• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Daya Manusia (SDM)

Dalam dokumen EVALUASI DIRI UNIVERSITAS BRAWIJAYA (Halaman 33-37)

BAB III EVALUASI KINERJA MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI

3.2. Sumber Daya Manusia (SDM)

Dalam lima tahun terakhir rasio dosen dengan mahasiswa (S1) dalam proses belajar mengajar (PBM) adalah di bawah 1:20 (Tabel 3.3 dan Tabel L.12.). Rasio ini merupakan rasio ideal yang ditetapkan oleh Ditjen Dikti. Secara total rasio mahasiswa/dosen semakin membaik dengan bertambahnya jumlah staf. Komposisi ini perlu dijaga dengan memperhatikan pertumbuhan mahasiswa. Jumlah mahasiswa S1 dapat ditingkatkan dengan catatan mahasiswa diploma mengalami phasing out, dan mengembalikan bisnis utama pada kegiatan pendidikan S1 dan pasca sarjana.

Dosen yang menyandang gelar S2 (53,86%), minimal S2 (77,88%) dan S3 (24,02%) di antaranya merupakan alumni luar negeri sedang sisanya berasal dari perguruan tinggi ternama di dalam negeri (Gambar 3.4.). Proporsi dosen bergelar S3 yang relatif masih rendah ini akan berubah secara drastis dengan banyaknya staf yang saat ini sedang menempuh program S3 baik di dalam maupun di luar negeri. Kebijakan rekruitmen yang mensyaratkan penerimaan dosen minimal dengan jenjang S2 merupakan satu langkah maju dalam pola rekruitmen. Pada sisi lain dorongan yang tinggi dari pimpinan untuk melanjutkan studi S3 nampak mulai memberikan hasil pada tahun 2007 dan 2008.

Tabel 3.3. Rasio Jumlah Mahasiswa/Dosen

Uraian Ratio 2003/ 2004 2004/ 2005 2005/ 2006 2006/ 2007 2007/ 2008 2008/ 2009 Jumlah Mahasiswa Diploma 3.735 3.251 2.892 2.508 1.978 1.030 Jumlah Mahasiswa S-1 22.931 22.959 23.388 23.556 23.807 25.324 Jumlah Mahasiswa Pascasarjana 1.915 1.884 1.877 2.274 1.687 872 Jumlah Mahasiswa Keseluruhan 28.581 28.094 28.157 28.348 27.472 27.461 Jumlah Dosen 1.224 1.271 1.398 1.434 1.419 1.424 Rasio Jumlah Mahasiswa S-1 / Dosen 19 18 17 16 17 18 Rasio Jumlah Mahasiswa Diploma & S-1/Dosen 22 21 19 18 18 19 Rasio Jumlah Mahasiswa Keseluruhan/ Dosen 23 22 20 20 19 20

Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) Universitas Brawijaya 2008 Evaluasi Diri | 26 265 404 414 346 315 799 737 763 809 767 207 257 259 264 342 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 2004 2005 2006 2007 2008 S-3 S-2 S-1

Gambar 3.4. Perkembangan Jumlah Dosen Berdasarkan Gelar Akademik

Sayangnya peningkatan pendidikan dosen melalui pendidikan pascasarjana belum memberikan dampak pada peningkatan efisiensi proses belajar mengajar, karena angka AEE belum mencapai optimum. Pada proses belajar mengajar yang dilaksanakan di S-1 angka AEE yang dicapai adalah 17,42% (angka ideal adalah 25%). Hal ini disebabkan beberapa faktor, pertama beban kerja dosen tidak menyebar dengan baik meskipun perkembangan jumlah dosen relatif stabil, sistem manajemen belum cukup efektif dalam melakukan fungsinya untuk mendorong tercapainya AEE yang baik. Langkah perbaikan manajemen melalui kegiatan I-MHERE institusi diharapkan dapat memberi kontribusi positif untuk peningkatan AEE.

Jumlah dosen yang mempunyai beban kerja kurang 12 sks per semester mencapai 56% (27% dari sampel mempunyai beban berkisar 6-9 sks, 25% berkisar 2-6 sks dan 4 % kurang 2 sks). Dosen yang mendapatkan beban kerja berlebihan didominasi oleh dosen yunior (asisten ahli) dengan 24% di antara mereka mendapatkan beban lebih dari 12 sks. Di sisi lain dosen senior (lektor kepala dan profesor) yang mempunyai tanggung jawab dan kompetensi lebih, mendapatkan beban lebih sedikit (Gambar L.4–L.6.). Mereka yang mempunyai beban lebih dari 12 sks hanya 10% sampai 15%. Hasil analisis menunjukkan bahwa dosen senior tersebut mendapat tugas negara dan membantu masyarakat dalam pembangunan. Sementara itu, dosen yunior yang semula kurang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya, maka pada saat ini dosen tersebut mendapat kesempatan luas untuk tugas belajar, pelatihan dan sandwich program dari Dikti maupun UB. Persepsi dosen ini merupakan suatu aspek positif untuk terus mendorong kemajuan relevansi pelayanan akademik. Selain itu, hasil survai juga menunjukkan kecenderungan positif dalam perencanaan pendidikan pegawai. Tindak lanjut perbaikan yang telah dilakukan adalah pemetaan standar kompetensi SDM sesuai tupoksi, berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman, motivasi dan kinerja. Peningkatan kapasitas SDM bidang akademik dan non akademik telah dirancang dan diujicobakan melalui program I-MHERE serta menjadi konsep kebijakan tentang pengembangan SDM (Gambar L.7). Selanjutnya, kebijakan peningkatan kompetensi melalui pelatihan menjadi salah satu investasi penting UB untuk menunjang ketersediaan SDM yang profesional, pelaksanaan tri dharma bermutu dan relevansi pelayanan sarana-prasarana. Pra kondisi ini sangat dibutuhkan untuk mencapai target manajerial dan akademik selama masa transisional. Upaya-upaya positif dalam peningkatan kompetensi ini diapresiasi oleh staff yang memandang adanya kesesuaian antara pelatihan dan kompetensi yang dimiliki (Gambar L.8.).

Terlepas dari rata-rata lama studi yang lebih lama dari seharusnya (4,6 tahun), hasil tracer study menunjukkan perkembangan kompetensi lulusan yang semakin meningkat. Dari hasil tracer study beberapa tahun terlihat adanya perubahan signifikan pada gaji pertama yang diterima oleh lulusan. Jika pada 4 tahun yang lalu kebanyakan lulusan mendapatkan gaji

Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) Universitas Brawijaya 2008 Evaluasi Diri | 27

kurang dari 1 juta rupiah, hasil tracer study terakhir menunjukkan mayoritas lulusan (88%) menerima gaji pertama lebih dari 1.5 juta rupiah (Tabel L.8., Tabel L.9.). Hal ini menunjukkan peningkatan daya saing dan penghargaan dari masyarakat pengguna lulusan terhadap alumni UB. Perlu dicatat bahwa kenaikan UMR selama 4 tahun tidak signifikan. Hal ini juga seiring dengan peningkatan IPK lulusan. Salah satu faktor pendukung adalah peningkatan kapasitas akademik dari dosen yang merata di seluruh fakultas yang ada (Tabel L.13. sampai dengan Tabel L.17.).

Persentase dosen yang bergelar S-2 dan S-3 alumni luar negeri saat ini masih 14%. Peningkatan jumlah dosen yang mendapatkan gelar dari luar negeri mulai dirasakan sejak periode 1981-1985. Salah satu dampak banyaknya staf yang belajar di luar negeri adalah UB mulai melakukan kerjasama-kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional. Puncak dosen yang kembali dari belajar dari luar negeri pada sekitar tahun 1991-1995, setelah periode ini terjadi penurunan lulusan yang berasal dari luar negeri dan pada saat yang bersamaan juga terjadi penurunan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional. Dengan banyaknya dosen yang saat ini sedang dan akan menempuh pendidikan (S3) di LN, maka jumlah dosen S3 lulusan LN diperkirakan akan meningkat tajam pada tahun 2011-2012.

Dari analisa keadaan ini menunjukkan bahwa faktor alumnus luar negeri ini dianggap faktor penting untuk meningkatkan kerjasama luar negeri di UB. Indikasi ini menunjukkan bahwa pengembangan SDM sangat tergantung pada sumbangan luar negeri, karena sebagian besar mereka belajar ke luar negeri karena mendapat beasiswa dari lembaga donor di luar negeri. Universitas senantiasa tetap melanjutkan beberapa usaha untuk meningkatkan kerjasama internasional melalui kunjungan kerjasama ke beberapa negara oleh pimpinan UB, yang dilanjutkan dengan kunjungan-kunjungan pendek, non degree training, kontrak kerja, dan bekerjasama untuk melaksanakan kegiatan pendidikan bersama (double degree dan linkage program) dan pertemuan ilmiah internasional. Namun, sayangnya masih ada penandatanganan MOU yang belum ditindak-lanjuti. Di masa lalu, lemahnya tindak lanjut ini terkait dengan lemahnya SDM di beberapa jurusan dan fakultas serta aspek kapasitas perencanaan. Untuk itu, maka Renstra 2006-2011 dan Program Kerja Rektor 2007-2011 telah memprioritaskan program internasionalisasi dan mengangkat staf ahli bidang bidang kerjasama. Staf ahli tersebut membawahi lima staf untuk mendorong program khusus kerjasama luar negeri. Hal ini menjadi prakondisi pada masa transisi untuk mencapai standar internasional dengan menyelesaikan masalah tersebut. Hal lain yang sangat penting adalah mendorong dosen agar mengubah mindset jangka pendek untuk pengembangan institusi (project base approach) ke arah mindset menyeluruh dan jangka panjang (out come base approach). Untuk itu penguatan aspek leadership di semua lini pengambilan keputusan dan tingkat koordinasi telah ditingkatkan.

Produktivitas penelitian, paten maupun pengabdian kepada masyarakat dari dosen sangat baik. Selain terjadi peningkatan karya ilmiah yang telah dipatenkan, dalam kurun waktu 2005-2007, sebanyak 993 penelitian telah dilakukan oleh dosen UB. Penelitian tersebut didanai baik oleh universitas, dana hibah kompetisi maupun dana luar negeri dengan melibatkan 965 orang dosen. Di samping itu, dalam kurun waktu yang sama 1609 dosen terlibat dalam pengabdian kepada masyarakat. Prestasi dosen ini berdampak pada peningkatan suasana akademik dan mendorong prestasi penalaran mahasiswa. Informasi ini menunjukkan bahwa kemampuan sivitas akademika di UB sangat baik.

Meskipun hasil-hasil penelitian sangat banyak, namun hasil penelitian masih kurang dimanfaatkan untuk pengkayaan bahan ajar dan pembangunan masyarakat. Demikian pula dengan hasil penelitian yang telah dipublikasikan dan dipatenkan, sejauh mana konstribusinya dalam membangun citra dan revenue generation bagi UB? Evaluasi dan penanganan secara khusus untuk hal ini sangat dibutuhkan di masa yang akan datang. Organisasi UB yang baru terkait dengan pengembangan Pusat Inkubator Bisnis, adalah jawaban untuk menyelesaikan problematika ini.

Peraturan Pemerintah menyebutkan tentang syarat-syarat, prosedur pengajuan dan jenjang kedudukan fungsional bagi staf-staf akademik. Akan tetapi, hal ini tidak diikuti dengan peraturan pelaksana yang tegas tentang penjabaran tugas bagi semua jenjang fungsional

Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) Universitas Brawijaya 2008 Evaluasi Diri | 28

secara rinci. Akibatnya, tercipta keadaan yang tidak fair, sehingga jenjang kedudukan fungsional yang lebih tinggi seperti Guru Besar diberi beban kerja lebih sedikit daripada staf akademik yang jenjang kedudukan fungsional-nya lebih rendah. Keadaan yang demikian ini menunjukkan, bahwa muatan dari ketentuan pembagian tugas menciptakan iklim akademik yang kurang kondusif. Sebagai PTN

saat ini UB mengikuti ketentuan kepegawaian negara sehingga prosedur pengajuan kenaikan jenjang fungsional bagi staf sering terasa kaku dan kurang mendorong semangat berkarya di bidang akademik. Hal ini misalnya, adanya persyaratan kenaikan pangkat yang cenderung tidak menghargai prestasi, karena hanya membatasi tulisan di majalah hanya dua tulisan yang diakui (ketentuan DIKTI), sementara ada dosen yang karya ilmiahnya dapat mencapai lebih dari itu di jurnal

internasional. Selain itu pengakuan terhadap karya dosen ketika sedang tugas belajar pun mestinya perlu dipertimbangkan mengingat pada jenjang pendidikan doktor kegiatan utamanya adalah penelitian. Dilihat dari proporsi jumlah Lektor Kepala (Gambar 3.5) yang cukup tinggi dan jumlah dosen bergelar S3 sejumlah 24,02 % (Tabel L.15), diperkirakan akan terjadi peningkatan jumlah guru besar yang cukup signifikan pada 2-4 tahun ke depan. Upaya sistimatis dari universitas perlu dilakukan untuk mendorong tercapainya komposisi guru besar yang memadai. Pada sisi lain dengan dorongan dan strategi pengembangan akademik yang tepat maka diperkirakan jumlah guru besar akan naik secara signifikan pada beberapa tahun kedepan. Universitas juga perlu memberikan dukungan bagi karya-karya bermutu untuk dapat diakui untuk kenaikan pangkat, dengan argumentasi bahwa proses publikasi di jurnal internasional bisa memakan waktu yang lama dan tidak bisa diperkirakan secara tepat periode penerbitannya, sehingga memungkinkan beberapa karya publikasi terbit pada tahun yang sama.

Promosi kenaikan pangkat dan jabatan fungsional seharusnya bisa dilakukan paling tidak setiap 4 tahun sekali. Namun, masih sekitar 46% persen dosen dapat di promosikan kenaikan pangkatnya lebih dari 4 tahun (Gambar L.9). Sistem kenaikan pangkat di lingkungan UB mengikuti sistem nasional sebagai tenaga pengajar di lingkungan Ditjen Dikti, yaitu didasari oleh kemampuan mereka untuk mengumpulkan satuan kredit kenaikan pangkat tertentu dengan dasar kegiatan yang disebut Tridharma Perguruan Tinggi dan kegiatan penunjang. Universitas hanya mendukung dan memfasilitasi mereka untuk dilanjutkan ke BAKN. Universitas sebenarnya hanya membantu mempromosikan mereka untuk naik pangkat, akibatnya universitas tidak punya kewenangan sendiri untuk melakukan perencanaan pengembangan sistem SDM sendiri secara otonom. Peningkatan profesionalisme sumberdaya kurang bisa dilaksanakan dengan baik melalui sistem semacam ini. Kenaikan pangkat hanya didasari sekedar memenuhi sarat administratif kenaikan pangkat, bukan karena pertimbangan profesional.

Kebijakan zero growth untuk penerimaan sumberdaya manusia akan menyebabkan pola penyebaran umur tenaga akademik tidak ideal. Namun, beberapa tahun belakangan ini UB mendapatkan tambahan dosen yang cukup signifikan. Tenaga akademik yang relatif muda (di bawah 35 tahun) sekitar 26 % dari keseluruhan tenaga (Tabel L.16.). Selama ini perekrutan tenaga akademik berdasarkan alokasi anggaran dari Ditjen Dikti, sedangkan universitas hanya membantu pelaksanaan test pegawai negeri, sehingga perencanaan pengembangan sumberdaya di lingkungan ini hanya menunggu kesempatan yang diberikan oleh Ditjen Dikti. Berdasarkan sebaran rentang usia dapat diperkirakan bahwa UB akan tetap mampu menjaga kualitasnya secara berkesinambungan.

Gambar 3.5. Perkembangan jumlah dosen berdasar jabatan fungsional

Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) Universitas Brawijaya 2008 Evaluasi Diri | 29 Gambar 3.6. Proporsi Jumlah tenaga

kependidikan di UB

Dosen umumnya mendukung desentralisasi manajerial sebagai bagian dari implementasi paradigma baru perguruan tinggi. Sebagian besar diantara mereka setuju (69% - Gambar L.10) bahwa otonomi kampus merupakan bagian dari pemecahan masalah untuk pelaksanaan “good governance” untuk meningkatkan pencapaian kualitas akademik dari lembaga pendidikan tinggi. Hal ini nampaknya dipandang sebagai suatu solusi atas beberapa aspek kekurangpuasan dari staf (Gambar L.11-L.12).

Kebijakan “zero growth” untuk penerimaan pegawai negeri baru oleh pemerintah juga memberikan dampak pada sistem regenerasi pada tenaga non akademis (administrasi, teknisi, pustakawan). Sebagian besar pegawai tetap (Pegawai Negeri Sipil) berumur lebih dari 40 tahun. Akibatnya UB membuat kebijakan untuk menerima tenaga honorer untuk menunjang kegiatan-kegiatan akademik maupun non akademik. Tenaga honorer menerima gaji lebih rendah dibanding PNS dan menggunakan anggaran universitas untuk membiayai mereka. Sebagian besar tenaga tetap non akademik terkonsentrasi di kantor Pusat (Tabel L.19). Tenaga tetap non akademik yang berada di kantor pusat sekitar 38% sedangkan sekitar 4 s.d. 11% pada setiap fakultas. Promosi karir tenaga tetap non akademis (PNS) juga relatif baik dibandingkan tenaga honorer, mereka rata-rata dapat dipromosikan kenaikan pangkatnya sekitar 89% kurang dari 4 tahun, keadaan ini sangat berbeda dangan tenaga honorer. Padahal pada umumnya tenaga honorer mempunyai penampilan kerja yang cukup baik, mereka sebenarnya diperlakukan kurang adil dalam promosi karirnya.

Apabila universitas mempunyai komitmen untuk mengembangkan universitas ini menjadi research university, maka pola penyebaran tenaga non akademik juga mempunyai pola yang kurang benar, dan sebagian besar tenaga menyebar di tenaga administratif sedangkan tenaga teknisi dan pustakawan kurang memadai (Gambar 3.6). Seharusnya universitas menambah tenaga pustakawan, teknisi dan laboran, tetapi pada kenyataannya penerimaan tenaga baru justru pada tenaga administratif. Sebagian besar tenaga administratif merupakan lulusan SMA hanya sedikit yang lulusan S2 (Tabel L.20). Sebagian besar mereka bekerja di bawah standar kerja pegawai negeri apalagi

dibandingkan dengan tuntutan standar profesionalisme, sehingga banyak pekerjaan di mulai tingkat jurusan, dekanat, maupun rektorat yang seharusnya dikerjakan tenaga non akademik terpaksa harus dikerjakan tenaga akademik.

Dalam dokumen EVALUASI DIRI UNIVERSITAS BRAWIJAYA (Halaman 33-37)

Dokumen terkait