• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Penelitian

2. Sumber Data

Sumber-sumber data terdiri atas:

a. Data primer, diperoleh melalui studi lapangan (field research) yang dilakukan untuk memperoleh data akurat dan keterangan secara lisan. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Bantuan Hukum Medan. b. Data sekunder, dikumpulkan melalui studi kepustakaan, yang meliputi bahan

hukum primer, sekunder dan tertier.

Bahan hukum primer terdiri dari UUD 1945, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang diperoleh dari buku teks, rancangan KUHP, rancangan undang-undangs, kasus-kasus hukum, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, kamus bahasa asing, ensiklopedi, indeks dan sejenisnya, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang

hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir. 56

3. Teknik Pengumpulan Data

Dari aspek permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini, maka data dan informasi yang diperlukan bersifat kualitatif. 57 Hal itu sejalan dengan arah penelitian yang bertujuan untuk mencari dan menemukan konsep-konsep hukum58 dalam konteksnya dengan kebenaran hukum. Upaya itu dilakukan secara terencana, sistematis dan konsisten dengan menggunakan teknik pengumpulan data dan analisa data. Karena bentuk penelitian ini library research, maka dalam pengumpulan data yang diperlukan, digunakan teknik dokumentasi berupa penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai sumber melalui tahap pengumpulan data, penilaian data, penafsiran dan penyimpulan.59

56

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 113.

57

Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller seperti dikutip Moleong, pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Sedangkan penelitian kualitatif menunjuk pada segi ilmiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Lihat: Lexy J. Moleong, Metodologi

Penelitian Kualitatif, cet. XVI, (Bandung, Rosdakarya, 2002), hal. 2.

58

Yang dimaksud dengan konsep-konsep hukum di sini adalah keseluruhan norma dan kaedah-kaedah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat yang harus diperhatikan oleh penguasa dalam melaksanakan tugasnya. Lihat: Burah Ashshofa, Metode Penelitian

Tahap pengumpulan data, penilaian data, penafsiran dan penyimpulan ini didukung dengan field research, dengan melakukan studi kasus ke Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Bantuan Hukum Medan, serta wawancara langsung guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai hukuman mati.

4. Analisis Data

Data ini dianalisis secara kualitatif yang akan diuraikan secara deskriptif analitis, yaitu pendapat dan tanggapan para informan, serta hasil studi kepustakaan diteliti dan dipelajari secara universal. Kemudian hasil analisis data ini dideskripsikan secara detail dan dari aspek-aspek tertentu, yang berkaitan dengan pokok permasalahan dengan menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran, pedoman dan solusi secara komprehensif, atas masalah kontroversi hukuman mati dalam kaitannya dengan hak asasi manusia.

59

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik, Edisi VII, (Bandung, Tarsito, 1982), hal. 133.

BAB II

RATIO DAN PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

TERHADAP HUKUMAN MATI

A. Pemikiran yang Melatarbelakangi Lahirnya Hukuman Mati

Hukuman mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana yang tertua dan paling kontroversial di dunia. 60 Tidaklah mengherankan apabila ada orang yang melihat lembaga pidana mati sebagai sesuatu yang tua dalam usia, tetapi selalu bersifat muda. Oleh karena itu, wajarlah bahwa hukuman mati merupakan suatu problem yang paling kontroversial. 61

“Kontroversial” dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama, tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Juga “kontroversial” dalam arti ada dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula. Bahkan “kontroversial” pula karena tidak adanya kata sepakat tentang sarana dan prasarana pelaksanaan hukuman mati. 62

Untuk itu, penulis uraikan historis dan perkembangan hukuman mati dari zaman dahulu hingga saat ini.

60

Cf. Grant S. Mc Clellan (Ed.), Capital Punishment, (New York: Wilson, 1961), p. 12. Dan lihat: J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Cet. III, (Malang: SETARA Press, 2009), hal. 93.

61

Mark Ancel, loc.cit, hal. 3.

62

1. Pra Kemerdekaan

Indonesia telah mengenal hukuman mati ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum maju seperti saat ini. Jadi, jauh sebelumnya di Indonesia telah mengenal hukuman mati untuk diberlakukan kepada rakyatnya. Pada umumnya yang berlaku pada daerah-daerah tersebut adalah hukum yang bersifat tidak tertulis, yang disebut dengan hukum adat. Indonesia terdiri dari berbagai daerah dengan suku yang berbeda. Masing-masing daerah membentuk kerajaan-kerajaan kecil dengan membentuk hukumnya sendiri, antara daerah yang satu dengan daerah lain yang berbeda hukumnya. Salah satu kerajaan yang terkenal pada waktu itu adalah Kerajaan Majapahit. Untuk memberikan keamanan kepada rakyatnya, Kerajaan Majapahit menetapkan jenis-jenis hukuman antara lain: 63

a. Pidana pokok, terdiri dari: 1) Pidana mati

2) Pidana potong anggota badan yang bersalah 3) Pidana denda

4) Pidana ganti kerugian/panglicawa/patukucawa b. Pidana tambahan, terdiri dari:

1) Tebusan 2) Penyitaan

63

3) Patibajumpi (pembeli obat)

Dari beberapa jenis hukuman tersebut, maka perbuatan kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati adalah pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada raja, perbuatan-perbuatan perusuh seperti mencuri, memmbegal, menculik, kawin sumbang (kawin semarga), meracuni dan menenung.64

Jadi jauh sebelumnya, di Indonesia telah mengenal hukuman mati untuk diberlakukan kepada rakyatnya. Pada umumnya yang berlaku di daerah-daerah tersebut adalah hukum yang bersifat tidak tertulis (hukum Adat). Hukum adat yang ada di Indonesia ini mengenal Hukum Pidana Adat dan Hukum Perdata (Privat) Adat. Dalam sistem hukum adat ini tidak dikenal pemisahan antara hukum pidana adat dengan hukum perdata adat, dimana sistem hukum adat yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia ini dipengaruhi oleh Agama Islam dan agama lainnya, seperti Hindu (tergantung dari agama yang dianut di daerah tersebut).

Setelah kedatangan pedagang-pedagang Belanda di Indonesia yang pada mulanya adalah untuk berdagang, yaitu untuk mencari rempah-rempah yang dibutuhkan oleh negaranya, namun kenyataannya lama-lama membawa suasana penjajahan dimana untuk kepentingan perdagangan mereka, pedagang-pedagang Belanda tersebut telah melaksanakan berlakunya peraturannya sendiri di Indonesia, yang mana peraturan tersebut telah melaksanakan berlakunya peraturan-peraturannya sendiri di Indonesia yang berbentuk plakat-plakat. Plakat tersebut

64

dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten van Batavia (Statuta Betawi) pada tahun 1642, tetapi belum merupakan kodifikasi. 65

Dengan dimulainya penjajahan di Indonesia, maka bagi penduduk Indonesia masih tetap dinyatakan berlakunya hukum adat masing-masing daerah. Namun dalam berbagai hal, penjajahan Belanda masih tetap mencampuri peradilan-peradilan adat dengan alasan sebagai berikut: 66

a. Sistem-sistem pada hukum adat tidak memadai untuk memaksakan rakyat menaati peraturan.

b. Hukum adat adakalanya tidak mampu untuk menyelesaikan suatu perkara karena persoalan alat-alat bukti.

c. Adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan merupakan suatu kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan suatu tindak pidana yang harus diberikan sanksi.

Salah satu contoh tentang campur tangan dari Belanda di Indonesia yaitu dengan diadakannya suatu peraturan yang disebut “Papakem Cirebon”, yang merupakan pegangan bagi hakim-hakim adat, yang isinya antara lain: “memuat sistem hukuman seperti cap bakar, pemukulan, dirantai. Terhadap jenis hukuman ini salah satunya Aceh, yang dikenal dengan sistem hukuman yang kejam seperti

65

Ibid.

66

hukuman mati (dibunuh) bagi seorang isteri yang melakukan perzinahan, hukuman potong tangan bagi seorang pencuri. 67

Setelah papakem Cirebon diberlakukan pada tahun 1750, kemudian dikenal dengan Kitab Hukum Mograrer yang berisikan pidana Islam, yang dihimpun dan dikeluarkan oleh penjajahan Belanda. Kemudian tanggal 22 April 1808 tentang plakat, yang berisi antara lain: 68

a. Dibakar hidup-hidup terikat pada suatu tiang (paal); b. Dimatikan dengan menggunakan keris (kerissen); c. Dicap bakar (brandmerken);

d. Dipukul (geeselen); e. Dipukul dengan rantai;

f. Ditahan (dimasukkan) ke dalam penjara (confinement); g. Bekerja terpaksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.

Dengan adanya plakat-plakat ini, bahwa Indonesia pada masa lampau telah mengenal pemberlakuan pidana mati yang mana pelaksanaannya lebih kejam dan tidak manusiawi. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa daerah yang telah lama mengenal adanya hukuman mati, seperti: 69

a. Di Gayo, pidana penjara menggantikan pidana mati.

67

Ibid, hal. 61.

68

J.E. Sahetapy, Pidana Mati dalam Negara Pancasila (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 50.

69

Bila seseorang dengan sengaja membakar desa, maka semua miliknya termasuk anak dan isterinya ikut merasakan, hal ini tidak lain agar jangan melakukan hal itu lagi, seperti menculik, membunuh dan berkhianat, dimanapun mereka ditemukan dapat saja ditembak mati, baik itu di tempat pesta. Di Gayo ini juga dikenal dengan pembalasan terhadap pembunuh.

b. Di daerah Batak.

Apabila seseorang telah membunuh maka kepada pembunuh tersebut diwajibkan untuk membayar uang salah kepada keluarga yang terbunuh. Jika tidak sanggup membayar uang salah kepada keluarga yang terbunuh, atau keluarga yang terbunuh tidak mau menerima uang salah ini dan tetap menginginkan diberlakukannya hukuman mati, maka hukuman mati akan segera dilaksanakan. Begitu pula kalau ada yang kawin semarga, maka hukumannya juga hukuman mati.

c. Di Minangkabau, dikenal dengan hukuman balas membalas. Bagi siapa yang pernah mencurahkan darah juga dicurahkan darahnya. Terhadap pelaksanaan hukuman mati ini, eksekusi dilaksanakan di muka umum pada suatu tempat di negeri itu dan semua penduduk harus datang melihat. Kepala dibalut seperti haji, kemudian diikat pada suatu tiang, dan yang harus melaksanakan hukuman mati itu adalah mamak atau salah seorang keluarga dari yang dibunuh, tetapi boleh juga si pendendam (keluarga yang terbunuh) harus menarik tanduk dengan keris terhunus di muka penjahat itu, dan kadang-kadang memberi tusukan kepada si

penjahat tersebut. Bila jiwa si pendendam sudah panas maka barulah ia boleh memberikan tikaman yang menentukan pada bagian batang leher sebelah kiri. Kalau keluarganya tidak mau melaksanakan hal tersebut, maka dubalang yang yang menjalankan tugas tersebut dinamakan dengan talio.

Dari contoh di atas yang sebagian daerah ada di Indonesia ini, pada umumnya mengenal hukuman mati terutama bagi yang membunuh, perkawinan sumbang (di daerah Batak dikenal dengan kawin semarga), isteri yang berzinah, mencuri, memakar desa. Walaupun masing-masing daerah tersebut di dalam pelaksanaan hukuman mati itu berbeda-beda.

Kemudian terjadilah perebutan daerah jajahan antara Belanda dengan Inggris untuk menduduki Indonesia di bawah pimpinan Raffles sebagai penguasa di Indonesia. Inggris sangat menghormati hukum adat di Indonesia, kecuali terhadap sistem hukum yang tidak sesuai lagi. Pada tahun 1810 Belanda berkuasa kembali di Indonesia, dengan berkuasanya kembali Belanda di Indonesia maka hukum yang ada di Indoneisa berdasarkan asas konkordansi. Dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht voor Europeanen yang telah dikodifikasi (diumumkan dalam Staatsblad 1866) dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1867. Sedangkan bagi masyarakat non Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1873 (Staatsblad 1872) yang konkordan

dengan WvS untuk golongan Eropa, namun memiliki perbedaan dalam hal berat ringannya ancaman pidana. 70

Dengan demikian pada waktu itu telah terjadi dualisme dalam hukum pidana, yang mana keadaan ini terus berlaku hingga 1 Januari 1918. Setelah tanggal 1 Januari 1918, WvS ini berlaku bagi golongan Eropa maupun yang bukan. Sejak itu terdapat unifikasi hukum pidana Indonesia, walaupun belum dapat sepenuhnya terlaksana. Hal ini disebabkan karena peraturan yang ada terdapat tiga macam lingkungan hukum atau lingkungan peradilan, antara lain: 71

a. Peradilan pemerintah (umum) yang berlaku untuk setiap orang. b. Peradilan swapraja.

c. Peradilan pribumi.

Dalam hal untuk peradilan pemerintah digunakan WvS, sedangkan untuk peradilan swapraja dan pribumi digunakan hukum adat. Akibat dari Belanda kalah perang, maka di Indonesia pun beralih ke penjajahan Jepang. Di masa inilah keluar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942, yang mana menurut undang-undang ini bahwa undang-undang zaman penjajahan Belanda masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan bala tentara Jepang.

2. Pasca Kemerdekaan 70 Ibid, hal. 61-62. 71 Ibid, hal. 62.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 diumumkan Undang-undang Dasar RI berdasarkan pasal 11 Aturan Peralihan, maka semua perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku. Rationya adalah untuk menghindarkan kekosongan hukum. 72

Berdasarkan pada pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tertanggal 26 Februari 1946 Berita Negara RI Nomor 9 menegaskan bahwa dengan menyimpang dari Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945, peraturan-peraturan pidana yang berlaku pada saat itu adalah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Di dalam KUHP yang berlaku saat ini, dijelaskan mengenai jenis-jenis hukuman sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 yaitu:

a. Hukuman pokok, terdiri dari: 1. Hukuman mati

2. Hukuman penjara 3. Hukuman kurungan 4. Hukuman denda.

b. Hukuman tambahan, terdiri dari: 1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang tertentu

72

3. Pengumuman keputusan hakim. 73

Mengenai pelaksanaan hukuman mati diatur dalam pasal 11 KUHP, yaitu bahwa hukuman mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan, kemudian menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. 74

Oleh karena di dalam pasal 11 KUHP tentang pelaksanaan hukuman mati dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 bahwa pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan pada tingkat pertama., dengan ketentuan sebagai berikut: 75

1. Waktu dan tempat pelaksanaannya ditentukan oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan Pengadilan tersebut, setelah mendengar nasehat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pidana mati itu. 2. Kepala Polisi Komisariat atau Perwira yang ditunjuk olehnya bersama-sama

dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab, juga pembela/pengacara terhukum atas permintaannya sendiri atau permintaan terhukum untuk menghadiri pelaksanaan pidana mati itu.

73

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Politeia, 1980), hal. 29

74

Ibid, hal. 31.

75

3. Terhukum akan diberitahukan tentang akan dilaksanakan pidana mati itu oleh Jaksa Tinggi/Jaksa dalam waktu 3x24 jam sebelum waktu pelaksanaan, dan pada terhukum diberi kesempatan untuk mengemukakan sesuatu keterangan atau pesan pada hari-hari terakhir. Apabila terhukum itu seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilakukan setelah 40 hari anaknya dilahirkan.

4. Untuk pelaksanaan pidana mati itu, Kepala Polisi Komisariat tersebut membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile (Brimob), yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tantama, di bawah pimpinan seorang Perwira. Untuk tugasnya ini regu penembak tidak mempergunakan senjata organiknya, dan sampai selesai tugasnya regu penembak itu berada di bawah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa.

5. Pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden.

6. Apabila setelah penembakan itu terpidana masih memperlihatkan tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan terakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya, pada kepala terpidana tepat di atas telinganya.

7. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana, dapat diminta bantuan dari Dokter yang dibuktikan dengan surat keterangan kematian.

8. Untuk penguburan terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan kepentingan umum Kepala Kejaksaan Tinggi/Jaksa memutuskan lain. Pelaksanaannya dilakukan dengan membuat berita acara.

9. Jaksa harus membuat berita acara pelaksanaan hukuman mati yang tembusannya disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Cq. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum/Khusus, Kepala Biro Hukum Sekretariat Negara, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Kepolisian Daerah.

Pada saat ini telah ada RUU KUHP Nasional Republik Indonesia yang masih menunggu untuk diberlakukan, dimana dalam RUU KUHP tersebut masih tetap mencantumkan pidana mati.

B. Pengaturan Hukum Positif Di Indonesia Terhadap Hukuman Mati

Hukuman mati tercantum di dalam KUHP yang diwariskan pemerintah kolonial Belanda, dan tetap dinasionalisasi dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa undang-undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata juga mencantumkan ancaman hukuman mati di dalamnya. Dengan demikian, alasan bahwa hukuman mati tercantum dalam KUHP pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonial, didasarkan antara lain oleh “alasan

berdasarkan faktor rasial” 76 mungkin hanya berlaku dahulu saja dan tidak lagi saat ini, karena pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan undang-undang di samping KUHP, yang mengandung ancaman hukuman mati. 77 Dengan demikian, hukuman mati yang tercantum dalam pasal 10 KUHP tetap berlaku hingga saat ini.

Eksistensi hukuman mati yang berlaku di Indonesia tercantum dalam tiga kelompok hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Pidana Mati Dalam KUHP

Roeslan Saleh di dalam bukunya yang berjudul “Stelsel Pidana Indonesia”, menyatakan bahwa KUHP membatasi kemungkinan dijatuhkannya hukuman mati atas beberapa kejahatan yang berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan berat yaitu: 78

a. Kejahatan terhadap negara (Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3), dan pasal 140 ayat (3) KUHP.

b. Pembunuhan dengan berencana (pasal 340 KUHP).

c. Pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan orang luka berat atau mati, sebagaimana yang disebut dalam pasal 365 ayat (4).

d. Pembajakan di laut, di pantai, di pesisir, dan di sungai yang dilakukan dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 444 KUHP.

Berikut ini penulis uraikan sebagai berikut:

1) Kejahatan terhadap keamanan negara

76

J.E. Sahetapy, op.cit, hal. 38.

77

Andi Hamzah dan Sumagelipu, op.cit, hal. 18.

78

Bab I Buku II KUHP yang berjudul “kejahatan terhadap keamanan negara” memuat tindak pidana yang bersifat mengganggu kedudukan negara sebagai suatu kesatuan yang berdiri di tengah-tengah masyarakat internasional, yang terdiri dari pelbagai negara yang merdeka dan berdaulat.

Wirdjono Prodjodikoro di dalam bukunya ”Tindakan-tindakan pidana tertentu di Indonesia”, menyebutkan ada dua macam pengkhianatan terhadap negara ialah sebagai berikut: 79

a) Pengkhianatan intern (hoogverraad), yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara.

b) Pengkhianatan ekstern (landvorraad), yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri. Jadi mengenai keamanan ekstern (uitwondige veiligheid) dari negara, misalnya hal memberi pertolongan kepada negara asing yang bermusuhan dengan negara kita.

Bab I Buku II KUHP itu terkumpul dua macam pengkhianatan seperti diuraikan di atas, seolah-olah tidak diadakan perbedaan antara dua macam tindak pidana itu. Tetapi oleh pembentuk KUHP diadakan sekedar perbedaan, yaitu dalam pasal 4 ke-1 yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia juga berlaku pada setiap orang. Jadi tidak hanya warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah Indonesia melakukan salah satu dari

79

Wirdjono Prodjodikoro, Tindakan-tindakan Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1974), hal. 202-203.

kejahatan yang termuat dalam pasal 104, 106, 107, 108 dan 110, sedangkan pasal 121, 124 dan 126 mengenai pengkhianatan ekstern, menurut pasal 5 ke-1 juga hanya

berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar negeri. 80

Pasal 104 sebagai pasal 1 Bab I Buku II KUHP berbunyi: “makar (aanslag) yang dilakukan dengan niat hendak membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau dengan maksud hendak merampas kemerdekaannya atau hendak menjadikan mereka itu tiada cakap memerintah, dihukum mati atau penjara seumur hidup, atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”. 81

Berdasarkan pasal 104 KUHP, terdapat tiga macam tindak pidana yang dapat dikenakan hukuman mati: Pertama, makar yang dilakukan dengan tujuan (oogmerk) untuk membunuh kepala negara; kedua, makar yang dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kemerdekaan kepala negara; dan ketiga, makar yang dilakukan

80

Kejahatan-kejahatan terhadap negara dan pemerintah, oleh Dali Mutiara dalam bukunya yang berjudul “Tafsir KUHP” diantaranya yang terpenting adalah:

a. Kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden.

b. Kejahatan terhadap pemerintah atau badan-badan pemerintah.

c. Kejahatan terhadap negara sahabat, kepada negaranya atau wakil negara sahabat. d. Memberontak.

e. Menjadi mata-mata atau kaki tangan negara asing. f. Melawan pegawai pemerintah.

g. Mengacau waktu pemilihan umum.

h. Menyembunyikan penjahat atau menghilangkan bukti kejahatan. i. Memberikan laporan palsu kepada pegawai pemerintah yang berwajib. j. Menyiarkan kabar bohong.

k. Menjadi saksi dan sumpah palsu. l. Perkara perkumpulan.

Lihat: Dali Mutiara, Tafsir KUHP, (Jakarta: Toko Buku Bintang Indonesia, cet. V, 1983), hal. 36.

81

R. Soesilo, loc.cit., hal. 93. Adapun pengertian “makar” yaitu “serangan”. Akan tetapi kini

Dokumen terkait