• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlkangsung untuk sementara waktu saja (Luxemburg, 1989:9). Menurut Pradopo (1994:59) karya sastra adalah karya seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreatifitas. Dalam defenisi sastra, karya sastra itu karya yang bersifat imaginatif, yaitu bahwa karya sastra itu terjadi akibat penganganan dan hasil penganganan itu adalah penemuan-penemuan baru,

kemudian penemuan baru itu disusun kedalam suatu sistem dengan kekuatan imajinasi hingga tercipta suatu dunia baru yang sebelumnya belum ada. Jadi, sastra adalah satu wujud kreatifitas manusia yang tergolong konvensi-konvensi yang berlalu bagi wujud ciptaannya dapat menjadi kaidah. Namun, keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat, bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang khusus.

Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilai dan makna sastra. Sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupannya, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat. Pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa.

Apabila pengertian ini dapat diterima dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adlah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada sesame manusia, untuk menaruh minat pada dunia reslitas tempat hidupnya, dan pada dunia angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata, dan keinginan dasar untuk mencintai bentuk sebagai bentuk, oleh karena itu sastra lahir karena dorongan-dorongan azasi yang sesuai dengan kodrat insaniah orang sebagai manusia.

Kemudian sastra adalah alat bagi manusia untuk menemukan seluk beluk eksistensinya. Sastra memberi kemungkinan yang terbaik bagi manusia sebagai

homo-significan, pemberi makna. Sebab itu sastra selalu berhubungan dengan

Selain itu, sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapan. Sastra terdiri atas 3 jenis, yaitu : (1) puisi, (2) prosa, dan (3) drama. Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Jenis yang termasuk ke dalam karya sastra prosa, antara lain, (1) cerita pendek (cerpen), (2) novel, dan (3) roman.

Namun diantara karya sastra prosa tersebut hanya novel yang memiliki kelebihan khas yaitu kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi” [nyata]. Sumardjo (2004:185) mengatakan bahwa novel adalah cerita fiktif yang panjang. Bukan hanya panjang dalam arti fisik, tetapi juga isinya. Novel terdiri dari satu cerita yang pokok, dijalani dengan beberapa cerita sampingan lain, banyak kejadian, dan kadang-kadang banyak masalah juga yang semuanya itu harus merupakan sebuah kesatuan yang bulat.

Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Dunia dalam novel sangat memadai bahkan digunakan untuk menampung berbagai jenis pengalaman. Kemampuan menciptakan dunia ini lazim dimiliki oleh novelis dan tampaknya lebih merupakan keahlian ketimbang pandangan hidup. Terkadang ditemukan beberapa kealpaan bahkan dalam novel yang dapat dikatakan sukses. Kealpaan tersebut beragam, bisa berupa gaya yang ceroboh, dialog yang tidak

masuk akal, sampai peristiwa yang terlalu melodramatis. Meski demikian, kealpaan semacam ini kerap tertolong oleh kebesaran, kekuatan, dan kesolidan dunia yang digambarkan oleh novel.

Pengarang dalam konteks kealpaan ini tidak lebih sekadar orang biasa yang ingin mendeskripsikan dunia yang ia huni. Dunia tersebut berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang (meski ketika ditulis, dunia tersebut bergantung sepenuhnya pada pengarang). Apa yang terjadi pada novel serupa dengan apa yang terjadi pada ilmu pengetahuan. Kesimpulan dari sebuah penelitian bersifat independen, jauh dari maksud pengarang sebagai pengumpul data-data. Bahkan komentar pengarang di halaman belakang novel tidak akan mampu melampaui bukti-bukti faktual dalam novel itu sendiri.

Oleh sebab itu dalam menganalisis karya sastra berdasarkan teori dan kritik sastra, hendaknya menganalisis karya sastra dengan tidak hanya melihat dari satu norma saja, jangan subjektif melainkan harus objektif dan tidak memihak, mesti ada pertimbangan baik buruk karya sastra berdasarkan kenyataannya, sehingga, dapat menunjukkan hal-hal yang baru pada karya sastra yang dikritik.

Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu karya sastra sehingga sesuai dengan teori dan kritik sastra, yaitu:

1. Pendekatan Mimetik : memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam, pencerminan atau penggambaran dunia dan kehidupan.

2. Pendekatan Objektif : menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas dari sekitarnya, bebas dari penyair, bebas dari pembaca, ataupun dunia sekitarnya.

3. Pendekatan Ekspresif : terutama menghubungkan karya sastra dengan pengarang. Pendekatan ini mendefenisikan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang.

4. Pendekatan Pragmatik : bertujuan untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca (audience). Efek-efek tersebut misalnya kesenangan estetik, pendidikan, ataupun tujuan-tujuan politik. Pendekatan ini memandang karya sastra terutema sebagai alat untuk mencapai tujuan, sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan, (Pradopo, 1994:19).

Berdasarkan paparan diatas penulis menggunakan pendekatan pragmatik dalam penelitian ini. Kemudian dijelaskan lagi oleh Welleck dan Austin (1995:25-36), bahwa karya sastra secara teori pragmatik memiliki empat fungsi, yakni:

1. Karya sastra bagi para pembaca dan pendengar secara umum berfungsi memberikan penghiburan atau memberikan kesenangan. Dimana sebuah karya sastra yang baik dapat membangkitkan emosi dan perasaan kita seperti perasaan senang, marah, kecewa, dan sedih.

2. Karya sastra bagi para pembaca atau pendengar dapat memberikan beberapa pengetahuan. Hal ini disebabkan karena karya sastra berisikan tentang ragam aspek dari kehidupan manusia, seperti aspek sosial, budaya, moral, dan agama. Dengan membaca karya sastra, kita mendapatkan pelajaran.

3. Karya sastra bagi para pembacanya dapat menimbulkan rasa nasionalisme atau kesukuan. Dimana masyarakat merasa bangga setelah membaca karya sastra yang menceritakan tentang perbuatan pahlawan mereka, timbul rasa nasionalismenya.

4. Karya sastra dapat meningkatkan intelegensi bagi para pembacanya karena membuat pembaca berpikir. Dimana karya sastra bukanlah sama dengan karya ilmiah. Karya sastra banyak memiliki arti yang tersembunyi dan banyak menggunakan simbol dan kiasan. Oleh sebab itu untuk memahami suatu karya sastra diperlukan suatu pengetahuan dari pembacanya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan pragmatik untuk menelaah novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” agar para pembaca nantinya dapat mengerti fungsi dari novel ini. Sedangkan untuk mengetahui indeksikal adanya nilai-nilai pragmatik yang ada didalam novel ini, penulis mencoba menggunakan pendekatan semiotik didalam pembahasannya nanti.

1.4.2 Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian pragmatik dan resepsi sastra yang dikemukakan oleh Endraswara dalam bukunya yang berjudul

Metodologi Penelitian Sastra, sebagai landasan teori dalam menganalisis novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”. Endraswara (2008:115-116)

mengatakan bahwa, pragmatik sastra adalah cabang penelitian yang kearah aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul, atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra sebagai teks itu saja.

Kajian struktural dianggap hanya mampu menjelaskan makna karya sastra dari aspek permukaan saja. Maksudnya disini, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna. Oleh sebab itu, muncul penelitian pragmatik, yakni kajian sastra yang berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Aspek kegunaan sastra ini dapat diungkap melalui

penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra. Oleh sebab itu, dalam novel ini penulis menganalisis penokohan tersebut dengan cara mengambil beberapa cuplikan teks dalam novel yang diprediksikan mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca. Kemudian cuplikan teks tersebut dideskripsikan berdasarkan fakta yang ada dengan menggunakan resepsi sastra.

Dari aspek pragmatik, teks sastra dikatakan berkualitas apabila memenuhi keinginan pembaca. Karena itu, aspek pragmatik terpenting manakala teks sastra mampu menumbuhkan kesenangan bagi pembaca. Pembaca sangat dominan dalam pemaknaan karya sastra. Memang harus diakui bahwa penelitian sastra, masih sering enggan lepas dari teks sastra. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh dominannya kritik teks dan teori sastra. Padahal, aspek penelitian pembaca sastra yang dikenal dengan sebutan pragmatik sastra justru tidak kalah pentingnya bagi perkembangan sastra. Melalui resepsi pembaca itu, akan diketahui seberapa jauh karya tersebut berguna bagi sasarannya.

Dalam penelitian ini teks-teks sastra yang akan dikaji adalah bersumber dari novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” sebagai objeknya. Melalui pendekatan ini, penulis dapat menginterpretasikan, nilai-nilai pragmatik dari penokohan Michiyo Inoue yang terkandung dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” yang diprediksikan dapat berguna bagi pembaca.

Kemudian untuk mengetahui bagaimana indeksikal nilai pragmatik yang ada dalam cuplikan isi novel tersebut agar mengetahui penokohannya dan dapat bermanfaat serta berguna bagi pembacanya, penulis akan menggunakan pendekatan semiotik. Menurut Sobur (2004:13,17), bahwa istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik

Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada “doktrin formal tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiripun sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.

Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.

Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Melalui pendekatan inilah penulis mencoba menginterpretasikan setiap tanda yang ada agar diketahui bagaimana penokohan Michiyo Inoue agar dapat menjadi suatu masukan bacaan dan acuan yang bagus bagi pembaca.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dokumen terkait