• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sulfur Sumber

Dalam dokumen Bab 1. Dasar-Dasar Kesuburan Tanah (Halaman 38-48)

Belerang dalam tanah berasal dari berbagai sumber, yaitu: (a) mineral mengandung belerang, (b) perombakan bahan organik, (c) abu sisa pembakaran, (d) asap pabrik ataupun kendaraan ber motor, dan (e) bahan kimia mengandung S. Permasalahan belerang antara lain muncul akibat:

1. Penggantian pupuk N beranalisis rendah dan berikutan S (ZA) dengan N beranalisis tinggi (urea),

2. Penggantian pupuk K berikutan S (ZK) dengan tanpa S (KCl, MOP), 3. Beralihnya penggunaan pestisida mengandung S menjadi

berbahan aktif P atau unsur lain, dan

4. Pengangkutan bahan panen ke luar lahan terus menerus sehingga S dalam tanah menjadi rendah.

Selain itu, lahan-lahan jauh dari gunung berapi, pusat industri, atau jalan raya dilalui kendaraan bermotor cenderung mengalami defisiensi sulfur.

Tabel 2.5. Interpretasi Umum Penetapan Fosfor MenurutMetode Olsen (Landon, 1984)

Karak- Contoh Nilai Ketersediaan Indikatif Kebutuhan Tanaman teristik Kurang Diragukan Cukup

... (ppm) ... P-rendah rumput, <4 5 - 7 >8 sereal, kedele, Jagung P-sedang Lucerne, <7 8 - 13 >14 kapas, jagung, Tomat P-tinggi Gula-bit, <11 12 - 20 >21 kentang, seledri, Bawang

Sifat dan Perilaku

Bentuk belerang tersedia bagi tanaman adalah berupa SO3

2-, SO42-, SO2 (gas). Sifat dan perilaku S mirip dengan N, baik perubahan-perubahan dalam tanah maupun bentuk senyawa dalam tanaman; hanya bedanya S3- atmosferik dapat diserap langsung oleh tanaman sedang N-atmosferik tidak. Di dalam tanaman baik S maupun N merupakan penyusun asam amino dalam pembentukan protein. Gejala defisiensi N dan S ditandai menguningnya daun karena mengalami khlorosis; pada N dimulai dari daun tertua (terbawah) sedang S merata untuk seluruh jenis daun.

Seperti halnya N, pelepasan S dari bahan organik (protein) terjadi dengan bantuan jazad mikro tanah pada kondisi oksidatif menghasilkan ion SO4

2

-. Begitu terjadi perubahan kondisi menjadi reduktif, maka ion SO42

direduksi menjadi gas H2S dan bila terdapat besi reduksi (Fe2+) akan terbetuk pirit yang mengendap dan sukar larut. Reaksinya sebagai berikut:

Mineralisasi: (bantuan Bacterium thiooxidans)

Bahan organik (protein) Asam amino SO4

2- Reduksi Sulfat: (bantuan Bacterium desulforicans) SO42- S

S2- + H+ H2S (gas)

S2- + Fe2+ FeS (pirit)

Pada tanah-tanah cekung dan selalu tergenang masalah kehilangan S menjadi gas atau terbentuk endapan pirit merupakan indikasi bahwa drainase jelek dan kondisi tanah adalah reduktif. Pada keadaan ini pemupukan belerang menjadi tidak efektif bila tidak dilakukan perbaikan drainase. Belerang elementer (So)

seringkali diberikan ke dalam tanah untuk maksud menurunkan pH. Apabila hal ini dilakukan, diperlukan masukan bahan organik agar proses oksidasi yang melibatkan aktivitas jazad mikro tanah berjalan dengan baik. Oksidasi belereng elementer menjadi ion sulfat memberikan ekses ion H sehingga menurunkan pH tanah.

Interpretasi Hasil Analisis

Meskipun SO4-S merupakan bentuk diserap tanaman, pengukuran sulfat jarang menunjukkan suatu penduga yang nyata terhadap level S dalam tanah, oleh karena ion sulfat seringkali dapat berubah melalui disosiasi dan pengukuran sangat tergantung kondisi pengambilan contoh. Hal yang sama juga untuk pengukuran sulfat organik dalam hubungannya dengan laju pelepsan S menjadi bentuk lebih tersedia.

Hanya dapat dilakukan pendugaan sangat terbatas terhadap status S tanah hasil pengukuran (Tabel 2.6).

Tabel 2.6. Interpretasi Hasil Pengukuran S (Landon, 1984)

Pengukuran S Level S Pemunculan

Total S <200 ppm Defisiensi

S Tersedia (Morgan) < 3 ppm Defisiensi S Tersedia (jenuh) > 30 me/l Kelebihan S (terekstrak)*) 6-12 ppm Batas repon

2.4. Kalium

Kalium tanah yang cukup merupakan syarat ketegaran dan vigur tanaman, karena kalium berperan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit tertentu, di samping mendorong perkembangan akar. Tanaman defisiensi kalium menunjukkan kekeringan mulai ujung daun paling tua (bawah), meluas sepanjang pinggir, disertai khlorotik bagian tengah. Hampir semua tanah kecuali bertekstur berpasir, mengandung K-total tinggi. Meskipun K dipegang kompleks jerapan tanah, namun sedikit yang dapat dipertukarkan. Dengan demikian, proporsi terbesar adalah tidak larut atau relatif tidak tersedia. Kalium tersedia hanya 1 hingga 2 persen dari total kalium tanah mineral.

Sumber

Kebanyakan kalium merupakan bagian kompleks mineral tanah yang sedikit demi sedikit larut dalam air tanah, asam karbonat, atau asam-asam lain. Kemudahan pelepasan K tergantung pada kompleks mineral tanah dan intensitas perombakan. Sebagai contoh, perombakan kalium feldspar menghasilkan mineral liat Kaolinit dan Ilit, silikat, dan K-hidroksida (Loughnan, 1969):

2KalSiO + 3HO AlSiO (OH) + 4SiO + 2KOH K-feldspar air kaolinit silikat kalium 3KalSiO + 2HO KAl(Al,Si)O(OH) + 6SiO + 2KOH K-feldspar air Ilit silikat kalium

Kalium dibebaskan berupa hidroksida mudah terionisasi dan ion K+ bebas dapat diserap tanaman, hilang melalui air drainase, atau di ikat muatan negatif kompleks jerapan tanah. Kalium merupakan unsur penting dalam kerak bumi, tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berada sebagai senyawa-senyawa dalam batuan, mineral, dan garam-garam larut. Secara umum, kerak bumi mengandung

kurang lebih 3.11 persen K2O; sedang air laut 0.04 persen (Madiadipoera, 1976).

Batuan felsik, intermediet, mafik, dan ultramafik berturut-turut mengandung 3.3, 2.3, 0.8, dan 0.3 persen kalium (Krauskopf, 1979). Menurut Mohr, van Baren, dan Schuylenborg (1972) mineral K paling umum dijumpai dalam tanah adalah feldspat, mika, dan feldspatoid; masing-masing beranggotakan ortoklas dan sanidin (feldspat), 12.3 dan 9.6 persen K; biotit dan muskovit (mika) 5.82 dan 7.48 persen K; dan lusit (feldspatoid) 16.17 persen K. Urutan berdasarkan kepentingan bagi pertanian, dari paling penting hingga kurang penting adalah: lusit > ortoklas > sanidin > muskovit > biotit (Soepardi, 1977). Mineral liat terpenting adalah ilit; di mana K terdapat di antara lempeng-lempengnya lebih banyak dibandingkan mineral liat tipe 2:1 lainnya.

Sifat dan Perilaku

Bentuk kalium tersedia bagi tanaman adalah ion K+. Kalium tanah berada dalam keseimbangan bentuk-bentuk: mineral, terfiksasi, dapat diper tukarkan, dan larut dalam cairan tanah (Wood dan deTurk, 1941):

K m K f K dd K l Mineral terfiksasi dapat di- larut

pertukarkan

Bentuk kalium dalam mineral telah dikemukakan di bagian depan. Kalium terfiksasi bila jumlah dapat diekstraksi menurun akibat K+ larut/ tersedia berinteraksi dengan tanah (mineral liat). Fiksasi K terjadi karena terjebak di antara lempeng mineral liat Ilit atau dihalangi ion NH4+ yang relatif berjari-jari ionik mirip K+ (lihat fiksasi NH4+). Mekanismenya disajikan dalam Gambar 2.5. Pada tanah-tanah mengandung banyak mineral liat Ilit, bila kondisi kekurangan seringkali tampak gejala defisiensi K pada tanaman; akan tetapi gejala tersebut segera pulih setelah mulai musim hujan.

Bila dalam tanah lebih banyak ion NH4+ dari pada K+ maka serapan K berkurang karena mobilitasnya dihalangi ion NH4+. Oleh sebab itu, pupuk amonium berlebihan dapat menyebabkan defisiensi kalium, khususnya pada tanah masam miskin K.

Di antara ion-ion basa K, Ca, Mg, atau Na terdapat sifat antagonistik dalam hal serapan oleh tanaman. Bila salah satu unsur lebih banyak, maka serapan unsur lainnya akan terganggu. Kompetisi berkaitan dengan sifat fisiko-kimia yang mirip satu sama lain sehingga terjadi perebutan tempat pada tapak-tapak jerapan tanah atau permukaan akar. Karena itu, nisbah K/Na, K/Ca, K/Ca+Mg, K/Ca+Na+Mg, seringkali dapat memberikan gambaran tentang status basa-basa dalam tanah.

Kalium termasuk unsur mobil sehingga mudah mengalami pencucian bila kondisi memungkinkan pergerakannya. Sifat mobilitas K ini berhubungan berhubungan dengan kemudahan pertukaran dengan kation lain dan ketersediaannya bagi tanaman. Tingkat pencucian K tinggi merupakan penyebab utama defisiensi K pada tanah-tanah masam. Salah satu usaha mengefisienkan penggunaan K yaitu mengatur cara dan waktu pemberian pupuk yang tepat. Hal ini merupakan alasan mengapa K diberikan lebih dari satu kali (split application) selama masa tanam.

Dalam praktek, masalah kalium dapat didekati melalui penelaahan kondisi tanah. Secara umum, tanah-tanah berpeluang mengalami defisiensi kalium adalah tekstur berpasir, bahan induk kapur (kalkareous), bahan induk masam dan miskin K, kadar bahan organik tinggi, atau tanah-tanah mengalami pencucian lanjut seperti Oksisol (Soepardi, 1977).

Lempeng liat tipe 2:1 Ion Kalium dan Amonium

Kation lain lebih kecil H+ , Na+ , Ca2+, dan lain-lain

Gambar 2.5. Mekanisme Fiksasi Kalium yang Terjebak pada Lempeng Mineral Liat Ilit (Wood dan deTurk. 1941)

Analisis dan Interpretasi

Metode analisis kalium yang umum digunakan adalah penetapan K dapat dipertukarkan (Kdd ), diperoleh dari K larut pada analisis KTK. Patut disesalkan bahwa tidak ada uji tanah yang dapat diterima secara umum yang mampu menjelaskan Kdd serta beberapa indeks tingkat pelepasan K untuk melengkapi penilaian

status K. Nilai K total mungkin dapat digunakan, meskipun Varley menemukan hasil yang menyolok dari tanah Nepal dan Saint Helena. Tanah pertama mengandung mineral mika dengan nilai K total 20 000 ppm (2%) tetapi hanya menunjukkan nilai Kdd 0.1 me/100g; sedang tanah kedua menunjukkan K total 2 000 hingga 3 000 ppm dan Kdd lebih dari 2.0 me/100g (Landon, 1984).

Perlu diingat bahwa level Kdd biasanya berubah bila tanah-tanah menjadi kering. Oleh sebab itu, tidak jarang contoh tanah-tanah menunjukkan nilai K cukup tinggi di laboratorium tetapi di lapangan tanaman menunjukkan gejala defisiensi K. Jumlah K yang diperoleh dengan menggunakan ekstraktan amonium-asetat seringkali sedikit berbeda dibandingkan dengan pengekstrak asam encer. Namun demikian, ekstraksi amonium- asetat menunjukkan keampuhannya selama 15 hingga 20 tahun terakhir (Landon, 1984). Nilai kritik kalium disajikan dalam Tabel 2.7.

Tabel 2.7. Nilai Kritik Kalium Tersedia Ekstrak Amonium Asetat (Landon, 1984)

K Tersedia Tempat Sumber

(ekstraksi amonium asetat)

Rendah Sedang Tinggi ……... (me/100g) ...

0.03-0.2 0.2-0.4 0.4-0.8 Malawi Young & Brown (1962) <0.25 0.25-0.5 >0.5 AS Thomas (1966) 0.3-0.5 0.5-0.8 >0.8 Sel.Baru Metson (1961) <0.15 0.15-0.6 >0.6 Inggris MAFF (1967)

Sebagai pegangan umum, respon tanaman terhadap pemupukan K tampak bila nilai K tanah <0.2 me/100 g dan tidak tampak bila >0.4 me/100 g. Namun, batas ini masih bersifat

pertimbangan tergantung pada sifat-sifat tanah, lingkungan dan tanaman. Hasil penelitian di Zimbabwe (Landon, 1984), mengenai hubungan antara defisiensi K dengan tekstur tanah serta indeks ketersediaan disajikan dalam Tabel 2.8.

Tabel 2.8. Hubungan Kdd dengan Tekstur (Landon, 1984)

Kisaran K Kdd (ekstrak amonium asetat) Pasir Lempung Liat Berpasir

……….……….. (me/100g) ……….……… Defisien (respon) <0.05 <0.1 <0.15 Marginal (respon) 0.05-0.1 0.1-0.2 0.15-0.3 Kecukupan *) 0.1-0.25 0.2-0.3 0.3-0.5 Kaya >0.25 >0.3 >0.5

*)Tetapi pemberian diperlukan untuk mencegah defisiensi)

Boyer (Landon, 1984) mengemukakan angka patokan defisiensi K tanah-tanah tropika basah sebagai berikut (meskipun menurut Jones dan Wild masih bervariasi menurut jenis tanaman serta level produksi):

Minimum Mutlak : 0.07 hingga 0.20 me/100g Minimum Relatif: paling rendah 2% jumlah basa

Nisbah K : Mg tinggi dalam tanah dapat menjadi petunjuk defisiensi Mg, misalnya setelah pemupukan K. Pada tanah-tanah KTK rendah, penambahan Ca dan Mg mungkin diperlukan untuk mengimbangi pemupukan K. Pada persentase K tinggi (>25%), permeabilitas dan struktur mungkin dipengaruhi, tetapi tidak sebesar bila Na tinggi. Tanaman dalam kamar kaca atau buah-buahan, serapan Mg mungkin terhambat bila nisbah K : Mg berkadar Mg rendah 2 : 1 (Landon, 1984).

Pada tanaman teh, Wibowo dan Verstrijden (1976) memberikan status K atau Mg berdasar nisbah K/Mg sebagai berikut:

K/Mg <5 : Teh cenderung defisiensi K, K/Mg >10 : Teh cenderung defisiensi Mg,

K/Mg = 8-9 : Kadar K dan Mg normal, atau keduanya sama-sama rendah, dan

K/Mg = 5-7 : Kadar K rendah pada Mg normal atau di atas normal

Secara umum, Reudering (Tobing, 1976) menetapkan nisbah K/Mg normal tanaman teh antara 3 hingga 5.

Dalam dokumen Bab 1. Dasar-Dasar Kesuburan Tanah (Halaman 38-48)

Dokumen terkait