• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

I II III Baku mutu

5.4.1. Suhu Air (ºC)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu air pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 29,6ºC sampai 32,1ºC, dengan suhu tertinggi terdapat pada Stasiun Pengamatan II (daerah muara) yaitu sebesar 32,1ºC dan terendah terdapat pada Stasiun Pengamatan I (daerah sekitar tambak) sebesar 29,6ºC. Tingginya suhu air pada Stasiun Pengamatan II disebabkan di kawasan tersebut hampir tidak terdapat vegetasi yang menghalangi cahaya matahari yang langsung mengenai permukaan air, tidak seperti di stasiun pengamatan lain yang ditumbuhi lebih banyak vegetasi mangrove sebagai pelindung permukaan air dari terpaan sinar matahari langsung. Menurut Nontji (1993) suhu air permukaan banyak mendapat pengaruh dari radiasi matahari terutama pada siang hari. Namun suhu air pada ketiga stasiun pengamatan tersebut dapat dikatakan masih mendukung bagi kehidupan udang. Menurut Powers & Bliss (1983) kisaran suhu yang baik untuk kehidupan udang adalah 28ºC sampai 30ºC. Odum (1998) menyatakan bahwa suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh intensitas matahari, ketinggian geografis dan faktor penutupan vegetasi (kanopi) dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.

5.4.2. Kecerahan

Penetrasi cahaya dari ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 3,5 cm sampai 12,6 cm. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada Stasiun Pengamatan II (kawasan muara) yaitu sebesar 12,6 cm dan terendah terdapat pada Stasiun

Pengamatan I (kawasan sekitar tambak) sebesar 3,5 cm. Rendahnya kecerahan air pada Stasiun Pengamatan I disebabkan oleh tingginya kandungan organik dan anorganik yang berasal dari buangan limbah pertambakan, limbah pembersihan kapal dan limbah rumah yang menyebabkan peningkatan sedimentasi dan kekeruhan air. Ditambah lagi substrat berlumpur yang dijumpai di stasiun ini selalu teraduk dengan bebas oleh arus air tanpa mendapat penghalang dari perakaran vegetasi mangrove yang memang sedikit di tempat ini. Berbeda keadaannya dengan kondisi di Stasiun III (kawasan mangrove) yang kecerahannya lebih tinggi walaupun dijumpai kandungan organik yang tinggi serta substrat berlumpur, namun dengan banyaknya perakaran bakau yang menahan pergerakan air, menyebabkan tingkat kecerahan di lokasi mangrove ini menjadi lebih tinggi, sedangkan pada Stasiun Pengamatan II (kawasan muara) tingkat kecerahan air paling tinggi yaitu sebesar 12,6 cm. Tingginya tingkat kecerahan air di kawasan ini adalah karena sedikitnya zat-zat yang tersuspensi, yang dapat dilihat dari rendahnya tingkat Kandungan Organik substrat yang dijumpai di stasiun pengamatan ini.

Nybakken (1988) menyatakan bahwa adanya zat-zat yang tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan pada perairan tersebut sehingga menurunkan produktivitas organisma aquatik. Sastrawidjaya (2000) menyatakan cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut terlalu tinggi yang mengakibatkan proses fotosintesis dalam perairan akan terganggu.

5.4.3. COD (Chemical Oxygen Demand)

Nilai COD dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara 52,8 mg/l sampai 122,6 mg/l. Nilai COD tertinggi terdapat pada Stasiun Penelitian I (kawasan sekitar tambak) sebesar 122,6 mg/l dan terendah terdapat pada Stasiun Penelitian III (kawasan mangrove) yaitu sebesar 52,8 mg/l. Tingginya nilai COD di Stasiun I disebabkan oleh banyaknya limbah organik dari aktivitas masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi ini ditambah buangan air tambak, sehingga kebutuhan akan oksigen untuk menguraikan limbah organik secara kimiawi menjadi lebih tinggi. Mahida (1981) mengatakan COD merupakan ukuran besar kecilnya potensi limbah untuk merusak kandungan oksigen dalam air. Nilai COD dipakai sebagai petunjuk tingkat pencemaran air oleh limbah. Hubungan antara kandungan bahan organik, COD dan oksigen terlarut yaitu: semakin tinggi kandungan bahan organik terlihat dari semakin tingginya oksigen terlarut yang digunakan untuk menguraikan bahan organik melalui proses kimia yang mengakibatkan nilai oksigen terlarut dalam air menjadi rendah yang dapat mengganggu kehidupan biota air.

5.1.4. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Nilai BOD5 pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 4,1 mg/l – 4,4 mg/l, dengan nilai tertinggi terdapat pada Stasiun Penelitian I (kawasan sekitar tambak) sebesar 4,4 mg/l dan terendah pada Stasiun Penelitian II (kawasan muara) sebesar 4,1 mg/l. Forstner (1990) dalam Barus (2004) menyatakan bahwa nilai BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 200C.

Adanya perbedaan nilai BOD5 pada setiap stasiun penelitian disebabkan oleh jumlah bahan organik yang berbeda pada masing-masing stasiun penelitian. Tingginya nilai BOD5 pada Stasiun I (kawasan sekitar tambak) diakibatkan oleh banyaknya pencemaran limbah organik dari aktivitas masyarakat yang banyak bermukim di sekitar kawasan tersebut, seperti pertambakan dan pembuangan limbah rumah tangga. Menurut Wardhana (1995) peristiwa penguraian bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisma di dalam lingkungan perairan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air mengandung oksigen yang cukup. Brower, et al, (1990) mengatakan adanya konsentrasi organik yang tinggi akan membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang besar untuk biodegradasi senyawa organiknya.

Dengan mengacu pada penggolongan baku mutu air limbah menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 maka dapat dikatakan bahwa nilai BOD5 pada ketiga stasiun penelitian masih berada di bawah ambang batas yang diinginkan, dengan demikian dapat dikatakan nilai BOD pada kawasan ini tidak berbahaya bagi kehidupan biota laut termasuk udang.

5.1.5. N-NH3 (Amoniak)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan amoniak pada perairan di ketiga stasiun penelitian berkisar antara 1,03 mg/l sampai 1,6087 mg/l, dengan kadar tertinggi terdapat pada Stasiun Pengamatan II (lokasi muara) sebesar 1,6087 mg/l dan terendah pada Stasiun Pengamatan III (lokasi mangrove). Tingginya kadar

amoniak pada Stasiun Pengamatan II disebabkan oleh adanya akumulasi dari limbah organik berupa nutrisi lemak dan protein yang berasal dari sisa-sisa jasad renik dari organisme air ataupun limbah rumah tangga yang bermukim di sepanjang aliran sungai yang terbawa oleh aliran air sungai dan bertumpuk pada stasiun ini.

Menurut Borneff (1987) dalam Barus (2004) kandungan limbah domestik pada umumnya terdiri dari tiga jenis zat nutrisi yaitu karbohidrat, lemak dan protein. Produk penguraian karbohidrat dianggap tidak menimbulkan masalah bagi ekosistem perairan karena berbagai jenis bakteri dan jamur dapat mengkonsumsinya. Hal yang dapat menimbulkan masalah serius bagi ekosistem perairan adalah produk dari penguraian lemak dan protein yang menghasilkan amoniak yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisma air.

5.1.6. N-NO2 (Nitrit) dan N-NO3 (Nitrat)

Hasil pengamatan pada ketiga stasiun penelitian menunjukkan kadar nitrit berkisar antara 0,0423 mg/l sampai 0,1656 mg/l, dengan kadar tertinggi dijumpai pada Stasiun Pengamatan I (lokasi sekitar tambak) sebesar 0,1656 mg/l dan terendah pada Stasiun Pengamatan III (lokasi mangrove) sebesar 0,0423 mg/l. Dijumpainya nitrit pada ketiga stasiun berasal dari proses oksidasi oleh mikroorganisme terhadap amoniak dan menghasilkan nitrit. Di lokasi sekitar tambak yang berdekatan dengan lokasi muara dengan kadar amoniak yang tinggi tentu menghasilkan produk penguraian berupa nitrit yang tinggi pula dan dapat dimengerti bila di lokasi yang

lebih jauh dari konsentrasi amoniak yang tinggi seperti daerah mangrove akan didapati konsentrasi nitrit yang lebih rendah, apalagi di daerah mangrove tersedia supplai oksigen yang cukup bagi mikroorganisme untuk mengoksidasi nitrit menjadi nitrat sehingga di daerah mangrove tidak dijumpai akumulasi nitrit yang tinggi. Menurut Barus (2004) nitrit adalah merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

Kadar nitrat dari hasil pengamatan pada ketiga stasiun penelitian menunjukkan angka berkisar antara 4,3920 mg/l sampai 12,0388 mg/l, dengan kadar tertinggi terdapat pada Stasiun Penelitian I (lokasi sekitar tambak) sebesar 12,0388 mg/l dan terendah pada Stasiun III (lokasi mangrove). Hal ini dapat terjadi karena di lokasi sekitar tambak dijumpai kadar nitrit yang tinggi dan oleh aktivitas mikroorganisme dioksidasi menjadi nitrat sementara kadar nitrit di lokasi mangrove yang lebih rendah menghasilkan nitrat yang lebih rendah pula oleh hasil oksidasi mikroorganime.

Proses oksidasi nitrit menjadi nitrat terjadi oleh aktivitas bakteri dari kelompok nitrobacter dengan reaksi NO2 + O2 → NO3. Proses oksidasi oleh mikroorganisme ini dikenal sebagai proses nitrifikasi (Borneff, 1982; Schwoerbel 1987 dan Hutter 1990 dalam Barus 2004).

5.1.7. Ortofosfat

Dari hasil pengamatan diketiga stasiun didapatkan kandungan pospat di kisaran 0,1875 mg/l sampai 0,2599 mg/l dengan nilai tertinggi diperoleh pada Stasiun Pengamatan III (lokasi mangrove) sebesar 0,2599 mg/l dan terendah pada Stasiun Pengamatan II (lokasi muara) sebesar 0,1875 mg/l. Menurut Barus (2004) dalam ekosistem air, fosfat terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfat anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisma. Fosfat juga berasal dari sedimen yang selanjutnya meresap ke dalam air tanah dan pada akhirnya masuk ke perairan terbuka seperti sungai lalu terbawa ke perairan laut. Selain itu dapat juga berasal dari atmosfer dan bersama air hujan masuk ke dalam perairan.

Tingginya kadar fosfat di Stasiun III (lokasi mangrove) dimungkinkan oleh banyaknya proses penguraian lapukan tumbuhan di lokasi ini yang berasal dari daun ataupun ranting vegetasi mangrove. Rendahnya kadar fosfat di Stasiun II (lokasi muara) terjadi disebabkan karena di lokasi ini hanya dijumpai sedikit ditemukan tanaman air dan vegetasi mangrove.

5.1.8. Klorida

Dari hasil pengamatan pada ketiga stasiun didapati kadar klorida sebanyak 17,963 mg/l sampai 19,241 mg/l dengan kadar klorida tertinggi diperoleh pada Stasiun Pengamatan II (lokasi muara) dan terendah pada Stasiun Pengamatan I (lokasi

sekitar tambak). Menurut Barus (2004), klor merupakan ion dari senyawa anorganik yang mempunyai mobilitas yang tinggi dan pada umumnya terdapat hampir di semua ekosistem air. Konsentrasi klor dalam air terutama dipengaruhi oleh proses perombakan kimiawi dari substrat. Menurut Brehm & Meijering (1990) dalam Barus (2004) klor yang terdapat dalam air sebagian besar berasal dari substrat tanah dan sedimen yang mengandung klor serta dari atmosfer melalui curah hujan atau klor yang berasal dari limbah cair yang memasuki perairan.

Dokumen terkait