• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Penokohan Dalam Cerita Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” Karya Michiyo Inoue Dilihat Dari Segi Pragmatik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Penokohan Dalam Cerita Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” Karya Michiyo Inoue Dilihat Dari Segi Pragmatik"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENOKOHAN DALAM CERITA NOVEL

“HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” KARYA

MICHIYO INOUE DILIHAT DARI SEGI PRAGMATIK

PURAGUMACHIKUMEN KARA MICHIYO INOUE NO SAKUHIN NO “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” SHOUSETSU NO

HANASHI OKERU SHUJINKOU NO BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

GUNAWAN 050708007

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS PENOKOHAN DALAM CERITA NOVEL

“HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” KARYA

MICHIYO INOUE DILIHAT DARI SEGI PRAGMATIK

PURAGUMACHIKUMEN KARA MICHIYO INOUE NO SAKUHIN NO “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” SHOUSETSU NO

HANASHI OKERU SHUJINKOU NO BUNSEKI NI TSUITE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH:

GUNAWAN 050708007

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum Prof.Drs.HamzonSitumorang,M.S. Ph.D NIP. 19600919 1988 03 1 001 NIP. 19580704 1984 12 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Disetujui Oleh :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen S-1 Sastra Jepang Ketua,

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. NIP: 19580704 1984 12 1 001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tidak pernah henti-hentinya diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Penokohan Dalam Cerita Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” Karya Michiyo Inoue Dilihat Dari Segi Pragmatik”.

Skripsi ini diselesaikan untuk memenuhi syarat kelulusan penulis di Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Bertujuan agar penulis bisa mendapatkan gelar kesarjanaannya. Dalam proses pengerjaan skripsi ini penulis mendapatkan banyak kesulitan dan selalu diwarnai kesalahan. Namun demikian, selalu ada harapan dalam hati penulis untuk selalu melakukan yang terbaik untuk semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dimana masih memiliki kekurangan disana sininya, baik tulisan, tata bahasa, maupun isi pembahasan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis akan menyambut dan menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca dan pengguna skripsi ini nantinya, demi mendekati kesempurnaan skripsi ini. Agar nantinya penulis bisa menghasilkan suatu karya ilmiah yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

(5)

1. Bapak Prof. Drs. Syaiffudin, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku dosen pembimbing yang

telah begitu banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan.

4. Seluruh Staf Pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan mengajarkan berbagai pengetahuan kepada penulis.

5. Teristimewa kepada ibundaku yang tersayang dan tercinta Ibunda Saini yang selalu memberikan dorongan dan dukungan baik moril maupun materil selama ini. Terima kasih atas segala doa dan nasihat yang selalu diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu dan termotivasi semangatnya untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua Wak ku, Wak Kasnun dan Wak Yanti, yang penulis anggap seperti orang tua kedua penulis sendiri. Terima kasih yang sebanyak-banyaknya ya Wak atas segala dukungan dan nasihatnya selama ini.

7. Kedua kakak sepupuku yang tersayang, Mbak Yuni dan Mbak Sri, yang selalu jadi teman penulis selama mengetik skripsi ini, yang selalu memberikan pendapat dan memberikan arahan kepada penulis.

(6)

tawa kalian selama ini telah menjadi penghibur dan semangat untuk penulis.

9. Teristimewa sahabat-sahabat penulis, Aisyah, Liza Dwi Karlina, Bul Ikhsan, Marzuki Subiakto, Dian Eka Syafitri, Refin Midori, Meika Debby, Vika Aprilia, Ira Natasha, Nurul Huda, Rosa V Nababn, Ellys Parindurie, dan Eva Nurintan Silalahi yang selalu memberikan dukungan setiap saat kepada penulis. Terima kasih atas saran-saran dan dorongan teman semua yang selalu kalian ucapkan kepada penulis.

10. Teman-teman angkatan 2005 di Departemen Sasatra Jepang yang telah sama-sama berjuang selama ini (Juwita Berliana Tarihoran, Desi Junita Ambarita, Rani Sitanggang, Kak Rahma Hasibuan, Kalvin Muhaga Lase, Dewi Nathalia Ginting, Meriam Emma, Lisbet Damayanti, Dianita Caterina).

11. Abang seniorku di Sastra Jepang, Bang Joko (2004) dan Bang Alan (2003). Terima kasih banyak atas dukungan dan masukannya selama ini yang telah kalian berdua berikan kepada penulis.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berkontribusi banyak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.

(7)

Wassalam

Medan, __ Juni 2010

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 10

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 10

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 18

1.6 Metode dan Teknik Penelitian... 19

BAB II. TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU”, STUDI PRAGMATIK DAN SEMIOTIK 2.1 Defenisi Novel ... 22

2.2 Resensi Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” 2.2.1 Tema ... 26

2.2.2 Alur (Plot) ... 27

2.2.3 Latar (Setting) ... 29

2.2.4 Penokohan ... 29

2.2.5 Sudut Pandang (Pusat Pengisahan) ... 31

(9)

Anak-Anaknya... 40 2.5 Sekilas Tentang Kehidupan Pengarang Michiyo Inoue

Dalam Cerita Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendam

pingimu”... 45 2.6 Studi Pragmatik dan Semiotik ... 47

BAB III. ANALISIS PENOKOHAN MICHIYO INOUE DALAM CERITA NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU” DILIHAT DARI SEGI PRAGMATIK

3.1 Sinopsis Cerita Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendam

pingimu”... 54 3.2 .. Analisis Pragmatik Cuplikan Cerita ... 57

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ... 76 4.2 Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA

(10)

ABSTRAK

Bahasa merupakan media utama dalam karya sastra. Bahasa berfungsi untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Pengalaman hidup yang dituangkan dalam karya sastra bukan merupakan pengalaman yang murni lagi. Tetapi ada pengalaman pribadi pengarang yang dituangkan dalam karya sastra karena pengalaman hidup tersebut dapat berguna kelak bagi pembaca karya sastra tersebut. Pengalaman hidup tersebut sampai kepada pembaca sesudah melalui saringan pribadi pengarangnya. Umumnya yang disampaikan sastrawan adalah gambaran dirinya sendiri. Di antara genre sastra, yaitu : puisi, prosa, dan drama, genre prosa khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial dan banyak digunakan sastrawan sebagai wadahnya untuk lebih bebas mengekspresikan kehidupan sosial suatu masyarakat dan lebih luas menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan.

(11)

Seperti novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” merupakan sebuah novel biografi dan memori karangan Michiyo Inoue yang menceritakan pengalaman hidupnya sendiri. Novel ini mempresentasikan pengorbanan seorang wanita yang bernama Michiyo Inoue dalam membesarkan anaknya. Michiyo adalah seorang ibu dari seorang anak yang cacat buta. Michiyo berusaha memperjuangkan hak-hak anaknya di tengah-tengah masyarakat yang masih menganggap keberadaan penyandang cacat itu aneh dan tidak dapat diterima di masyarakat. Ia berusaha agar anaknya mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak normal lainnya tanpa ada sikap mendiskriminasi. Michiyo berusaha agar Miyuki dapat melakukan hal-hal yang sama seperti anak-anak normal lainnya. Oleh sebab itu, Michiyo berusaha agar mendidik Miyuki seperti anak yang normal dan menghiraukan kecacatan yang dimiliki oleh Miyuki.

(12)

1. Jangan pernah melarang seorang anak yang ingin mengetahui hal-hal yang baru yang ada disekitarnya. Biarkan ia melakukan hal-hal yang baru agar ia tahu. Walaupun yang disentuhnya untuk mengetahui hal yang baru itu jorok, cukup awasi dan jangan mengganggu ia mendapatkan ilmunya sendiri. Biarkan ia menumbuhkan rasa percaya dirinya, sikap mandirinya, dan rasa keingin-tahuannya sendiri. Karena itu merupakan tanda-tanda tumbuh ke arah dewasa di dirinya. (nilai pendidikan dari cuplikan teks novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” hal. 59-61) 2. Suatu bentuk kekurangan bukanlah akhir dari segala sesuatunya

bila kita menjalaninya dengan sepenuh hati. Ejekan dan cemoohan janganlah dijadikan alasan kejatuhan kita, kita harus bangkit dan menunjukkan kepada mereka kalau kita bisa. (nilai pendidikan dari cuplikan teks novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” hal. 65-66)

3. Ajarkan suatu hal tanpa mengenal kata bosan. Jangan mudah menyerah. Menjelaskan berkali-kali tentang suatu hal baru kepada anak adalah pendidikan yang harus dilakukan oleh setiap orang tua. ajarkanlah semua hal yang ingin diketahui seorang anak dari rasa keingintahuannya tersebut dengan sebaik-baiknya. Agar si anak semakin jelas dan mengerti. Membiasakan hal seperti itu akan membuat anak semakin aktif dan bijak dalam berbicara. (nilai pendidikan dari cuplikan teks novel “Hiduplah Anakku Ibu

(13)

4. Orang tua harus menjadi sosok yang mendidik dengan sadar dan sabar, berusaha untuk menjelaskan tentang suatu masalah dengan cermat, rinci namun dapat dimengerti oleh seorang anak. Selalu berusaha menumbuhkan rasa semangat dan rasa ingin tahu, menjadi sosok penyayang, dan sosok yang bijak dalam memberikan contoh hidup bagi anaknya. (nilai pendidikan dari cuplikan teks novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” hal. 73-74)

5. orang tua selalulah mengedepankan pendidikan untuk setiap anak-anaknya. Jangan pernah untuk selalu memaksakan kehendak sebagai orang tua kepada anak. Sebagai orang tua kita harus mengedepankan pendidikan anak secara patut dan layak sehingga nantinya anak akan menerima pengakuan dari masyarakat. (nilai pendidikan dari cuplikan teks novel “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” hal. 91-93)

6. Selalu berikan bekal hidup mulai dari yang terkecil kepada anak-anak kita agar ia mengerti tentang kehidupan dan paham bagaimana seharusnya ia hidup kelak di masyarakat. Walaupun sederhana ilmu dan pengalaman yang kita berikan kepada anak-anak kita, namun bila itu bermanfaat dan berguna kelak baginya sudah seharusnya kita mengajarkannya. Sebab mulai dari hal terkecil, akhirnya akan mengerti dan tahu hal yang lebih besar lagi. (nilai pendidikan dari cuplikan teks novel “Hiduplah Anakku Ibu

(14)

7. Orang tua pasti akan berjuang dan mengorbankan apapun untuk anaknya. (nilai pendidikan dari cuplikan teks novel “Hiduplah

Anakku Ibu Mendampingimu” hal. 106-107)

Terjemahan ke dalam bahasa Jepang:

要 旨

(15)
(16)

も っ と 詳

(17)
(18)

から 一

(19)
(20)
(21)
(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan hal yang sangat rumit. Namun, sebagian besar manusia di dunia kini menghabiskan waktunya dengan bahasa. Itu sebabnya diibaratkan, kecuali tidur dan mengunyah makanan, hidup ini hampir-hampir tidak bebas [lepas] dari bahasa. Bahkan dalam tidurpun ada orang yang bicara, kalau bukan bermimpi berbincang dengan orang lain. Bahasa kemudian bisa menjadi semacam alat penggerak dari jauh. Melalui bahasa kita dapat mengatur perilaku orang lain. Misalnya, dengan teriakan ‘Bapak’! seorang anak kecil dapat menggerakkan lelaki besar di seberang jalan dengan mendekatinya. Melalui aba-aba ‘maju, jalan’ seorang sersan dapat menggerakkan puluhan tentara menghentakkan kakinya dan berjalan dengan langkah-langkah tegap. Inilah kekuatan bahasa, kekuatan kata-kata (Sobur, 2004:272).

(23)

dinamika hubungan antara bahasa dengan penuturnya; antara bahasa dengan komunitas bangsa yang menjadikannya sebagai komunikasi simbolik.

Komunikasi dengan mempergunakan bahasa bersifat umum dan universal. Bila sifat itu dilihat dari fungsinya, maka bahasa mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Untuk tujuan praktis, yaitu komunikasi antar manusia dalam pergaulan. 2. Untuk tujuan artistik, yaitu tatkala manusia mengolah bahasa guna

menghasilkan ungkapan yang seindah-indahnya, seperti dalam cerita, kisah, syair, puisi, gambar, lukisan, musik, dan pahatan-pahatan.

3. Untuk tujuan filologis, yakni tatkala kita mempelajari naskah-naskah kuno, latar belakang sejarah, kebudayaan, adat istiadat manusia, serta perkembangan bahasa.

4. Untuk menjadi kunci dalam mempelajari pengetahuan-pengetahuan lainnya. (Keraf, dalam Sobur, 2004:303-304)

Oleh karena itu, bersumber dari bahasa sebagai komunikasi, maka karya sastra memakai kata-kata yang sedemikian rupa guna memaksimumkan daya gunanya sebagai karya seni yang indah dan kreatif. Memuat bahasa ke dalam tulisan untuk dapat berkomunikasi secara tidak langsung antara penulis dan pembaca (pendengar). Hal ini sesuai dengan 3 fungsi bahasa lainnya, yaitu:

1. Fungsi Idesional : bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan dan menginterpretasikan pengalaman dunia.

(24)

3. Fungsi Tekstual : bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengkonstruksi dan menyusun sebuah teks (teks adalah contoh bahasa lisan dan tulisan), (Halliday, dalam Leech, 1993:86).

Kemudian terkait dengan fungsi bahasa di atas, maka sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapakan aspek estetik baik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun aspek makna. Sebab dalam karya sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis dan dengan sengaja disebabkan karena bahasa merupakan media utama karya sastra yang mempunyai kekhasannya sendiri yang diciptakan oleh pengarangnya.

Kemudian, Fananie (2000:3-4) mengatakan bahwa makna sastra, merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta “shastra, sastra”, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas-/shas- yang berarti ”memberi petunjuk atau instruksi”, “ajaran”, dan “mengarahkan”, sedangkan tra berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata sastra pada umumnya digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, [baik] itu indah atau tidak, tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

(25)

yaitu : (1) puisi, (2) prosa, dan (3) drama. Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Jenis yang termasuk ke dalam karya sastra prosa, antara lain, (1) cerita pendek (cerpen), (2) novel, dan (3) roman. Di antara genre sastra, yaitu : puisi, prosa, dan drama, genre prosa khususnya novel yang di anggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial dan banyak digunakan sastrawan sebagai wadahnya untuk lebih bebas mengekspresikan kehidupan sosial suatu masyarakat dan lebih luas menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan.

Ini disebabkan karena novel menawarkan dunia yang padu. Novel merupakan dunia dalam skala lebih besar dan kompleks, mencakup berbagai pengalaman kehidupan yang dipandang aktual, namun semuanya tetap saling terjalin. Sementara itu, sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak lepas dari tata masyarakat dan kebudayaan. Semua itu sangat berpengaruh dalam karya sastranya ataupun tercermin dealam karya sastranya. Sebab, karya satra itu mencerminkan masyuarakatnya dan secara tidak terhindar dipersiapkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Menurut Tarigan (1990:164) novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata yang respentif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Hal ini berarti di dalam sebuah novel berceritakan kisah nyata tentang suatu keadaan yang terjadi dalam masyarakat.

(26)

kehidupan di sekitarnya. Ketika didalam kehidupan muncul permasalahan baru, nurani penulis novel akan terpanggil untuk segera menciptakan suatu cerita.

Novel juga ada di dalam karya sastra Jepang, yang dikenal dengan sebutan Shousetsu. Menurut Takeo dalam Yulita (2005:2), menyatakan bahwa pengertian shousetsu adalah novel yang timbul sebagai sesuatu yang menggambarkan tentang kehidupan sehari-hari di masyarakat, meskipun kejadiannya tidak nyata. Tetapi itu merupakan sesuatu yang dapat dipahami dengan prinsip yang sama dengan kehidupan sehari-hari. Novel lebih menitikberatkan kepada tokoh manusia (peran) di dalam karangannya daripada kejadiannya dan keseluruhannya mengambil bentuk yang disebut dengan ciptaan dunia berdasarkan kepada perbedaan individu.

Karya sastra tercipta karena adanya luapan perasaan dari pengalaman hidup yang disampaikan pengarang ketengah-tengah masyarakatnya (Siregar, dalam Sriwati, 2006:1). Pengalaman hidup yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah pengalaman yang murni lagi. Tetapi ada juga pengalaman pribadi pengarang yang dituangkan dalam karya sastra karena pengalaman hidup tersebut dapat berguna kelak bagi pembaca karya sastra tersebut. Pengalaman hidup tersebut sampai kepada pembaca sesudah melalui saringan pribadi pengarangnya. Umumnya yang disampaikan sastrawan adalah gambaran dirinya sendiri.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba membahas suatu bentuk karya sastra dari genre prosa yaitu novel yang berjudul “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” karya Michiyo Inoue dari sudut pandang pendekatan

(27)

adalah menyampaikan pendidikan kepada pembaca, pendengar, atau penonton (audience). Tiruan alam dalam sastra itu demi tujuan pendidikan. Dengan demikian, karya sastra ditafsirkan sebagai alat untuk mendidik.

Jika ditilik dari pendekatan pragmatik, maka novel “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” akan memiliki citra yang berbeda-beda dari tiap-tiap pembaca.

Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan pandangan antara pembaca satu dengan pembaca yang lainnya, adakalanya pembaca memandang dari sudut estetika. Para pembaca yang menggunakan sudut pandang ini akan mengatakan pendapatnya secara objektif dan mengacu pada interpretasinya sendiri sehingga terkadang akan muncul pendapat bahwa novel ini adalah suatu karya yang indah, dilihat dari struktur penyampaiannya atau penulisannya.

Sedangkan jika pembaca memandang novel ini dari segi pragmatik dan menilainya dari sudut pendidikan atau edukasi, maka akan mendapatkan suatu nilai pembelajaran yang baik dari penokohan utamanya yaitu Michiyo Inoue. Dimana Michiyo Inoue memberikan suatu solusi pandangan cara mendidik untuk anak cacat seperti halnya anaknya sendiri. Nilai hidup, menghargai, serta edukasi merupakan beberapa hal yang diungkapkan Michiyo Inoue dalam novel ini.

(28)

anak yang dia kandung buah hasil hubungan terlarangnya dengan lelaki yang bernama Tsutomu itu adalah anak haram. Ini menandakan bahwasannya si tokoh utama seakan tidak mengindahkan norma dan susila pada saat itu. Hal ini menyebabkan novel ini tidak memperoleh citra baik dari pembaca yang melihat karya sastra ini dari sudut pandang pendidikan atau edukasi.

Namun, ada hal yang dapat diambil sebagai suatu bahan pendidikan disini yaitu nilai kejujuran dan tanggung jawab. Bukan nilai pelanggaran norma dan susila yang ia lakukan. Disini Michiyo membuka dirinya kepada pembacanya yang mungkin dianggap sebagian besar orang adalah tindakan salah dan tabu di masyarakat. Namun dengan kebukaan dirinya didalam novel ini pembaca dapat mengetahui hasil akhir dari tindakannya yaitu tanggung jawab yang besar terhadap anaknya. Melalui nilai kejujuran ini Michiyo Inoue mencoba membuka pikiran para pembacanya agar jangan salah bertindak terhadap suatu hal karena akan berakibat buruk kelak bagi diri sendiri. Ibarat pepatah ‘siapa yang menabur benih dia yang akan menuai hasilnya kelak’. Pandangan inilah yang sebenarnya yang ingin disampaikan kepada para pembaca novelnya, bukan mengenai suatu hal pelanggaran mengenai norma dan susila yang Michiyo Inoue ceritakan dalam novelnya.

Hal pandangan baik tersebut yang menjadi fokus telaahan dalam novel

“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” dengan dilihat dari segi pragmatik

(29)

dan tersurat dalam novel ini. Seperti diketahui, kebiasaan seorang ibu dalam membesarkan anaknya adalah memberikan hal yang terbaik bagi sang anak walaupun harus berkorban segalanya dan menghabiskan apa saja yang ia miliki.

Hal-hal tersebut di atas yang melatarbelakangi penulis untuk menganalisis penokohan Michiyo Inoue dalam novel yang merupakan karyanya sendiri

“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” dengan melihatnya dari segi pragmatik,

agar penulis dapat mengetahui setiap makna indeksikal yang ada dalam novel ini. Serta penulis ingin membuktikan bahwa cerita novel ini memiliki nilai-nilai, tujuan, dan makna yang patut kita pelajari yang bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat.

1.2 Perumusan Masalah

Novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” karya Michiyo Inoue merupakan novel biografi pertamanya yang menceritakan kehidupan pribadinya yang sekaligus merupakan tokoh sentral protagonis dan bulat (komplek/bundar) yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif dan mengungkapkan seluruh segi wataknya yang sangat dinamis serta banyak mengalami perubahan watak. Selain itu, novel ini juga banyak menggambarkan peristiwa-peristiwa yang mengandung nilai-nilai yang dapat bermanfaat bagi pembaca (pendengar). Salah satunya yaitu nilai edukatif atau pendidikan.

(30)

memberikan pendidikan bagi pembaca tersebut antara lain, bagaimana memberikan pendidikan bagi anak di usia dini, bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri seorang anak, bagaimana pentingnya menghormati dan menghargai antar manusia, dan lain sebagainya.

Selain itu, novel ini juga dapat memberikan informasi kepada pembaca melalui peristiwa-peristiwa yang digambarkan oleh sang tokoh utamanya, Michiyo Inoue. Novel ini menceritakan bagaimana seorang ibu yang bernama Michiyo Inoue mendidik dan membimbing anaknya Miyuki Inoue yang menderita kebutaan permanen karena terkena Retinopathy of Prematurity (kebutaan saat kelahiran prematur yang dipicu karena terlampau banyak menghirup oksigen dari tabung dalam ruang inkubator). Michiyo Inoue bahkan tidak ragu menutup kedai usahanya “Nodate” yang merupakan sumber penghasilan utama dan satu-satunya yang ia miliki , demi mengasuh dan mendidik anaknya sendiri di rumah.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut dan berkaitan dengan pendekatan pragmatik yang penulis gunakan dalam penelitian ini, maka penulis merumuskan permasalahannya dalam bentuk pertanyaan seperti berikut:

1. Bagaimana penokohan Michiyo Inoue di dalam isi cerita novel “Hiduplah

Anakku Ibu Mendampingimu” yang dapat dijadikan cerminan yang baik

bagi pembaca jika dianalisis dengan pendekatan pragmatik?

2. Nilai pragmatik seperti apa saja yang terkandung dalam novel “Hiduplah

(31)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis penokohan Michiyo Inoue dilihat dari segi pragmatik yang terdapat dalam cerita novel “Hiduplah Anakku

Ibu Mendampingimu”. Analisis penokohan tersebut diprediksikan dapat menjadi

suatu dorongan dan cerminan yang baik untuk seorang ibu dan orang tua lainnya serta para pembaca luas khususnya melalui penokohan Michiyo Inoue tentang gambaran-gambaran watak yang ia lakoni dalam isi cerita novel tersebut. Dengan mendeskripsikan cuplikan cerita yang berkaitan erat dengan dirinya melalui pendekatan pragmatik untuk mengetahui kesimpulan penokohan sang tokoh utama dalam cerita tersebut yaitu Michiyo Inoue. Untuk mendukung pembahasan tersebut, penulis juga menjelaskan tentang novel, realita kondisi kehidupan anak cacat di Jepang, peranan seorang ibu di Jepang dalam kehidupan masyarakat Jepang umumnya, menjelaskan sekilas kehidupan pengarang Michiyo Inoue yang ada di dalam isi cerita novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”, serta menjelaskan tentang studi pragmatik dan semiotik.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

(32)

kemudian penemuan baru itu disusun kedalam suatu sistem dengan kekuatan imajinasi hingga tercipta suatu dunia baru yang sebelumnya belum ada. Jadi, sastra adalah satu wujud kreatifitas manusia yang tergolong konvensi-konvensi yang berlalu bagi wujud ciptaannya dapat menjadi kaidah. Namun, keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat, bahkan keunikan suatu ciptaan sastra, membuat sastra memiliki sifat-sifat yang khusus.

Karya sastra sudah diciptakan orang jauh sebelum orang memikirkan apa hakikat sastra dan apa nilai dan makna sastra. Sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupannya, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat. Pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa.

Apabila pengertian ini dapat diterima dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adlah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, untuk menaruh minat pada sesame manusia, untuk menaruh minat pada dunia reslitas tempat hidupnya, dan pada dunia angan-angan yang dikhayalkan sebagai dunia nyata, dan keinginan dasar untuk mencintai bentuk sebagai bentuk, oleh karena itu sastra lahir karena dorongan-dorongan azasi yang sesuai dengan kodrat insaniah orang sebagai manusia.

Kemudian sastra adalah alat bagi manusia untuk menemukan seluk beluk eksistensinya. Sastra memberi kemungkinan yang terbaik bagi manusia sebagai

homo-significan, pemberi makna. Sebab itu sastra selalu berhubungan dengan

(33)

Selain itu, sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapan. Sastra terdiri atas 3 jenis, yaitu : (1) puisi, (2) prosa, dan (3) drama. Prosa ialah jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, atau kemerduan bunyi. Bahasa prosa dekat dengan bahasa sehari-hari. Jenis yang termasuk ke dalam karya sastra prosa, antara lain, (1) cerita pendek (cerpen), (2) novel, dan (3) roman.

Namun diantara karya sastra prosa tersebut hanya novel yang memiliki kelebihan khas yaitu kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi” [nyata]. Sumardjo (2004:185) mengatakan bahwa novel adalah cerita fiktif yang panjang. Bukan hanya panjang dalam arti fisik, tetapi juga isinya. Novel terdiri dari satu cerita yang pokok, dijalani dengan beberapa cerita sampingan lain, banyak kejadian, dan kadang-kadang banyak masalah juga yang semuanya itu harus merupakan sebuah kesatuan yang bulat.

(34)

masuk akal, sampai peristiwa yang terlalu melodramatis. Meski demikian, kealpaan semacam ini kerap tertolong oleh kebesaran, kekuatan, dan kesolidan dunia yang digambarkan oleh novel.

Pengarang dalam konteks kealpaan ini tidak lebih sekadar orang biasa yang ingin mendeskripsikan dunia yang ia huni. Dunia tersebut berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang (meski ketika ditulis, dunia tersebut bergantung sepenuhnya pada pengarang). Apa yang terjadi pada novel serupa dengan apa yang terjadi pada ilmu pengetahuan. Kesimpulan dari sebuah penelitian bersifat independen, jauh dari maksud pengarang sebagai pengumpul data-data. Bahkan komentar pengarang di halaman belakang novel tidak akan mampu melampaui bukti-bukti faktual dalam novel itu sendiri.

Oleh sebab itu dalam menganalisis karya sastra berdasarkan teori dan kritik sastra, hendaknya menganalisis karya sastra dengan tidak hanya melihat dari satu norma saja, jangan subjektif melainkan harus objektif dan tidak memihak, mesti ada pertimbangan baik buruk karya sastra berdasarkan kenyataannya, sehingga, dapat menunjukkan hal-hal yang baru pada karya sastra yang dikritik.

Adapun beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu karya sastra sehingga sesuai dengan teori dan kritik sastra, yaitu:

1. Pendekatan Mimetik : memandang karya sastra sebagai tiruan aspek-aspek alam, pencerminan atau penggambaran dunia dan kehidupan.

(35)

3. Pendekatan Ekspresif : terutama menghubungkan karya sastra dengan pengarang. Pendekatan ini mendefenisikan karya sastra sebagai curahan, ucapan, dan proyeksi pikiran dan perasaan pengarang.

4. Pendekatan Pragmatik : bertujuan untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca (audience). Efek-efek tersebut misalnya kesenangan estetik, pendidikan, ataupun tujuan-tujuan politik. Pendekatan ini memandang karya sastra terutema sebagai alat untuk mencapai tujuan, sebagai alat untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan, (Pradopo, 1994:19).

Berdasarkan paparan diatas penulis menggunakan pendekatan pragmatik dalam penelitian ini. Kemudian dijelaskan lagi oleh Welleck dan Austin (1995:25-36), bahwa karya sastra secara teori pragmatik memiliki empat fungsi, yakni:

1. Karya sastra bagi para pembaca dan pendengar secara umum berfungsi memberikan penghiburan atau memberikan kesenangan. Dimana sebuah karya sastra yang baik dapat membangkitkan emosi dan perasaan kita seperti perasaan senang, marah, kecewa, dan sedih.

2. Karya sastra bagi para pembaca atau pendengar dapat memberikan beberapa pengetahuan. Hal ini disebabkan karena karya sastra berisikan tentang ragam aspek dari kehidupan manusia, seperti aspek sosial, budaya, moral, dan agama. Dengan membaca karya sastra, kita mendapatkan pelajaran.

(36)

4. Karya sastra dapat meningkatkan intelegensi bagi para pembacanya karena membuat pembaca berpikir. Dimana karya sastra bukanlah sama dengan karya ilmiah. Karya sastra banyak memiliki arti yang tersembunyi dan banyak menggunakan simbol dan kiasan. Oleh sebab itu untuk memahami suatu karya sastra diperlukan suatu pengetahuan dari pembacanya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan pragmatik untuk menelaah novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” agar para pembaca nantinya dapat mengerti fungsi dari novel ini. Sedangkan untuk mengetahui indeksikal adanya nilai-nilai pragmatik yang ada didalam novel ini, penulis mencoba menggunakan pendekatan semiotik didalam pembahasannya nanti.

1.4.2 Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian pragmatik dan resepsi sastra yang dikemukakan oleh Endraswara dalam bukunya yang berjudul

Metodologi Penelitian Sastra, sebagai landasan teori dalam menganalisis novel

“Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”. Endraswara (2008:115-116)

mengatakan bahwa, pragmatik sastra adalah cabang penelitian yang kearah aspek kegunaan sastra. Penelitian ini muncul, atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra sebagai teks itu saja.

(37)

penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra. Oleh sebab itu, dalam novel ini penulis menganalisis penokohan tersebut dengan cara mengambil beberapa cuplikan teks dalam novel yang diprediksikan mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembaca. Kemudian cuplikan teks tersebut dideskripsikan berdasarkan fakta yang ada dengan menggunakan resepsi sastra.

Dari aspek pragmatik, teks sastra dikatakan berkualitas apabila memenuhi keinginan pembaca. Karena itu, aspek pragmatik terpenting manakala teks sastra mampu menumbuhkan kesenangan bagi pembaca. Pembaca sangat dominan dalam pemaknaan karya sastra. Memang harus diakui bahwa penelitian sastra, masih sering enggan lepas dari teks sastra. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh dominannya kritik teks dan teori sastra. Padahal, aspek penelitian pembaca sastra yang dikenal dengan sebutan pragmatik sastra justru tidak kalah pentingnya bagi perkembangan sastra. Melalui resepsi pembaca itu, akan diketahui seberapa jauh karya tersebut berguna bagi sasarannya.

Dalam penelitian ini teks-teks sastra yang akan dikaji adalah bersumber dari novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” sebagai objeknya. Melalui pendekatan ini, penulis dapat menginterpretasikan, nilai-nilai pragmatik dari penokohan Michiyo Inoue yang terkandung dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” yang diprediksikan dapat berguna bagi pembaca.

(38)

Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada “doktrin formal tentang tanda-tanda”. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiripun sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas.

Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi.

Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Melalui pendekatan inilah penulis mencoba menginterpretasikan setiap tanda yang ada agar diketahui bagaimana penokohan Michiyo Inoue agar dapat menjadi suatu masukan bacaan dan acuan yang bagus bagi pembaca.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

(39)

penelitiannya menyangkut masalah teoritis dan praktis. Secara ringkas, tujuan penelitian yaitu :

1. Untuk mendeskripsikan nilai-nilai pragmatik yang terdapat dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”, yang bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat.

2. Untuk mengetahui sejauh mana nilai-nilai edukatif yang diungkapkan oleh Michiyo Inoue dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian ini, yaitu :

1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang nilai-nilai pragmatik yang terdapat dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” yang dapat berguna kelak bagi pembaca.

2. Menambah pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat dalam memahami, membina, mendidik, serta bersikap terhadap anak yang menderita kebutaan atau kelainan tubuh.

3. Menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat tentang cara pandang dan bersikap orang tua terhadap mereka yang memiliki anggota keluarga yang menderita kecacatan.

(40)

5. Menambah pengetahuan kepada masyarakat bagaimana pengorbanan seorang ibu dan peranan seorang ibu di dalam keluarga masyarakat Jepang pada umumnya.

1.6 Metode dan Teknik Penelitian 1.6.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang didasarkan pada data deskripsi dari suatu kasus, keadaan, sikap, hubungan, atau suatu sistem pemikiran suatu masalah yang menjadi objek penelitian. Biasanya objek penelitian dilakukan untuk mendapat deskripsi, gambaran, atau suatu lukisan secara sistematis, faktual, detail, dan akurat serta sifat-sifat atau perilaku hubungan antara berbagai fenomena.

Ciri dari metode ini biasanya, difokuskan pada masalah faktual yang ada pada waktu penelitian. Data yang dikumpulkan, disusun, dianalisis, dan interpretasi sangat tergantung pada teknik penelitian yang digunakan, karena itu teknik-teknik pengumpulan dan analisis data harus disajikan secara jelas dan detail . Mula-mula data dikumpulkan dan disusun, lalu dideskripsikan, dengan maksud menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis.

(41)

penokohan tersebut dihubungkan dengan nilai-nilai positif untuk pendidikan (nilai edukatif) dalam cuplikan-cuplikan teks yang ada didalam novel tersebut.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam membahas dan memecahkan masalah penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan (Library Research). Berdasarkan pengertian tersebut penulis melakukan studi kepustakaan (Library Research) dengan membaca buku yang ada di perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara, membaca skripsi yang ada di Departemen Sastra Jepang, membaca literatur dan melalui penelusuran media internet. Literature yang menjadi objek penelitian penulis adalah sebuah novel biografi dan memori yang berjudul “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” dengan jumlah halaman sebanyak 205 halaman yang merupakan cetakan ke-2 yang terbit pada tahun 2008. Melalui novel ini penulis melakukan metode deskriptif untuk menggambarkan bagaimana suatu kasus, keadaan, sikap, hubungan, atau suatu sistem pemikiran suatu masalah yang menjadi objek penelitian yang didekatkan dengan nilai guna pendidikan atau edukasi bagi pembacanya.

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah :

1. Mengumpulkan data dan referensi atau buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian.

(42)

lanjutan dari seri pertamanya “Aku Terlahir 500gr dan Buta” yang dikarang oleh anaknya Miyuki Inoue.

3. Mencari, mengumpulkan, menganalisis, dan mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” yang diprediksikan mengandung unsur penokohan

yang dapat memberikan cerminan bagus bagi pembaca.

(43)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “HIDUPLAH ANAKKU IBU MENDAMPINGIMU”, STUDI PRAGMATIK DAN SEMIOTIK

2.1 Defenisi Novel

Novel berasal dari bahasa Italia ‘novella’ (yang dalam bahasa Jerman :

novella). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan

kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Istilah novella atau

novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelette yang berarti

sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Abrams, dalam Nurgiyantoro, 1998:9). Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya karya sastra, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi juga berlaku untuk novel. Sebab fiksi pertama-tama menyaran pada prosa naratif, seperti novel.

(44)

diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.

Novel sebagai sebuah karya fiksi juga menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinier, yang dibangun melalui berbagai unsure intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya bersifat imajinier. Kesemuanya itu walau bersifat noneksistensial, karena dengan sengaja dikreasikan oleh pengarang dibuat mirip, diimitasikan dan atau dianalogikan dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiw dan latar aktualnya sehingga tampak seperti sungguh ada dan terjadi serta terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri.

Nurgiyantoro (1998:18-20) membagi novel dalam 2 golongan, yaitu novel populer dan novel serius. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel golongan ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab novel populer pada umumnya bersifat artificial, hanya bersifat secara sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel populer biasanya cepat dilupakan orang, apalagi dengan munculnya novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya.

(45)

yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius disamping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajak untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Ini merupakan keunggulan dari novel serius sehingga tetap bertahan sepanjang masa dan tetap menarik sepanjang masa.

Sementara itu Goldman dalam Faruk (1994:17-19), mendefenisikan novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegredasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegredasi. Pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Nilai-nilai otentik itu adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai0nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Dengan pengertian tersebut, nilai-nilai otentik tersebut hanya dapat dilihat dari kecenderungan terdegredasinya dunia dan problematiknya sang hero. Karena itu, nilai-nilai itu hanya ada dalam kesadaran penulis/pengarang novelis, dengan bentuk yang konseptual dan abstrak.

(46)

1. Novel “Idealisme Abstrak”

Disebut demikian karena novel ini menampilkan 2 hal. Pertama, dengan menampilkan tokoh yang masih ingin bersatu dengan dunia, novel itu masih memperlihatkan idealisme. Kedua, walaupun memperlihatkan idealisme akan tetapi karena persepsi tokoh itu tentang dunia bersifat subjektif, didasarkan pada kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi abstrak.

2. Novel “Romantisisme Keputusasaan”

Novel jenis ini menampilkan kesadaran hero yang terlampau luas. Kesadarannya lebih luas daripada dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia. Itu sebabnya, sang hero cenderung pasif dan cerita berkembang menjadi analisis psikologis semata-mata.

3. Novel “Pendidikan”

Novel jenis ini memaparkan bahwa sang hero di satu pihak mempunyai interioritas, tetapi di lain pihak juga ingin bersatu dengan dunia. Karena ada interaksi antara dirinya dengan dunia, hero itu mengalami kegagalan. Karena mempunyai interioritas, ia menyadari sebab kegagalan itu.

Jadi, berdasarkan pada paparan defenisi novel diatas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa novel yang menjadi objek kajian penelitian penulis merupakan novel serius dan novel pendidikan. Dikarenakan novel “Hiduplah

Anakku Ibu Mendampingimu” selain menjadi bacaan yang bersifat memberi

(47)

adalah Michiyo Inoue yang merupakan orang tua tunggal yang pernah gagal dalam menjalin hubungan dengan pasangannya. Karena bayangan kegagalan tersebut maka Michiyo mencurahkan seluruh semangat hidupnya kepada anaknya yang buta Miyuki agar memiliki kehidupan yang baik daripada kehidupan ibunya Michiyo sebelumnya.

2.2 Resensi Novel

Struktur formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau unsur-unsur Yang membentuk karya sastra. Karya sastra seperti bemtuk novel pada dasarnya dibangun oleh unsur-unsur tema, alur (plot), setting (latar), tokoh (penokohan), sudut pandang (pusat pengisahan). Unsur-unsur ini yang menjadi fokus untuk diresensi atau ditelaah secara struktur formal pada umumnya.

2.2.1 Tema

(48)

‘buruk’ serta memusatkan perhatian pada persoalan moral tanpabermaksud memberi penilaian dan seolah-olah berkata “inilah hidup”.

Sementara itu menurut Fananie (2000:84), tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Berdasarkan pengertian tema diatas, tema yang diangkat novel “Hiduplah

Anakku Ibu Mendampingimu” adalah bagaimana seorang ibu memperjuangkan

masa depan anaknya yang menderita kebutaan, agar memiliki kemampuan dan hal yang sama dengan orang normal lainnya.

2.2.2 Alur (plot)

(49)

menandai urutan fungsional yang menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Menurut Aminuddin (2000:90), pada umumnya alur pada cerita prosa fiksi disusun berdasarkan urutan sebagai berikut:

4. Perkenalan, pada bagian ini pengarang menggambarkan situasi dan memperkenalkan tokoh-tokohnya.

5. Pertikaian, pada bagian ini pengarang mulai menampilkan pertikaian yang dialami sang tokoh.

6. Perumitan, pada bagian ini pertikaian semakin menghebat. 7. Klimaks, pada bagian ini puncak perumitan mulai muncul. 8. Peleraian, disini persoalan demi persoalan mulai terpecahkan.

Menurut susunannya atau urutannya alur terbagi dalam 2 jenis, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama, peristiwa kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya sampai cerita itu berakhir. Alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali pada peristiwa pertama, kedua, dan seterusnya sampai kembali lagi pada peristiswa terakhir tadi.

Berdasarkan uraian tersebut, alur dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” adalah alur maju. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel

(50)

2.2.3 Latar (setting)

Dalam karya sastra, latar (setting) merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karenba elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya (Abrams, dikutip Fananie, 2000:97). Latar atau setting yang disebut sebagai landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, dalam Nurgiyantoro, 1998:216). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi.

Dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu”, rangkaian peristiwa yang terjadi di dalamnya berada di sekitar kota Kurume, di Provinsi Fukuoka di Jepang.

2.2.4 Penokohan (Perwatakan)

Jones dalam Nurgiyantoro (1998:165), mengatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Jadi penokohan dalam karya sastra menunjuk pada pelaku atau tokoh ceritanya. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

(51)

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Yang dimaksud dengan penokohan disini adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut (Aminuddin, 2000:92). Penokohan dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu Mendampingimu” adalah sebagai berikut:

1. Michiyo Inoue adalah tokoh utama dalam novel “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” merupakan seorang wanita dewasa yang mandiri,

perhatian, rela berkorban untuk orang yang ia sayangi, pandai mendidik dan pekerja keras. Tapi ia pernah mengalami trauma buruk saat ditinggal mati pasangannya yang merupakan bapak dari anaknya Miyuki.

2. Miyuki Inoue adalah anak dari michiyo Inoue yang menderita kebutaan namun ia memiliki sifat yang periang, baik, mempunyai semangat yang tinggi, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi juga.

3. Tsutomu, adalah seorang pria dewasa yang berusia 48 tahun yang memiliki sifat yang bertanggung jawab. Tetapi ia mati dalam peristiwa kecelakaan saat perjalanan dinas keluar kota di Hiroshima. Ia adalah kekasih dari Michiyo Inoue.

(52)

5. Ibu Junko Nakamuta, seorang guru veteran yang baik hati di SLB A Tingkat Dasar Fukuoka. Sifatnya sangat sabar dalam mendidik.

6. Dokter Hiroko Inada, seorang dokter anak, wanita yang lemah lembut bicaranya, perhatian, penyayang, dan penyabar dalam menghadapi setiap pasiennya.

7. Pak Shohei Kono, seorang guru di SLB A Lanjutan Pertama Fukuoka yang menderita kebutaan saat SMA, memiliki semangat yang tinggi, perhatian, dan peduli terhadap anak didiknya.

8. Asako adalah seorang hostes yang merupakan sahabat Michiyo saat bekerja di klup malam. Wataknya baik dan suka menolong.

9. Miyako-san adalah pemilik tempat penginapan tempat Michiyo dulu bekerja sebagai pembantu, orangnya ramah dan penyayang. Ia yang mengenalkan Michiyo kepada temannya Kazuko-san pemilik bar.

10. Kazuko-san, teman dari Miyako-san yang perhatian dan suka menolong. Ia pernah membawa Michiyo bekerja di pusat kota Fukuoka sebagai seorang pelayan bar.

2.2.5 Sudut Pandang (Pusat Pengisahan)

(53)

pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Menurut Aminuddin (2000:96) sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut. Dengan kata lain posisi pengarang menempatkan dirinya dalam cerita tersebut dari titik pandang ini pula pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya. Terdapat beberapa jenis sudut pandang (pusat pengisahan/point of view), yaitu:

1. Pengarang sebagai tokoh utama. Sering juga posisi yang demikian disebut sudut pandang orang pertama aktif. Disini pengarang menuturkan dirinya sendiri.

2. Pengarang sebagai tokoh bawahan atau sampingan. Disini pengarang ikut melibatkan diri dalam cerita, akan tetapi ia mengangkat tokoh utama. Dalam posisi yang demikian itu sering disebut sudut pandang orang pertama pasif.

3. Pengarang hanya sebagai pengamat sebagai yang berada di luar cerita. Disini pengarang menceritakan orang lain dalam segala hal

(54)

2.3 Kondisi Kehidupan Penyandang Cacat di Jepang

Sebelum perang tahun 1945, orang-orang cacat fisik dan mental, yatim piatu, dan orang-orang tua yang kesepian tanpa keluarga dapat melindungi dirinya melalui bantuan sanak saudara atau belas kasihan dari tetangga sekitarnya. Beberapa orang yang tidak memiliki sanak saudara dan tidak memiliki pekerjaan, menerima bantuan dari yayasan-yayasan sosial swasta. Fasilitas bantuan masyarakat sungguh langka, dan kebanyakan yayasan sosial seperti usaha-usaha karitatif yang dilaksakan oleh berbagai organisasi keagamaan atau orang-orang dermawan, hampir-hampir tidak dapat bertahan dalam perjuangannya.

Keadaan itu jauh lebih baik setelah perang, dan program kesejahteraan sosial didasarkan atas Lima Undang-Undang Kesejahteraan Sosial, yaitu undang-undang kesejahteraan bagi anak-anak, orang-orang lanjut usia, penyandang cacat fisik, orang-orang lamban mental, ibu bersama anaknya yang tidak menerima nafkah dari ayahnya. Faktanya bahwa telah terjadi perubahan besar dalam hal bantuan itu setelah perang telah diatur undang-undang, meskipun fasilitas kesejahteraan dan hal-hal lainnya masih belum mencukupi.

(55)

Sesungguhnya takdir bisa diinterpretasikan sebagai sesuatu yang baik dan yang buruk, dan merupakan sesuatu yang bisa dirubah.

Jika mengacu pada filsafat tersebut mestinya masyarakat Jepang tidak memiliki pemikiran-pemikiran yang sempit mengenai penyandang cacat. Karena pada kenyataannya masyarakat masih menganggap kecacatan sebagai suatu aib, sehingga penyandang cacat harus disembunyikan keberedaannya. Faktanya pandangan masyarakat Jepang terhadap penyandang cacat dari zaman sebelum perang dan sesudah Perang Dunia II ini menyebabkan diskriminasi pada mereka.

Dilihat dari persfektif sosialnya, Jepang merupakan Negara yang menganut hubungan kelompok. Sama seperti Negara Asia lainnya, masyarakat Jepang menilai seseorang dari keterkaitannya pada lingkungannya. Misalnya pada tanggung jawab kelompok, yang memikul tanggung jawab penghormatan pada senioritas dan menjaga perasaan orang lain serta kesetiaan pada kelompok. Sebagai refleksi inilah, seorang penyandang cacat bisa tersosialisasi bahwa kelompok (keluarga) akan memenuhi segala kebutuhannya karena mereka berkewajiban memelihara anggota kelompoknya. Hal ini yang menyebabkan seorang penyandang cacat “menerima” apa yang disediakan tanpa mengeluh dan enggan mengungkapkan keinginannya dan kebutuhannya secara terus terang untuk menghindari konflik atau tekanan dari warga lainnya. Hal inilah yang banyak menyebabkan masyarakat menginterpretasikan orang cacat adalah individu yang lemah, dan harus dibantu dan dikasihani.

(56)

mempertimbangkan kelainan yang menyangkut cedera atau sakit. Penyandang cacat berarti orang yang mempunyai atau mengalami kesulitan dalam hidup, dalam waktu jangka panjang atau cacat masa depan. Orang cacat berarti orang-orang dalam situasi atau kondisi kurang beruntung dibandingkan orang-orang yang tidak cacat. Sementara itu diskriminasi terhadap penyandang cacat berarti situasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau konteks lain yang berkaitan dengan kondisi kehidupan, dimana hak gerak dalam kehidupan sosial terbatas karena kelainan fisik dan psikologis.

(57)

yang lebih arif tanpa melupakan pentingnya sosialisasi dalam masyarakat bagi penyandang cacat.

Para penyandang cacat dengan keterbatasannya mengalami kesulitan menjalankan fungsinya sebagai individu dalam suatu masyarakat. Banyak ketidaknyamanan yang timbul saat mereka beraktivitas di lingkungan sekolah, tempat bekerja, dan tempat-tempat publik lainnya. Keterbatasan dan ketidaknyamanan itu yang membuat penyandang cacat enggan bersosialisasi dan berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat.

Di tahun 2001 banyak berdiri pelayanan-pelayanan publik bagi penyandang cacat, baik itu swasta maupun milik pemerintah. Hal ini menukjukkan perhatian masyarakat terhadap para penyandang cacat, agar keberadaan mereka tidak lagi dianggap sebagai komunitas yang terabaikan dan sebagai penunjang bagi kesejahteraan hidup mereka dan sebagai satu integritas kehidupan bermasyarakat dalam segala bidang, sehingga diharapkan penyandang cacat memiliki kesempatan dan persamaan dalam berbagai aspek kehidupan di Jepang.

Beberapa kesempatan yang ditawarkan pemerintah Jepang terhadap para penyandang cacat dari tahun ke tahunnya mengalami perbaikan, meliputi aspek: 1. Pendidikan

(58)

orang-orang cacat. Pelaksanaannya seluruhnya dikerjakan oleh pemerintah kota dan provinsi.

Pada tahun 1976 pemerintah Jepang mengalokasikan dana pendidikan lebih dari 9 triliyun yen dan 2% dari dana itu diperuntukkan bagi pendidikan khusus bagi penyandang cacat. Pada tahun 1979 dibuat peraturan pemisahan antara pendidikan khusus dengan pendidikan khusus dan wajib bagi sekolah menengah umum yang terdapat penyandang cacat untuk memisahkan anak-anak cacat tersebut.

Sekolah-sekolah pelatihan bagi penyandang cacat dibuat di jantung kota. Sekolah pelatihan khusus tersebut merupakan sekolah pelatihan khusus yang mendukung pendidikan bagi anak-anak cacat yaitu bagi anak-anak buta dan juga anak-anak tuli. Namun pendidikan khusus ini jenis pendidikannya memiliki perbedaan dari sekolah umum. Pendidikan bagi penyandang cacat di Jepang sama sekali tidak dipungut biaya sedikitpun, hal ini dijamin oleh konstitusi Jepang. Kurikulum yang hingga kini masih menuju perbaikan-perbaikan yaitu kurikulum pendidikan berdasarkan persamaan. Salah satu program kurikulum tersebut adalah kunjungan kelas-kelas biasa. Dengan adanya program ini para penyandang cacat dapat memiliki kesempatan untuk menghadiri kelas-kelas biasa. Selain itu pendidikan inklusif bagi penyandang cacat akan terus dilaksanakan.

2. Pekerjaan

(59)

cacat dibuka sesuai ketentuan-ketentuan. Penyandang cacat juga memiliki hak untuk bergabung dalam serikat pekerja. Pelatihan-pelatihan kerja bagi penyandang cacat adalah program yang dibuat untuk membekali keahlian bagi penyandang cacat. Pekerja dengan kondisi cacat yang bekerja dibebaskan dalam pungutan pajak pendapatan.

Undang-undang tersebut juga mengatur jumlah persentase penerimaan jumlah pekerja cacat yang bekerja di beberapa instalasi. Ketentuan persentase tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perusahaan swasta, 1,8% dari seluruh jumlah karyawan 2. Koperasi, 2,1% dari seluruh jumlah karyawan

3. Negara dan Pemerintah Daerah, 2,1% dari keseluruhan jumlah karyawan yang bekerja dalam setiap bidang-bidangnya.

4. Dewan Pendidikan dan Prefektur, 2% dari seluruh jumlah karyawan yang bekerja di setiap bidang.

Kemudian untuk mencegah hal-hal diskriminasi dalam pekerjaannya terhadap para penyandang cacat, pemerintah Jepang juga membuat larangan diskriminasi dalam hal pekerjaan bagi penyandang cacat. Larangan diskriminasi tersebut adalah:

1. Penolakan atas pengangkatan atau pemberhentian penyandang cacat atas dasar kecacatan yang di deritanya

2. Melakukan hal yang merugikan pada penyandang cacat atas kondisi atau lingkungan kerja, gaji, dan promosi.

(60)

3. Fasilitas Publik

Untuk mendukung aksesibilitas penyandang cacat pada tahun 1973 pemerintah daerah Tokyo pertama kalinya membuat kebijakan Machida, yaitu Tokyo sebagai kota bebas hambatan, yang sekarang merupakan kota Pusat Hidup

Mandiri. Kota bebas hambatan dengan rancangan, dimana semua sisi publik kota

bisa dilalui oleh penyandang cacat dengan mudah dan nyaman. Program Bebas

Hambatan ini terus berkembang hingga saat ini. Sebab di dalam Undang-Undang

tercantum bahwa hak atas kebebasan bergerak. Program Bebas Hambatan yaitu, penyediaan fasilitas dan transportasi yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka, sehingga mempermudah akses hidup penyandang cacat, yaitu antara lain;

1. Desain arsitektur yang tidak mempersulit penyandang cacat meliputi, jalan dan trotoar yang bisa dilalui penyandang cacat yang menggunakan kursi roda dan orang buta.

2. Akses keluar masuk bangunan-bangunan publik, seperti lift yang bisa dipakai oleh pengguna kursi roda.

3. Sarana-sarana transportasi umum seperti bus, kereta api, terminal, bandara, pelabuhan misalnya pengadaan bus Machida tahun 1972, dimana di dalam bus tersebut penyandang cacat bisa tetap berada di atas kursi roda. Sarana pendukung di terminal, misalnya mesin penjual tiket yang khusus di pakai oleh penyandang tuna netra (buta).

4. Fasilitas umum, seperti telepon umum, toilet di tempat umum, dan lain sebagainya.

(61)

Selain itu pada tahun 1984, pemerintah juga telah memperbaharui cetakan alat tukar resmi yaitu uang dengan menambahkan tanda khusus pada cetakan uang kertas bagi para tuna netra untuk mengidentifikasi nilai mata uang yang tertera dan untuk mengidentifikasi keasliannya. Sebelumnya pada tahun 1974, pemerintah membuat kebijakan dalam penyiaran, agar setiap stasiun berita diharuskan memakai peraga bahasa untuk mereka yang mengidap cacat tuli (tuna rungu) di setiap siaran-siaran televisi.

2.4 Peranan Ibu di Jepang Dalam Mengasuh dan Mendidik Anak-Anaknya

Memilih bagi wanita Jepang merupakan tindakan yang sangat profesionalisme. Peran ganda sebagai ibu, terutama ibu anak balita sekaligus wanita pekerja, dianggap sebagai chuto hanpa-peran tanggung, sama sekali tidak populer di Jepang. Pilihannya adalah menjadi ibu dari manusia jepang atau tidak sama sekali. Hak dan kewajiban masing-masing dilindungi oleh undang-undang. Sarana dan prasarana yang diberikan oleh pemerintah sama-sama besar dan mendukung kesuksesan masing-masing karir yang diemban.

(62)

sekaligus bangsa tersejahtera di dunia serta memiliki harapan hidup terlama, dan sedang berjuang meningkatkan peranan Jepang di Dewan Keamanan PBB, adalah seorang wanita, Yoriko Kawaguchi.

Bagi wanita Jepang yang memilih melahirkan anak. Secara ilmiah maupun dalam tradisi Jepang, memiliki kewajiban yang disebut dengan mitsu no tamashi yaitu masa-masa emas meletakkan pendidikan dasar dalam usia 3 tahun pertama masa perkembangan pesat otak seorang anak. Adalah penyebab utama ibu-ibu muda di Jepang yang berpendidikan meninggalkan lapangan pekerjaannya demi melaksanakan ikuji meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya..

Agar para ibu muda Jepang tidak perlu membantu mencari tambahan nafkah keluarga. Pemerintah Jepang menyediakan pemukiman sewa layak untuk para keluarga muda, sejak dari zaman masih dinding terbuat dari papan hingga kini beton bertingkat tahan gempa dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang semakin maju sperti teknologi informasi. Tanpa didorong-dorong namun dengan daya tarik berupa sistem keamanan sosial, sarana dan prasarana serta pengetahuan yang semakin baik. Secara alamiah nilai keibuan yang dimiliki sebahagian besar wanita Jepang bisa berkembang menumbuh-kembangkan anak-anak beserta lingkungannya. Tidak heran jika anak-anak di Jepang, pria dan wanita, sangat sayang dan mengagumi ibu-ibunya.

(63)

sesuatu yang terjadi di rumah. Dari mulai pekerjaan-pekerjan rumah tangga, masalah keuangan, dan pendidikan anak. Bahkan mereka tidak segan-segan untuk mengundurkan diri dari karir mereka demi mengasuh dan mendidik sendiri anak-anak mereka di rumah.

Berdasarkan riset dari Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang menyebutkan bahwa 61% ibu muda di Jepang keluar dari pekerjaannya menjelang kelahiran anaknya untuk membesarkan buah hatinya. Survey diatas melibatkan 21.879 ibu muda yang melahirkan antara bulan Januari tanggal 10-17 pada tahun 2001, dibagi dalam 4 periode. Setahun sebelum melahirkan, saat melahirkan, 6 bulan setelah melahirkan dan 18 bulan stelah melahirkan. Didapat 73% dari jumlah responden mempunyai pekerjaan diluar rumah sebelum melahirkan anaknya. 53% keluar dari tempatnya bekerja sesaat sebelum melahirkan dan tidak kembali bekerja lagi. Ditambah dengan yang keluar dari pekerjaannya setelah melahirkan, jumlah seluruhnya menunjukkan 61% ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anaknya.

(64)

Merekalah yang membantu perkembangan ekonomi yang luar biasa dari bangsanya sesudah Perang Dunia. Kerja dan pengaruh wanita Jepang dapat dilihat dalam jalannya pendidikan nasional dan stabilitas sosial, yaitu dua hal yang sangatkrusial bagi keberhasilan ekonomi suatu bangsa. Jadi, wanita Jepang ternyata memiliki peran yang positif dalam membina dan mempertahankan kekukuhan fondasi pendidikan dan sosial yang begitu vital bagi kinerja kebangkitan ekonomi bangsa. Wanita Jepang membantu kemajuan ekonomi bangsa dengan dua cara, yaitu melalui proses akademis dan sosialisasi. Bagi orang Jepang, aspek sosialisasi pendidikan sama pentingnya dengan aspek akademis, sebab hal itu membiasakan anak-anak menghayati nilai-nilai yang terus membina konformitas sikap dan perilaku yang menjamin stabilitas sosial.

Diplomasi Jepang di luar negeri tentang peranan wanita Jepang sebagai

senggyo syuhu (ibu rumah tangga) dan kyoiku mama (ibu pendidikan), memang

nyaris tidak terdengar. Namun aplikasinya di kehidupan sehari-hari sangat gencar dan berkelanjutan. Motivasi utama para wanita Jepang adalah untuk melaksanakan ikuji- meletakkan dasar pendidikan berperilaku sejak dini kepada anak-anaknya, terutama di masa-masa emas, yaitu usia3 tahun pertama masa perkkembangan pesat otak seorang anak.

Kyoiku mama adalah istilah yang mengacu pada ibi-ibu Jepang yang terus

menerus mengembangkan bakat anak-anak mereka dan menyekolahkan mereka di universitas terbaik. Seorang pengamat Jepang, Reingold, mendefenisikan kyoiku

mama sebagai berikut: she becomes directly involved in and identified with the

child’s success or failure. Terjemahannya: Para ibu pendidikan itu secara

(65)

dinilai berdasarkan kesuksesan atau kegagalan mereka. Ibu-ibu pendidikan Jepang, mengajarkan disiplin, pengorbanan, kerja sama, dan kesederhanaan di rumah. Sekolah, yang mengajarkan hal-hal akademis, tidak direpotkan lagi dengan masalah-masalah perilaku anak didik karena nilai-nilai luhur telah melebur dalam karakter setiap siswa sejak dari rumah.

Para ibu di Jepang memiliki gelar kesarjanaan yang mentereng, walaupun mereka ‘hanya’ bertugas mengurusi rumah. Mereka beranggapan bahwa pendidikan yang mereka tempuh selama ini tidak sia-sia yakni untuk memperjuangkan pendidikan anak-anak mereka ketimbang mengejar karir dan cita-cita. Jika mereka ditanya, “Mengapa berhenti bekerja. Apakah tidak sayang pendidikannya yang tinggi tidak dipakai?” gentian mereka bertanya, “Apakah di rumah itu tidak memerlukan pendidikan yang tinggi?”. Mereka lebih suka banyak tinggal dirumah untuk membuat makan siang, mencuci, dan menyeterika baju seragam sekolah dan terus menerus memotivasi anak-anaknya untuk bekerja keras meningkatkan prestasi akademis mereka. Mereka lebih senang disebut sebagai wanita yang sukses dalam mencetak anak-anaknya yang berhasil, dan bukan sukses dalam karir mereka. Terbukti sistem ini sungguh berhasil dalam meningkatkan laju kemakmuran Jepang.

(66)

terhadap masa depan anaknya tersebut. Bahkan sampai mempengaruhi cita-cita mereka sendiri sebagai seorang anak, karena rasa bangga dan hebatnya peranan ibu mereka dalam mengasuh dan mendidik mereka.

2.5 Kisah Kehidupan Tentang Pengarang Michiyo Inoue

Michiyo Inoue lahir dari keluarga miskin di Osaka. Michiyo lahir tanpa sosok seorang ayah. Ibunya adalah seorang pelayan di sebuah klab malam di Osaka. Pada suatu hari ibunya menjalin hubungan asmara dengan seorang pria yang menyebabkan ia hamil, namun pria itu tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya tersebut. Kemudian lahirlah Michiyo kecil dengan status anak haram dari hasil hubungan tanpa status pernikahan ibunya tersebut. Tidak lama setelah Michiyo dilahirkan, ia dititipkan ke rumah kakek dan neneknya di Fukuoka. Sementara ibunya kembali ke Osaka seorang diri. Di Fukuoka, Michiyo kecil dirawat oleh bibinya yang berumur 24 tahun. Karena kehidupan yang pas-pasan, Michiyo kecil tidak pernah diberi air susu, ia hanya diberi air tajin yang dicampur gula.

(67)

Pada saat Michiyo duduk dikelas 3 SD, kakeknya meninggal dunia. Sejak saat itu Michiyo bekerja semakin giat untuk memenuhi kebutuhan hidup ia dan neneknya. Ibunya tidak pernah sekalipun mengirimkan uang kepada mereka.

Pada saat SMP diusia 13tahun, Michiyo dibawa leh ibunya kembali karena ibunya telah kembali ke Kurume dan mendirikan kedai minuman. Tinggallah neneknya eorang diri dirumah tanpa ada yang menemani. Setelah tinggal dengan ibunya, Michiyo dijadikan pelayan di kedai minuman ibunya sepulang dari sekolah. Ia harus mengantarkan makanan dan minuman ke tamu, serta menuangkan minuman dan menemani para tamu di kedai ibunya.

Pada saat usia 14 tahun, Michiyo mendapat kabar bahwa neneknya telah meninggal dunia. Tetapi ia tidak bisa pergi menghadiri pemakaman neneknya, karena dipaksa oleh ibunya bekerja. Di usia 15 tahun, Michiyo kabur dari rumah ibunya dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah penginapan. Tetapi setelah itu Michiyo bekerja sebagai hostes di Fukuoka. Akhirnya diusia 30 tahun, Michiyo mendirikan sebuah rumah makan kecil yang diberi nama “Nodate”. Saat usia 36 tahun, Michiyo menjalin hubungan asmara dengan seorang pria yang bernama Tsutomu yang berusia 48 tahun. Michiyo akhirnya hamil diluar nikah. Sementara Tsutomu yang berniat untuk menikahinya meninggal dunia dalam kecelakaan saat Tsutomu pergi dinas keluar kota ke Hiroshima.

(68)

anaknya Miyuki selama 15 tahun terbayar, saat miyuki memenangkan lomba pidato se-Kyushu. Beranjak dari kemenangan pidato Miyuki inilah merupakan awal terbitnya novel biografi dan memori ibu dan anak ini. Setelah kemenangan pidato tersebut Miyuki sangat rajin menuliskan kisah hidupnya dalam catatan diari miliknya dan kemudian diangkat menjadi novel yang berjudul “Aku Terlahir

500gr dan Buta” karangan Miyuki Inoue. 1 tahun kemudian Michiyo Inoue juga

mengeluarkan novel karangannya sendiri yang berjudul “Hiduplah Anakku Ibu

Mendampingimu” dan menjadi “best seller” di jepang. Novelnya ini berisikan

cerita kehidupannya sebagai seorang ibu yang membesarkan dan mendidik anaknya seorang diri.

2.6 Studi Pragmatik dan Semiotik 2.6.1 Pragmatik

Pendekatan pragmatik yang digunakan dalam menelaah sastra dikemukakan oleh Abrams melalui teori Universe-nya. Abrams dalam Fananie (2000:110), mengemukakan bahwa dalam menelaah sastra terdapat 4 model pendekatan yang dapat diterapkan, yaitu:

1. Telaah dari sudut pandang karya sastra itu sendiri yang merupakan produk pengarang (pendekatan objektif).

2. Telaah dari sudut pengarangnya (pendekatan ekspresif).

3. Telaah dari keterhubungan ide, perasaan, atau peristiwa-peristiwa yang mendasari karya yang ditelaah, baik secara langsung atau tidak langsung yang secara esensial dasarnya merupakan satu tiruan (pendekatan

Referensi

Dokumen terkait

Dari cuplikan di atas ada beberapa hal yang sesuai dengan cerita aslinya, diantaranya adalah keterlambatan Musashi saat tiba di tempat pertarungan, tetapi menurut cerita

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) Tema dalam novel Jaring Kalamangga termasuk dalam tema tradisional, (2) Penokohan pada tokoh (a) Adib Darwan

Cerita bergambar atau komik adalah salah satu karya sastra yang banyak.. memikat para

Ketika pertempuran sudah berlangsung lebih dari 2 jam, Ishida Mitsunari membuat isyarat asap untuk memanggil gugus pasukan yang belum juga turut bertempur. Mistunari mengirim

Hotei Mengamati Sabung Ayam oleh Miyamoto Musashi. Tersimpan di Museum

Penulis akan mengambil cuplikan teks percakapan Ichiyo dengan tokoh-tokoh lain di dalam novel yang mengandung nilai-nilai pragmatik sastra yang disampaikan oleh

Dari analisis pada bab III, dapat disimpulkan bahwa sosok ibu adalah sosok yang menjadi figur lekat atau attachment figure bagi Tamura, tokoh utama dalam novel Homuresu

Nilai yang terdapat dalam cuplikan teks di atas adalah selalu berusaha untuk melakukan apapun demi orang yang disayangi dengan memberikan perhatian dan