• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI BERDASAR PADA PERJANJIAN UTANG PIUTANG SEBAGAI PERJANJIAN POKOK Studi Kasus Tentang Putusan Jual Beli Rumah di Pengadilan Negeri Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI BERDASAR PADA PERJANJIAN UTANG PIUTANG SEBAGAI PERJANJIAN POKOK Studi Kasus Tentang Putusan Jual Beli Rumah di Pengadilan Negeri Surabaya."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Kasus Tentang Putusan Jual Beli Rumah

di Pengadilan Negeri Surabaya

SKRIPSI

Oleh :

RUDY SETIAWAN

NPM. 0671010106

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR SURABAYA

(2)

di Pengadilan Negeri Surabaya

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

UPN “Veteran”Jawa Timur

Oleh :

RUDY SETIAWAN

NPM. 0671010106

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR SURABAYA

(3)

Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karuniaNya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI BERDASAR PADA

PERJANJIAN UTANG PIUTANG SEBAGAI PERJANJIAN POKOK Studi Kasus Tentang Putusan Jual Beli Rumah di Pengadilan Negeri Surabaya.

Adapun penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir

yaitu penyusunan skripsi. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak, peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu, khususnya kepada :

1. Bapak Haryo Sulistyantoro, S.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur yang selalu siap

membantu penulis serta selalu memberikan pengarahan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik..

2. Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek II Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan selaku Dosen Pembimbing

Kedua yang membantu memberikan bimbingan dan pengarahan kepada

penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi ini..

3. Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

(4)

kepada peneliti dalam pembuatan skripsi ini, sehingga dalam hal ini peneliti

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

5. H.M. Ibnu Hadjar, S.H., M.M selaku Mantan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang selalu

membantu memberikan dukungan dan bimbingan serta pengarahan kepada

Mahasiswa Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jatim

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

7. Bapak Soetomo, S.H., M.Hum selaku pemilik kantor advokat yang

memberikan peneliti ruang serta tempat untuk melakukan praktik magang

serta selalu sabar dan selalu menyediakan waktu serta kesempatan kepada

penulis untuk bertanya dan berkonsultasi, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Soedarmadi dan Ibu Rurit Tjahyaningsih

SPd., MSi., yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil serta

doanya selama ini.

9. Adik tercinta, Novy Rachmawati yang selalu siap membantu mengetik bila

peneliti lelah.

10.Sahabat yang selalu bersedia berbagi ilmu Prama Priyahita S.H., atas saran

(5)

skripsi ini.

12.Adi Adrian dan Christianto Aji C.N. Teman satu team yang selalu saling

bantu-membantu dan memberikan saran sebagai masukan di dalam pembuatan

skripsi ini.

13.Kawan-kawan semester VII,. Wawan, Adhitama, Riskan Samcong, Sigit Pri,

Yudi, Yudhian, Adit W, Pringgo, Koko, Angga, Acep, Eka, Ruben, Fadoli,

Rio, Alfian, Adept, Deni Ag, Deni At, Helmy, Farit K, Farit A, Intan, Iqbal,

Amel, Tika, Indah, Kiki, Maya, Leny, Argo, Ardi, Ricky, Shinta, Vita, Devi,

Amanda, Ivannius Tuba, Niken, Echa, Nanda, Munir, C-Nyo, Rois, Taufiq,

Resa, Bagus, Jefry, Gufron, Ishak, Praja, Bori, Rey Dkk, serta maaf apabila

tidak semua nama dapat disebutkan dan tidak ada unsur kesengajaan hanya

tidak dapat mengingat secara keseluruhan.

Peneliti menyadari bahwa ibarat ”Tiada Gading yang Tak Retak“, maka

peneliti berharap semoga skripsi ini dapat menjadi momentum awal yang berharga

dan bermanfaat bagi perkembangan disiplin ilmu terutama dalam bidang Ilmu

Hukum serta tegaknya hukum di Indonesia.

Surabaya, Juni 2010

(6)

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI . .... ... iv

ABSTRAK... ... vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1. Latar Belakang Masalah...1

2. Rumusan Masalah...6

3. Tujuan Penelitian ...6

4. Manfaat Penelitian ...6

5. Kajian Pustaka ...7

6. Metode Penelitian ... 14

7. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PERJANJIAN JUAL-BELI BERDASAR PERJANJIAN UTANG PIUTANG ... 19

1. Perjanjian Hutang Piutang Sebagai Perjanjian Pokok ... 19

2. Terjadinya Perjanjian Jual-Beli ... 23

BAB III PUTUSAN HAKIM ATAS JUAL-BELI RUMAH ... 27

1. Keabsahan Perjanjian Jual-Beli Rumah... 27

2. Dasar Pertimbangan Hakim ... 33

BAB IV BANTUAN HUKUM ADVOKAT TERHADAP TERGUGAT ... 37

(7)

1. Kesimpulan... 48

2. Saran ... 50

DAFTAR BACAAN DAFTAR LAMPIRAN

Pengadilan Negeri, Putusan No.594 / Pdt. G / 2008 Surabaya tentang Jual-Beli

(8)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis apakah perjanjian jual-beli rumah berdasarkan pada perjanjian hutang piutang sebagai perjanjian pokok dapat berlangsung, dan mengetahui pertimbangan hakim tentang jual-beli rumah, serta mengetahui dasar alasan-alasan pertimbangan advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pihak tergugat

Jenis penelitiannya adalah hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau penelitian hukum kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan adalah studi kasus yang merupakan pendekatan dengan tujuan mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti. Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder yaitu data dari penelitian kepustakaan. Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi pustaka yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku dan dari sumber-sumber data sekunder. Metode yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah Editing yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan.Metode analisis data menggunakan metode induktif, yaitu menalar dari kasus–kasus individual nyata ke hal yang umum-abstrak.

Perjanjian jual-beli dapat terjadi cukup dengan kata sepakat antara para pihak yang menyelenggarakannya, tetapi agar mempunyai kekuatan hukum, tentu harus dibuatkan akta jual-beli oleh pejabat yang berwenang. Dalam berlangsungnya perjanjian jual-beli rumah yang perlu diperhatikan yaitu, sepakat mengenai barang dan harga atau dilakukan secara tunai dan terang, dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta jual-beli, dan didaftarkan di Badan Pertanahan untuk perolehan haknya (hak atas tanah.).

Perjanjian jual-beli adalah perjanjian pokok dalam perjanjian jual-beli rumah pada umumnya, namun bagaimana jika dalam suatu perjanjian jual-beli tersebut didasari dengan perjanjian utang-piutang sehingga perjanjian pokoknya adalah perjanjian utang piutang ?

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jual-beli berdasar utang-piutang sebagai perjanjian pokok dalam pelaksanaannya tidak dapat terjadi, karena Perjanjian pokoknya adalah utang piutang dan obyek berupa rumah tidak dijaminkan sebelumnya sebagai jaminan hutang.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan

manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat

Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan

teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor

penting dalam peningkatan harkat dan martabat mutu kehidupan serta

kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Semakin bertambahnya tahun dan dengan semakin majunya

perkembangan jaman, jumlah penduduk Indonesia, khususnya kota Surabaya

mengalami peningkatan yang cukup banyak. Dengan semakin banyaknya

penduduk, maka kebutuhan akan tanah dan bangunan/rumah juga semakin

tinggi.

Tanah sebagaimana sudah dijelaskan dalam UUPA bahwa tanah itu

hanya merupakan salah satu bagian dari bumi, di samping ditanam di bumi

ataupun di tubuh bumi. Pasal 1 ayat 2 PP 24 tahun 1997, maka dinyatakan

bahwa bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan

bidang yang terbatas, dan itu saja yang merupakan obyek dari pendaftaran

tanah di Indonesia

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau

(10)

kebutuhan primer manusia selain pangan dan sandang. Sebagian orang

menganggap mempunyai rumah adalah suatu kemewahan yang akan sulit

untuk dijangkau, namun sebagian orang menganggap bahwa rumah merupakan

kebutuhan utama yang harus dimiliki terlebih dahulu dalam membangun suatu

keluarga, tidak peduli sederhana atau mewahkah rumah yang akan dihuni.

Rumah merupakan obyek yang sering diperjanjikan dalam masyarakat

dan telah diatur dalam lingkup hukum perjanjian. Pengertian perjanjian ada

dalam Pasal 1313 KUHPerdata dan sumber perikatan ada dalam Pasal 1233

KUHPerdata. Perbedaan antara perjanjian dan perikatan yaitu perjanjian

adalah peristiwa hukum dan perikatan adalah hubungan hukum. Hukum

perjanjian dianggap paling penting, karena hukum perjanjian paling diperlukan

dalam lalu lintas hukum sehari-hari dan dalam suasana mengodifikasi hukum

nasional sekarang ini, tidak akan mengalami banyak perubahan, di dalam

hukum perjanjian terdapat macam-macam perjanjian yang salah satunya

adalah perjanjian jual-beli.

Sebagaimana diketahui berlangsungnya jual-beli pada umumnya yang

perlu diperhatikan harus ada kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat

mengenai harga dan ada barangnya atau dilakukan secara tunai dan terang. Hal

ini didukung oleh Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat syahnya perjanjian

yang pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Adanya sepakat

atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang

(11)

hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki

oleh pihak satu, juga dikehendaki oleh pihak lain.

Transaksi jual-beli yang terjadi antara penjual dan pembeli kadangkala

mengalami hambatan di dalam realisasi transaksinya. Penjual dan pembeli

sudah sepakat dan setuju untuk melakukan penjualan dan pembelian, namun

ada hal-hal yang masih belum lengkap dalam rangka memenuhi syarat-syarat

penjualan tersebut.

Misalnya saja sertifikat tanah yang bersangkutan sedang dalam proses

pengurusan pada Badan Pertanahan setempat, atau Sertifikat Tanah tersebut

masih dalam jaminan bank atau uang pembeli belum mencukupi sehingga

pembayaran dilakukan dengan cara bertahap dan alasan-alasan lain yang

menyebabkan transaksi penjualan tersebut belum dapat diselesaikan secara

sepenuhnya. Untuk itu biasanya diadakan suatu perjanjian yang

dapat mengikat kedua belah pihak, di mana penjual dan pembeli berjanji dan

mengikatkan diri untuk melakukan jual beli sampai terpenuhinya segala

sesuatu yang menyangkut jual beli tersebut. Baik dari segi kelengkapan

surat-surat tanahnya maupun pembayarannya. Perjanjian seperti ini biasanya disebut

perikatan jual beli. Realisasinya adalah penjual dan pembeli membuat suatu

akta perikatan jual beli dimana akta ini merupakan akta notaris dan bukan akta

PPAT. Karena syarat-syarat bagi terpenuhinya suatu jual beli tanah belum

sepenuhnya dapat dipenuhi baik oleh penjual maupun pembeli.

Dalam Akta Perikatan Jual Beli (Pengikatan Jual Beli) ini dicantumkan

(12)

bukan akta Jual Beli (PPAT) mengingat salah satu pihak belum dapat

memenuhi syarat-syaratnya sedangkan keduanya telah setuju untuk melakukan

transaksi Jual Beli. Selain itu juga dicantumkan harga jual yang telah

disepakati, cara pembayarannya dan hal lainnya yang terkait.

Dalam Akta Perikatan Jual Beli tersebut juga dicantumkan kuasa-kuasa

yang diberikan kepada Pembeli. Kuasa ini gunanya adalah untuk memberikan

kemudahan kepada Pembeli apabila ia akan melakukan pengurusan Balik

Nama (biasanya melalui kantor PPAT) pada sertifikat tanah yang

bersangkutan pada saatnya nanti. Jadi penjual memberikan kuasa kepada

Pembeli walaupun tanpa dihadiri atau diurus langsung oleh Penjual untuk

melakukan segala sesuatunya yang menyangkut proses pengurusan maupun

hal lainnya dalam kaitannya dengan Balik Nama sertifikat tanah tersebut ke

atas nama Pembeli. Penjual tidak perlu direpotkan untuk mengurus

kepentingan Pembeli nantinya.

Perjanjian jual-beli dapat terjadi cukup dengan kata sepakat antara

para pihak yang menyelenggarakannya, tetapi agar mempunyai kekuatan

hukum, tentu harus dibuatkan akta jual-beli oleh pejabat yang berwenang.

Dalam berlangsungnya perjanjian jual-beli rumah yang perlu diperhatikan

yaitu, sepakat mengenai barang dan harga atau dilakukan secara tunai dan

terang, dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta

jual-beli, dan didaftarkan di Badan Pertanahan untuk perolehan haknya (hak

(13)

Perjanjian jual-beli adalah perjanjian pokok dalam perjanjian jual-beli

rumah pada umumnya, namun bagaimana jika dalam suatu perjanjian jual-beli

tersebut didasari dengan perjanjian utang-piutang sehingga perjanjian

pokoknya adalah perjanjian utang piutang ?. Hubungan hukum yang

diwujudkan oleh perutangan senantiasa terdapat sekurang-kurangnya dua

orang, kreditur (yang berpiutang) dan debitur (yang berutang). Dalam

perikatan ada pihak kreditur yaitu yang berhak atas prestasi dan pihak debitur

yang berkewajiban untuk berprestasi. Pada pihak debitur terdapat schuld yaitu

hutang atau kewajiban berprestasi tergantung dari perikatannya dan ada

haftung jaminan untuk pelunasan hutang yaitu jaminan yang ditentukan dalam

Pasal 1131 KUHPerdata. Subyek perikatan kreditur dan debitur sedangkan

obyek perikatan yaitu prestasi yang ada dalam Pasal 1234 KUHPerdata yaitu:

memberi sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Jual-beli dan

utang piutang merupakan perjanjian yang berbeda.

Ada beberapa contoh kasus yang berhubungan dengan perjanjian

jual-beli berdasar pada utang piutang sebagai perjanjian pokok yang terdapat dalam

ringkasan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tentang jual-beli rumah adalah

sebagai berikut, HJ.Siti Rochma (Penggugat) mengajukan gugatan kepada

Sudarmi (Tergugat I), Sumarwan (Tergugat II) dan Liana Saraswati (turut

Tergugat) atas bangunan yang terletak di JL. Dharmawangsa VII/20A,

Surabaya, Penggugat dan Tergugat I dan Tergugat II terikat perjanjian utang

piutang, karena Tergugat I mengalami masalah pembayaran, Penggugat

(14)

JL. Dharmawangsa VII/20A, Surabaya, akan tetapi sebelum terjadi penyerahan

akan rumah tersebut Tergugat I menjual kembali rumah tersebut kepada turut

Tergugat diikuti dengan penyerahan rumah kepada turut Tergugat.

2. Rumusan Masalah

Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka masalah dirumuskan

sebagai berikut:

a. Dapatkah perjanjian jual beli rumah berdasar perjanjian utang piutang?

b. Mengapa hakim memutuskan pembatalan atas jual-beli rumah?

c. Bagaimanakah bantuan hukum advokat terhadap tergugat?

3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

a.Untuk mengetahui dan menganalisis apakah perjanjian jual-beli rumah

berdasarkan pada perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok dapat

berlangsung.

b.Untuk mengetahui dan menganalisis dasar alasan-alasan pertimbangan

hakim tentang jual-beli rumah

c.Untuk mengetahui dan menganalisis dasar alasan-alasan pertimbangan

advokat dalam memberikan bantuan hukum terhadap pihak tergugat

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian skripsi ini adalah :

aManfaat Teoritis :

Agar substansi penyelesaian sengketa di bidang hukum perjanjian jual-beli

(15)

pokok dapat berguna bagi perkembangan hukum perjanjian khususnya

mengenai perjanjian jual-beli

bManfaat Praktis :

(1)Bagi pihak Tergugat I dan II

Agar mengetahui duduk perkara serta tahap penyelesaian sengketa

(2)Bagi pihak turut Tergugat

Agar lebih hati-hati dalam melakukan perjanjian jual-beli rumah

(3)Bagi Penggugat

Agar mengetahui dasar serta alasan-alasan tangkisan Tergugat

(4)Bagi Advokat

Agar mengetahui teori yang digunakan sebagai dasar pertimbangan

hukum dalam penyelesaian sengketa mengenai jual-beli

(5)Bagi Hakim

Agar tetap berpegang teguh pada rasa Keadilan yang berdasar

Ketuhanan agar hukum berjalan dengan semestinya tanpa ada

pengingkaran terhadap kebenaran dan keadilan.

5. Kajian Pustaka

a. Keabsahan ( Legitimasi)

Legitimasi adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan

putusan dalam peradilan, dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat

mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang

diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks legitimasi, maka

(16)

ditentukan adalah keputusan masyarakat untuk menerima atau menolak

kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin.1 b. Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi

Perjanjian dapat ditemukan dalam doktrin (Ilmu Pengetahuan Hukum),

diantaranya pendapat Subekti mengatakanperjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.2

c. Jual-Beli

Jual-beli adalah “suatu perjanjian, dengan mana para pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang

lain utuk membayar harga yang telah dijanjikan”.3

Perjanjian jual-beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang

melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang

membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban

untuk melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat. Sebagaimana

umumnya, perjanjian merupakan suatu lembaga hukum yang berdasarkan

asas kebebasan berkontrak dasar hukumnya pada rumusan Pasal 1320

KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya

dalam rumusan angka 4 Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan asas kebebasan

(17)

berkontrak ini para pihak yang membuat dan mengadakan perjanjian

diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian

yang melahirkan kewajiban apa saja selama atau sepanjang prestasi yang

wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan Pasal

1337 KUHPerdata menyatakan bahwa ”Suatu sebab adalah terlarang

apabila dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan

kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata telah memberikan

gambaran umum, bahwa pada dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan

diselenggarakan oleh setiap orang. Hanya perjanjian yang mengandung

prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak yang melanggar

Undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang dilarang.

Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458

KUHPerdata yang menetapkan ”Jual beli dianggap sudah terjadi antara

kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang

barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya

belum dibayar.

d. Utang-Piutang

“Utang-piutang adalah meminjamkan sesuatu kepada seseorang

dengan perjanjian bahwa orang yang meminjam akan mengembalikannya

sejumlah uang yang dipinjam”. Pengertian Utang menurut UUKPKPU

Undang-undang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No.37

(18)

baik mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung

maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul

karena perjanjian dan atau Undang-undang wajib dipenuhi oleh Debitur

dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat

pemenuhanya dari harta kekayaan Debitur. Pasal 1131 KUHPerdata yang

bunyinya “ Segala kebendaan si berutang,baik yang bergerak maupun yang

tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemdian hari,

menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”.

Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa debitur

bertanggung jawab terhadap utang-utangnya, tanggung jawab tersebut

dijamin dengan harta yang sudah ada dan yang akan ada dikemudian hari,

baik harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Ketentuan ini

didasarkan kepada azas tanggung jawab agar para debitur supaya

melaksanakan kewajibannya dan tidak merugikan Krediturnya.

e. Rumah

Undang-undang Republik Indonesia nomer 4 tahun 1992 tentang

Perumahan dan Pemukiman Pasal 1 ayat 1, Rumah adalah bangunan yang

berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan

keluarga. f. Tanah

Sebagaimana sudah dijelaskan dalam UUPA bahwa tanah itu hanya

merupakan salah satu bagian dari bumi, di samping ditanam di bumi

(19)

Pasal 1 ayat 2 PP 24 Tahun 1997, menyatakan bahwa bidang tanah

adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang

terbatas, dan itu saja yang merupakan obyek dari pendaftaran tanah di

Indonesia.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

1997tentang Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,

meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk

pemberian surat tanda bukri haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah

ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya.

Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa pengertian “land”

menurut hukum Inggris adalah pengertian yang kita kenal dengan

pengertian agraria karena seperti sudah dijelaskan sebelumnya mencakup

bumi, air dan ruang angkasa tersebut dan bahwa tanah menurut hukum

Indonesia (UUPA) hanya bagian terkecil dari bumi tersebut.

g. Hakim

Undang-undang nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Pasal 31menjelaskan ”Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan

kehakiman yang diatur dalam undang-undang”.

(20)

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik

didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan

berdasarkan ketentuan undang-undang tentang Advokat. Berdasarkan Kode

Etik Advokat yang baru, Advokat adalah Warga Negara Indonesia yang

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam

mempertahankan keadilan dan kebenaran yang dilandasi moral yang tinggi,

luhur, dan mulia dan dalam menjalankan tugasnya menjunjung tinggi

hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Kode Etik

Advokat, serta sumpah jabatannya.

i. Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang –

undang ini( Pasal 1 angka 1 UU no.30 tahun 2004).

Tugas dan kewenangan Notaris ini diatur dalam pasal 15 UU no.30 tahun

2004, yaitu :

(1) Notaris berwenang juga membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin

kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan

grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan

akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat

(21)

( 2 ) Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat

di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membuat kopi dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat

yang bersangkutan;

c. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat asli;

d. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar pada

buku khusus;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

f. membuat akta yang berakitan dengan pertanahan;

g. membuat akta risalah lelang;

j. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Dalam Pasal 1 angka 1 PP no.37 tahun 1998 menjelaskan yang

dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum mengenai

Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

Tugas pokok dan kewenagan PPAT diatur dalam Pasal 2 PP no.37

tahun 1998, yang berbunyi sebagai berikut :

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran

(22)

perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran

perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan

hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut :

a. jual beli

b. tukar-menukar

c. hibah

d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)

e. pembagian hak bersama

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik

g. pemberian Hak Tanggungan

h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan

6. Metode Penelitian

a. Jenis dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian ini adalah adalah penelitian hukum normatif yaitu

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder belaka atau penelitian hukum kepustakaan”.4 Tipe penelitian

(23)

studi kasus, ”studi kasus merupakan pendekatan yang bertujuan

mempertahankan keutuhan dari gejala yang diteliti”.5

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder

adalah data dari penelitian kepustakaan dimana dalam data sekunder terdiri

dari 3 ( tiga ) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:

1) Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat

berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya

dengan permasalahan yang dibahas. Terdiri dari :

a) PP no.37 Tahun 1998 tentang PPAT

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman

d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

e) Undang-undang Republik Indonesia Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan

bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku

literatur, hasil karya sarjana. Terdiri dari:

- Buku-buku tentang hukum perjanjian - Buku-buku tentang Penelitian Hukum

- Handout-handout mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum - KUHPerdata, Subekti

5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Universitas Indonesial,

(24)

- Pengadilan Negeri Surabaya, Putusan Nomer 594/ Pdt.G/ 2008 Tanggal 9 juni 2008 tentang jual beli rumah

3) Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai

pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya yaitu kamus hukum.6

c. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ini adalah dengan studi pustaka. Studi

kepustakaan yaitu mengumpulkan data-data yang diperoleh dari buku-buku

dan dari sumber-sumber data sekunder. Sebab ”Such documents not only

describe contemporary events, but also help to reveal how these events

have appeared to those living through them”.7

d. Metode Pengolahan Data

Metode yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah

”Editing yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat diper-

Tanggungjawabkan”. 8

e. Metode Analisis Data

Metode analisis data menggunakan metode deduktif, yaitu menalar

dari kasus –kasus individual nyata ke hal yang umum-abstrak.9

f. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai

tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban

6 Ibid., h.13

7 Indrati Rini, Handout Metode Penelitian Hukum

8Ibid

(25)

terhadap masalah. Lokasi yang di pilih sebagai lokasi penelitian adalah

Kantor Advokat Bapak Soetomo, S.H., M.Hum yang beralamat di Jl.

Rungkut Permai V-J / 11, Surabaya sebab sebagai tempat praktik magang.

g. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah 3 (tiga) bulan, dimulai dari bulan Mei

2010. Penelitian. Tahap persiapan penelitian ini, meliputi : penentuan

judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, penyusunan skripsi

dan sidang skripsi.

7. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui keseluruhan isi dari skripsi ini, maka dibuat suatu

sistematika secara garis besar yang terdiri dari 4 (empat) bab, yang

selengkapnya adalah sebagi berikut :

BAB I, merupakan pendahuluan yang meliputi uraian tentang latar balakang

masalah, latar belakang ini adalah dasar dari pemilihan judul skripsi, setelah

didapatkan permasalahan maka dimasukkan ke dalam rumusan masalah yang

akan menjadi topik pembahasan. Di dalam bab I ini juga terdapat tujuan

penelitian, manfaat penelitian, penjelasan judul, metodologi, lokasi dan waktu

penelitian. Agar keempat bagian tersebut dapat digunakan dalam menentukan

arah dari skripsi ini. Dengan maksud apa yang akan dikonsepkan dapat terarah

dengan jelas. Dan yang terakhir adalah sistematika penulisan yang berguna

(26)

BAB II, berisi tentang Perjanjian Jual-beli Berdasar Perjanjian Utang-piutang.

Penulis ingin mendeskripsikan apakah dapat berlangsung atau tidak Perjanjian

Jual-beli Berdasar Perjanjian Utang-piutang.

BAB III, berisi tentang alasan-alasan mengapa hakim memutuskan

pembatalan atas jual-beli rumah yang diajukan Penggugat.

BAB IV, berisi tentang Bantuan Hukum Advokat Terhadap Tergugat. Dalam

bab ini penulis ingin mendeskripsikan bentuk bantuan hukum Advokat

Terhadap Tergugat

BAB V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari pokok permasalahan

(27)

BAB II

PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH

BERDASAR PERJANJIAN UTANG PIUTANG

1. Perjanjian Utang Piutang Sebagai Perjanjian Pokok

Buku ketiga KUHPerdata membicarakan perutangan-perutangan akan

tetapi lalai menunjukkan apa yang dimaksud dengan perutangan itu. Dari

isinya ternyata bahwa perutangan itu ada seringkali seseorang (si

berhutang/debitur) terhadap seseorang lain (si berpiutang/kreditur) diwajibkan

untuk sesuatu prestasi yang dapat dipaksakan melalui peradilan atau dengan

perkataan lain perutangan itu merupakan hubungan hukum yang atas dasar itu

seseorang dapat mengharapkan suatu prestasi dari seseorang yang lain, jika

perlu dengan perantara hakim.

Perutangan-perutangan yang diatur dalam buku ketiga KUHPerdata,

dikatakan:

- Semua perutangan yang tertuju pada suatu prestasi yang dapt dipaksakan

melalui pengadilan, selama tidak diatur secara khusus ditempat lain, baik

di dalam KUHPerdata maupun di dalam kitab Undang-undang atau

Undang-undang yang lain, sebab juga di luar BW dan terutama dalam

WvK (KUHD) terdapat banyak hukum perutangan.

Tentang sifat perutangan hendaknya diperhatikan bahwa itu terdiri dari

(28)

termasuk hak-hak relatif (hak-hak nisbi) masih dapat ditunjukkan bahwa hak

yang timbul dari perutangan itu sendiri juga dapat dipandang sebagai suatu

”anak”.

Ciri perbedaan antara hak atas suatu benda dan hak yang timbul dari

perutangan ialah bahwa hak atas benda itu lebih bersifat tetap, sedangkan

tujuan yang normal dari perutangan ialah pemenuhannya, yang karenanya

perutangan itu hapus. Jika jumlah hal-hal kebendaan terbatas maka jumlah

perutangan-perutangan, terutama perutangan-perutangan yang timbul dari

perjanjian adalah tak terbatas.

Beberapa hal pokok dalam hukum perutangan :

a. Dalam hubungan hukum yang diwujudkan oleh perutangan senantiasa

terdapat sekurang-kurangnya dua orang, kreditur yang berpiutang dan

debitur yang berutang, tetapi dapat juga ada lebih dari seorang kreditur dan

atau debitur. Debitur harus selalu diketahui, karena tidak dapat orang

menagih dari seorang yang tak diketahui. Berlainan halnya tentang

kreditur, ia tidak hanya secara sepihak (artinya tanpa turut sertanya

debitur) dapat diganti (terutama dengan jalan cessi daripada piutangnya).

b. Debitur wajib untuk suatu prestasi, yang dapat berupa memberi, berbuat,

atau tidak berbuat (Pasal 1234 KUHPerdata).

c. Prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, tak dapat orang diwajibkan

untuk sesuatu yang isinya tidak diketahui dan juga tidak dapat ditetapkan.

Syarat ini, yang praktis hanya penting bagi perutangan-perutangan

(29)

d. Selanjutnya prestasi itu harus mungkin dan halal.

e. Prestasi dapat berupa suatu perbuatan satu kali, jadi sifatnya sepintas/lalu

(misal levering daripada sebuah benda), atau serentetan

perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya sedikit banyak terus menerus, itu antara lain

halnya pada perjanjian sewa menyewa dan perjanjian kerja. Dapat juga

prestasi itu berupa tingkah laku yang pasif belaka (perutangan untuk tidak

berbuat Pasal 1234 KUHPerdata).

f. Kebanyakan perutangan tidak berdiri sendiri melainkan bersama-sama

dengan perutangan lain-lain yang sifatnya berlain-lainan secara timbal

balik merupakan suatu hubungan hukum yang dapat dipandang sebagai

satu keseluruhan.

g. Untuk pemenuhan perutangan-perutangan si debitur bertanggung-gugat

dengan seluruh harta kekayaannya : Pasal dalam hal-hal pengecualian

dapat diterapkan paksaan badan.

Pembedaaan perutangan, perutangan-perutangan dapat dibeda-bedakan

menurut berbagai cara, salah satunya ialah perutangan prinsipal atau pokok

dan perutangan accesoir atau tambahan. Yang pertama merupakan pokok

sesuatu hubungan hukum, seperti misalnya pada perjanjian jual-beli,

kewajiban si penjual melever dan menanggung bebas (vrijewaren) Pasal 1474

KUHPerdata dan kewajiban si pembeli untuk membayar pasal 1513

KUHPerdata. Disamping perutangan-perutangan pokok ini terdapat

perutangan-perutangan tambahan, seperti misalnya kewajiban-kewajiban yang

(30)

1519 KUHPerdata. Akan tetapi dalam hal lain lagi masih terdapat pembedaan

yang disebut dengan nama-nama yang sama. Suatu perutangan dapat

mempunyai sifat berdiri sendiri, jadi terwujud tanpa sesuatu hubungan hukum

yang lain, tetapi dapat juga mempunyai sifat accesoir oleh sebab adanya

tergantung daripada adanya perutangan pokok yang lain. Suatu perutangan

jenis terakhir ini ialah perutangan yang timbul daripada bergtocht : itu tidak

dapat ada tanpa perutangan pokok. Perutangannya yang accesoir batal jikalau

perutangannya yang prinsipal tidak sah menurut hukum perutangan si borg

misalnya dapat digugat jikalau debitur pokok terikatnya tidak sah menurut

hukum.

Sumber-sumber dari perutangan dalam Pasal 1233 KUHPerdata terjadi

dari perjanjian atau dari Undang-undang. Perhutangan-perhutangan dari

perjanjian merupakan pokok dari title-title II dan V sampai dengan XVIII,

sedang title III mengatur perhutangan-perhutangan yang timbul dari

Undang-undang. Yang terakhir ini dibedakan Pasal 1352 KUHPerdata antara

perutangan-perutangan yang timbul dari Undang-undang belaka dan

perutangan-perutangan yang timbul dari Undang-undang karena perbuatan

manusia.

Pokok perjanjian biasanya terdiri dari kewajiban pokok dan kewajiban

pelengkap. Pokok perjanjian ini biasanya dibuat secara tertulis untuk tujuan

pembuktian. Kewajiban pokok adalah kewajiban yang fundamental dalam

setiap perjanjian, jika tidak dipenuhi kewajiban pokok akan mempengaruhi

(31)

memberikan pada pihak yang dirugikan hak untuk membatalkan atau

memutuskan perjanjian, atau meneruskan perjanjian pokok merupakan dasar

keseluruhan perjanjian. Suatu perjanjian dapat mencapai tujunya atau tidak

tergantung pada pemenuhan kewajiban pokok. Kewajiban pelengkap adalah

kewajiban yang kurang penting, yang sifatnya hanya melengkapi kewajiban

pokok saja. Tidak ditaati kewajiban pelengkap, tidak akan mempengaruhi

tujuan utama perjanjian dan tidak akan membatalkan atau memutuskan

perjanjian, melainkan mungkin hanya menimbulkan kerugian dan memberi

hak kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi. Untuk

mengetahui mana kewajiban pokok dan mana kewajiban pelengkap ditentukan

dalam Undang-undang atau dalam perjanjian.

2. Terjadinya Perjanjian Jual-Beli

Unsur-unsur pokok perjanjian jual-beli adalah barang dan harga sesuai

dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata,

perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat

mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak telah setuju tentang barang

dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah.10

Sifat konsensual dari jual-beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458

KUHPerdata yang berbunyi :

”Jual-beli dianggap sudah tercapai antara kedua belah pihak seketika setelah

mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu

belum diserahkan dan harganya belum dibayar”.

(32)

Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti kesepakatan.

Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara para pihak-pihak yang

bersangkutan dicapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang

dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain.

Kedua kehendak itu bertemu dalam sepakat tersebut. Tercapainya sepakat ini

dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan

misalnya : “setuju”, “accord”, ”ok”, dan lain-lain sebagainya ataupun dengan

bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis

sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa

yang tertera di atas tulisan itu. Dapat diketahui dan disimpulkan bahwa hukum

perjanjian KUHPerdata menganut asas konsensualisme. Menurut Subekti, asas

tersebut harus disimpulkan dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu Pasal yang

mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjiian dan tidak dari Pasal 1338 (1)

KUHPerdata seperti diajarkan oleh beberapa penulis karena dengan kata lain

kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.

Bukankah oleh Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang berbunyi: ”semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”, itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan

perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu Undang-undang. Kekuatan

seperti itu diberikan kepada ”semua perjanjian yang dibuat secara sah”.

Perjanjian yang dibuat secara sah itu diberikan oleh Pasal 1320 KUHPerdata

dengan hanya mengenai ketentuan pertama yaitu sepakat saja disebutkan tanpa

(33)

bahwa bilamana sudah tercapai kata sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian

itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-undang

yang membuatnya.11

Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak atau

keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di

dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin

melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian.

Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan

perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang

dapat menterjemahkan kehendak itu, bai oleh pihak yang mengambil prakarsa

yaitu pihak yang ”menawarkan” (melakukan ”offerte”) maupun oleh pihak

yang menerima penawaran tersebut.12 Dengan demikian, maka yang akan

menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut

adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.

Undang-undang berpangkal pada asas konsensualisme, namun untuk menilai

apakah telah tercapai konsensus (dan ini adalah maha penting karena

merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu

Undang-undang), kita terpaksa berpijak pada pernyataan-pernyataan yang telah

dilakukan oleh kedua belah pihak. Ini pula nerupakan suatu tuntutan kepastian

hukum. Bukankah dari ketentuan bahwa kita harus berpijak pada apa yang

telah dinyatakan itu timbul perasaan aman pada setiap orang yang telah

membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak mungkin dituntut memenuhi

(34)

kehendak-kehendak pihak lawan yang tidak pernah dinyatakan kepadanya.

Apabila timbul perselisihan tentang apakah terdapat konsensus atau tidak

(yang berarti apakah telah dilahirkan suatu perjanjian atau tidak), maka hakim

atau pengadilanlah yang menetapkannya13

Pernyataan timbal balik dari kedua belah pihak merupakan sumber

untuk menetapkan hak dan kewajiban bertimbal balik di antara mereka. Semua

pernyataan dapat tidaknya dipertanggung jawabkan pada (menimbulkan

kewajiban-kewajiban bagi) pihak yang melakukan pernyataan itu. Dapat

dikatakan bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut

yurisprudensi, pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat

adalah pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. Suatu pernyataan

yang kentara dilakukan secara tidak sungguh-sungguh atau mengandung sutu

kekhilafan atau kekeliruan tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar

kesepakatan. Dalam perjanjian sungguh-sungguh dituntut tercapainya suatu

perjumpaan kehendak, sudah lampau.

Perjumpaan kehendak atau konsensus itu diukur dengan

pernyataan-pernyataan yang secara bertimbal balik telah dikeluarkan. Berdasarkan

pernyataaan-pernyataan timbal balik itu dianggap bahwa sudah dihasilkan

sepakat yang sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti

Undang-undang). Sekali sepakat itu dianggap ada, maka hakimlah yang akan

menafsirkan apa yang telah disetujui, perjanjian apa yang telah dilahirkan dan

apa saja hak dan kewajiban para pihak.

(35)

BAB III

PUTUSAN HAKIM ATAS JUAL BELI RUMAH

1. Keabsahan Perjanjian Jual Beli Rumah

Jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak

lain untuk membayar yang telah dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang

satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas

barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain,

membayar harga yang telah disetujuinya. Meskipun tiada disebutkan dalam

salah satu pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa harga ini

harus berupa sejumlah uang karena bila tidak demikian dan harga itu berupa

barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi tetapi tukar menukar atau

barter. Yang harus diserahkan oleh penjual kepada pembeli adalah hak milik

atas barangnya, jadi bukan sekedar kekuasaan atas barang tersebut. Yang

harus dilakukan adalah penyerahan atau ”levering”secara yuridis. Menurut

hukum perdata ada tiga macam penyerahan yuridis:

a). Penyerahan barang bergerak.

b). Penyerahan barang tidak bergerak.

c). Penyerahan piutang atas nama.

Masing-masing mempunyai cara-caranya sendiri. Sebagaimana

(36)

terjadi dengan pengutipan sebuah ”akta transport”, dalam register tanah di

depan pegawai balik nama (Ordonansi Balik Nama L.N 1834/27). Sejak

berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No.5 Tahun

1960) dengan pembuatan akta jual beli oleh pejabat pembuat akta tanah.

Perjanjian jual-beli rumah sah dan memiliki kepastian hukum apabila

memenuhi hal-hal sebagai berikut:

1) Ada kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat mengenai harga dan ada

barangnya atau dilakukan secara tunai dan terang.

Perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada

orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal”.14

Suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak,

perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam

Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Cakap untuk membuat perikatan

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab atau causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat

ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru,

paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai

subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila

(37)

syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka

perjanjian batal demi hukum.15

Sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua

subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia

sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, jadi

yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang

lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut

hukum.pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaligh dan

sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum dalam Pasal 1330

KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk

membuat suatu perjanjian adalah :

1) Orang-orang yang belum dewasa.

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang,

dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Sebagai syarat ketiga suatu perjanjian harus mengenai suatu hak

tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua

belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan

dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang

itu sudah ada atau sudah berada ditangannya berutang pada waktu

(38)

perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya

tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.

Akhirnya oleh Pasal 1320 KUHPerdata ditetapkan sebagai syarat

keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal.

Dengan sebab (bahasa Belanda Oorzaak, bahasa Latin Causa) ini

dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Dengan segera harus

dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah

suatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud.

Bukan itu yang dimaksudkan oleh Undang-undang dengan sebab yang

halal itu. Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian

atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak

dipedulikan oleh undang-undang. Hukum pada asasnya tidak

menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang

dicita-citakan seorang. yang diperhatian oleh hukum atau undnag-undnag

hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.

Jual-beli adalah suatu perjanjian konsensuil artinya ia sudah

dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat atau mempunyai

kekuatan hukum) pada detik tercapainya sepakat antara penjual dan

pembeli mengenai unsur-unsur yang pokok yaitu barang dan harga,

biarpun jual-beli itu mengenai barang yang tak bergerak.

Sifat konsensuil jual beli ini ditegaskan dalam Pasal 1458

KUHPerdata yang berbunyi ”Jual-beli dianggap telah terjadi antara kedua

(39)

harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum

dibayar.”

2)Dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta

jual-beli.

Pasal 2 PP No.37/1998 tentang Tugas dan Kewenangan PPAT, sebagai

berikut :

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran

tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh

perbuatan hukum itu.

f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan

h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

3)Didaftarkan di Badan Pertanahan Untuk Perolehan Haknya.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa pendaftaran

tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum

(40)

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan bahwa

pendaftaran tanah diselenggrakan dalam rangka memberikan jaminan

kepastian hukum dibidang pertanahan dan bahwa sistem publikasinya

adalah sistem negatif, tetapi yang mengandung unsur positif, karena akan

menghasilkan surat-surat bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal

23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 38 ayat (2). pendaftaran tanah juga

tetap dilaksanakan melalui dua cara , yaitu pertama-tama sacara sistematik

yang meliputi wilayah satu desa atau keluharan .

Proses pendaftaran di Kantor Pertanahan:

a) Setelah berkas disampaikan ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan

memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada

PPAT, selanjutnya oleh PPAT tanda bukti penerimaan ini diserahkan

kepada Pembeli.

b) Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dan sertifikat

dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan

atau Pejabat yang ditunjuk.

c) Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan

kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat dengan bibubuhi

tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan

atau pejabat yang ditunjuk.

d) Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli sudah dapat mengambil

(41)

2. Dasar Pertimbangan Hakim

a. Antara Penggugat dan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan

jual-beli atas bangunan yang terletak di Jl. Dharmawangsa VII/20-A Surabaya

pada tanggal 31 Agustus 2006, namun bukti yang diajukan penggugat

tidak sesuai dengan gugatan yang di tujukan kepada Tergugat, hal ini

dibuktikan dengan Bukti P-1 dan P-2, antara lain:

Bukti P-1 berupa pengakuan hutang tertanggal 24 Agustus 2006 yang

menerangkan Tergugat I mengaku mempunyai hutang kepada

Penggugat berupa :

- 1(satu) buah mobil dengan nilai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta

rupiah)

- 1(satu) buah sepeda motor dengan nilai Rp 10.000.000,-(sepuluh

juta rupiah)

- Uang (gadai perhiasan) sebesar Rp 85.000.000,-(delapan puluh

lima juta rupiah)

- Bunga uang gadai selama 5(lima) bulan sebesar Rp

12.750.000,-(dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

Bukti P-2 berupa surat penyelesaian hutang tertanggal 24 Agustus

2006, yang menerangkan Tergugat I dan mengembalikan sebagian dari

pinjaman kepada Penggugat sebesar Rp 85.000.000,-(delapan puluh

(42)

b. Bukti-bukti P-1 dan P-2 serta keterangan saksi Penggugat telah dapat

dibuktikan dan benar, bahwa Tergugat I mempunyai hutang kepada

Penggugat.

c. Bukti-bukti yang diajukan oleh Penggugat ternyata tidak terdapat adanya

bukti yang dapat memberi petunjuk bahwa hutang piutang antara Pengugat

dam Tergugat I terdapat dan diperjanjikan sebelumnya adanya jaminan

hutang yang berupa tanah dan bangunan di Jl. Dharmawangsa VII/20-A

Surabaya.

d. Dalil gugatan dengan bukti-bukti yang diajukan terdapat ketidak

sinkronan, dimana dalil gugatan Penggugat adalah tentang jual-beli

sementara bukti-bukti sebagai pendukungnya justru tentang utang piutang.

e. Bahwa dalam berlangsungnya jual-beli perlu diperhatikan hal-hal sebagai

berikut :

- Adanya kehendak dari kedua belah pihak dan sepakat mengenai harga

dan ada barangnya atau dilakukan secara tunai dan terang.

- Dilakukan dihadapan pejabat pembuat akta tanah dan dibuatkan akta

jual-beli.

- Didaftarkan di Badan Pertanahan untuk perolehan haknya.

f. Bukti yang diajukan ternyata jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I

mengenai harga barang tidak terdapat adanya kepastian, karena masih

(43)

g. Jual-beli yang dilakukan dibawah tangan tanpa diikuti perbuatan hukum

dihadapan notaris ataupun dilanjutkan dengan permintan perolehan hak di

Badan Pertanahan.

h. Perbuatan hukum hutang piutang tentunya tidak dapat dikompensasikan

atau dialihkan menjadi beli, apalagi barang yang menjadi obyek

jual-beli tidak pernah diperjanjikan sebagai jaminan hutang piutang antara

Penggugat dan Tergugat I dan Tergugat II, sehingga apabila kemudian

terjadi jual-beli, maka jual-beli atas sebidang tanah dan bangunan yang

terletak di Jl. Dharmawangsa VII/20-A Surabaya yang didasarkan pada

hutang piutang tidak dapat dibenarkan dan dapat dikatakan tidak sah

sesuai Pasal 1320 BW didukung dengan putusan Mahkamah Agung RI

No. 2584.K/Pdt/1988 tanggal 4 April 1988, yang menyatakan Suatu akta

pengakuan hutang yang memuat klausul milik beding yaitu tanah akan

jatuh menjadi milik kreditor apabila debitur tidak membayar hutang secara

umum tidak dapat dibenarkan, begitu pula pemberian kuasa mutlak tidak

dapat dibenarkan.

Walaupun perjanjian dalam suatu akta notaris, dimana seseorang

memberi kuasa pada orang lain untuk menjual rumah sengketa kepada

pihak ketiga maupun kepada dirinya sendiri dianggap sah. Namun

mengingat riwayat surat kuasa tersebut yang sebelumnya bermula dari

surat pengakuan hutang dengan menjaminkan rumah sengketa yang karena

tidak dapat dilunasi pada waktunya dirubah menjadi kuasa untuk menjual

(44)

perjanjian semu untuk menggantikan perjanjian asli yang merupakan

hutang piutang. Karena debitur terikat pula dengan hutang piutang lainnya

yang sudah memperoleh keputusan peradilan yang berkeputusan tetap,

maka ia dalam posisi lemah dan terdesak terpaksa menandatangani

perjanjian yang bersifat memberatkan baginya maka perjanjian berikutnya

dapat diklasifikasikan sebagai kehendak satu pihak adalah tidak adil

(45)

BAB IV

BANTUAN HUKUM ADVOKAT TERHADAP TERGUGAT

1. Substansi Bantuan Hukum dalam Menangkis Gugatan

Substansi Bantuan hukum dalam menangkis gugatan antara lain :

a. Timbulnya transaksi jual-beli berawal dari hutang piutang antara

Penggugat dengan Tergugat I.

Gugatan dengan bukti-bukti yang diajukan terdapat ketidak

sinkronan, dimana dalil gugatan Penggugat adalah tentang jual-beli

sementara bukti-bukti sebagai pendukungnya justru tentang hutang

piutang. Bukti yang diajukan penggugat tidak sesuai dengan gugatan yang

di tujukan kepada Tergugat, hal ini dibuktikan dengan Bukti P-1 dan P-2,

antara lain:

Bukti P-1 berupa pengakuan hutang tertanggal 24 Agustus 2006 yang

menerangkan Tergugat I mengaku mempunyai hutang kepada

Penggugat berupa :

- 1(satu) buah mobil dengan nilai Rp 50.000.000,- (lima puluh juta

rupiah)

- 1(satu) buah sepeda motor dengan nilai Rp 10.000.000,-(sepuluh

juta rupiah)

- Uang (gadai perhiasan) sebesar Rp 85.000.000,-(delaan puluh lima

(46)

- Bunga uang gadai selama 5(lima) bulan sebesar Rp

12.750.000,-(dua belas juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)

Bukti P-2 berupa surat penyelesaian hutang tertanggal 24 Agustus

2006, yang menerangkan Tergugat I aan mengembalikan sebagian dari

pinjaman kepada Penggugat sebesar Rp 85.000.000,-(delaan puluh

lima juta rupiah).

Bukti-bukti P-1 dan P-2 serta keterangan saksi Penggugat telah dapat

dibuktikan dan benar, bahwa Tergugat I mempunyai hutang kepada

Penggugat.

b. Adanya paksaan dalam perjanjian

Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu,

harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sub bab

yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu :

1) Paksaan

2) Kekhilafan, dan

3) Penipuan.

Yang dimaksud dengan paksaan, adalah paksaan rohani atau

paksaan jiwa ( psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah

satu pihak, karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu

perjanjian. Jadi kalau seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa

menulis tanda tangan di bawah sepucuk surat perjanjian, maka itu bikanlah

paksaan dalam arti yang dibicarakan di sini, yaitu sebagai salah satu alasan

(47)

dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya,

sedangkan yang dipersoalkan di sini adalah orang yang memberikan

persetujuan (perizinan). 16

c. Tidak ada penyerahan surat-surat tentang hak yang berkenaan dengan

bangunan tersebut

Menyerahkan adalah memindahkan barang yang telah dijual itu

menjadi milik si pembeli. Jadi, penyerahan (levering) itu, suatu perbuatan

hukum yang harus dilakukan untuk memindahkan hak milik dari satu ke

orang lain,dari si penjual kepada si pembeli. Kita sudah melihat bahwa

menilik macam-macamnya barang yang harus diserahkan itu dalam hukum

perdata ada tiga macam dalam penyerahan (barang bergerak, barang tak

bergerak, dan piutang atas nama).

Biaya penyerahan harus dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya

pengambilan harus dipikul oleh si pembeli, juka tidak diperjanjikan

sebaliknya (Pasal 1476 KUHPerdata).

Penyerahan harus dilakukan di tempat dimana barang yang

diperjual belikan itu berada, pada waktu ditutupnya perjanjian jual-beli

tersebut, jika tentang itu tidak ada perjanjian lain (Pasal 1477

KUHPerdata).

Barang harus diserahkan dalam keadaaan dimana ia berada pada

saat ditutupnya perjanjian jual-beli. Sejak saat itu segala hasil menjadi

kepunyaan si pembeli (Pasal 1481 KUHPerdata)

(48)

Sebagaimana diketahui dalam hukum benda mengenai penyerahan

barang tidak bergerak, terjadi dengan pengutipaan sebuah ”akta transport”,

dalam register tanah di depan pegawai balik nama (Ordonansi Balik Nama

L.N 1834/27). Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Agraria

(Undang-undang No.5 Tahun 1960) dengan pembuatan akta jual beli oleh pejabat

pembuat akta tanah. Tanpa ada penyerahan maka hak milik tidak akan

berpindah dengan sendirinya walaupun telah melakukan perjanjian jual

-beli.

Hak milik belum berpindah pada pihak tergugat karena perjanjian

jual beli itu hanya obligatoir saja, jual-beli itu belum memindahkan hak

milik, dikemukan mengenai sifat jual-beli dari Pasal 1459 KUHPerdata

yang menerangkan bahwa hak milik atas barang yang dijual tidaklah

berpindah kepada si pembeli selama penyerahannya belum dilakukan

d. Landasan suami istri, istri menjual rumah telah mendapat persetujuan

suami

Sesuai Pasal 1320 ayat 2 KUHPerdata “cakap untuk membuat sutu

perjanjian”, Orang yang membuat pejanjian harus cakap menurut hukum.

Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat

pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUHPerdata disebut

sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian

adalah seagai berikut :

1. Orang-orang yang belum dewasa

(49)

3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,

dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Duduk perkara dalam perjanjian jual-beli rumah antara Turut

Tergugat dan Tergugat I adalah sah karena Tergugat I telah dapat ijin dari

sang suami yaitu Tergugat II untuk melakukan jual-beli rumah. Hal ini

didukung oleh Pasal 108 KUHPerdata yaitu seorang perempuan yang

bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau

izin (kuasa tertulis) dari suaminya.

e. Perjanjian Jual-beli antara turut Tergugat dengan tergugat I dilakukan

dihadapan notaris

Perjanjian jual-beli rumah antara Turut Tergugat dengan Tergugat

telah terjadi kesepakaan sebelumnya dan perjanjian jual-beli rumah

tersebut dilakukan dihadapan notaris.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang –

undang ini( Pasal 1 angka 1 UU no.30 tahun 2004).

Tugas dan kewenangan Notaris ini diatur dalam pasal 15 UU

no.30 tahun 2004 ayat 1, yaitu :

“Notaris berwenang juga membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan

(50)

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan

akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang

telah ditetapkan oleh undang-undang”

Perjanjian agar dilakukan dihadapan notaris guna mendapatkan

kepastian hukum mengenai perjanjian yang dibuat.

f. Perjanjian jual-beli antara Penggugat dan Tergugat I dilakukan perjanjian

di bawah tangan.

Perjanjian yang dibuat hanya antara para pihak saja, yaitu Pihak

Penggugat dan Tergugat I tanpa dihadiri atau dibuat dihadapan notaris

sehingga tidak ada kepastian hukum mengenai perjanjian yang dibuat

antara Penggugat dan Tergugat I.

g. Tidak adanya itikad baik yang ditunjukkan Penggugat

Pihak Penggugat ingin memiliki obyek bangunan berupa rumah

milik Tergugat, karena Tergugat dianggap belum sanggup untuk melunasi

hutangnya, usaha yang dilakukan oleh pihak tergugat yaitu mengalihkan

perjanjian utang piutang kepada perjanjian jual-beli, tentu hal ini

merupakan suatu usaha untuk merubah esensi dari perjanjian pokok, yang

pada awalnya adalah perjanjian hutang piutang berubah menjadi perjanjian

jual beli, disini kuasa hukum tergugat menyimpulkan tidak adanya itikad

baik yang ditunjukkan oleh pihak Penggugat dalam melakukan perjanjian

jual beli. Yang dimaksud dengan itikad baik dala Pasal 1338 BW adalah

(51)

pelaksaanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan

kesusilaan. Apabila yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan itu

undang-undang tidak memberikan rumusannya, tapi jika dilihat dari arti

katanya kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian kecocokan,

sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari kata-kata ini

dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang

patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab sebagaimana

sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang berjanji. Jika terjadi

selisih pendapat tentang pelaksanaan itikad baik, hakim diberi wewenang

oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan apakah

ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutam dan kesusilaan itu. Ini

berarti bahwa hakim berwenang menyimpang dari isi perjanjian menurut

kata-katanya apabila pelaksanaan menurut kata-kata itu bertentangan

dengan itikad baik yaitu norma kepatutan dan kesusilaan. Pelaksanaan

yang sesuai dengan norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang

adil. Tujuan hukum adalah menciptakan keadilan.

Menurut Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, semua perjanjian itu

harus dilaksanakan dengan itikad baik (dalam bahasa Belanda tegoeder

trouw; dalam bahasa Inggris in good faith, dalam bahasa Prancis de bone

foi). Norma yang dituliskan di atas ini merupakan suatu sendi yang

terpenting dalma hukum perjanjian. Apakah artinya, bahwa semua

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja, Budaya Organisasi dan Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai.. Jurnal Ekonomi &

Berdasarkan hasil pengujian pada sistem pengoreksi kesalahan ejaan, sistem sudah dapat memeriksa keberadaan kata pada kamus dan memberikan sugesti untuk kata yang

Informasi yang dihasilkan belum bisa tepat pada waktunya, front office atau manajer tidak dapat melakukan laporan pemesanan, transaksi, dan laporan bahan baku secara

memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter Adapun apa yang menjadi dasar hukum dalam pelayanan medik, menurut King bahwa

Berdasarkan hasil observasi pada pelatihan ini, saat para peserta melakukan diskusi kelompok dan sharing bersama dalam kelompok besar mengenai kasus yang mereka

Faktor yang melatarbelakangi adanya perilaku yang menyimpang tersebut adalah adanya perbedaan lingkungan pekerjaan, masih rendahnya pengetahuan pemakai mengenai

Penambahan konsentrasi WPI dalam temu hitam didapati berpengaruh terhadap aktivitas air yang rendah, peningkatan total padatan dan kandungan protein kasar di dalam serbuk

Makin besar indek kegemburan tanah, makin sulit partikel tanah tersebut untuk dipecah atau dengan kata lain bahwa untuk memecah agregat tanah tersebut