• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL

2.2 Resensi Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”

2.2.5 Sudut Pandang (Pusat Pengisahan)

Sudut pandang atau point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, dikutip Nurgiyantoro, 1998:248). Dengan demikian, sudut pandang

pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Menurut Aminuddin (2000:96) sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut. Dengan kata lain posisi pengarang menempatkan dirinya dalam cerita tersebut dari titik pandang ini pula pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya. Terdapat beberapa jenis sudut pandang (pusat pengisahan/point of view), yaitu:

1. Pengarang sebagai tokoh utama. Sering juga posisi yang demikian disebut sudut pandang orang pertama aktif. Disini pengarang menuturkan dirinya sendiri.

2. Pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Disini pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita, akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Dalam posisi yang demikian itu sering disebut sudut pandang orang pertama pasif.

3. Pengarang hanya sebagai pengamat sebagai yang berada di luar cerita. Disini pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal

Dalam hal ini, sudut pandang pengarang Michiyo Inoue dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” adalah sebagai tokoh utama. Michiyo Inoue sebagai pengarang novel ini menceritakan pengalaman pribadinya dalam membesarkan dan mendidik anaknya yang menderita kebutaan semenjak lahir yang bernama Miyuki Inoue di wilayah Kurume, Provinsi Fukuoka.

2.3 Kondisi Kehidupan Penyandang Cacat di Jepang

Sebelum perang tahun 1945, orang-orang cacat fisik dan mental, yatim piatu, dan orang-orang tua yang kesepian tanpa keluarga dapat melindungi dirinya melalui bantuan sanak saudara atau belas kasihan dari tetangga sekitarnya. Beberapa orang yang tidak memiliki sanak saudara dan tidak memiliki pekerjaan, menerima bantuan dari yayasan-yayasan sosial swasta. Fasilitas bantuan masyarakat sungguh langka, dan kebanyakan yayasan sosial seperti usaha-usaha karitatif yang dilaksakan oleh berbagai organisasi keagamaan atau orang-orang dermawan, hampir-hampir tidak dapat bertahan dalam perjuangannya.

Keadaan itu jauh lebih baik setelah perang, dan program kesejahteraan sosial didasarkan atas Lima Undang-Undang Kesejahteraan Sosial, yaitu undang-undang kesejahteraan bagi anak-anak, orang-orang lanjut usia, penyandang cacat fisik, orang-orang lamban mental, ibu bersama anaknya yang tidak menerima nafkah dari ayahnya. Faktanya bahwa telah terjadi perubahan besar dalam hal bantuan itu setelah perang telah diatur undang-undang, meskipun fasilitas kesejahteraan dan hal-hal lainnya masih belum mencukupi.

Disampaikan dalam Kongres Dunia ke-6 oleh Organisasi Penyandang cacat Dunia, di Saporo, Jepang bahwa pandangan masyarakat Jepang sendiri terhadap penyandang cacat sebenarnya tidak dapat ditafsirkan dengan jelas. Namun pandangan dan sikap masyarakat jepang terhadap penyandang cacat dapat dilihat dari persfektif budaya Jepang itu sendiri. Masyarakat Jepang menganut filsafat yang menganggap manusia dapat dirubah keadaan dan sifatnya melalui usaha orang lain atau usaha sendiri, meskipun dengan takdir apapun ia dilahirkan.

Sesungguhnya takdir bisa diinterpretasikan sebagai sesuatu yang baik dan yang buruk, dan merupakan sesuatu yang bisa dirubah.

Jika mengacu pada filsafat tersebut mestinya masyarakat Jepang tidak memiliki pemikiran-pemikiran yang sempit mengenai penyandang cacat. Karena pada kenyataannya masyarakat masih menganggap kecacatan sebagai suatu aib, sehingga penyandang cacat harus disembunyikan keberedaannya. Faktanya pandangan masyarakat Jepang terhadap penyandang cacat dari zaman sebelum perang dan sesudah Perang Dunia II ini menyebabkan diskriminasi pada mereka.

Dilihat dari persfektif sosialnya, Jepang merupakan Negara yang menganut hubungan kelompok. Sama seperti Negara Asia lainnya, masyarakat Jepang menilai seseorang dari keterkaitannya pada lingkungannya. Misalnya pada tanggung jawab kelompok, yang memikul tanggung jawab penghormatan pada senioritas dan menjaga perasaan orang lain serta kesetiaan pada kelompok. Sebagai refleksi inilah, seorang penyandang cacat bisa tersosialisasi bahwa kelompok (keluarga) akan memenuhi segala kebutuhannya karena mereka berkewajiban memelihara anggota kelompoknya. Hal ini yang menyebabkan seorang penyandang cacat “menerima” apa yang disediakan tanpa mengeluh dan enggan mengungkapkan keinginannya dan kebutuhannya secara terus terang untuk menghindari konflik atau tekanan dari warga lainnya. Hal inilah yang banyak menyebabkan masyarakat menginterpretasikan orang cacat adalah individu yang lemah, dan harus dibantu dan dikasihani.

Berdasarkan Konvensi Internasional Penyandang cacat dijelaskan bahwa kecacatan berarti apapun kesulitan yang dialami, karena lingkungan sosial yang membutuhkan tingkat kemampuan dan keterampilan tertentu, tanpa

mempertimbangkan kelainan yang menyangkut cedera atau sakit. Penyandang cacat berarti orang yang mempunyai atau mengalami kesulitan dalam hidup, dalam waktu jangka panjang atau cacat masa depan. Orang cacat berarti orang-orang dalam situasi atau kondisi kurang beruntung dibandingkan orang-orang yang tidak cacat. Sementara itu diskriminasi terhadap penyandang cacat berarti situasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau konteks lain yang berkaitan dengan kondisi kehidupan, dimana hak gerak dalam kehidupan sosial terbatas karena kelainan fisik dan psikologis.

Di Negara Jepang, keberadaan penyandang cacat merupakan satu bagian intergritas dalam masyarakat. Dengan keterbatasan, mereka harus tetap menjalankan kehidupan sosialnya. Hal ini menyangkut kehidupan penyandang cacat disegala aspek kehidupan. Segala aktifitas penyandang cacat ini didukung dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mempermudah akses kehidupan mereka. Sejak Perang Dunia II, 60 ribu penyandang cacat di kota-kota terbatas aktivitasnya karena keterbatasan fasilitas pendukung hidup. Pada tahun 1994 para penyandang cacat mulai membuat suatu lembaga pusat komunitas yang dinamakan Pusat Masyarakat Penyandang Cacat. Lembaga ini merupakan tempat rehabilitasi penyandang cacat. Sebagian orang menganggap rehabilitasi justru akan memisahkan penyandang cacat dari kehidupan sosial masyarakat. Jadi rehabilitasi bukanlah solusi terbaik mengatasi masalah hidup penyandang cacat. Untuk menunjang kebutuhan penyandang cacat tanpa melupakan bahwa penyandang cacat perlu menjalin hubungan dengan sesama individu lainnya untuk dapat bersosialisasi di dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan

yang lebih arif tanpa melupakan pentingnya sosialisasi dalam masyarakat bagi penyandang cacat.

Para penyandang cacat dengan keterbatasannya mengalami kesulitan menjalankan fungsinya sebagai individu dalam suatu masyarakat. Banyak ketidaknyamanan yang timbul saat mereka beraktivitas di lingkungan sekolah, tempat bekerja, dan tempat-tempat publik lainnya. Keterbatasan dan ketidaknyamanan itu yang membuat penyandang cacat enggan bersosialisasi dan berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat.

Di tahun 2001 banyak berdiri pelayanan-pelayanan publik bagi penyandang cacat, baik itu swasta maupun milik pemerintah. Hal ini menukjukkan perhatian masyarakat terhadap para penyandang cacat, agar keberadaan mereka tidak lagi dianggap sebagai komunitas yang terabaikan dan sebagai penunjang bagi kesejahteraan hidup mereka dan sebagai satu integritas kehidupan bermasyarakat dalam segala bidang, sehingga diharapkan penyandang cacat memiliki kesempatan dan persamaan dalam berbagai aspek kehidupan di Jepang.

Beberapa kesempatan yang ditawarkan pemerintah Jepang terhadap para penyandang cacat dari tahun ke tahunnya mengalami perbaikan, meliputi aspek: 1. Pendidikan

Sejak tahun 1972, telah ditetapkan kewajiban belajar bagi seluruh rakyat di Jepang selama 4 tahun. Kemudian pada tahun 1907 menjadi wajib belajar 9 tahun, dan pada tahun 1910 tercatat pelaksanaannya mencapai 98%. Sementara itu sesudah Perang Dunia II pemerintah Jenag membuat pendidikan khusus bagi

orang-orang cacat. Pelaksanaannya seluruhnya dikerjakan oleh pemerintah kota dan provinsi.

Pada tahun 1976 pemerintah Jepang mengalokasikan dana pendidikan lebih dari 9 triliyun yen dan 2% dari dana itu diperuntukkan bagi pendidikan khusus bagi penyandang cacat. Pada tahun 1979 dibuat peraturan pemisahan antara pendidikan khusus dengan pendidikan khusus dan wajib bagi sekolah menengah umum yang terdapat penyandang cacat untuk memisahkan anak-anak cacat tersebut.

Sekolah-sekolah pelatihan bagi penyandang cacat dibuat di jantung kota. Sekolah pelatihan khusus tersebut merupakan sekolah pelatihan khusus yang mendukung pendidikan bagi anak-anak cacat yaitu bagi anak-anak buta dan juga anak-anak tuli. Namun pendidikan khusus ini jenis pendidikannya memiliki perbedaan dari sekolah umum. Pendidikan bagi penyandang cacat di Jepang sama sekali tidak dipungut biaya sedikitpun, hal ini dijamin oleh konstitusi Jepang. Kurikulum yang hingga kini masih menuju perbaikan-perbaikan yaitu kurikulum pendidikan berdasarkan persamaan. Salah satu program kurikulum tersebut adalah kunjungan kelas-kelas biasa. Dengan adanya program ini para penyandang cacat dapat memiliki kesempatan untuk menghadiri kelas-kelas biasa. Selain itu pendidikan inklusif bagi penyandang cacat akan terus dilaksanakan.

2. Pekerjaan

Kesempatan pekerjaan bagi penyandang cacat diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Penyandang Cacat. Isinya mengatur hak-hak serta larangan diskriminasi dalam pekerjaan. Kesempatan bekerja bagi penyandang

cacat dibuka sesuai ketentuan-ketentuan. Penyandang cacat juga memiliki hak untuk bergabung dalam serikat pekerja. Pelatihan-pelatihan kerja bagi penyandang cacat adalah program yang dibuat untuk membekali keahlian bagi penyandang cacat. Pekerja dengan kondisi cacat yang bekerja dibebaskan dalam pungutan pajak pendapatan.

Undang-undang tersebut juga mengatur jumlah persentase penerimaan jumlah pekerja cacat yang bekerja di beberapa instalasi. Ketentuan persentase tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan swasta, 1,8% dari seluruh jumlah karyawan 2. Koperasi, 2,1% dari seluruh jumlah karyawan

3. Negara dan Pemerintah Daerah, 2,1% dari keseluruhan jumlah karyawan yang bekerja dalam setiap bidang-bidangnya.

4. Dewan Pendidikan dan Prefektur, 2% dari seluruh jumlah karyawan yang bekerja di setiap bidang.

Kemudian untuk mencegah hal-hal diskriminasi dalam pekerjaannya terhadap para penyandang cacat, pemerintah Jepang juga membuat larangan diskriminasi dalam hal pekerjaan bagi penyandang cacat. Larangan diskriminasi tersebut adalah:

1. Penolakan atas pengangkatan atau pemberhentian penyandang cacat atas dasar kecacatan yang di deritanya

2. Melakukan hal yang merugikan pada penyandang cacat atas kondisi atau lingkungan kerja, gaji, dan promosi.

3. Membatasi akses ke kualifikasi tertentu atau membatasi aplikasi bagi kesempatan penyandang cacat untuk tetap bisa bekerja.

3. Fasilitas Publik

Untuk mendukung aksesibilitas penyandang cacat pada tahun 1973 pemerintah daerah Tokyo pertama kalinya membuat kebijakan Machida, yaitu Tokyo sebagai kota bebas hambatan, yang sekarang merupakan kota Pusat Hidup

Mandiri. Kota bebas hambatan dengan rancangan, dimana semua sisi publik kota

bisa dilalui oleh penyandang cacat dengan mudah dan nyaman. Program Bebas

Hambatan ini terus berkembang hingga saat ini. Sebab di dalam Undang-Undang

tercantum bahwa hak atas kebebasan bergerak. Program Bebas Hambatan yaitu, penyediaan fasilitas dan transportasi yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, sehingga mempermudah akses hidup penyandang cacat, yaitu antara lain;

1. Desain arsitektur yang tidak mempersulit penyandang cacat meliputi, jalan dan trotoar yang bisa dilalui penyandang cacat yang menggunakan kursi roda dan orang buta.

2. Akses keluar masuk bangunan-bangunan publik, seperti lift yang bisa dipakai oleh pengguna kursi roda.

3. Sarana-sarana transportasi umum seperti bus, kereta api, terminal, bandara, pelabuhan misalnya pengadaan bus Machida tahun 1972, dimana di dalam bus tersebut penyandang cacat bisa tetap berada di atas kursi roda. Sarana pendukung di terminal, misalnya mesin penjual tiket yang khusus di pakai oleh penyandang tuna netra (buta).

4. Fasilitas umum, seperti telepon umum, toilet di tempat umum, dan lain sebagainya.

5. Bantuan pemerintah berupa, kredit perumahan jenis bebas hambatan dengan peralatan didalamnya sesuai yang dibutuhkan penyandang cacat.

Selain itu pada tahun 1984, pemerintah juga telah memperbaharui cetakan alat tukar resmi yaitu uang dengan menambahkan tanda khusus pada cetakan uang kertas bagi para tuna netra untuk mengidentifikasi nilai mata uang yang tertera dan untuk mengidentifikasi keasliannya. Sebelumnya pada tahun 1974, pemerintah membuat kebijakan dalam penyiaran, agar setiap stasiun berita diharuskan memakai peraga bahasa untuk mereka yang mengidap cacat tuli (tuna rungu) di setiap siaran-siaran televisi.

2.4 Peranan Ibu di Jepang Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak-Anaknya

Memilih bagi wanita Jepang merupakan tindakan yang sangat profesionalisme. Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja, dianggap sebagai chuto hanpa-peran tanggung, sama sekali tidak populer di Jepang. Pilihannya adalah menjadi ibu dari manusia jepang atau tidak sama sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban.

Bagi wanita pekerja Jepang-wanita tidak menikah/menikah tidak melahirkan anak, bisa mencapai jabatan yang setinggi-tingginya apabila dia sanggup dan mampu. Astronot wanita pertama, bahkan mungkin yang pertama pula di dunia, terbang dua kali dengan NASA, yaitu yang pertama dengan pesawat luar angkasa Columbia pada juli 1994 dan yang kedua dengan pesawat Discovery pada November 1998 adalah seorang wanita jepang, Dr. Chiaki Mukai. Menteri Luar Negeri sekaligus Deputi Perdana Menteri dari Negara super economic power

sekaligus bangsa tersejahtera di dunia serta memiliki harapan hidup terlama, dan sedang berjuang meningkatkan peranan Jepang di Dewan Keamanan PBB, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi.

Bagi wanita Jepang yang memilih melahirkan anak. Secara ilmiah maupun dalam tradisi Jepang, memiliki kewajiban yang disebut dengan mitsu no tamashi yaitu masa-masa emas meletakkan pendidikan dasar dalam usia 3 tahun pertama masa perkembangan pesat otak seorang anak. Adalah penyebab utama ibu-ibu muda di Jepang yang berpendidikan meninggalkan lapangan pekerjaannya demi melaksanakan ikuji meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya..

Agar para ibu muda Jepang tidak perlu membantu mencari tambahan nafkah keluarga. Pemerintah Jepang menyediakan pemukiman sewa layak untuk para keluarga muda, sejak dari zaman masih dinding terbuat dari papan hingga kini beton bertingkat tahan gempa dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang semakin maju sperti teknologi informasi. Tanpa didorong-dorong namun dengan daya tarik berupa sistem keamanan sosial, sarana dan prasarana serta pengetahuan yang semakin baik. Secara alamiah nilai keibuan yang dimiliki sebahagian besar wanita Jepang bisa berkembang menumbuh-kembangkan anak-anak beserta lingkungannya. Tidak heran jika anak-anak di Jepang, pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya.

Kaum ibu di Jepang Justru merasa bahagia, tersanjung dan dimuliakan dengan jabatan dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Istilah ryosai kentro (istri yang baik dan ibu yang arif) menggambarkan suatu kebijakan yang memposisikan kaum wanita sebagai ‘penguasa rumah’, yang bertanggung jawab atas segala

sesuatu yang terjadi di rumah. Dari mulai pekerjaan-pekerjan rumah tangga, masalah keuangan, dan pendidikan anak. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk mengundurkan diri dari karir mereka demi mengasuh dan mendidik sendiri anak-anak mereka di rumah.

Berdasarkan riset dari Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang menyebutkan bahwa 61% ibu muda di Jepang keluar dari pekerjaannya menjelang kelahiran anaknya untuk membesarkan buah hatinya. Survey diatas melibatkan 21.879 ibu muda yang melahirkan antara bulan Januari tanggal 10-17 pada tahun 2001, dibagi dalam 4 periode. Setahun sebelum melahirkan, saat melahirkan, 6 bulan setelah melahirkan dan 18 bulan stelah melahirkan. Didapat 73% dari jumlah responden mempunyai pekerjaan diluar rumah sebelum melahirkan anaknya. 53% keluar dari tempatnya bekerja sesaat sebelum melahirkan dan tidak kembali bekerja lagi. Ditambah dengan yang keluar dari pekerjaannya setelah melahirkan, jumlah seluruhnya menunjukkan 61% ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anaknya.

Dari masa ke masa grafik pekerja wanita Jepang (usia menikah 27 tahun) yang keluar dari lapangan kerja terus meningkat. Kemudian diusia 40 tahun ke atas grafik wanita yang memasuki lapangan kerja mulai meninggi lagi. Hal ini dikaitkan dengan adanya kelahiran dan masa membesarkan anak-anak oleh ibu-ibu jepang. Tahunfiskal 2003 mencatat jumlah seluruh angkatan kerja wanita di jepang sebanyak 25,5 juta yang 41,4% (9,3 juta) adalah pekerja wanita paruh waktu, bekerja jurang dari 35 jam dalam seminggu. Dari hasil seluruh total lapangan kerja paruh waktu, 77,4% diduduki oleh tenaga kerja wanita.

Merekalah yang membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa dari bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan pengaruh wanita Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangatkrusial bagi keberhasilan ekonomi suatu bangsa. Jadi, wanita Jepang ternyata memiliki peran yang positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan fondasi pendidikan dan sosial yang begitu vital bagi kinerja kebangkitan ekonomi bangsa. Wanita Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama pentingnya dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial.

Diplomasi Jepang di luar negeri tentang peranan wanita Jepang sebagai

senggyo syuhu (ibu rumah tangga) dan kyoiku mama (ibu pendidikan), memang

nyaris tidak terdengar. Namun aplikasinya di kehidupan sehari-hari sangat gencar dan berkelanjutan. Motivasi utama para wanita Jepang adalah untuk melaksanakan ikuji- meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya, terutama di masa-masa emas, yaitu usia3 tahun pertama masa perkkembangan pesat otak seorang anak.

Kyoiku mama adalah istilah yang mengacu pada ibi-ibu Jepang yang terus

menerus mengembangkan bakat anak-anak mereka dan menyekolahkan mereka di universitas terbaik. Seorang pengamat Jepang, Reingold, mendefenisikan kyoiku

mama sebagai berikut: she becomes directly involved in and identified with the child’s success or failure. Terjemahannya: Para ibu pendidikan itu secara

dinilai berdasarkan kesuksesan atau kegagalan mereka. Ibu-ibu pendidikan Jepang, mengajarkan disiplin, pengorbanan, kerja sama, dan kesederhanaan di rumah. Sekolah, yang mengajarkan hal-hal akademis, tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah perilaku anak didik karena nilai-nilai luhur telah melebur dalam karakter setiap siswa sejak dari rumah.

Para ibu di Jepang memiliki gelar kesarjanaan yang mentereng, walaupun mereka ‘hanya’ bertugas mengurusi rumah. Mereka beranggapan bahwa pendidikan yang mereka tempuh selama ini tidak sia-sia yakni untuk memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka ketimbang mengejar karir dan cita-cita. Jika mereka ditanya, “Mengapa berhenti bekerja. Apakah tidak sayang pendidikannya yang tinggi tidak dipakai?” gentian mereka bertanya, “Apakah di rumah itu tidak memerlukan pendidikan yang tinggi?”. Mereka lebih suka banyak tinggal dirumah untuk membuat makan siang, mencuci, dan menyeterika baju seragam sekolah dan terus menerus memotivasi anak-anaknya untuk bekerja keras meningkatkan prestasi akademis mereka. Mereka lebih senang disebut sebagai wanita yang sukses dalam mencetak anak-anaknya yang berhasil, dan bukan sukses dalam karir mereka. Terbukti sistem ini sungguh berhasil dalam meningkatkan laju kemakmuran Jepang.

Tidak heran jika anak-anak di Jepang, pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya sebagai jelmaan Dewi Amaterasu yang dipuja-puja oleh bangsa Jepang. Kikunatara okasan ni naritai (kalau besar nanti ingin menjadi menjadi ibu) adalah cita-cita anak-anak perempuan Jepang yang mungkin langka dimiliki oleh anak-anak lainnya. Inilah pengaruh besar dari peranan seorang ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya yang membawa pengaruh besar

terhadap masa depan anaknya tersebut. Bahkan sampai mempengaruhi cita-cita mereka sendiri sebagai seorang anak, karena rasa bangga dan hebatnya peranan ibu mereka dalam mengasuh dan mendidik mereka.

2.5 Kisah Kehidupan Tentang Pengarang Michiyo Inoue

Michiyo Inoue lahir dari keluarga miskin di Osaka. Michiyo lahir tanpa sosok seorang ayah. Ibunya adalah seorang pelayan di sebuah klab malam di Osaka. Pada suatu hari ibunya menjalin hubungan asmara dengan seorang pria yang menyebabkan ia hamil, namun pria itu tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya tersebut. Kemudian lahirlah Michiyo kecil dengan status anak haram dari hasil hubungan tanpa status pernikahan ibunya tersebut. Tidak lama setelah Michiyo dilahirkan, ia dititipkan ke rumah kakek dan neneknya di Fukuoka. Sementara ibunya kembali ke Osaka seorang diri. Di Fukuoka, Michiyo kecil dirawat oleh bibinya yang berumur 24 tahun. Karena kehidupan yang pas-pasan, Michiyo kecil tidak pernah diberi air susu, ia hanya diberi air tajin yang dicampur gula.

Saat usia Michiyo 3 tahun, bibinya menikah dan meninggalkan rumah nenek dan kakeknya. Lalu ia dirawat oleh nenek dan kakeknya saja. Neneknya orang yang keras, namun kakeknya memiliki rasa perhatian yang penuh kelembutan. Sejak kecil Michiyo sudah diajarkan untuk bekerja bermacam-macam hal oleh neneknya. Mulai dari membersihkan rumah dan halaman, merawat ternak ayam, bahkan berdagang telur dari peternakan kecil yang mereka miliki.

Pada saat Michiyo duduk dikelas 3 SD, kakeknya meninggal dunia. Sejak saat itu Michiyo bekerja semakin giat untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan neneknya. Ibunya tidak pernah sekalipun mengirimkan uang kepada mereka.

Pada saat SMP diusia 13tahun, Michiyo dibawa leh ibunya kembali karena

Dokumen terkait