MATRIK KARAKTERISTIK BERITA DAN FEATURE
B. UNSUR-UNSUR POKOK CERITA FEATURE
2. Sudut Pandang
Sudut pandang (point of view) pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Dalam hal ini harus dibedakan dengan pandangan pengarang sebagai pribadi, sebab sebuah cerpen sebenarnya adalah pandangan pengarang terhadap kehidupan. Pengarang yang pandai akan menentukan pilihan siapa yang harus bercerita dalam cerpennya sehingga mencapai efek yang tepat pada ide yang akan dikemukakannya. Ada empat sudut pandang yang asasi, yakni (a) omniscient point of view (sudut penglihatan yang berkuasa), (b) objective point of view (sudut pandang objektif, (c) point of view orang pertama, dan (d) point of view peninjau (Sumardjo, 2004:28-32).
Cerita feature, dengan merujuk kepada sudut pandang tersebut, umumnya lebih menyukai sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Untuk lebih mudahnya, sebut saja sudut pandang orang ketiga. Dengan sudut pandang orang ketiga, wartawan sebagai penulis feature, tahu tentang segalanya. la, seperti ditulis Surnardjo, bisa menceritakan ape saja yang is perlukan untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkan. la bisa keluar masuk pikiran para tokohnya. la bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, jalan pikiran para pelaku cerita (Sumardjo, 2004:29). Sebagian kecil wartawan, menyukai sudut pandang orang pertama dengan memerankan tokoh aku. Sudut pandang many pun yang dipilih, sesungguhnya bergantung pada selera wartawan atau reporter, redaktur, Serta sifat dan bobot materi cerita yang ingin disampaikan kepada khalayak (pembaca, pendengar, pemirsa).
3. Plot
Plot bukan jalan cerita. Jalan cerita hanyalah manifestasi, benduk wadag, bentuk jasmaniah dari plot cerita. Plot ibarat gunung es, sebagian besar darinya tidak pernah nampak. Dengan mengikuti jalan cerita make kite dapat temukan plotnya. Jalan cerita memuat kejadian. Tiap suatu kejadian ada karena ada sebabnya, ada alasannya. Sesuatu yang menggerakkan cerita adalah plot, yaitu segi rohaniah Bari kejadian. Suatu kejadian merupakan cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Suatu kejadian berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan, dalam hal ini konflik. Intisari plot memang konflik. Plot itu sendiri sering dikupas menjadi lima element pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan soal (Sumardjo, 2004:15-16).
Feature yang baik harus memiliki plot. Namun plot pada feature, dalam beberapa hal berbeda secara mendasar dengan plot pada cerpen. Pada cerpen misalnya, plot yang baik mensyaratkan adanya pemunculan konflik. Setelah itu dilukiskan bagaimana konflik itu memuncak hingga mencapai klimaksnya. Pada feature tidak demikian. Feature tidak mewajibkan pemunculan dan penajaman konflik dalam rangkaian adegan cerita. Asumsinya sederhana. Feature mengangkat suatu situasi, keadaan, atau aspek kehidupan yang sifatnya faktual objektif. Tidak semua
aspek kehidupan yang diangkat dalam cerita feature unsur konflik. Jadi, hanya pada peristiwa tertentu saja unsur konflik dan kilmaks itu diperlukan atau dihadirkan.
4. Karakter
Sebagai cerita, setiap feature, seperti juga cerita pendek, harta memiliki karakter atau watak. Dalam fiksi, tulis Sumardjo, mutu sebuah cerpen banyak ditentukan oleh kepandaian si penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Kalau karakter tokoh lemah, maka menjadi lemahlah seluruh cerita. Tiap tokoh semestinya mempunyai kepribadian sendiri. Seorang penulis yang cekatan, hanya dalam satu adegan saja sanggup memberikan pada kita seluruh Tatar belakang kehidupan seseorang.
p
enulis yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh ceritanya, akan dengan sendirinya meyakinkan kebenaran ceritanya. Kita bisa m en ge nal i ka rakt er dal am s ebua h ce ri t a: ( a) m el al ui apa ya n g diperbuatnya, tindakan- tindakannya, (b) melalui ucapan-ucapannya, (c) melalui penggambaran fisik tokoh seperti bentuk tubuh, wajahnya, dan cara berpakaian, (d) melalui pikiran-pikirannya, dan (e) melalui penerangan langsung (Sumardjo, 2004:18-21).
Begitu juga dalam feature. Suatu cerita feature disebut baik atau lebih jauh lagi berkualitas tinggi, apabila karakter tokohnya dilukiskan dengan jelas, tegas, ringkas, dan spesifik. Setiap orang punya karakter atau kepribadian masing-masing, yang sekaligus membedakan dirinya dengan orang lain. Seperti ditegaskan Lajos Egri, pengarang keturunan Hongaria dalam karyanya The Art of' Dramatic Writing, tokohlah yang menentukan segala-galanya dalam cerita. Pengarang tidak perlu pegang kemudi. la hanya membiarkan saja tokoh-tokoh cerita yang dipilihnya itu hidup dan bergerak sendiri menurut wataknya masing-masing, dan menciptakan situasi, membuat masalah, menimbulkan ketegangan, mencetuskan klimaks, dan akhirnya menutup cerita (Dipenogoro, 200' ): 51).
5. Gaya
Gaya adalah cara khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana seorang pengarang memilih terra, persoalan, meninjau persoalan, dan menceritakannya dalam sebuah cerpen, itulah gaya
seorang pengarang. Dengan kata lain gaya adalah pribadi pengarang itu sendiri. Tiap orang punya gayanya sendiri, entah baik atau jelek. Gaya di sini meliputi penggunaan kalimat, penggunaan dialog, penggunaan detail, cara memandang persoalan, penyuguhan persoalan, dan seterusnya (Sumardjo, 2004:33-34).
Di situlah antara lain letak perbedaan feature dan berita. Sebagai cerita, feature ditulis oleh wartawan atau reporter dengan gaya masingmasing. Tiap wartawan penulis feature memiliki gaya sendiri bergantung pada afiliasi sekaligus tingkat pemahaman sastrawan. Ada wartawan yang sangat mengagumi gaya Putu Wijaya. Ada yang sangat menyukai gaya Ahinad Tohari. Ada yang terpukau dengan gaya Budi Darma. Tetapi tidak sedikit pula wartawan yang lebih menyukai gaya novelis Marga T, Mira W, Ashadi Siegar, atau Eddy D. Iskandar.
Tidak demikian halnya dengan berita. Siapa pun wartawan yang menulis berita, gayanya tetap sama. Ia harus merujuk kepada teknik melaporkan, pola piramida terbalik, dan rumus 5WIH. Ia tunduk kepada etika dasar dan bahasa jurnalistik. Dengan teknik melaporkan, tidak akan ditemui gaya bahasa sastra pada penulisan berita. Bahasa berita harus logis, sederhana, jelas, tegas, lugas, ringkas, formal, efisien, informatif, komunikatif.
6. Suasana
Tiap cerita pendek ditulis dengan maksud tertentu. Suasana dalam cerita pendek membantu menegaskan maksud. Di camping An suasana juga merupakan daya pesona sebuah cerita. Tentu agak sulit untuk pengarang menyatakan apa itu suasana. Suasana sebuah cerita merupakan warna dasar cerita itu. Dalam sebuah lukisan yang menggambarkan kemarahan, orang sekali warna merah menguasai bidang gambar. Sebaliknya dalam lukisan yang menggambarkan kelembutan dan kewanitaan, warna-warna lembut dan medium banyak kita jumpai di situ. Suasana cerita juga semacam itu. Suasana atau "rasa" dalam cerita pendek dapat dibangun pengarang lewat beberapa carat lewat karakter, setting, simbol tertentu (Sumadjo, 2004:a7 40).
Perlukah feature menggunakan suasana? Perlu ditegaskan tak ada cerita feature tanpa suasana. Dalam feature, seperti juga dalam cerpen, suasana merupakan suatu keharusan. Suasana itulah antara lain yang bisa menghidupkan cerita feature sehingga memikat pembaca, enak dibaca, berjiwa, dan sangat melantunkan pesan-pesan moral tertentu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Menulis feature, adalah melukis suasana peristiwa. Dari suasana itulah kemudian timbul imajinasi dan fantasi pembaca, pendengar, atau pemirsa.