• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor 176 K/ Pid/1998)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor 176 K/ Pid/1998)"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUMAN MATI KAITANNYA DENGAN

HAK ASASI MANUSIA

(DALAM PERKARA NOMOR 176 K/ PID/1998)

TESIS

Oleh

ELIZA OKTALIANA SARI 077005068/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUKUMAN MATI KAITANNYA DENGAN

HAK ASASI MANUSIA

(DALAM PERKARA NOMOR 176 K/ PID/1998)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELIZA OKTALIANA SARI 077005068/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : HUKUMAN MATI KAITANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA (DALAM PERKARA NOMOR 176 K/ PID/1998)

Nama Mahasiswa : Eliza Oktaliana Sari

Nomor Pokok : 077005068

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 29 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang diatur di dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hukuman mati merupakan hukuman paling berat, yang merampas kebebasan hak atas hidup seseorang. Hukuman mati masih berlaku di Indonesia, meskipun Belanda yang merupakan asal dari hukum Indonesia telah menghapuskannya sejak tahun 1870. Dalam hal penerapan hukuman mati ini, baik di Indonesia maupun negara-negara di dunia masih banyak terdapat pendapat yang pro dan kontra. Perdebatan mengenai hukuman mati dari perspektif hak asasi manusia menghasilkan berbagai pendapat, baik di kalangan akademisi, para pakar hukum maupun pemuka agama. Ada yang setuju diberlakukannya pidana mati, dan ada pula yang tidak setuju diberlakukan, bahkan meminta agar dihapuskan dari hukum Indonesia, dengan alasan yang berbeda-beda.

Pihak yang menentang hukuman mati (kontra) paling tidak menggunakan basis argumentasi, antara lain bertentangan dengan Pancasila, membatasi hak atas hidup, adanya kemungkinan eksekusi terhadap orang yang tidak bersalah (the possibility of the execution of an innocent person), kurangnya efek jera terhadap kejahatan kekerasan (the lack of deterrence of violent crime). Di samping itu, mereka juga mendasarkan pada argumen moral dan agama (based on moral or religious basic). Sebaliknya pihak yang mendukung (pro) pidana mati memandang bahwa pidana mati dapat menimbulkan efek jera (the deterrence of violent crime), adil bagi teman dan keluarga korban (closure to the families and friends of the victims), dan kelompok ini percaya bahwa pemidanaan dalam bentuk lain tidak akan efektif.

Berdasarkan kasus posisi terhadap kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ahmad Suradji, maka unsur-unsur pertimbangan hakim di dalam penjatuhan pidana mati terhadap kasus ini telah terpenuhi, dimulai dari niat yang telah direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan perbuatan secara berlanjut dan dengan unsur kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, disertai fakta-fakta hukum dan alat-alat bukti yang mendukung, maka pertimbangan Hakim dalam penjatuhan hukuman “mati” terhadap kasus Ahmad Suradji ini sangat tepat, karena unsur-unsur pidananya jelas telah terpenuhi, dan Hakim juga mengikuti pola-pola yang lazim dalam setiap putusan pidana, yaitu dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan.

(6)

orang lain, sehingga kalau melanggar harus dihukum. Contoh: tindak pidana pembunuhan yang melanggar hak atas hidup, dan pengkhianatan terhadap negara yang melanggar kedaulatan negara, termasuk kejahatan berat. Maka wajarlah pelaku tindak pidana itu diancam dengan hukuman mati. Dengan demikian, hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (library research). Di mana tahap penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai sumber melalui tahap pengumpulan data, penilaian data, penafsiran dan penyimpulan ini didukung dengan field research, dengan melakukan studi kasus ke Lembaga Bantuan Hukum Medan dan Pengadilan Negeri Medan, guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai hukuman mati.

(7)

ABSTRACT

Death penalty represent one of penalization type is included in Article 10 Penal Code. Death penalty is the most serious crime, what hijack the freedom by right of somebody life. Death penalty still go into effective in Indonesia however in Netherland, where Indonesian law comes from, have abolished death penalty since 1870. In the case of death penalty which take place, either in Indonesia and also other countries, still a lot of there are opinion which pros and contra. Debate concerning death penalty from perspective of human right yield various opinion, either in academician, law expert and also prominent religion. There is which agree into effect of dead crime, and there is also adverse opinion gone into effect, even ask abolished from Indonesia law, with the reason which different each other.

The opposing of death penalty (contra) at least using argument bases, for example opposing against Pancasila, limit rights for life, the possibility of the execution of an innocent person, the lack of deterrence of violent crime. Beside that, they’re also based on moral or religious basic. On the contrary the party who supporting (pro) death penalty look into the deterrence of violent crime, closure to the families and friends of the victims, and this group believe that the crime in the form of other; dissimilar will not be effective.

The position case of murder case conducted by Ahmad Suradji, elements of judge consideration in death penalty fallout to this case have been full filed, started from intention which planned beforehand to conduct the deed by continue and the intentional element eliminate the others soul, either through by self and also together, accompanied by the fact punish and evidence appliance supporting, hence Judge consideration in penalization fallout "dead" to this case Ahmad Suradji is very precise, because its crime elements clear have been full filed, and Judge also follow the inveterate pattern in every crime decision, is by considering things weighing against and lightening.

(8)

As for research method of taken is research of normative juridical, that is conducted by analyzing substance of book or secondary data (library research). Whereabouts phase of investigation and study to various sources through data collecting phase, data assessment, interpretation and this conclusion is supported with the field research, by conducting of case study to Institute Legal Aid of Medan and District Court of Medan, to obtain more accurate data about death penalty.

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara No. 176/K/Pid/1998)” ini . Shalawat beriring salam mudah-mudahan Allah limpahkan keharibaan junjungan kita, Nabi Besar Muhammad saw, yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Dalam penyelesaian tesis ini banyak tantangan dan dan hambatan yang dihadapi, tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak yang terkait, sehingga tesis ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien, sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak terdapat kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki. Untuk itu, penulis tidak menutup diri dan akan sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bermanfaat dan membangun di masa yang akan datang.

(10)

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (k)., selaku Rektor USU. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

USU.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Penguji, yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing dan Penguji, yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing dan Penguji, yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sesuai dengan target yang direncanakan. 7. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana USU, dan juga Penguji, yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis.

(11)

9. Para Dosen yang telah bersusah payah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala berpikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang.

10.Pihak Pengadilan Negeri Medan beserta pihak-pihak terkait lainnya, yang telah memberikan saran dan ide-ide kepada penulis, sehingga membantu kelancaran penyelesaian tesis ini.

11.Pihak Lembaga Bantuan Hukum JL. Hindu Cabang Medan, yang telah memberikan kesempatan dan membantu penulis dalam memperoleh data-data penelitian secara akurat, guna penyelesaian tesis ini.

Teristimewa penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Kedua orang tua yang tercinta: Dr. Eldin H. Zainal, MA., dan Kamlawaty yang

telah memberikan kasih sayang selama ini, baik nasehat, bimbingan, motivasi maupun doa tulus ikhlasnya hingga saat ini. Terima kasih pula kepada Mertua (Sultan Indra, SH., dan Habibah) atas motivasi dan doanya yang telah mendorong keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi S2.

Dalam hal ini, penulis tidak dapat membalas semua jerih payah orang tua yang tercinta. Hanya kepada Allah SWT jualah, penulis memohon doa semoga dilimpahkan rahmat dan hidayah-Nya.

(12)

3. Keluarga besar penulis di Daerah Semendo, Sumatera Selatan. Terima kasih penulis haturkan dari lubuk hati yang paling dalam, atas segala attensi dan motivasi yang diberikan dengan ketulusan kasih sayang. Semoga permata hati yang diharapkan selama ini, dapat mewujudkan harapan dan cita-cita Keluarga Besar semua.

4. Buat teman-teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, dan semua pihak terkait lainnya yang telah banyak membantu selama ini, terima kasih atas semua kebaikan, motivasi dan doanya. Semoga persahabatan dan persaudaraan kita tetap abadi untuk selamanya, dan kesuksesan selalu menyertai kita semua.

Akhirul kalam kepada Allah SWT jualah dimohon petunjuk, karena hanya dengan hidayah-Nya kita dapat menemukan kebenaran, dan hanya dengan karunia-Nya pula kita mampu menegakkannya. Penulis berharap semoga tesis yang berjudul “Hukuman Mati Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Dalam Perkara Nomor 176/K/Pid/1998)” ini dapat bermanfaat sebagai sumbang saran dan pemikiran ke depan.

Medan, 29 Agustus 2009

Penulis

Eliza Oktaliana Sari

(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Eliza Oktaliana Sari Tempat / Tgl Lahir : Medan / 10 Oktober 1983 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : JL. Rahmadsyah Gg. Setia Budi No. 19/321 Medan – 20215 Pendidikan : 1. TK Kemala Bhayangkari I Medan (tahun 1987-1989)

2. SD Kemala Bhayangkari I Medan (tahun 1989-1995) 3. SMP Negeri I Medan (tahun 1995-1998)

4. SMU Al-Ulum Medan (tahun 1998-2001)

5. S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (tahun 2001-2005)

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ..……….. iii

KATA PENGANTAR ...………. v

RIWAYAT HIDUP ..………... ix

DAFTAR ISI ...……… x

DAFTAR TABEL ………. xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………. xiv

BAB I : PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang ...……….. 1

B. Rumusan Masalah ………. 14

C. Tujuan Penelitian ……….. 14

D. Manfaat Penelitian ………. 15

E. Keaslian Penelitian ……….. 16

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional …………. 16

1. Kerangka Teori ………. 16

2. Landasan Konsepsional ………. 27

G. Metode Penelitian .……… 30

1. Jenis Penelitian .……… 30

(15)

3. Teknik Pengumpulan Data .……… 32 4. Analisis Data ……….……… 33

BAB II : RATIO DAN PENGATURAN HUKUM POSITIF DI

INDONESIA TERHADAP HUKUMAN MATI …………. 34 A. Pemikiran yang Melatarbelakangi Lahirnya Hukuman Mati .. 34

1. Pra Kemerdekaan ..……… 35 2. Pasca Kemerdekaan …..……… 41

B. Pengaturan Hukum Positif Di Indonesia Terhadap Hukuman Mati ..………... 45

1. Pidana Mati dalam KUHP ..……… 45 2. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Luar KUHP ..

53

3. Pidana Mati dalam RUU KUHP Nasional Indonesia … 54

BAB III : EKSISTENSI PIDANA MATI DI INDONESIA ………… 61 A.Pro dan Kontra Pidana Mati dari Perspektif HAM ……….. 61 B.Keberadaan Pidana Mati Setelah Putusan Mahkamah

Konstitusi ……….. 87

BAB IV : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN

PIDANA MATI TERHADAP KASUS AHMAD SURADJI …. 92 A.Kasus Posisi ……….. 92

(16)

3. Fakta-fakta Hukum ……….. 101

4. Putusan ………. 102

B.Analisis Kasus ………. 106

1. Pemenuhan Unsur dalam Kasus Ahmad Suradji ……. 106

2. Pandangan HAM Terhadap Penjatuhan Pidana Mati Kasus Ahmad Suradji ...………. 112

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ...………. 122

A.Kesimpulan .………. 122

B.Saran-saran ...………. 124

(17)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Data terpidana mati yang telah dieksekusi di Indonesia selama

tahun 2008 ... ……… 12 2. Daftar undang-undang yang mencantumkan ancaman pidana mati 59 3. Daftar negara yang memberlakukan dan melaksanakan hukuman

mati ………... 116 4. Daftar negara yang memberlakukan hukuman mati untuk semua

jenis kejahatan ………. 117 5. Daftar negara yang memberlakukan hukuman hanya untuk

kejahatan tertentu ………. 119 6. Daftar negara yang secara praktek tidak pernah melakukan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat keterangan penelitian di Kantor Lembaga Bantuan

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dari permulaan, manusia selalu dihadapkan pada berbagai tantangan dan rintangan sebagai masalah hidupnya. Kesemua masalah yang kompleks itu terus mengalami perkembangan dan perubahan, dalam hal jenis, kuantitas dan kualitasnya.1 Salah satu dari masalah tersebut adalah hak asasi manusia, yang kembali mencuat ke permukaan dan selalu diperbincangkan. Ini menandai bahwa manusia sedang menuju kepada pemahaman jati dirinya sendiri, di saat masyarakat dunia tengah menghadapi terpaan arus globalisasi dan modernisasi. Konsekuensinya, penegakan hak asasi manusia itu sendiri ditengarai sebagai dari proses demokrasi, terutama di negara-negara berkembang.

Kehadiran penegakan hak asasi manusia di Indonesia menambah deretan sejarah panjang yang berdampak kepada sebuah perubahan yang cukup baik, terutama dalam proses penegakan hukum. Dari arah yang dikumandangkan, seakan-akan hak asasi manusia menjadi maskot kesetaraan manusia di muka hukum dengan perlakuan yang baik dan manusiawi, dalam setiap pelaksanaan hukum. Bahkan apabila persoalan hak asasi manusia tidak diperhatikan secara serius oleh suatu rezim,

1

Todung Mulya dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati – Perbedaan Pendapat Hakim

(20)

dapat menjadi pergunjingan di antara negara-negara, karena jika suatu negara terkesan tidak cukup memperhatikan hak asasi manusia, maka dapat dikucilkan oleh dunia internasional.

Akan tetapi pada saat berkumandangnya hak asasi manusia di Indonesia tidak diimbangi dengan hak manusia untuk dapat menikmati hidup, selayaknya manusia yang akan mempertahankan kehidupannya dan meneruskan keturunannya, karena adanya suatu bentuk hukuman yang masih digunakan dalam penjatuhan hukuman oleh hakim di Indonesia yaitu “hukuman mati”.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum memberikan perlindungan hukum kepada seluruh warga negaranya dengan meletakkan kepastian hukum 2 sebagai asas dalam penegakan hukum berdasarkan kaedah umum, bahwa penjatuhan hukum harus setimpal dengan kesalahannya. Hal itu pula yang menyebabkan sistem hukum Indonesia yang menganut civil law menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berisikan tentang berbagai bentuk tindak pidana sebagai Law in Book yang di dalamnya mengatur tentang pidana mati 3 sebagai salah satu jenis hukuman pokok.

2

Istilah kepastian hukum dalam hukum pidana Indonesia mengacu kepada kodifikasi hukum (Code Napoleon 1804) dan dengan menggunakan istilah itu, di luar kodifikasi itu tidak diakui adanya aturan hukum, sehingga hukum yang diterapkan Hakim hanya apa yang tercantum dalam kitab undang-undang itu saja. Jadi undang-undanglah yang dipandang sebagai satu-satunya sumber hukum. Pandangan ini bertumpu pada anggapan bahwa hukum itu berasal dari kehendak mereka yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara, ialah berasal dari kehendak pembentuk undang-undang. Penciptaan hukum di luar pembentukan undang-undang tidak diakui. Lihat: Sudarto, Kapita Selekta

Hukum, cet. II., (Bandung: Alumni, 1986), hal. 53-54.

3

(21)

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, ada sembilan kejahatan yang diancam dengan pidana mati yaitu:

1. Makar dengan maksud membunuh Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 104 KUHP).

2. Melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang (Pasal 111 ayat 2 KUHP).

3. Pengkhianatan memberitahukan kepada musuh di waktu perang (Pasal 124 ayat 3 KUHP).

4. Menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara (Pasal 124 KUHP).

5. Pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat (Pasal 140 ayat 3 KUHP). 6. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

7. Pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4 KUHP).

8. Pembajakan di laut mengakibatkan kematian (Pasal 444 KUHP).

9. Kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan (Pasal 149 K ayat 2 dan pasal 149 O ayat 2 KUHP). 4

Selain itu di luar KUHP, dikenal pula beberapa macam kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati, antara lain:

1. UU No. 12/Drt/1951 tentang senjata api, munisi atau bahan peledak. 2. UU No. 7/Drt/1955) tentang tindak pidana ekonomi.

3. UU No. 11/Drt/1963) tentang pemberantasan kegiatan subversi.

4. UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang tindak pidana narkotika dan psikotropika.

5. UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. 5

membicarakan tentang pidana mati, maka kemudian yang akan dikemukakan adalah tentang sejarah pidana mati itu sendiri, pelaksanaan pidana mati, pro dan kontra terhadap pidana mati, tindak pidana-tindak pidana yang dapat dikenakan pidana mati. Lihat: Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan

Hukum Pidana Indonesia, cet. I (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hal. 206-207.

4

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 19.

5

Djoko Prakoso, Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana

(22)

Dalam tata hukum Indonesia, pidana mati merupakan bagian dari proses pemidanaan sebagaimana yang dirumuskan oleh BPHN tentang rencana KUHP Nasional.6 Secara eksplisit disebutkan, bahwa pemidanaan bersifat pencegahan terhadap berulangnya suatu perbuatan dan bimbingan untuk tidak melakukan perbuatan serupa. Pada dasarnya pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan penderitaan yang dapat merendahkan martabat manusia, namun dalam realitanya hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia bertentangan dengan prinsip dasar dimaksud.

Hukuman mati merupakan hukuman yang paling berat. Hukuman ini masih diberlakukan di Indonesia meskipun Belanda sendiri yang merupakan asal dari hukum Indonesia telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1870, serta negara lainnya seperti Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swiss dan negara-negara Skandinavia, namun adapula negara yang telah menghapuskan tetapi kemudian mengadakan lagi seperti Rusia. 7

Sejak zaman dahulu, pidana mati untuk kejahatan pembunuhan dan kejahatan-kejahatan lain yang sama beratnya telah dikenakan hampir di setiap negara di dunia, berdasarkan atas pembalasan terhadap perbuatan yang sangat kejam dari seorang pelaku. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan pidana mati selalu diarahkan

6

Tujuan pemidanaan di Indonesia adalah; 1) untuk mencegah dilakukannya perbuatan pidana, demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk. 2) untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna 3) untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh perbuatan pidana. Lihat: J.E.Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman

Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Edisi 2, (Jakarta, Rajawali, 1982), hal. 184.

7

Andi Hamzah dan Sumagelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa

(23)

kepada khalayak ramai, agar takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang dapat mengakibatkan mereka di pidana mati. 8

Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana yang tertua dan paling kontroversial di dunia. Pidana mati adalah satu-satunya pidana yang tepat dan adil bagi kejahatan-kejahatan berat yang tidak dapat diampuni. Oleh karena itu, pidana mati dapat dianggap paling tidak mempunyai efek menakutkan yang diperlukan untuk melindungi masyarakat. Selain itu bila si penjahat tidak dieksekusi, maka ia akan selalu dapat melarikan diri dari penjara atau jika pada suatu waktu ia dibebaskan, maka ia akan dapat mengulangi kembali perbuatan kejahatannya. 9

Dalam penerapan hukuman mati ini, baik di Indonesia maupun negara-negara di dunia, masih banyak pendapat yang pro dan kontra.

Dari segi kelompok yang pro terhadap pemberlakuan hukuman mati ini mengemukakan berbagai alasan, antara lain sebagai berikut:

1. Pidana mati menjamin bahwa penjahat tidak akan berkutik lagi, masyarakat tidak akan diganggu lagi oleh orang tersebut sebab mayatnya telah dikuburkan sehingga tidak perlu lagi takut kepada terpidana (deaarde bedekt het lejk en van den veroordeelde is niets meer te vreezen).

2. Pidana mati merupakan suatu alat represi yang kuat bagi pemerintah, terutama dalam memerintah di Hindia Belanda.

3. Dengan alat represi yang kuat ini, maka kepentingan masyarakat dapat dijamin sehingga suasana ketentraman dan ketertiban di masyarakat dapat tercapai.

4. Dengan adanya alat represi yang kuat ini sekaligus berfungsi sebagai prevensi umum, sehingga diharapkan calon penjahat akan mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatan.

5. Terutama dengan pelaksanaan eksekusi di depan umum, diharapkan timbulnya rasa takut yang lebih besar untuk melakukan kejahatan.

8

Disampaikan pada seminar dengan tema “Keefektivan Vonis Hukuman Mati dalam Memberantas

Tindak Kejahatan”, tanggal 2 Oktober 2004, di BEM IAIN SU, hal. 1.

9

(24)

6. Dengan dijatuhkan serta dilaksanakan pidana mati itu, diharapkan adanya seleksi buatan, sehingga masyarakat dibersihkan dari unsur-unsur jahat dan buruk, dan diharapkan akan tercipta warga-warga yang baik saja. 10

Dari kelompok yang kontra terhadap pemberlakuan hukuman mati, mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Golongan ini berkeberatan untuk mempertahankan lembaga pidana mati, berhubung dengan sifatnya yang mutlak tidak mungkin untuk dapat ditarik kembali, sehingga apabila pidana mati telah dilaksanakan, tidak mungkin untuk diubah atau diperbaiki kembali.

2. Hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Bila pidana mati ini telah dilaksanakan apalah artinya jika kemudian ternyata terbukti terpidana tidak berdosa, padahal orangnya sudah dihukum mati.

3. Dengan dilaksanakannya pidana mati tersebut, bertentangan dengan nilai pri- kemanusiaan.

4. Bahwa pidana mati juga bertentangan dengan nilai moral dan etika. 5. Mengingat akan tujuan pemidanaan, maka pidana mati itu:

a. Bagi orang yang sudah dijatuhi pidana mati itu tidak dapat lagi kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk memperbaiki kelakuannya, dengan demikian tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki diri penjahat tidak akan tercapai.

b. Pelaksanaan pidana mati itu biasanya tidak dilaksanakan di hadapan umum, sehingga dengan demikian tidak mungkin disaksikan oleh orang banyak. Hal ini menyebabkan orang akan merasa takut tidak akan tercapai.

6. Pada umumnya terhadap orang yang akan dijatuhi hukuman mati, akan menimbulkan perasaan belas kasihan terhadap orang lain dan masyarakat (peristiwa isteri Rosenberg yang dijatuhi hukuman mati di atas kursi listrik di Amerika Serikat). 11

Walaupun penerapan hukuman mati dalam praktik sering menimbulkan kontroversi antara yang pro dan kontra, namun kenyataannya secara yuridis formal pidana mati itu memang dibenarkan. Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa pasal

10

J.E.Sahetapy, op.cit, hal. 71.

11

(25)

yang ada di dalam KUHP, dan di luar KUHP tetap mencantumkan adanya pidana mati.

Menurut pasal 11 KUHP, bahwa pidana mati dilakukan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum, dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat si terhukum itu berdiri. Kemudian sejak Jepang menduduki Indonesia, Belanda mengeluarkan Staatsblad 1945 No. 123 bahwa pidana mati dilakukan dengan tembak mati. Lalu diperkuat dengan UU No. 2/PNPS/1964 yang ditetapkan menjadi UU No. 5 Tahun 1969 yang menyatakan bahwa pidana mati dilakukan dengan menembak mati terpidana. Dimana pidana mati dilakukan dengan dihadiri oleh Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor, dan secara teknis dilaksanakan oleh Polisi. 12

Dari ketentuan tersebut, pidana mati dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu kedamaian (peace), keadilan (justice), kemanfaatan (utility) dan kepastian (certainty).

Di Indonesia telah beberapa kali memiliki Rancangan KUHP Nasional. Dalam pembahasan naskah Rancangan KUHP Nasional tahun 2002 yang sebagai ius constituendum, terdapat hal-hal yang perlu antara lain:

1. Pidana mati dilaksanakan oleh regu penembak dengan menembak terpidana sampai mati.

2. Pelaksanaan pidana mati tidak dilakukan di depan umum.

3. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak di bawah umur 18 tahun.

12

(26)

4. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa, ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

5. Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah ada persetujuan presiden atau penolakan grasi oleh Presiden.

6. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, jika:

a. Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar.

b. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk memperbaiki diri.

c. Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting. d. Ada alasan yang meringankan.

e. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan keputusan dari Menteri Kehakiman.

f. Jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, serta tidak ada harapan untuk memperbaiki diri, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

g. Jika setelah permohonan grasi ditolak maka pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan keputusan dari Menteri Kehakiman. 13

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengaturan pidana mati, maka jelas berbeda antara Rancangan KUHP Nasional tahun 2002 dengan KUHP yang masih berlaku saat ini, seperti adanya pengaturan masa percobaan 10 tahun sebagai penundaan pelaksanaan pidana mati, pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau menjadi 20 tahun penjara dengan keputusan dari Menteri Kehakiman, dan ada beberapa kejahatan dalam KUHP yang masih berlaku saat ini diancam dengan pidana mati, sedangkan pada Rancangan KUHP Nasinal tahun 2002 tidak diancam dengan pidana mati.

13

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM Tahun 2002,

(27)

Bila dilihat dari hukum positif, pelaksanaan pidana mati memang sangat mencemaskan, karena setelah pidana mati dilaksanakan tidak ada lagi upaya yang terbuka untuk memperbaikinya. Hal ini sungguh dapat dipahami karena hukum positif tidak mempertimbangkan penghisaban kembali yang akan terjadi di hari akhirat nanti. Hukum positif hanya mengatur kehidupan duniawi (mundane). Sedangkan hukum agama, selain mengatur kehidupan duniawi juga berkaitan dengan kehidupan ukhrowi (transedental). 14

Demikian halnya apabila pidana mati ditinjau dari sudut pandang hak asasi manusia, maka hal ini bertolak belakang dengan UUD 1945 yang telah diamandemen, dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.15 Dalam UUD 1945, mengenai hak asasi manusia telah dituangkan dalam batang tubuh yang dijabarkan dalam pasal 27, pasal 28 A s/d 28 J, pasal 29, 30 dan 34.

Ketentuan UUD 1945 ini dikaitkan dengan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tenteram yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia, dan kewajiban dasar manusia, sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. 16

Dalam pasal 28 A Amandemen Kedua UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Inilah hak asasi yang non-derogable, tidak bisa dikurangi dalam

14

Todung Mulya dan Alexander Lay, op.cit., hal. i.

15

Makalah Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau dari Sudut Pandang Hak Asasi Manusia.

16

(28)

keadaan apapun. Sesuai dengan asas konstitusional, legalitas produk hukum positif yang masih mempertahankan pidana mati seharusnya disesuaikan dengan amandemen konstitusi. Ini harus dilakukan agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi. 17

Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, oleh karena itu pidana mati yang tujuan utamanya dengan sengaja mencabut hak hidup seseorang bertentangan dengan dengan UUD 1945. 18

Menyikapi pernyataan ini, maka Mahmud Mulyadi berpendapat bahwa setiap manusia tidak berhak menentukan hidup atau matinya seseorang, karena yang berhak untuk menentukan hidup atau matinya seseorang adalah Allah SWT. Jadi dapat ditegaskan bahwa hanya Allah SWT yang berhak untuk menentukan hidup atau matinya seseorang. Akan tetapi, cara untuk hidup atau matinya seseorang bukan Allah SWT yang menentukan, terpulang kepada manusia itu sendiri dalam menentukan cara kehidupannya dan cara matinya dalam kehidupan di dunia ini. Hal ini dilandaskan pada argumen bahwa dalam agama Islam, seorang muslim diwajibkan mempercayai Rukum Iman yang salah satunya adalah percaya kepada Qhadho dan

17

Indriyanto Seno Adji, Hukuman Mati Beratmosfer HAM, (Jakarta: Tempo, Edisi 23-29 Agustus 2004), hal. 110.

18

(29)

Qadhar (biasa dikenal dalam masyarakat sebagai takdir yang baik dan takdir yang buruk). 19

Telah diakui bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia paling mendasar. Bahkan dapat dikatakan hak untuk hidup merupakan sumber dari seluruh hak asasi manusia lainnya, dan karena itu patut menjadi hak yang paling dihormati.

Berkaitan dengan masalah penghargaan terhadap hak asasi manusia, hal itu dapat dilihat dengan semakin banyaknya tindak pidana yang mencakup sebagian besar aspek kehidupan, mulai dari pencurian, pengelapan dana, penganiayaan, hingga perampasan hak untuk hidup seseorang atau pembunuhan. Oleh karena itu, perlu adanya hukum yang jelas dan tegas untuk mengatasi masalah tersebut. Meskipun demikian, tetap saja kadang kala hukum yang tegas justru malah ditentang karena dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM. Sebagai contoh adalah hukuman mati. 20

Dengan demikian, Deklarasi Universal merupakan langkah pertama yang meningkatkan secara bertahap dan pasti perlindungan hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai salah satu hasil dari perkembangan ini, pemajuan dan perlindungan terhadap hak untuk hidup sebagaimana dijamin oleh sejumlah instrumen internasional, tidak lagi dianggap

19

Lihat; Mahmud Mulyadi dalam buku Todung Mulya dan Alexander Lay, hal. 287-288.

20

(30)

masalah eksklusif dalam yurisdiksi suatu negara tertentu, tetapi merupakan permasalahan internasional.21

Akhir-akhir ini, sebagian dari kita mungkin telah mendengar banyak berita tentang protes dan kritik dari berbagai elemen masyarakat tentang pelaksanaan hukuman mati. Sebagian besar dari mereka yang memprotes adanya hukuman mati tersebut beranggapan bahwa hukuman mati merupakan suatu praktik pelanggaran HAM; yaitu hak untuk hidup. Mereka beranggapan bahwa dengan menghukum mati seseorang maka secara jelas kita telah merampas hak untuk hidup orang terhukum tersebut. Akan tetapi, dilihat dari sisi hukum dan keadilan, maka hukuman mati merupakan sebuah praktik hukum yang adil. Pendapat yang sering diajukan sebagai pembelaan atas pelaksanaan hukuman mati adalah bahwa orang terhukum tersebut pantas dihukum mati. Jadi dapat kita lihat disini ada dua sisi yang bertentangan. Satu sisi adalah hak asasi manusia, sedangkan sisi lainnya adalah keadilan.

Berbagai macam kasus pidana mati yang telah terjadi di Indonesia, antara lain dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Data terpidana mati yang telah dieksekusi di Indonesia selama tahun 2008 22

No. Nama / Umur /

2. Hansen Anthony Narkotika 29 Januari PN Tangerang 13 Agustus 27 Juni

21

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

22

(31)

Nwaolisa/L/30/

PN Surabaya 19 Januari 1989

PN Surabaya 19 Januari 1989

PN Denpasar 7 Agustus 2003

(32)

dimulai dengan cara menggali lubang tanah, lalu menyuruh korbannya yang datang satu persatu untuk masuk ke dalam lubang tanah tersebut, mengikat kedua kaki dan kedua tangan korban dengan tali, dan menimbun korban dari kaki sampai sebatas dada dengan tanah, dimaksudkan untuk memudahkan Dukun AS menghilangkan nyawa para korbannya. Setelah korban ditimbun dengan tanah dari kaki sampai sebatas dada, lalu Dukun AS jongkok di dekat kepala korban,dan menyandarkan kepala korban di atas paha Dukun AS, setelah itu Dukun AS menutup mulut dan hidung korban dengan tangan kirinya, dan tangan kanannya mencekik batang tenggorokan korban dengan kuat, sehingga korban meninggal dunia. Akhirnya Dukun AS membuka mulut korban, lalu menghisap air liur mayat korban, bermaksud untuk meningkatkan ilmu perdukunannya.

Berangkat dari realitas tersebut, maka opini penulis mengenai hal ini adalah bahwa hukuman mati itu penting untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut, bukan hanya merupakan perwujudan dari beban batin yaitu sebagai panggilan yuridis-akademis, melainkan juga suatu perwujudan dari panggilan yuridis-praktis untuk menjadikan hukum pidana yang bersumber pada Pancasila, sebagai salah satu sarana dan kekuatan budaya untuk membudayakan manusia itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

(33)

1. Bagaimana ratio dan pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap hukuman mati?

2. Mengapa hukuman mati tetap dipertahankan di Indonesia?

3. Bagaimanakah pertimbangan Hakim di dalam penjatuhan hukuman mati terhadap kasus Ahmad Suradji (dalam perkara no. 176/K/Pid/1998)?

C. Tujuan Penelitian

Berangkat dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui ratio dan pengaturan hukum positif di Indonesia terhadap hukuman mati.

2. Untuk mengetahui mengapa hukuman mati tetap dipertahankan di Indonesia. 3. Untuk mengetahui dan memahami pertimbangan Hakim di dalam penjatuhan

hukuman mati terhadap kasus Ahmad Suradji (dalam perkara no. 176/K/Pid/1998).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

(34)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat luas, khususnya para penegak hukum, praktisi, akademisi, maupun teoritisasi hukum, agar dapat lebih memahami permasalahan hukuman mati. Sehingga dapat diterapkan dan dimanfaatkan untuk menentukan kebijakan, secara konkrit dan tepat di dalam hal penjatuhan pidana terhadap para pelaku kejahatan, dalam rangka mencegah maupun mengurangi angka kejahatan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai “Hukuman Mati Kaitannya dengan HAM (Dalam

Perkara No. 1076 K/Pid/1998)” ini didasarkan pada ide dan gagasan murni penulis,

dan belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya baik di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun universitas-universitas lainnya di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini adalah asli, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

(35)

landasan yang mantap, pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis”. 23

Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan dengan hukuman. Pemidanaan dapat juga diartikan sebagai penghukuman. Hukuman ini dimaksudkan adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana. 24

Tujuan pemidanaan menurut Hazewinkel Suringa adalah pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tetapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara justru menjatuhkan hukuman itu. Sehingga pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak, pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapa pun juga, sedangkan pada pihak lain, pemerintah negara menyerang manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu. 25

Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pemidanaan secara umum adalah: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat.

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadi orang yang baik dan berguna di masyarakat, bangsa dan negara.

23

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37.

24

Djoko Prakoso, Nurwachid, op.cit., hal. 13.

25

(36)

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Di dalam mencapai tujuan ini, untuk memidana seseorang yang telah melakukan kesalahan maka harus berdasarkan tujuan retributif, deterrence, treatment, dan social defence.

a. Teori Retributif

Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan morally justified (pembenaran secara moral), karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerima atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan, karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum, yang dilakukannya secara sengaja dan sadar, dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku. 26

Teori retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus

26

Aleksandar Fatic, Punishment and Restorative Crime – Handling, (USA: Avebury Ashagate Publishing Limited, 1995), hal. 9. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, Criminal Policy – Pendekatan Integral

Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka

(37)

dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan. 27

Ciri khas teori retributif ini terutama dari pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dan Hegel (1770-1831) adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana, sekalipun sebenarnya pidana tidak berguna. Pandangan diarahkan pada masa lalu, bukan ke masa depan dan kesalahan hanya bisa ditebus dengan menjalani penderitaan.28

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu imperatif kategoris yang merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya, berdasarkan kemauannya sendiri. 29

Nigel Warker mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni. Retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan:30

1. Retributivist terbatas (the limitating retributivist) berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana

27

J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I, Cet. II (Bandung: Bina Cipta, 1997), hal. 25.

28

C. Ray Jeffery, Crime Prevention Through Environmental Design, (Beverly Hills-London: SAGE Publication, Inc., 1977), hal. 16. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, op.cit, hal. 69.

29

J.G.Murphy, Marxism and Retribution dalam a Reader on Punishment, (New York: Oxford University Press, 1995), hal. 7. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 70.

30

(38)

yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku.

2. Retributivist yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangna bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.

Berdasarkan pembagian aliran retributif tersebut, maka hanya the pure retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkanya pidana. Oleh

karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham non-retributive. Kebanyakan KUHP disusun berdasarkan paham non-retributive yang the limitating retributivist, yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut. 31

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori ini, menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut: 32

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya maupun keluarganya. Perasaan ini

31

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hal. 13.

32

(39)

tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe aliran ini disebut vindicative.

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya, bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima ganjarannya. Tipe ini disebut fairness. 3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara

beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe ini disebut proportionality.

b. Teori Deterrence

Menurut Zimring dan Hawkins, terminology “deterrence” digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun ”the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. 33

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Penganut reductivism meyakini bahwa

33

(40)

pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan.

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku, sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya.

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari ancaman pidana.

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan.

5. Melindungi masyarakat (protecting the public) melalui pidana penjara yang cukup lama. 34

Tujuan pemidanan sebagai deterrence effect sebenarnya telah menjadi sarana yang cukup lama dalam kebijakan penanggulangan kejahatan, karena tujuan deterrence ini berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan dua orang tokoh

utamanya yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei Delitti e Delle Pene (1764), bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana balas dendam masyarakat. 35

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini dapat dibagi menjadi: 36 1. Prevensi umum (general deterrence)

34

Nigel Warker, Reductivism and Deterrence dalam a Reader on Punishment, hal. 212. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid.

35

Ibid, hal. 73.

36

(41)

Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan, yang memiliki tiga fungsi yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma. 2. Prevensi khusus (individual or special deterrence)

Bahwa dengan pidana yang dijatuhkan, memberikan deterrence effect kepada pelaku, sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Selain Beccaria, tokoh aliran klasik yang juga sepakat dengan tujuan pemidanaan sebagai deterrence adalah Jeremy Bentham dengan teori utilitarian. Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan utilitarianism adalah untuk deterrence, incapacitation and rehabilitation. Tujuan pemidanaan menurut Bentham

adalah: 37

1. Pencegahan (prevention)

Merupakan upaya yang paling utama diperlukan dalam pandangan masyarakat untuk menanggulangi korban kejahatan, yang terdiri dari:

a. Pencegahan khusus (particular prevention), terbagi atas disablement, deterrence dan reformation.

b. Pencegahan umum (general prevention).

2. Kepuasan perasaan dan/atau kompensasi (satisfaction and/or compensation)

37

(42)

Diperlukan secara utama untuk memuaskan perasaan korban atau keluarga korban terhadap serangan oleh kejahatan.

Menurut Ahmad Ali, penganut paham utilitarian menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada falsafah sosial, bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai kebahagiaan tersebut. 38

c. Teori Treatment

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang

berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksud adalah untuk member tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit, sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 39

Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lambroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan, dengan mengkaji

38

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Chandra Utama, 1996), hal. 87.

39

(43)

karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi, dan obyek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya.

Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan, dalam kaitannya dengan kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya, karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai factor, baik watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu, pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan si pelaku. 40

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial, dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik, dan menurut aliran ini masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan kehendak bebas (free will), dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan ke pelakunya. 41

40

Freda Adler, et. al., Second Edition, Criminology, (USA: McGraw-Hill, 1995), hal. 59-61. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid.

41

John M. Wilson, The Role of Therapeutic Community in Correctional Institution dalam The

Future of Imprisonment in a Free Society, Journal of Controvercial Issues in Criminology, Volume

(44)

Herbert L. Packer mengajukan suatu varian yang berdasarkan pandangan aliran klasik, yang disebut sebagai behavioralisme, dimana terdapat empat pokok pikiran: 42

1. Kehendak bebas (free will) adalah suatu ilusi saja, karena tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang untuk mengubahnya.

2. Tanggung jawab moral, juga merupakan suatu ilusi karena dosa tidak dapat dibebankan pada suatu tingkah laku yang kondisinya dibentuk.

3. Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan dikendalikan. 4. Fungsi hukum pidana secara murni dan sederhana, seharusnya membawa

seseorang menuju suatu proses pengubahan kepribadian dan tingkah laku mereka yang telah melakukan perbuatan anti sosial, sehingga mereka tidak akan kembali melakukan kejahatan pada masa akan datang. Atau jika semua tujuan ini gagal, maka untuk menahan mereka melakukan kejahatan adalah dengan penggunaan paksaan, misalnya dengan pidana kurungan.

d. Teori Social Defence

Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II

dengan tokoh terkenalnya adalah Filippo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya (setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949), pandangan ini terpecah menjadi dua aliran yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis). 43

Pandangan yang radikal 44 dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang salah satu tulisannya berjudul “The Fight Against Punishment” (La Cotta Contra La Pena). Gramatica berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus

42

Herbert L. Packer, The Limit of The Criminal Sanction, (California: Stanford University Press, 1968), hal. 11. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 87.

43

Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 88.

44

(45)

menggantikan hukum pidana yang sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial, dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya”.

Pandangan Moderat 45 dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “ New Social Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat

mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.

Beberapa konsep pandangan moderat antara lain: 46

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri.

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyatan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.

Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif dengan paham rehabilisionisnya.

45

Marc Ancel, Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem, (London: Roatledge & Paul Keagen, 1965), hal. 74. Dan lihat: Mahmud Mulyadi, ibid, hal. 88.

46

(46)

Dari keempat teori tersebut, maka penerapan hukuman mati untuk memidana seseorang yang telah melakukan tindak pidana, harus sesuai dengan tujuan teori “retributive” dan “deterrence”.

2. Landasan Konsepsional

Defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Pidana mati adalah salah satu bentuk pidana yang paling tua, setua umat manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji oleh para ahli, karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan antara yang setuju dan yang tidak setuju. Oleh karena itu jika membicarakan tentang pidana mati, maka kemudian yang akan dikemukakan adalah tentang sejarah pidana mati itu sendiri, pelaksanaan pidana mati, pro dan kontra terhadap pidana mati, tindak pidana-tindak pidana yang dapat dikenakan pidana mati. 47

Secara konsepsional, pidana mati dapat ditinjau dari segi: a. Konsep Yuridis

Bahwa adanya pemberlakuan pidana mati ini didasarkan kepada teori absolut (pembalasan) dan teori relatif (tujuan) dari aspek menakutkannya, yang mana tidak lain tujuan dari pemberlakuan hukuman mati ini adalah untuk mengurangi tingkat kejahatan.

Dalam konsep yuridis ini, melihat bahwa pemberlakuan hukuman mati ini cenderung conceptual abstraction belaka.

47

(47)

b. Konsep Kriminologi

Dari berbagai pendapat kriminolog terhadap pelaksanaan hukuman mati adalah melihat bahwa hukuman mati bukan sebagai conceptual abstraction belaka, melainkan hukuman mati dipandang sebagai suatu kenyataan, apakah dengan adanya pidana mati dalam ketentuan hukum positif di Indonesia ada memberikan manfaat, sehingga dapat mengurangi tingkat kejahatan. 48

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 49

Kontroversi secara harfiah adalah perdebatan; persengketaan; percekcokan; menyangkal; bertentangan dengan. 50 Perdebatan tentang pidana mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di berbagai belahan dunia. Dari pendekatan historis dan teoritis, pidana mati merupakan pengembangan dari teori pembalasan dalam hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (deterrence effect) dalam pemidanaan. Dalam perkembangannya, teori ini mengalami perubahan yang signifikan. Pemidanaan tidak lagi ditujukan pada efek jera, akan

48

Ediwarman, Hukuman Mati dan Masalahnya, Sinar Indonesia Baru, Kamis, 14 Oktober 2004.

49

Pasal 1 angka (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

50

(48)

tetapi lebih kepada rehabilitasi tertadap terpidana, yakni dengan mengembalikan terpidana seperti semula, agar dapat bersosialisasi dan diterima oleh masyarakat. 51

Kontroversi pidana mati di Indonesia mengemuka terkait dengan dikeluarkannya beberapa Keputusan Presiden di tahun 2003 yang menolak (atas) permohonan grasi terhadap para terpidana mati, yang terlibat dalam tindak pidana pembunuhan dan narkotika. Ada dua mainstream wacana yang berhadapan dalam perdebatan tersebut, yakni yang pro terhadap pidana mati dan pihak lain yang kontra terhadap pidana mati. 52

Ratio menurut kamus hukum adalah pemikiran menurut akal sehat; akal budi; nalar atau secara terminologi, ratio adalah sesuatu apapun yang terwujud dan diwujudkan, berdasarkan atas perkembangan akal atau pemikiran yang sehat, guna mengadakan perubahan agar diperoleh daya guna semaksimal mungkin. Kemudian secara harfiah, ratio adalah berkaitan dengan perilaku-perilaku yang memiliki tujuan tertentu; berkenaan dengan pemikiran pada sesuatu yang disertai dengan pembuktian.53

G. Metode Penelitian

Dalam proposal ini digunakan istilah metode penelitian sebagai perangkat operasional yang merupakan bagian dari metodologi penelitian. Penggunaan istilah

51

http://www.solusihukum.com

52

Ibid.

53

(49)

dimaksud karena secara teoritik ada perbedaan yang prinsip antara “metodologi penelitian” dengan “metode penelitian”. Metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metode, kelebihan dan kekurangannya yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan. Sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang akan digunakan dalam penelitian.54

Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan dalam penelitian ini mengikuti metode-metode penelitian yang ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Tipe penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (bahan kepustakaan). Penelitian ini mencakup atas:

a) penelitian terhadap asas-asas hukum. b) penelitian terhadap sistematika hukum. c) penelitian terhadap sinkronisasi hukum. d) penelitian terhadap sejarah hukum. e) penelitian perbandingan hukum. 55

54

Lihat penjelasan Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, cet. IV, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1993), hal. 13.

55

(50)

Penelitian hukum ini dengan cara menginventarisasi, yaitu semua ketentuan mengenai hukuman mati dikumpulkan dan dianalisis.

2. Sumber Data

Sumber-sumber data terdiri atas:

a. Data primer, diperoleh melalui studi lapangan (field research) yang dilakukan untuk memperoleh data akurat dan keterangan secara lisan. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Bantuan Hukum Medan. b. Data sekunder, dikumpulkan melalui studi kepustakaan, yang meliputi bahan

hukum primer, sekunder dan tertier.

Bahan hukum primer terdiri dari UUD 1945, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang diperoleh dari buku teks, rancangan KUHP, rancangan undang-undangs, kasus-kasus hukum, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum, laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

(51)

hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir. 56

3. Teknik Pengumpulan Data

Dari aspek permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini, maka data dan informasi yang diperlukan bersifat kualitatif. 57 Hal itu sejalan dengan arah penelitian yang bertujuan untuk mencari dan menemukan konsep-konsep hukum58 dalam konteksnya dengan kebenaran hukum. Upaya itu dilakukan secara terencana, sistematis dan konsisten dengan menggunakan teknik pengumpulan data dan analisa data. Karena bentuk penelitian ini library research, maka dalam pengumpulan data yang diperlukan, digunakan teknik dokumentasi berupa penelusuran dan pengkajian terhadap berbagai sumber melalui tahap pengumpulan data, penilaian data, penafsiran dan penyimpulan.59

56

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 113.

57

Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller seperti dikutip Moleong, pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Sedangkan penelitian kualitatif menunjuk pada segi ilmiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Lihat: Lexy J. Moleong, Metodologi

Penelitian Kualitatif, cet. XVI, (Bandung, Rosdakarya, 2002), hal. 2.

58

Yang dimaksud dengan konsep-konsep hukum di sini adalah keseluruhan norma dan kaedah-kaedah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat yang harus diperhatikan oleh penguasa dalam melaksanakan tugasnya. Lihat: Burah Ashshofa, Metode Penelitian

(52)

Tahap pengumpulan data, penilaian data, penafsiran dan penyimpulan ini didukung dengan field research, dengan melakukan studi kasus ke Pengadilan Negeri Medan dan Lembaga Bantuan Hukum Medan, serta wawancara langsung guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai hukuman mati.

4. Analisis Data

Data ini dianalisis secara kualitatif yang akan diuraikan secara deskriptif analitis, yaitu pendapat dan tanggapan para informan, serta hasil studi kepustakaan diteliti dan dipelajari secara universal. Kemudian hasil analisis data ini dideskripsikan secara detail dan dari aspek-aspek tertentu, yang berkaitan dengan pokok permasalahan dengan menggunakan perspektif pemikiran teoritis para sarjana. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran, pedoman dan solusi secara komprehensif, atas masalah kontroversi hukuman mati dalam kaitannya dengan hak asasi manusia.

59

(53)

BAB II

RATIO DAN PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

TERHADAP HUKUMAN MATI

A. Pemikiran yang Melatarbelakangi Lahirnya Hukuman Mati

Hukuman mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana yang tertua dan paling kontroversial di dunia. 60 Tidaklah mengherankan apabila ada orang yang melihat lembaga pidana mati sebagai sesuatu yang tua dalam usia, tetapi selalu bersifat muda. Oleh karena itu, wajarlah bahwa hukuman mati merupakan suatu problem yang paling kontroversial. 61

“Kontroversial” dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama, tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Juga “kontroversial” dalam arti ada dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula. Bahkan “kontroversial” pula karena tidak adanya kata sepakat tentang sarana dan prasarana pelaksanaan hukuman mati. 62

Untuk itu, penulis uraikan historis dan perkembangan hukuman mati dari zaman dahulu hingga saat ini.

60

Cf. Grant S. Mc Clellan (Ed.), Capital Punishment, (New York: Wilson, 1961), p. 12. Dan lihat: J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Cet. III, (Malang: SETARA Press, 2009), hal. 93.

61

Mark Ancel, loc.cit, hal. 3.

62

(54)

1. Pra Kemerdekaan

Indonesia telah mengenal hukuman mati ketika manusia masih dalam tingkat pemikiran dan teknologi yang belum maju seperti saat ini. Jadi, jauh sebelumnya di Indonesia telah mengenal hukuman mati untuk diberlakukan kepada rakyatnya. Pada umumnya yang berlaku pada daerah-daerah tersebut adalah hukum yang bersifat tidak tertulis, yang disebut dengan hukum adat. Indonesia terdiri dari berbagai daerah dengan suku yang berbeda. Masing-masing daerah membentuk kerajaan-kerajaan kecil dengan membentuk hukumnya sendiri, antara daerah yang satu dengan daerah lain yang berbeda hukumnya. Salah satu kerajaan yang terkenal pada waktu itu adalah Kerajaan Majapahit. Untuk memberikan keamanan kepada rakyatnya, Kerajaan Majapahit menetapkan jenis-jenis hukuman antara lain: 63

a. Pidana pokok, terdiri dari: 1) Pidana mati

2) Pidana potong anggota badan yang bersalah 3) Pidana denda

4) Pidana ganti kerugian/panglicawa/patukucawa b. Pidana tambahan, terdiri dari:

1) Tebusan 2) Penyitaan

63

(55)

3) Patibajumpi (pembeli obat)

Dari beberapa jenis hukuman tersebut, maka perbuatan kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman mati adalah pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada raja, perbuatan-perbuatan perusuh seperti mencuri, memmbegal, menculik, kawin sumbang (kawin semarga), meracuni dan menenung.64

Jadi jauh sebelumnya, di Indonesia telah mengenal hukuman mati untuk diberlakukan kepada rakyatnya. Pada umumnya yang berlaku di daerah-daerah tersebut adalah hukum yang bersifat tidak tertulis (hukum Adat). Hukum adat yang ada di Indonesia ini mengenal Hukum Pidana Adat dan Hukum Perdata (Privat) Adat. Dalam sistem hukum adat ini tidak dikenal pemisahan antara hukum pidana adat dengan hukum perdata adat, dimana sistem hukum adat yang berlaku di berbagai daerah di Indonesia ini dipengaruhi oleh Agama Islam dan agama lainnya, seperti Hindu (tergantung dari agama yang dianut di daerah tersebut).

Setelah kedatangan pedagang-pedagang Belanda di Indonesia yang pada mulanya adalah untuk berdagang, yaitu untuk mencari rempah-rempah yang dibutuhkan oleh negaranya, namun kenyataannya lama-lama membawa suasana penjajahan dimana untuk kepentingan perdagangan mereka, pedagang-pedagang Belanda tersebut telah melaksanakan berlakunya peraturannya sendiri di Indonesia, yang mana peraturan tersebut telah melaksanakan berlakunya peraturan-peraturannya sendiri di Indonesia yang berbentuk plakat-plakat. Plakat tersebut

64

Gambar

Tabel 1. Data terpidana mati yang telah dieksekusi di Indonesia selama tahun 2008 22
Tabel 2. Daftar undang-undang yang mencantumkan ancaman pidana mati 91
Tabel 3. Daftar Negara yang Memberlakukan dan Melaksanakan Hukuman Mati
Tabel 4. Daftar Negara yang Memberlakukan Hukuman Mati Untuk   Semua Jenis Kejahatan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Penerapan pembelajaran metode bermain peran dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran; (2)

a) Jumlah Hutang Sebenar - Si penghutang haruslah diberikan jumlah sebenar hutang mereka. Debt Collector tidak harus mengambil atau menerima wang tunai dari

Berdasarkan perhitungan ini t hitung di atas diketahui ternyata t hitung lebih besar dari t tabel (10,820> 1,65501) sehingga dapat disimpulkan bahwa keterampilan guru

Selain itu, dari hasil percobaan pada proses kompresi dihasilkan sebuah pesan teks yang berbeda dengan pesan teks yang asli dengan kata lain kompresi dengan

Disi nidi gunakani nsekt i si dayangdapatdi t uj ukant er hadap nyamukdewasaat aul ar va.I nsekt i si dayangdapatdi t uj ukant er hadap nyamuk dewasa Ae.aegypt iant ar a dar igol

Mereka sebagai penerus bangsa perlu memiliki wawasan dan pengetahuan dalam bidang politik termasuk kegiatan pemilihan umum agar mereka jangan sampai tidak ikut

1) Kuadran I (Prioritas Utama) menunjukkan tidak ada hasil atau tidak ada atribut yang masuk kedalam kuadran I. 2) Kuadran II (Pertahankan Kinerja) menunjukkan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Sistem Penggunaan lahan berpengaruh signifikan (p<0,05) terhadap kepadatan cacing tanah musim penghujan dan berpengaruh