• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suku Dayak Iban, adalah salah satu rumpun

suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat, Sarawak,Brunei dan Tawau Sabah. Mengikut sejarah lisan, pembentukan dan perkembangan budaya sosial Dayak Iban terjadi semasa di Tampun Juah, sebelum berpecah kepada beberapa subsuku-subsuku yang ada sekarang. Selama masa

kolonial Inggris dan Belanda,

kelompok Dayak Iban sebelumnya dikenal sebagai Dayak Laut.

Adapun kesebelas kapal tersebut terdiri dari

KMP Kerapu dan KMP Gunung Palong yang melayani lintasan Rasau Jaya—Telok Batang;

KMP Bili dan KMP Saluang untuk lintasan

Bardan—Siantan; KMP Lemuru untuk lintasan Tebas Kuala—Tebas Seberang; serta KMP Silok dan KMP Primas 1 untuk lintasan Tanjung Harapan—Teluk Kalong.

Pada lintasan perintis, ASDP Pontianak menyediakan 4 armada kapal feri, yaitu KMP Merawan I (Parit Sarem—Sungai Nipah), KMP Biramata (Sungai Mayam—BHD), KMP Semah (Rasau Jaya—Pinang Luar); dan KMP Binaul (Sungai Sumpit—Cermai).

Daniel menambahkan bahwa kapal-kapal tersebut beroperasi sejak pukul 06.00 WITA hingga pukul 20.00 WITA. Dalam sehari, kapal feri ASDP—sebut saja KMP Saluang yang melayani lintasan Bardan— Siantan, bisa melayani penumpang hingga 50 trip atau 25 kali perjalanan pergi- pulang. Sedangkan untuk lintasan Rasau Jaya—Telok Batang, hanya terdapat satu kali pemberangkatan di sore hari, baik dari Rasau Jaya maupun Telok Batang.

Mudah dan Terjangkau

Dengan kehadiran Kapal Feri ASDP di perairan Kapuas tersebut, masyarakat mendapat kemudahan, baik dari sisi akses, waktu, hingga biaya. Masyarakat dapat dengan mudah mencapai pelabuhan- pelabuhan kapal feri karena kebanyakan pelabuhan tersebut berada di tengah kota.

Kemudian, meskipun harus mengantri untuk naik ke kapal, waktu tempuh dengan kapal feri tetap lebih singkat dibandingkan waktu tempuh menggunakan jalan darat.

Sebagai perbandingan, dari pelabuhan

Bardan menuju Siantan, sejak mengantri untuk naik kapal hingga sampai ke Pelabuhan Siantan, hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit. Sedangkan, melalui jalan darat, waktu yang dibutuhkan dari Bardan ke Siantan bisa mencapai lebih dari setengah jam. Belum lagi, saat jalur sedang padat di jam-jam sibuk, seperti pagi dan sore hari di kala masyarakat pergi dan pulang bekerja.

Sementara itu, dari sisi biaya, kapal feri penyeberangan ini jelas sangat bersahabat. Untuk bisa menyeberang dari Bardan ke Siantan atau sebaliknya, penumpang cukup membayar Rp 2.500 dan Rp 500 untuk penumpang berseragam sekolah. Sedangkan untuk sepeda motor, harga tiket termasuk penumpang sebesar Rp 5.000 dan Rp 6.000 untuk motor dengan penumpang berboncengan.

Pada lintasan Rasau Jaya—Telok Ba tang, harga tiket lebih tinggi, mengingat jarak tempuhnya pun lebih panjang. Untuk penumpang dewasa, dikenai tarif sebesar Rp 57.500 dan Rp 28.800 untuk penumpang anak-anak. Sedangkan untuk kendaraan, dikenai tarif berdasarkan golongan, mulai dari Rp 65.200 (Golongan I) hingga Rp 3.360.000 (Golongan VIII).

POTRET

“Ke depannya, kami akan mulai menerapkan Permen No. 28/2016 tentang kewajiban penumpang di dalam kendaraan membeli tiket. Sekarang ini, harga tiket untuk kendaraan seolah-olah satu paket dengan kendaraan. Hal inilah yang akan kami atur, sehingga nantinya penumpang dengan kendaraan akan membeli tiket untuk dirinya dan juga kendaraannya,” tegas pria yang sebelumnya mengepalai PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Batu Licin ini. Terkait lintasan perintis, Daniel menambahkan bahwa tarif penumpang pada lintasan ini

mendapatkan subsidi dari Pemerintah yang diberikan berdasarkan trip. Sebut saja, Kapal Semah. Daniel menyebutkan, Kapal Semah mendapatkan subsidi sebesar Rp 799.321 per trip dengan kontrak sebanyak 4.620 trip yang harus dijalankan sepanjang tahun 2017. “Perintis ini diadakan dengan filosofi untuk membuka wilayah yang terisolasi melalui layanan ASDP dengan harapan hal ini bisa meningkatkan perekonomian wilayah tersebut. Karenanya, kapal perintis ini harus jalan jika memang sudah waktunya jalan, meskipun hanya sedikit penumpangnya. Dalam satu keberangkatan, paling hanya 7 orang penumpang dan 2 motor,” ujar Daniel. Klotok hingga Galaherang

Selain kapal feri RORO yang

dioperasikan ASDP Pontianak, kapal penumpang lainnya yang beroperasi di perairan Sungai Kapuas adalah kapal klotok. Kapal kayu ini sangat unik dan khas karena mesinnya mengeluarkan bunyi “klotok-klotok”. Meskipun tidak sebesar kapal feri, kapal ini bisa mengangkut penumpang dan sepeda motor. Hingga saat ini, kapal klotok masih menjadi andalan masyarakat, terutama bagi mereka yang ingin menuju Telok Batang dari Pontianak. Transportasi penyeberangan lainnya yang juga menjadi andalan adalah sampan kayu dengan motor. Perahu kecil ini sering terlihat lalu lalang melintasi Sungai Kapuas sambil mengangkut sejumlah penumpang. Sebuah kapal yang cukup menarik perhatian dan menjadi favorit masyarakat adalah Kapal Galaherang dan Sarasan. Kapal ini serupa dengan canal cruise yang menelusuri kanal di Amsterdam, Belanda ataupun Bosphorus Cruise yang menelusuri Terusan Bosphorus, Turki. Tim Transmedia pun tak melewatkan kesempatan untuk menumpang “bis tingkat” ala Sungai Kapuas ini. Kami memilih tempat di dek atas kapal. Dek atasnya tak memiliki atap, sengaja dibuat terbuka, sehingga penumpang bisa leluasa menikmati pemandangan di sepanjang Sungai Kapuas. Kapal ini pun dilengkapi

meja-kursi, tak ubahnya kafe, dan juga menyajikan aneka penganan yang bisa dipesan dan dinikmati di sepanjang perjalanan.

Hanya dengan membayar tiket Rp 15.000, kami bisa menikmati pemandangan Kota Pontianak dari sisi yang berbeda selama satu jam. Dari atas kapal ini, kami bisa melihat perkampungan penduduk yang terapung di atas Sungai Kapuas yang dikenal sebagai Kampung Beting. Keraton Kesultanan Kadariyah dan Masjid Jami pun tampak jelas dari atas kapal ini.

Begitu pun dengan pelabuhan kapal feri, kapal feri ASDP yang lalu lalang, serta Jembatan Kapuas, menjadi pemandangan yang bisa kami nikmati selama menyusuri Sungai Kapuas. Ramainya lalu lintas di perairan Sungai Kapuas tersebut kian mengukuhkan arti pentingnya keberadaan Sungai Kapuas bagi kehidupan masyarakat Pontianak.

Aktivitas di perairan Sungai Kapuas

Salah satu moda transportasi masyarakat Pontianak di Sungai Kapuas

3

4 5

POTRET

Kota Pontianak ternyata dikenal

pula sebagai kota kesultanan dan

penduduknya merupakan akulturasi dari tiga budaya, yaitu Suku Melayu, Tionghoa dan Dayak. Berbicara mengenai kesultanan, Tim Majalah Transmedia memulai perjalanan dengan mengunjungi salah satu cagar budaya religi, yaitu Istana Kesultanan Kadariah Pontianak. Perlu diketahui, jika Anda mengunjungi istana tersebut, pertama kali Anda harus meminta izin untuk masuk dan berfoto pada orang yang menjaga/ pengurus istana.

Ssst…Izin Foto Sebelum Masuk Istana

Memang tidak ada petunjuk untuk membeli tiket, karena tak dipungut biaya untuk masuk ke dalam Istana. Namun, biasanya pengurus berdiri di sekitar pintu masuk istana. Perkenalkan diri Anda dan maksud tujuan mengunjungi Istana Kadariah Pontianak. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka teguran akan Anda dapatkan. Bagaimana tidak, karena pengurus istana tersebut merupakan

salah satu keluarga dari keturunan

Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie,

Bertualang di Kota

Dokumen terkait