• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber modal | Coef Std Err z P>|z| [95% Conf Interval]

FAKTOR PRODUKTIFITAS DAN INDEKS KETIDAKSTABILAN PERIKANAN TANGKAP

Sumber modal | Coef Std Err z P>|z| [95% Conf Interval]

---+--- 0 miliksendiri| (base outcome)

---+--- 1 Pinjaman |

2.status | -2.251044 .9322279 -2.41 0.016 -4.078177 -.4239105 2.jenis_kapal | -.8178218 .5647471 -1.45 0.148 -1.924706 .2890623 1 lokasi | 1.628939 .7333565 2.22 0.026 .1915871 3.066292 investasi | -3.05e-09 9.48e-09 -0.32 0.748 -2.16e-08 1.55e-08 lama_milik | -.0505451 .0396477 -1.27 0.202 -.1282532 .027163 abk | .4551687 .3182427 1.43 0.153 -.1685754 1.078913 _cons | .1173058 1.003868 0.12 0.907 -1.850239 2.084851 ---+--- 2 Campuran | 2.status | -1.00684 .7527643 -1.34 0.181 -2.482231 .4685509 2.jenis_kapal | .0945415 .6101661 0.15 0.877 -1.101362 1.290445 1.lokasi | 1.819465 .686802 2.65 0.008 .4733579 3.165572 investasi | -1.23e-09 8.76e-09 -0.14 0.889 -1.84e-08 1.59e-08 lama_milik | -.0843595 .0416915 -2.02 0.043 -.1660732 -.0026457 abk | .6737445 .3192083 2.11 0.035 .0481077 1.299381 _cons | -.9261438 1.019887 -0.91 0.364 -2.925085 1.072797 --- Sumber: Analisis data primer, 2015

Pendekatan model regresi logistik multinomial digunakan untuk memperkirakan bagaimana perilaku nelayan dalam menjalankan usaha penangkapan. Variabel indepanden adalah status kepemilikan kapal, lama memiliki kapal, jenis kapal, investasi, jumlah kru/ABK dan variabel

dummy/Lokasi. Hasil temuan menyatakan bahwa lokasi mempengaruhi kecenderungan keputusan nelayan skala kecil dalam menentukan pilihan penggunaan biaya operasional (Tabel 17). Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan kecenderungan nelayan skala kecil dalam memperoleh biaya operasional. Hasil analisis menunjukkan bahwa lokasi sangat berpengaruh terhadap kecenderungan keputusan nelayan skala kecil dalam menggunakan sumber modal untuk biaya operasional.

Hasil analisis dengan menggunakan pembanding nelayan yang menggunakan biaya operasional milik sendiri sebagai base outcame/reference, nelayan skala kecil di Kabupaten Lamongan memiliki kecenderungan lima kali lebih untuk mencari sumber dana dari pinjaman (sebagian besar dari tengkulak/langgan) dari pada menggunakan dana miliknya sendiri, dibandingkan di lokasi Pelabuhanratu. Hasil serupa juga terjadi pada analisis yang

menggunakan dana campuran (milik sendiri dan pinjaman), dimana kecenderungan nelayan skala kecil di kabupaten Lamongan sebesar enam kali untuk menggunakan dana operasional yang berasal dari campuran (milik sendiri dan pinjaman) dari pada nelayan di lokasi Pelabuhanratu.

Data tersebut didukung oleh fakta empiris bahwa jumlah perantara di Kabupaten Lamongan lebih banyak daripada yang ada di Pelabuhanratu. Temuan ini juga menunjukkan bagaimana peran perantara/tengkulak/langgan dalam sistem perikanan lokal, terutama bagi nelayan skala kecil di pantai utara Jawa. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa nelayan di wilayah utara pesisir Jawa lebih sensistif terhadap gangguan di biaya operasional penangkapan dibandingkan di wilayah selatan Jawa (Pelabuhanratu). Kondisi ini mencerminkan peran sentral para pedagang perantara/langgan dalam upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan kecil. Temuan tersebut mengindikasikan para pembuat kebijakan harus mengakui kredit mikro dan asuransi merupakan layanan penting yang diberikan perantara/tengkulak/ langgan untuk nelayan, termasuk fakta bahwa lembaga negara tidak mungkin bisa menyamai level yang dirancang secara individual di mana perantara/tengkulak/langgan dapat menyediakan layanan ini untuk nelayan skala kecil. Reposisi peranan langgan/middleman ke dalam sistem perkreditan masyarakat sangat perlu dilakukan, selama ini peranan langgan/middlemen/ pedagang perantara lebih disorot dari aspek negatifnya. Padahal peranan yang dijalankan langgan/middleman/pedagang perantara sangat vital, terutama pada daerah pesisir utara dengan sumberdaya perikanan demersal dan pelagis kecil. Seperti yang dikemukan oleh Ferrol-Schulte et al., 2015 bahwa hubungan patron client mempunyai banyak dimensi hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Peran sentral perantara/tengkulak/langgan merupakan bentuk hubungan yang bersifat ekonomi dimana kedua belah pihak bisa mengambil keuntungan. Pola hubungan tersebut menggambarkan peran dari para pedagang perantara/langgan bukan hanya sekedar sebagai penyangga namun lebih dari itu yaitu erfungsi se agai “ antal” sosial (social cushion) dimana para nelayan sebagian menggantungkan usahanya (terutama sebagai sumber biaya operasional) dari para langgan/pedagang. Dalam skala mikro hubungan seperti ini merupakan bentuk layanan dimana para nelayan bisa mendapatkan alternatif layanan jasa “kredit” dari para perantara/langgan/tengkulak agar dapat melakukan kegiatan penangkapan. Bentuk layanan seperti yang diperankan oleh langgan/pedagang perantara selama ini belum bisa gantikan oleh lembaga pemerintah yang resmi.

Temuan dilapangan menunjukkan bahwa peranan lembaga yang dibangun oleh masyarakat yang ada di Lamongan berfungsi sebagai lembaga masyarakat non formal yang tergabung dalam “Blandongan”. Blandongan merupakan lembaga masyarakat yang dibentuk oleh para nelayan yang berfungsi untuk mengatur kegiatan usaha penangkapan di lokasi pangkalan pendaratan ikan/PPI. Peranan Blandongan tersebut sangat sentral, terutama yang terkait dengan kepentingan nelayan dilokasi. Implikasinya dari temuan ini adalah bahwa nelayan skala kecil di Lamongan mempunyai keinginan yang lebih kuat dalam mempertahankan sumber matapencaharian dari kegiatan penangkapan. Nelayan skala kecil di Lamongan akan tetap melaut selama tersedia biaya operasional meskipun menghadapi resiko yang besar.

Kondisi yang sama dilaporkan berdasarkan hasil penelitian Crona et al.,

(2010) di Afrika Timur, bahwa pengaturan kredit tersebar luas dan nelayan yang terikat oleh perjanjian timbal balik dan jaminan keuangan selama periode tangkapan pada musim paceklik dan menyediakan dana jangka pendek untuk menstabilkan efek sosial. McCay et al., (2013) bahwa koperasi belum bisa menjalankan peran yang selama ini diperankan oleh tengkulak/langga. Peran perantara/tengkulak/langgan jarang diperhitungkan dalam pengelolaan perikanan, skenario untuk pengembangan perikanan skala kecil dan fungsi perantara yang dibahas karena pengaruh dari dorongan eksternal. Kebijakan yang menggabungkan peran perantara direkomendasikan untuk meningkatkan tata kelola stok ikan dan ekosistem pesisir di Afrika Timur (Crona et al,. 2010). Hasil penelitian di Vietnam menunjukkan bahwa, kredit nelayan yang kurang agunan bisa diterima sektor formal, namun rumah tangga perikanan masih tergantung pada sistem keuangan informal (Ruddle, 2011).

Kegiatan yang dilakukan oleh nelayan skala kecil tergantung dari status kapal (milik sendiri atau sewa), lama memiliki kapal serta jumlah ABK. Status kapal sebagian milik sendiri dan sebagian merupakan sewa, lama kepemilikan kapal dalam tahun, jumlah ABK bervariasi dengan jumlah rata-rata berkisar 2-5 orang. Hasil analisis (Tabel 17), juga menunjukkan bahwa dengan menggunakan

base outcome/ reference dana milik sendiri, maka kecenderungan nelayan yang memiliki kapal dengan status bagi hasil/sewa untuk memilih sumber biaya operasional yang berasal dari pinjaman dari pada sumber biaya operasional milik sendiri sebesar 0,105 kali atau sepersepuluh kali dari pada nelayan yang memiliki kapal dengan status milik sendiri, atau dapat dikatakan bawah kecenderungan status kapal milik sendiri akan mempunyai kecenderungan menggunakan dana pinjaman sebesar 10 kali. Temuan ini menunjukkan bahwa nelayan yang menggunakan kapal bagi hasil/sewa tidak responsif terhadap sumber biaya operasional yang berasal dari pinjaman dibandingakan dengan nelayan yang memiliki kapal sendiri. Hasil tersebut berarti bahwa nelayan yang mempunyai kapal sendiri mempunyai keinginan yang lebih besar untuk melakukan upaya penangkapan dari pada nelayan yang menggunakan kapal bagi hasil/sewa.

Kecenderungan lama kepemilikan kapal terhadap penggunaan biaya operasional dengan menggunakan base outcome/reference dana milik sendiri dapat diterangkan (Tabel 17). Semakin lama nelayan memiliki kapal, maka kecenderungan untuk memilih sumber biaya operasional dari pinjaman dari pada biaya operasional dari milik sendiri sebesar 0,92 kali, atau dapat dikatakan bahwa nelayan yang memiliki kapal lebih lama kecenderungannya untuk menggunakan biaya operasional yang berasal dari campuran pinjaman dan milik sendiri sebesar 1,09 kali. Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa semakin lama nelayan kecil memiliki kapal milik sendiri lebih sensitif dalam menggunakan dana operasional yang berasl dari dana campuran (milik sendiri dan pinjaman). Jumlah ABK merupakan salah satu faktor yang menentukan kecenderungan nelayan skala kecil dalam menggunakan dana operasional. Hasil analisis Tabel 16 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah ABK maka kecenderungan untuk menggunakan dana operasional yang berasal dari campuran (milik sendiri dan pinjaman) hampir 2 kali dari pada hanya menggunakan dana milik sendiri.

Kramer et al, (2001) menyatakan bahwa ukuran kapal, lama melaut dan jumlah ABK mempunyai hubungan yang positif dengan hasil tangkapan. Relevan

dengan temuan tersebut dapat dilihat dari kondisi riel di lapangan. Produktifitas nelayan skala kecil digambarkan oleh produktifitas PMT di Pelabuhanratu) dan produktifitas kapal di desa Weru (yang menggambarkan tingkat produktifitas kapal skala kecil di Lamongan). Produktifitas kapal skala kecil dikedua lokasi terdapat perbedaan, produktifitas kapal skala kecil di Lamongan (Desa Weru) meningkat terutama setelah tahun 2007, sedangkan produktifitas kapal skala kecil di Pelabuhanratu menurun tajam terutama setelah tahun 2008. Kondisi ini merupakan paradog dimana sumber daya pantai utara Jawa yang relatif sudah mengalami over fishing dibanding dari sumber daya diwilayah pantai selatan, namun dari segi produktifitas kapal di wilayah utara masih meningkat setiap tahun, sedangkan produktifitas di wilayah selatan malah semakin menurun. Kemudian dari segi produktifitas nelayan menunjukkan bahwa nelayan skala kecil di pantai utara lebih produktif dari pada nelayan skala kecil di pantai selatan.

Hasil penelitian Barnes-Mauthe et al. (2013) menunjukkan bahwa sektor perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa, menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Ellison et al., (2007), meskipun perikanan skala kecil dapat menyebabkan eksploitasi yang berlebihan, merusak lingkungan dan hanya menghasilkan tingkat keuntungan yang marginal, namun diakui bahwa dalam banyak kasus, perikanan skala kecil mungkin memiliki keunggulan komparatif yang signifikan atas perikanan industri seperti: efisiensi ekonomi yang lebih besar; dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan; kemampuan untuk berbagi manfaat ekonomi dan sosial yang lebih luas. Sedangkan menurut Fauzi dan Anna, (2010), terjadinya trend penurunan hasil tangkapan pelagis dan ketidakstabilan yang tinggi mempengaruhi manajemen perikanan di pantai utara Jawa.

Perikanan skala kecil merupakan sumber utama penghidupan bagi masyarakat yang tinggal wilayah pesisir. Banyak permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat/nelayan skala kecil yang menyebabkan tekanan untuk mempertahankan sumber mata pencaharian (Sudarmo et al., 2015; Fauzi dan Anna, 2010; Kramer et al., 2002; Sievanen, 2014). Seperti di banyak bagian dunia, nelayan skala kecil menghadapi banyak tantangan seperti persaingan dengan wisata pantai dan sektor perikanan lainnya, penurunan stok ikan, variabilitas iklim, dan fluktuasi pasar (Sievanen, 2014). Menurut Fauzi dan Anna, 2010 dan Sudarmo et al., 2015 perikanan skala kecil memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat di pantai utara Jawa. Menurut Zamroni, 2015, pendapatan antar nelayan sangat bervariasi, meskipun nelayan memiliki pekerjaan paruh waktu di luar perikanan pada masa musim paceklik, pendapatan nelayan menurun sekitar 36,43%. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan tidak memberikan kontribusi pada sumber daya perikanan yang berkelanjutan dan menguntungkan nelayan. Fungsi kesejahteraan perikanan skala kecil, yaitu, kapasitas nelayan untuk menyediakan tenaga kerja dan uang tunai untuk penghasilan rumah tangga miskin, harus dipertahankan (Bene et al., 2010)

Hasil penelitian (Barnes-Mauthe et al. 2013) menunjukkan bahwa sektor perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa, menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Allison et al., 2007, meskipun perikanan skala kecil dapat menyebabkan eksploitasi yang berlebihan, merusak lingkungan dan hanya

menghasilkan tingkat keuntungan yang marginal, namun diakui bahwa dalam banyak kasus, perikanan skala kecil mungkin memiliki keunggulan komparatif yang signifikan atas perikanan industri seperti : efisiensi ekonomi yang lebih besar; dampak negatif yang lebih sedikit terhadap lingkungan; kemampuan untuk berbagi manfaat ekonomi dan sosial yang lebih luas. Sedangkan menurut Fauzi dan Anna, 2010, terjadinya tren penurunan hasil tangkapan pelagis dan ketidakstabilan yang tinggi mempengaruhi manajemen perikanan di pantai utara Jawa, diperlukan keseriusan dari para pengambil kebijakan agar perikanan menjadi sektor yang sehat yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir serta menjaga ekosistem yang sehat. Stabilisasi kebijakan untuk mengurangi ketidakstabilan melalui pengendalian biaya input seperti harga BBM, meningkatkan kondisi sosial ekonomi, dan memperkuat kapasitas otoritas perikanan setempat. Mauthe-Barnes et al., 2013 menyatakan pembuat kebijakan nasional dan daerah untuk meview kembali kebijakan perikanan yang mengabaikan perikanan skala kecil, dan memacu untuk mengukur peranan perikanan skala kecil secara global. Kramer et al., 2002 bahwa ukuran kapal, lama melaut dan jumlah ABK mempunyai hubungan yang positif dengan hasil tangkapan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nelayan yang lebih lama memiliki kapal sendiri mempunyai upaya yang lebih besar untuk melakukan upaya penangkapan dengan memanfaatkan biaya operasional baik yang berasal dari milik sendiri maupun dari pinjaman.

Pengaturan kredit tersebar luas dan nelayan yang terikat oleh perjanjian timbal balik dan jaminan keuangan selama periode tangkapan pada musim paceklik dan menyediakan dana jangka pendek untuk menstabilkan efek sosial (Crona et al,. 2010). Peran perantara jarang diperhitungkan dalam pengelolaan perikanan. Skenario untuk pengembangan perikanan skala kecil dan fungsi perantara yang dibahas mengingat pengaruh dari dorongan eksternal. Kebijakan yang menggabungkan perantara direkomendasikan untuk meningkatkan tata kelola stok ikan dan ekosistem pesisir di Afrika Timur (Crona et al,. 2010). Sektor perikanan di Vietnam menunjukkan bahwa, kredit nelayan yang kurang agunan diterima sektor formal, rumah tangga perikanan tergantung pada sistem keuangan informal (Ruddle, 2011). Ruddle (2011), menyimpulkan peran sistem kredit informal dan hubungan patron-klien terkait ditinjau kembali, penelitian tentang sistem keuangan harus luas dan terpadu, dengan fokus pada konteks saling bervariasi dari individu dan lembaga yang ditujukan untuk menghilangkan kesalahpahaman seperti dikotomi antara sistem formal dan informal disistem perikanan skala kecil di Vietnam.

Strategi Usaha dan Daya Tahan Menghadapi Ketidak Pastian Usaha

Dalam melakukan kegiaan penangkapan dilaut nelayan kadang menghadapi berbagai kendala. Faktor yang menghambat nelayan melakukan aktifitas melaut karena faktor/kondisi alam yaitu ombak besar, arus deras, dan cuaca buruk, sedangkan faktor/kondisi ekonomi meliputi harga BBM, dan kesulitan memperoleh BBM), faktor sosial yaitu budaya, sedangkan faktor aturan/rules yaitu adanya larangan melaut yang sudah disepakati bersama oleh nelayan. Keempat faktor tersebut mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Faktor alam (ombak besar, arus deras dan cuaca buruk) merupakan faktor alam yang tidak bisa disiasati oleh para nelayan. Pada musim angin barat para nelayan

biasanya tidak dapat melaut karena ombak besar dan arus deras. Faktor ekonomi terutama dipengaruhi oleh harga BBM yang mahal dan kesulitan memperoleh BBM. Kawasan nelayan desa Weru tidak memiliki SPBN tersendiri sehingga nelayan harus membeli BBM di SPBU. Diperlukan persyaratan rekomendasi dari Dinas KP agar nelayan bisa membeli BBM di SPBU. Pengurusan rekomendasi difasiltasi oleh Rukun Nelayan (organisasi kemasyarakatan nelayan ditinggkat desa). Surat rekomendasi berlaku untuk masa satu bulan dengan jumlah pembelian harian yang dibatasi. Hal ini menjadi kendala karena kadang nelayan kesulitasn mendapatkan BBM pada saat membutuhkan BBM.

Faktor Budaya dan aturan, adalah dua faktor yang biasanya karena ada kesepakatan atau aturan yang dibuat bersama untuk tidak melakukan aktifitas menangkap ikan. Salah satu aturan yang disepakati bersama adalah tidak melaut pada hari Jumat, hal ini terkait dengan aktifitas keagamaan umat Islam, dimana sebagian besar nelayan desa Weru adalah umat muslim. Pandangan nelayan dalam menyikapi adanya kendala dalam melaut digambarkan seperti pada Gambar 20. Sebagian berpendapat bahwa hal itu merupakan beban karena nelayan mempunyai tanggungan dan tidak punya pekerjaan alternative (29%). Bagi nelayan lain adanya hambatan sudah diperhitungkan dan sudah menjadi bagian dari resiko usaha nelayan (46%), artinya nelayan sudah memperhitungkan adanya beberapa kendala atau hambatan dalam mencari nafkah sebagai nelayan, hal ini berarti nelayan harus bisa mengatur pendapatan yang diperoleh pada musim puncak penangkapan, sehingga pada saat paceklik nelayan tidak kesulitan dalam hidupnya. Sedangkan sebagian nelayan mengganggap bahwa hambatan/kendala merupakan hal yang biasa (25%).

Sumber : Analisis data primer (2014)

Gambar 20 Komposisi nelayan dalam menyikapi kendala dalam melaut

Mengahadapi konsidi hambatatan dalam melakukan usaha penangkapan, baik yang disebabkan karena faktor alam, ekonomi, budaya dan aturan, nelayan melakukan berbagai cara (Gambar 21). Seperti sudah lazim diketahui bahwa nelayan mempunyai sifat hidup yang boros, hal ini tergambar bahwa sebanyak 54 % nelayan melakukan pinjaman pada saat paceklik, hal ini menunjukkan bahwa nelayan kurang dapat hidup hemat. Bagi nelayan yang sudah memperhitungkan adanya kemungkinan paceklik dalam melaut, maka nelayan menyisihkan sebagian pendapatannya pada saat musim puncak untuk dapat digunakan pada saat paceklik (32%). Hal ini sejalan pandangan nelayan tentang kemungkinan paceklik, dimana 46% menyatakan bahwa musim paceklik sudah diantisipasi sebagai bagian resiko

46%

25% 29%

Sudah menjadi resiko usaha

Biasa saja

Menjadi beban usaha/hidup

dari usaha. Sebagian kecil nelayan tidak mempunyai sikap atau pasrah dalam mengantisipasi kemungkinan paceklik dimana 13% hanya pasrah dan 1% mengandalkan bantuan keluarga.

Sumber : Analisis data primer, 2014

Gambar 21 Antisipasi nelayan dalam menghadapi kondisi paceklik.

Pada saat kondisi cuaca buruk atau ada perubahan harga bahan bakar, sehingga nelayan kesulitan, ada beberapa hal yang dilakukan oleh nelayan (Gambar 20). Nelayan mempunyai kemampuan memprediksi kemungkinan adanya hambatan sehingga biasanya hal-hal yang dilakukan merupakan kebiasaan yang didasarkan pada pengalaman nelayan. Sebanyak 46% nelayan memodifikasi alat tangkap disesuaikan dengan musim sehingga pada saat tertentu masih tetap bisa melaut. Ada juga nelayan yang mencoba mencari ikan ke lokasi yang lebih jauh (24%). Hal ini tentu saja mempengaruhi jumlah BBM dan perbekalan yang digunakan. Namun demikian nelayan sudah memperhitungkan kemungkinan pendapatan yang lebih baik, sehingga hasilnya dapat menutupi biaya operasional yang dikeluarkan. Sebanyak 21% dari nelayan mencoba mencari ikan dilokasi yang lebih dekat dengan pantai. Hal ini dilakukan agar resiko yang dihadapi lebih kecil dan lebih irit dengan BBM. Hasil yang diperoleh kemungkinan lebih sedikit, namun karena biaya operasional juga lebih sedikit, maka usaha penangkapan di lokasi yang lebih dekat dilakukan sebagai salah satu alternative dalam menghadapi musim yang buruk (Gambar 22).

Sumber : Analisis data primer

Gambar 22 Antisipasi nelayan pada saat musim yang buruk (pengaruh iklim/cuaca)

Antisipasi nelayan pada saat tidak dapat melaut dilakukan karena kondisi cuaca yang buruk sebagian digunakan untuk memperbaiki mesin, perahu dan alat tangkap/jarring (35%). Perbaikan alat tangkap biasanya dilakukan bersama-sama

54% 32% 13% 1% Berhutang Simpanan/tabungan Pasrah Bantuan Keluarga 24% 44% 21% 11%

kelokasi lebih jauh

modifikasi alat tangkap mencari ikan ke pantai

di pangkalan (blandongan/ perkumpulan nelayan tingkat dusun). Sebagian nelayan lainnya (14%) menjadi buruh atau kuli bangunan, dan 4% beralih profesi dengan berdagang, 27% bekerja di sektor non formal lainnya (ojek dll), sedangkan sebanyak 20 % nelayan pada saat tidak dapat melaut, hanya nganggur dirumah karena tidak mempunyai ketrampilan lain (Gambar 23).

Sumber: Data Primer Diolah, 2014

Gambar 23 Aktifitas nelayan pada saat tidak melaut karena cuaca buruk

Kegiatan penangkapan dilaut mempunyai resiko yang besar, resiko disebabkan karena adanya ganggruan cuaca selama melakukan aktifitas penangkapan atau karena kerusakan mesin, kapal atau alat tangkap. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut nelayan telah melakukan antisipasi berupa pembagian resiko dalam usaha penangkapan. Meskipun demikian sebagian besar nelayan masih tetap sebagai penanggung resiko terbesar (Gambar 24). Resiko yang ditanggung oleh pemilik kapal sebesar 62%. Hal ini oleh nelayan disikapi dengan simtem pembagian yang memperhitungkan resiko kerusakan pada kapal/perahu, mesin dan alat tangkap. Kapal/perahu, mesin dan alat tangkap mendapat bagian (2 bagian setelah dikurangi biaya melaut). Sebanyak 18% nelayan mengaku melakukan sistem bagi hasil untk mengurangi resiko yang dihadapi dalam melaut dan 20% menanggung biaya malaut secara bersama. Dengan adanya mekanisme tersebut diharapkan nelayan dapat meminimalkan resiko yang dihadapi dalam melakukan usaha.

Sumber : Analisis data primer, 2014.

Gambar 24 Antisipasi nelayan dalam menghadapi resiko

20% 35% 14% 4% 27% Menganggur Memperbaiki mesin/kapal/alat tnagkap Menjadi buruh/kuli Berdagang Pekerjaan lainnya Ditanggung pemilik kapal Melakukan sistem bagi hasil menanggung biaya melaut bersama

8

NILAI TAMBAH PERIKANAN TANGKAP SKALA