipal tidak sah menurut hukum perutangan si borg
misalnya dapat digugat jikalau debitur pokok terikatnya tidak sah menurut
hukum.
Sumber-sumber dari perutangan dalam Pasal 1233 KUHPerdata terjadi
dari perjanjian atau dari Undang-undang. Perhutangan-perhutangan dari
perjanjian merupakan pokok dari title-title II dan V sampai dengan XVIII,
sedang title III mengatur perhutangan-perhutangan yang timbul dari
Undang-undang. Yang terakhir ini dibedakan Pasal 1352 KUHPerdata antara
perutangan-perutangan yang timbul dari Undang-undang belaka dan
perutangan-perutangan yang timbul dari Undang-undang karena perbuatan
manusia.
Pokok perjanjian biasanya terdiri dari kewajiban pokok dan kewajiban
pelengkap. Pokok perjanjian ini biasanya dibuat secara tertulis untuk tujuan
pembuktian. Kewajiban pokok adalah kewajiban yang fundamental dalam
setiap perjanjian, jika tidak dipenuhi kewajiban pokok akan mempengaruhi
memberikan pada pihak yang dirugikan hak untuk membatalkan atau
memutuskan perjanjian, atau meneruskan perjanjian pokok merupakan dasar
keseluruhan perjanjian. Suatu perjanjian dapat mencapai tujunya atau tidak
tergantung pada pemenuhan kewajiban pokok. Kewajiban pelengkap adalah
kewajiban yang kurang penting, yang sifatnya hanya melengkapi kewajiban
pokok saja. Tidak ditaati kewajiban pelengkap, tidak akan mempengaruhi
tujuan utama perjanjian dan tidak akan membatalkan atau memutuskan
perjanjian, melainkan mungkin hanya menimbulkan kerugian dan memberi
hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi. Untuk
mengetahui mana kewajiban pokok dan mana kewajiban pelengkap ditentukan
dalam Undang-undang atau dalam perjanjian.
2. Terjadinya Perjanjian Jual-Beli
Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga sesuai
dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata,
perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat
mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak telah setuju tentang barang
dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.10
Sifat konsensual dari jual-beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang berbunyi :
”Jual-beli dianggap sudah tercapai antara kedua belah pihak seketika setelah
mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu
belum diserahkan dan harganya belum dibayar”.
Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti kesepakatan.
Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara para pihak-pihak yang
bersangkutan dicapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang
dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain.
Kedua kehendak itu bertemu dalam sepakat tersebut. Tercapainya sepakat ini
dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan
misalnya : “setuju”, “accord”, ”ok”, dan lain-lain sebagainya ataupun dengan
bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis
sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa
yang tertera di atas tulisan itu. Dapat diketahui dan disimpulkan bahwa hukum
perjanjian KUHPerdata menganut asas konsensualisme. Menurut Subekti, asas
tersebut harus disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu Pasal yang
mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjiian dan tidak dari Pasal 1338 (1)
KUHPerdata seperti diajarkan oleh beberapa penulis karena dengan kata lain
kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Bukankah oleh Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang berbunyi: ”semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”, itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan
perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Undang-undang. Kekuatan
seperti itu diberikan kepada ”semua perjanjian yang dibuat secara sah”.
Perjanjian yang dibuat secara sah itu diberikan oleh Pasal 1320 KUHPerdata
dengan hanya mengenai ketentuan pertama yaitu sepakat saja disebutkan tanpa
bahwa bilamana sudah tercapai kata sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian
itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang
yang membuatnya.11
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau
keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di
dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin
melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.
Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan
perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang
dapat menterjemahkan kehendak itu, bai oleh pihak yang mengambil prakarsa
yaitu pihak yang ”menawarkan” (melakukan ”offerte”) maupun oleh pihak
yang menerima penawaran tersebut.12 Dengan demikian, maka yang akan
menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut
adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.
Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai
apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena
merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu
Undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah
dilakukan oleh kedua belah pihak. Ini pula nerupakan suatu tuntutan kepastian
hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang
telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah
membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi
kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya.
Apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak
(yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak), maka hakim
atau pengadilanlah yang menetapkannya13
Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak merupakan sumber
untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Semua
pernyataan dapat tidaknya dipertanggung jawabkan pada (menimbulkan
kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu. Dapat
dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut
yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat
adalah pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. Suatu pernyataan
yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh atau mengandung sutu
kekhilafan atau kekeliruan tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar
kesepakatan. Dalam perjanjian sungguh-sungguh dituntut tercapainya suatu
perjumpaan kehendak, sudah lampau.
Perjumpaan kehendak atau konsensus itu diukur dengan
pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Berdasarkan
pernyataaan-pernyataan timbal balik itu dianggap bahwa sudah dihasilkan
sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti
Undang-undang). Sekali sepakat itu dianggap ada, maka hakimlah yang akan
menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan
apa saja hak dan kewajiban para pihak.
BAB III
PUTUSAN HAKIM ATAS JUAL BELI RUMAH
1. Keabsahan Perjanjian Jual Beli Rumah
Jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak
lain untuk membayar yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang
satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas
barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain,
membayar harga yang telah disetujuinya. Meskipun tiada disebutkan dalam
salah satu pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa harga ini
harus berupa sejumlah uang karena bila tidak demikian dan harga itu berupa
barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi tetapi tukar menukar atau
barter. Yang harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli adalah hak milik
atas barangnya, jadi bukan sekedar kekuasaan atas barang tersebut. Yang
harus dilakukan adalah penyerahan atau ”levering”secara yuridis. Menurut
hukum perdata ada tiga macam penyerahan yuridis:
a). Penyerahan barang bergerak.
b). Penyerahan barang tidak bergerak.
c). Penyerahan piutang atas nama.
Masing-masing mempunyai cara-caranya sendiri. Sebagaimana
terjadi dengan pengutipan sebuah ”akta transport”, dalam register tanah di
depan pegawai balik nama (Ordonansi Balik Nama L.N 1834/27). Sejak
berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No.5 Tahun
1960) dengan pembuatan akta jual beli oleh pejabat pembuat akta tanah.
Perjanjian jual-beli rumah sah dan memiliki kepastian hukum apabila
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1) Ada kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat mengenai harga dan ada
barangnya atau dilakukan secara tunai dan terang.
Perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada
orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal”.14
Suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak,
perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat perikatan
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab atau causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat
ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru,
paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai
subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila
syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka
perjanjian batal demi hukum.15
Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua
subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia
sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, jadi
yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang
lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut
hukum.pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaligh dan
sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum dalam Pasal 1330
KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang,
dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Sebagai syarat ketiga suatu perjanjian harus mengenai suatu hak
tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua
belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan
dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang
itu sudah ada atau sudah berada ditangannya berutang pada waktu
perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya
tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Akhirnya oleh Pasal 1320 KUHPerdata ditetapkan sebagai syarat
keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal.
Dengan sebab (bahasa Belanda Oorzaak, bahasa Latin Causa) ini
dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Dengan segera harus
dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah
suatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud.
Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-undang dengan sebab yang
halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian
atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak
dipedulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak
menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang
dicita-citakan seorang. yang diperhatian oleh hukum atau undnag-undnag
hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.
Jual-beli adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah
dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai
kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan
pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok yaitu barang dan harga,
biarpun jual-beli itu mengenai barang yang tak bergerak.
Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang berbunyi ”Jual-beli dianggap telah terjadi antara kedua
harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar.”
2)Dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta
jual-beli.
Pasal 2 PP No.37/1998 tentang Tugas dan Kewenangan PPAT, sebagai
berikut :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu.
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
3)Didaftarkan di Badan Pertanahan Untuk Perolehan Haknya.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa pendaftaran
tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa
pendaftaran tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan
kepastian hukum dibidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya
adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan
menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal
23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 38 ayat (2). pendaftaran tanah juga
tetap dilaksanakan melalui dua cara , yaitu pertama-tama sacara sistematik
yang meliputi wilayah satu desa atau keluharan .
Proses pendaftaran di Kantor Pertanahan:
a) Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan
memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada
PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan ini diserahkan
kepada Pembeli.
b) Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat
dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan
atau Pejabat yang ditunjuk.
c) Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan
kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan bibubuhi
tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan
atau pejabat yang ditunjuk.
d) Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli sudah dapat mengambil
2. Dasar Pertimbangan Hakim
a. Antara Penggugat dan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan
jual-beli atas bangunan yang terletak di Jl. Dharmawangsa VII/20-A Surabaya
pada tanggal 31 Agustus 2006, namun bukti yang diajukan penggugat
tidak sesuai dengan gugatan yang di tujukan kepada Tergugat, hal ini
dibuktikan dengan Bukti P-1 dan P-2, antara lain:
Bukti P-1 berupa pengakuan hutang tertanggal 24 Agustus 2006 yang
menerangkan Tergugat I mengaku mempunyai hutang kepada
Penggugat berupa :
- 1(satu) buah mobil dengan nilai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah)
- 1(satu) buah sepeda motor dengan nilai Rp 10.000.000,-(sepuluh
juta rupiah)
- Uang (gadai perhiasan) sebesar Rp 85.000.000,-(delapan puluh
lima juta rupiah)
- Bunga uang gadai selama 5(lima) bulan sebesar Rp
12.750.000,-(dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
Bukti P-2 berupa surat penyelesaian hutang tertanggal 24 Agustus
2006, yang menerangkan Tergugat I dan mengembalikan sebagian dari
pinjaman kepada Penggugat sebesar Rp 85.000.000,-(delapan puluh
b. Bukti-bukti P-1 dan P-2 serta keterangan saksi Penggugat telah dapat
dibuktikan dan benar, bahwa Tergugat I mempunyai hutang kepada
Penggugat.
c. Bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat ternyata tidak terdapat adanya
bukti yang dapat memberi petunjuk bahwa hutang piutang antara Pengugat
dam Tergugat I terdapat dan diperjanjikan sebelumnya adanya jaminan
hutang yang berupa tanah dan bangunan di Jl. Dharmawangsa VII/20-A
Surabaya.
d. Dalil gugatan dengan bukti-bukti yang diajukan terdapat ketidak
sinkronan, dimana dalil gugatan Penggugat adalah tentang jual-beli
sementara bukti-bukti sebagai pendukungnya justru tentang utang piutang.
e. Bahwa dalam berlangsungnya jual-beli perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
- Adanya kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat mengenai harga
dan ada barangnya atau dilakukan secara tunai dan terang.
- Dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta
jual-beli.
- Didaftarkan di Badan Pertanahan untuk perolehan haknya.
f. Bukti yang diajukan ternyata jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I
mengenai harga barang tidak terdapat adanya kepastian, karena masih
g. Jual-beli yang dilakukan dibawah tangan tanpa diikuti perbuatan hukum
dihadapan notaris ataupun dilanjutkan dengan permintan perolehan hak di
Badan Pertanahan.
h. Perbuatan hukum hutang piutang tentunya tidak dapat dikompensasikan
atau dialihkan menjadi beli, apalagi barang yang menjadi obyek
jual-beli tidak pernah diperjanjikan sebagai jaminan hutang piutang antara
Penggugat dan Tergugat I dan Tergugat II, sehingga apabila kemudian
terjadi jual-beli, maka jual-beli atas sebidang tanah dan bangunan yang
terletak di Jl. Dharmawangsa VII/20-A Surabaya yang didasarkan pada
hutang piutang tidak dapat dibenarkan dan dapat dikatakan tidak sah
sesuai Pasal 1320 BW didukung dengan putusan Mahkamah Agung RI
No. 2584.K/Pdt/1988 tanggal 4 April 1988, yang menyatakan Suatu akta
pengakuan hutang yang memuat klausul milik beding yaitu tanah akan
jatuh menjadi milik kreditor apabila debitur tidak membayar hutang secara
umum tidak dapat dibenarkan, begitu pula pemberian kuasa mutlak tidak
dapat dibenarkan.
Walaupun perjanjian dalam suatu akta notaris, dimana seseorang
memberi kuasa pada orang lain untuk menjual rumah sengketa kepada
pihak ketiga maupun kepada dirinya sendiri dianggap sah. Namun
mengingat riwayat surat kuasa tersebut yang sebelumnya bermula dari
surat pengakuan hutang dengan menjaminkan rumah sengketa yang karena
tidak dapat dilunasi pada waktunya dirubah menjadi kuasa untuk menjual
perjanjian semu untuk menggantikan perjanjian asli yang merupakan
hutang piutang. Karena debitur terikat pula dengan hutang piutang lainnya
yang sudah memperoleh keputusan peradilan yang berkeputusan tetap,
maka ia dalam posisi lemah dan terdesak terpaksa menandatangani
perjanjian yang bersifat memberatkan baginya maka perjanjian berikutnya
dapat diklasifikasikan sebagai kehendak satu pihak adalah tidak adil
BAB IV
BANTUAN HUKUM ADVOKAT TERHADAP TERGUGAT
1. Substansi Bantuan Hukum dalam Menangkis Gugatan
Substansi Bantuan hukum dalam menangkis gugatan antara lain :
a. Timbulnya transaksi jual-beli berawal dari hutang piutang antara
Penggugat dengan Tergugat I.
Gugatan dengan bukti-bukti yang diajukan terdapat ketidak
sinkronan, dimana dalil gugatan Penggugat adalah tentang jual-beli
sementara bukti-bukti sebagai pendukungnya justru tentang hutang
piutang. Bukti yang diajukan penggugat tidak sesuai dengan gugatan yang
di tujukan kepada Tergugat, hal ini dibuktikan dengan Bukti P-1 dan P-2,
antara lain:
Bukti P-1 berupa pengakuan hutang tertanggal 24 Agustus 2006 yang
menerangkan Tergugat I mengaku mempunyai hutang kepada
Penggugat berupa :
- 1(satu) buah mobil dengan nilai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah)
- 1(satu) buah sepeda motor dengan nilai Rp 10.000.000,-(sepuluh
juta rupiah)
- Uang (gadai perhiasan) sebesar Rp 85.000.000,-(delaan puluh lima
- Bunga uang gadai selama 5(lima) bulan sebesar Rp
12.750.000,-(dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
Bukti P-2 berupa surat penyelesaian hutang tertanggal 24 Agustus
2006, yang menerangkan Tergugat I aan mengembalikan sebagian dari
pinjaman kepada Penggugat sebesar Rp 85.000.000,-(delaan puluh
lima juta rupiah).
Bukti-bukti P-1 dan P-2 serta keterangan saksi Penggugat telah dapat
dibuktikan dan benar, bahwa Tergugat I mempunyai hutang kepada
Penggugat.
b. Adanya paksaan dalam perjanjian
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu,
harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sub bab
yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu :
1) Paksaan
2) Kekhilafan, dan
3) Penipuan.
Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau
paksaan jiwa ( psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah
satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu
perjanjian. Jadi kalau seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa
menulis tanda tangan di bawah sepucuk surat perjanjian, maka itu bikanlah
paksaan dalam arti yang dibicarakan di sini, yaitu sebagai salah satu alasan
dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya,
sedangkan yang dipersoalkan di sini adalah orang yang memberikan
persetujuan (perizinan). 16
c. Tidak ada penyerahan surat-surat tentang hak yang berkenaan dengan
bangunan tersebut
Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu
menjadi milik si pembeli. Jadi, penyerahan (levering) itu, suatu perbuatan
hukum yang harus dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu ke
orang lain,dari si penjual kepada si pembeli. Kita sudah melihat bahwa
menilik macam-macamnya barang yang harus diserahkan itu dalam hukum
perdata ada tiga macam dalam penyerahan (barang bergerak, barang tak
bergerak, dan piutang atas nama).
Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya
pengambilan harus dipikul oleh si pembeli, juka tidak diperjanjikan
sebaliknya (Pasal 1476 KUHPerdata).
Penyerahan harus dilakukan di tempat dimana barang yang
diperjual belikan itu berada, pada waktu ditutupnya perjanjian jual-beli
tersebut, jika tentang itu tidak ada perjanjian lain (Pasal 1477
KUHPerdata).
Barang harus diserahkan dalam keadaaan dimana ia berada pada
saat ditutupnya perjanjian jual-beli. Sejak saat itu segala hasil menjadi
kepunyaan si pembeli (Pasal 1481 KUHPerdata)
Sebagaimana diketahui dalam hukum benda mengenai penyerahan
barang tidak bergerak, terjadi dengan pengutipaan sebuah ”akta transport”,
dalam register tanah di depan pegawai balik nama (Ordonansi Balik Nama
L.N 1834/27). Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria
(Undang-undang No.5 Tahun 1960) dengan pembuatan akta jual beli oleh pejabat
pembuat akta tanah. Tanpa ada penyerahan maka hak milik tidak akan
berpindah dengan sendirinya walaupun telah melakukan perjanjian jual
-beli.
Hak milik belum berpindah pada pihak tergugat karena perjanjian
jual beli itu hanya obligatoir saja, jual-beli itu belum memindahkan hak
milik, dikemukan mengenai sifat jual-beli dari Pasal 1459 KUHPerdata
yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah
berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan
d. Landasan suami istri, istri menjual rumah telah mendapat persetujuan
suami
Sesuai Pasal 1320 ayat 2 KUHPerdata “cakap untuk membuat sutu
perjanjian”, Orang yang membuat pejanjian harus cakap menurut hukum.
Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat
pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata disebut
sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah seagai berikut :
1. Orang-orang yang belum dewasa
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Duduk perkara dalam perjanjian jual-beli rumah antara Turut
Tergugat dan Tergugat I adalah sah karena Tergugat I telah dapat ijin dari
sang suami yaitu Tergugat II untuk melakukan jual-beli rumah. Hal ini
didukung oleh Pasal 108 KUHPerdata yaitu seorang perempuan yang
bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau
izin (kuasa tertulis) dari suaminya.
e. Perjanjian Jual-beli antara turut Tergugat dengan tergugat I dilakukan
dihadapan notaris
Perjanjian jual-beli rumah antara Turut Tergugat dengan Tergugat
telah terjadi kesepakaan sebelumnya dan perjanjian jual-beli rumah
tersebut dilakukan dihadapan notaris.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang –
undang ini( Pasal 1 angka 1 UU no.30 tahun 2004).
Tugas dan kewenangan Notaris ini diatur dalam pasal 15 UU
no.30 tahun 2004 ayat 1, yaitu :
“Notaris berwenang juga membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
telah ditetapkan oleh undang-undang”
Perjanjian agar dilakukan dihadapan notaris guna mendapatkan
kepastian hukum mengenai perjanjian yang dibuat.
f. Perjanjian jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I dilakukan perjanjian
di bawah tangan.
Perjanjian yang dibuat hanya antara para pihak saja, yaitu Pihak
Penggugat dan Tergugat I tanpa dihadiri atau dibuat dihadapan notaris
sehingga tidak ada kepastian hukum mengenai perjanjian yang dibuat
antara Penggugat dan Tergugat I.
g. Tidak adanya itikad baik yang ditunjukkan Penggugat
Pihak Penggugat ingin memiliki obyek bangunan berupa rumah
milik Tergugat, karena Tergugat dianggap belum sanggup untuk melunasi
hutangnya, usaha yang dilakukan oleh pihak tergugat yaitu mengalihkan
perjanjian utang piutang kepada perjanjian jual-beli, tentu hal ini
merupakan suatu usaha untuk merubah esensi dari perjanjian pokok, yang
pada awalnya adalah perjanjian hutang piutang berubah menjadi perjanjian
jual beli, disini kuasa hukum tergugat menyimpulkan tidak adanya itikad
baik yang ditunjukkan oleh pihak Penggugat dalam melakukan perjanjian
jual beli. Yang dimaksud dengan itikad baik dala Pasal 1338 BW adalah
pelaksaanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan. Apabila yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu
undang-undang tidak memberikan rumusannya, tapi jika dilihat dari arti
katanya kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian kecocokan,
sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari kata-kata ini
dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang
patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab sebagaimana
sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Jika terjadi
selisih pendapat tentang pelaksanaan itikad baik, hakim diberi wewenang
oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan apakah
ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutam dan kesusilaan itu. Ini
berarti bahwa hakim berwenang menyimpang dari isi perjanjian menurut
kata-katanya apabila pelaksanaan menurut kata-kata itu bertentangan
dengan itikad baik yaitu norma kepatutan dan kesusilaan. Pelaksanaan
yang sesuai dengan norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang
adil. Tujuan hukum adalah menciptakan keadilan.
Menurut Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, semua perjanjian itu
harus dilaksanakan dengan itikad baik (dalam bahasa Belanda tegoeder
trouw; dalam bahasa Inggris in good faith, dalam bahasa Prancis de bone
foi). Norma yang dituliskan di atas ini merupakan suatu sendi yang
terpenting dalma hukum perjanjian. Apakah artinya, bahwa semua