MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP
SKALA KECIL UNTUK MENDUKUNG
PEREKONOMIAN WILAYAH
BUDI WARDONO
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Untuk Mendukung Perekonomian Wilayah. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, ACHMAD FAHRUDIN, dan AGUS HERI PURNOMO
Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam aspek makro maupun mikro. Dalam perspektif sosial ekononomi, masyarakat pesisir sebagian besar tergantung pada sumber daya perikanan laut, dimana mata pencahariannya rentan terhadap guncangan dan perubahan mendadak. Memahami kondisi tersebut, merupakan hal yang penting untuk lebih memperhatikan nelayan skala kecil dan mengembangkan kebijakan direktif yang lebih baik dimasa depan. Pemahaman meliputi bagaimana karakteristik sumber daya perikanan, bagaimana nelayan skala kecil mengatasi ketidakpastian dan biaya operasional yang tinggi, bagaimana nilai tambah, dan bagaimana jaringan sosial di masyarakat pesisir.
analisis-tangkap gillnet, alat analisis-tangkap rampus dan alat analisis-tangkap pancing ulur telah menurun (decreasing return to scale), ketiga alat tangkap tersebut sudah terjadi gejala over capacity. Kondisi ini menyiratkan bahwa output dari alat tangkap gill net, rampus dan pancing ulur memiliki kecenderungan tidak responsif terhadap input. Inefisiensi dalam menggunakan input akan menyebabkan hasil tidak optimal. Hasil analisis kapasitas sumberdaya di Lamongan menunjukan hasil yang berbeda. Analisis di Kabupaten Lamongan menunjukkan bahwa efisiensi skala masih menunjukkan indikator IRS (increasing return to scale) pada perikanan skala kecil di Desa Weru Komplek. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat ekonomis. Hasil analisis indeks Malmquist terjadi fluktuasi faktor produktifitas total yang sangat besar (berkisar antara 30% sampai 250 %). Hal ini disebabkan karena perubahan faktor teknologi yang mengalami perubahan ekstrim dibandingkan dengan perubahan efisiensinya. Analisis dengan indek ketidakstabilan (Coppock Index Instability) dapat diketahui penyebab perubahan faktor produktifitas total dari produksi maupun dari input. Kondisi ini disebabkan karena ternjadi fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Indeks ketidakstabilan produksi sebagian berada di kuadran kanan atas yang menunjukan pertumbuhan yang tinggi namun diikuti oleh ketidakstabilan yang tinggi. Fluktuasi produksi yang menyebabkan ketidakstabilan bukan merupakan fenomena mandiri, kondisi tersebut berkaitan dengan indikator lain, seperti input yang diberikan dalam perikanan. Tingkat ketidakstabilan input BBM menunjukan karakteristik sebagian besar berada pada kondisi tingkat pertumbuhan tinggi dengan ketidakstabilan yang tinggi yang menggambarkan resiko yang tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa beberapa teknologi kapal armada responsif terhadap penggunaan BBM. Hubungan tengkulak/langgan dengan nelayan berdasar hubungan kepentingan sosial dan ekonomi, keberadaan tengkulak/ langgan memainkan peran terutama sebagai "sosial cushion" ekonomi ketika nelayan menghadapi permasalahan biaya, dimana kelembagaan keuangan formal tidak mampu menjalankan perannya. Kecenderungan nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumber dana operasional dipengaruhi oleh lokasi, dimana karakteristik wilayah penangkapan, dan kesenjangan antar daerah berkontribusi terhadap keterikatan antara nelayan dengan tengkulak/langgan. Hasil analisis rantai pasok, rantai nilai dan value added menunjukan bahwa perikanan skala kecil berperanan dalam pembentukan nilai tambah yang sebagian besar dinikmati oleh masyarakat setempat. Sumber daya perikanan pelagis kecil dan demersal lebih dominan diproses menjadi produk jadi/setengah jadi yang menghasilkan nilai tambah. Sebaliknya perikanan yang didominasi oleh sumberdaya pelagis besar nilai tambahnya lebih banyak dinikmati oleh masyarakat luar, sehingga perannya terhadap pembangunan wilayah relatif lebih kecil.
antara nelayan dan tengkulak merupakan fenomena yang kompleks, pengembangan perikanan skala kecil harus menyertakan hubungan antara sektor perikanan, nelayan sebagai pemain dan perantara/langgan/tengkulak yang menjembatani pelaku dalam mata pencaharian masyarakat pesisir agar nelayan skala kecil mampu memainkan peran lebih besar dalam kehidupan ekonomi lokal pesisir.
Kata kunci: perikanan skala kecil, langgan/tengkulak, “social cushion”, value
BUDI WARDONO. Development Model of Small Scale Marine-Capture Fisheries to Support Regional Economy. AKHMAD FAUZI as Chairman, ACHMAD FAHRUDIN and AGUS HERI PURNOMO Members of the Advisory Committee.
The Small Scale marine-capture fisheries have important role in macro and micro economy. By socio economic perspective, most of coastal community depend on fisheries resources and employment are vulnerable to shocks and rapid changes. According to this situation, it is important to consider small fisherman and to develop direct and better policy in future. The understanding covers about characteristic of fisheries resources, problem solving behavior of small fisherman to overcome high operational cost and uncertainty, value added, and social network among community in coastal area.
indicated that output of gill net, rampus and marine hook were not responsive to input. This inefficiency of using usage would cause output not optimum. Lamongan showed different result of resource capacity analysis. The efficiency scale in Lamongan indicated increasing return to scale of Small Scale fisheries in Weru Komplek village. Over capitalization and under capitalization of DMU indicated uneconomical practice. The result of Malmquist Index analysis showed large fluctuation of total factor productivity (ranged from 30 per cent to 250 per cent) because technological factor changed more extremely than its efficiency. Coppock Index Instability analysis revealed causes of TFP change for input and output. The production fluctuated yearly. Most of instability index of production were in the right above quadrant, showing high growth with high instability. The fluctuating production that caused unstable condition was not independent. It related to other indicators, such as input usage of fisheries. Instability of fuel usage showed that most of production characteristic located in high growth and high instability, describing its high risk condition. It illustrated that some technology of marine board motor was responsive to fuel usage. The relationship between middlemen and fishermen was based on reciprocally socio economic interest. Middlemen played as social cushion of economy when fishermen faced capital problem, in the meantime formal financial institution could not play its role as well. Location affected to small fishermen to utilize operational fund, while characteristic of marine-capture area and regional gap contributed on bonding relationship between middlemen and fishermen.
Supply chain, value chain, and value added analysis demonstrated that Small Scale fisheries played a role in formation and benefited from the value added. Fisheries resources such as small pelagic and demersal fish were more dominant in forming value added for intermediate product/final product. Fisheries with big pelagic fish were mostly enjoyed by people out of district/producing area. Therefore, its role on regional development was relatively small. Based on the research result, the recommended model for developing Small Scale fisheries should consider potential condition of fisheries resources, exploitation level, stability level, relationship among fisheries players (fishermen – capital owner/patron-client) and become supporting policy that focus on and direct to small fishermen. Fisherman and resource characteristics determined behavior on utilizing resource, interaction between fishermen and financial resources was stronger in Lamongan, where people had less alternative jobs other than fishermen. The strong relationship between fishermen and middlemen was a complex phenomenon. Therefore, Small Scale marine-capture development should involve all relationship among fisheries sector where fishermen became the main player, middlemen mediated among players who worked and lived in coastal area in order to enhance the role of small fishermen in local economic life of coastal community.
© Hak Cipta Milik IPB Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
PEREKONOMIAN WILAYAH
BUDI WARDONO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS 2. Dr Ir Armen Zulham, MSc
Ujian Promosi Doktor :
Nama : Budi Wardono
NRP : H162100051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc Ketua
Dr Ir Achmad Fahrudin, MS Dr Ir Agus Heri Purnomo, MSc
Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Alhamdulillah, dengan mengucap nama Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa dan Maha Pengampun, berkat izin-nya Disertasi ini akhirnya dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc. (Ketua), Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MS. (Anggota), Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, MSc. (Anggota) yang telah membimbing sejak awal penelitian sampai dengan penulisan Disertasi. Komisi Pembimbing telah banyak memberikan saran dan masukan, serta dukungan dan dorongan selama penelitian dan penulisan Disertasi.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. dan Dr. Ir. Armen Zulham, MSc. yang telah memberikan masukan subtansial, komentar yang bermanfaat, saran dan koreksi sehingga meningkatkan kualitas disertasi ini.
Terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), yang telah menjadi teman diskusi selama penelitian dan penulisan disertasi.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Program Studi, semua Dosen dan Staf Sekretariat PWD atas bantuannya selama menjalani perkuliahan sampai selesainya Disertasi ini.
Ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan untuk orang tua, istri (Sitoresmi Triwibowo) dan anak-anak saya (Afif Naufal Fadholi dan Farah Khalda Nabila) yang selalu memberi dukungan, dorongan dan selalu mengingatkan agar segera menyelesaikan Disertasi ini.
Saya juga mengucapkan rasa terima kasih kepada Institusi Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat mengikuti program Doktor pada Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan
.
Bogor, Agustus 2015
Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Lampiran Riwayat Hidup
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
Ruang Lingkup 8
Kebaharuan/Novelty 9
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
Kebijakan Pengembangan Perikanan Nasional 9
Peranan Perikanan dalam Perekonomian Indonesia 12
Struktur Kapal Perikanan di Indonesia 14
Karakteristik Perikanan Skala Kecil 16
Kapasitas, Overcapacity, Efisiensi 18
Peranan Perikanan Tangkap Skala Kecil 20
Keterkaitan Nelayan dengan Pedagang Perantara/Langgan/ Tengkulak
24
Nilai Tambah Aktifitas Perikanan Tangkap Skala Kecil 25
3 KERANGKA PENELITIAN 28
Kerangka Pemikiran 28
Hipotesis 32
4 METODE PENELITIAN 32
Lokasi dan Waktu Penelitian 32
Pemilihan Lokasi Penelitian 33
Teknik Pengambilan Sampel/Responden 34
Pendekatan dan Model Analisis Data 35
Analisis Efisiensi Kapasitas Sumberdaya dan Perubahan Faktor Produktifitas Total
35
Analisis Indeks Ketidakstabilan (Instability indeks) 38 Analisis Permodalan pada Perikanan Tangkap Skala Kecil 39 Analisis Nilai tambah dan Rantai Nilai Perikanan
Tangkap Skala Kecil
42
Model Pengembangan Perikanan Tangkap Skala Kecil 43
5 GAMBARAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI LAMONGAN
DAN PELABUHANRATU
44
Sektor Basis Pengembangan Perikanan 49
Produktifitas Nelayan dan Armada Penangkapan 51
Sumberdaya Perikanan 56
Efisiensi Kapasitas Sumberdaya 58
Perubahan Faktor Produktifitas Total Perikanan Tangkap 61 Indeks Ketidakstabilan (Instability Indexs) 63
7 PERANAN “BANTAL SOSIAL” (“SOCIAL CUSHION”) PADA MATA
PENCAHARIAN PERIKANAN SKALA KECIL
67
Hubungan Patron Client Nelayan 69
“Social Cushion” Hubungan Nelayan dengan Langgan/Tengkulak 71 Strategi Usaha dan Daya Tahan Menghadapi Ketidakpastian Usaha .. 76
8 NILAI TAMBAH PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL 80
Nilai Tambah Perikanan Tangkap Skala Kecil 80
Sistem Rantai Pasok dan Rantai Nilai 81
9 MODEL PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP
SKALA KECIL
87
10 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL
91
11 SIMPULAN DAN SARAN 94
Kesimpulan 94
Saran 95
DAFTAR PUSTAKA 96
LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
Kabupaten Sukabumi 17 2 Karakteristik perikanan tangkap skala besar dan skala kecil 18 3 Kontribusi perikanan nasional terhadap perekonomian nasional
(PDRB) beberapa negara Aafrika dan kep. Karibia 22 4 Upstream dan downstream aktifitas pada perikanan tangkap
skala kecil 26
5 Lokasi penelitian 34
6 Variabel dan indikator dalam analisis regresi multinomial
logistik 42
7 Komposisi kapal perikanan tangkap di Kabupaten Lamongan
dan Kabupaten Sukabumi 45
8 Perkembangan armada penangkapan di Lamongan dan
Pelabuhanratu tahun 2009-2013 47
9 PDRB berdasarkan lapangan usaha Kabupaten Lamongan dan
Sukabumi 50
10 Nilai LQ sektor perikanan Kabupaten Lamongan dan
Kabupaten Sukabumi 51
11 Skor efisiensi teknis dan efisiensi skala 59
12 Indek malmquist dea pada berbagai alat tangkap kapal motor dan perahu motor tempel (PMT) tahun 2008-2013 di
Pelabuhanratu 60
13 Malmquist index total faktor produktifitas perikanan tangkap pada berbagai jenis alat tangkap kapal motor (KM) dan perahu
motor temperl (PMT) di Pelabuhanratu 62
14 Indeks Malmquist (MI) rata-rata pertahun 62
15 Karakteristik perikanan dan nelayan di Lamongan dan
Pelabuhanratu 69
16 Keuntungan hubungan patron client bagi kedua belah pihak 71 17 Hasil analisis kecenderungan penggunaan sumber modal 72 18 Value added dan margin yang berasal dari pengolahan hasil
perikanan (Rp./kg) bahan baku utama 81
19 Value added analisis komoditas ikan dari nelayan ke pedagang
pengecer di Lamongan 83
20 Value added analisis komoditas ikan dari nelayan ke
pengumpul dan pengecer di Lamongan 84
21 Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul
dan ekspor di Lamongan 85
22 Value added analisis komoditas dari nelayan ke pengumpul dan
ekspor di Pelabuhanratu 87
2 Perbandingan produksi ikan dominan di WPP 712 (laut jawa)
dan WPP 753 (Samudera Hindia selatan pulau Jawa) 16
3 Kerangka pemikiran penelitian 31
4 Peta lokasi penelitian berdasarkan wilayah pengelolaan perikanan indonesia berdasarkan Permen KP no.
45/men/2011 33
5 Alur penentuan lokasi dan responden 35
6 Karakteristik perikanan global berdasarkan ukuran kapal dan
teknologi 44
7 Produksi perikanan tangkap ppn Pelabuhanratu dan
Kabupaten Lamongan tahun 2007-2013) 46
8 Produksi ikan di Pelabuhanratu dan Lamongan tahun
2002-2013 49
9 Produktifitas kapal dan produktifitas nelayan skala kecil di
Kabupaten Lamongan dan di pelabuhanratu (ton/tahun). 52 10 Produktifitas armada pmt (kapal motor tempel) di Kabupaten
Lamongan dan di pelabuhanratu (ton/armada/tahun). 53 11 Perbandingan tingkat produktifitas nelayan di kedua lokasi
penelitian lamongan dan pelabuhanratu (ton/nelayan/tahun) 54 12 Biaya (Rp/per kg Output) produk hasil tangkapan
berdasarkan jenis alat tangkap pada kapal motor (KM) (dihitung berdasarkan penggunaan input dibanding dengan
output hasil tangkapan) 55
13 Biaya (Rp/kg output ) berdasarkan jumlah input yang digunakan pada alat tangkap perahu motor tempel (PMT)
tahun 2008-2013 56
14 Perubahan total faktor produktifitas 2008 – 2013 perikanan
tangkap di Pelabuhanratu 61
15 Tingkat pertumbuhan rata-rata output/produksi dan input (kapal dan BBM) pada usaha perikanan tangkap di
Pelabuhanratu tahun 2002-2013 63
16 Hubungan antara tingkat pertumbuhan output dengan indek
ketidakstabilan perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu 64 17 Tingkat pertumbuhan dan tingkat instabiity index pengunaan
bbm pada perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu 65 18 Hubungan antara tingkat pertumbuhan nelayan dengan indek
ketidakstabilan perikanan tangkap di PPN Pelabuhanratu 66
24 Antisipasi nelayan dalam menghadapi resiko 79 25 Nilai tambah/value added dan margin kegiatan usaha
pengolahan produk perikanan 80
26 Rantai pasok komoditas ikan di Lamongan 82
27 Rantai pasok komoditas ikan di Pelabuhanratu 85
28 Sistem rantai pasok ikan cakalang, tongkol dan pelagis kecil
lainnya di Pelabuhanratu 86
BBM : Bahan Bakar Minyak
BBPSEKP : Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan BPS : Badan Pusat Statistik
BUMN : Badan Usaha Milik Negara CGE : Computable General Equilibrium CGR : Compund Growth Rate
CII : Coppock Instability Index
CPUE : Cath per Unit Effort
CRS : Constans Return to Scale
CRSTE : Constan return to scale technical efficiensy
DEA : Data Envelopment Analysis
DMU : Decission Making Unit DRS : Decreasing Return to Scale
EFFCH : Efficiency Change
FAO : Food Agricultural Organization
GMB : Gerbang Mina Bahari GT : Gross Ton
HNSI : Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia I-O : Input Output
IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IRS : Increasing Return to Scale Kepmen : Keputusan Menteri
KKP : Kementerian Kelautan dan Perikanan
KM : Kapal Motor
MI : Malmquist Index
MLE : Maximum Likelihood Estimator MSY : Maximum Sustainability Yield NPV : Net Present Value
OLS : Ordinary Least Square
PDB : Produk Domestik Bruto
PDRB : Pendapatan Daerah Regional Bruto PMT : Perahu Motor Tempel
PPN : Pelabuhan Perikanan Nusantara PPS : Pelabuhan Perikanan Samodera PUMP : Pengembangan Usaha Mina Pedesaan
RN : Rukun Nelayan
RRR : Relative Risk Ratio
RTS : Return to scale
SDI : Sumber Daya Ikan SE : Skala Efficiency
SPF : Stochastic Production Frontier
TAC : Total Allowance Cath TE : Technical Efficiency
TECHCH : Technical Change
VA : Vallue Added
VRS : Variable Return to Scale
VRSTE : Variable return to scale technical efficiensy
WPP : Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia WTO : World Trade Organization
1 Hasil Analisis DEA 102
2 Analisis Indeks Malmquist 105
3 Hasil Analisis Multinomial Logistik 110
4 Analisis Relatif Risk Ratio (Odd Ratio) 111
5 Statistik Diskriptif 112
Latar Belakang
Sektor perikanan di Indonesia berperanan penting dalam perekonomian nasional, baik dilihat dari segi produksi dan kontribusi terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja dan sumbangan terhadap devisa dari hasil ekspor. Produksi perikanan tangkap menunjukkan kenaikan secara signifikan, dari 5,03 juta ton pada tahun 2010 menjadi 5,8 juta ton pada 2014. Nilai ekspor pada tahun 2009 sebesar 2,48 miliar dolar, tahun 2010 naik menjadi 2,8 miliar dolar dan melonjak sebesar 4,46 miliar dolar pada tahun 2014 (KKP, 2015). Kontribusi PDB perikanan dibandingkan dengan kontribusi PDB lain dalam pertanian menunjukkan peran yang signifikan. Kontribusi perikanan dalam PDB nasional pada tahun 2010 sebesar 2,19% dan pada tahun 2013 naik menjadi 2,23%. Kontribusi PDB perikanan pada perekonomian nasional berkisar 2,23% pada tahun 2013, merupakan share terbesar kedua setelah sub sektor tanaman pangan (5,85%). Perkembangan PDB perikanan dan besarnya kontribusi perikanan dalam PDB nasional tersebut menunjukkan peran sektor perikanan dalam perekonomian Indonesia cukup signifikan dan sebagai sumber mata pencaharian yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil dimana proporsi kapal perikanan skala kecil (kurang dari 5 GT) pada tahun 2004 sebesar 93,30%, tahun 2008 sebesar 92,13% dan tahun 2012 sebesar 90,11% (KKP, 2014). Jumlah nelayan pada tahun 2012 sebanyak 2.278.388 terdiri dari nelayan penuh sebanyak 1.321.903 orang, nelayan paruh waktu sebanyak 638.240 orang dan nelayan sambilan sebanyak 318.245 orang, pada tahun 2014 jumlah nelayan sebanyak 2.186,900 (KKP, 2015). Komposisi tersebut memberikan indikasi bahwa perikanan tangkap skala kecil masih menjadi tulang punggung perekonomian.
Salah satu kebijakan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) lebih fokus dalam mengatasi beragam masalah yang dihadapi oleh nelayan kecil dan tradisional, hal tersebut selaras dengan komitmen KKP untuk tetap selalu memperjuangkan peningkatan taraf hidup nelayan kecil. Perhatian dan fokus terkait kebijakan yang berpihak bagi perikanan tangkap skala kecil, dimana sebagian besar (hampir 90% adalah nelayan tangkap skala kecil) KKP (2014).
Kebijakan pengembangan industrialisasi perikanan diarahkan antara lain untuk meningkatkan produksi dan nilai tambah serta mendorong perluasan penyerapan pasar komoditas perikanan. Selain itu ikut berperan juga dalam percepatan pembangunan ekonomi Indonesia. Kajian industrialisasi perikanan saat ini diarahkan pada komoditas ikan pelagis kecil. Hal ini terkait dengan besarnya potensi dan menyebarnya sumber produksi ikan pelagis kecil, ikan demersal dan udang. Ikan pelagis kecil, demersal dan udang ini mempunyai nilai sangat strategis karena mempunyai multiplier effect yang luas dalam perekonomian. Industri perikanan menyerap banyak tenaga kerja, dan permintaan untuk bahan baku industri cukup signifikan. Pada sisi lain, peningkatkan permintaan produk perikanan Indonesia di pasar lokal maupun pasar ekspor yang semakin meningkat. Banyaknya unit penangkapan skala kecil dan jumlah nelayan yang terlibat dalam usaha penangkapan, memerperlukan kebijakan yang berpihak kepada para pelaku usaha nelayan skala kecil. Dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu jumlah nelayan yang banyak dan kondisi kesejahteraan masih rendah, dan peranan perikanan tangkap skala kecil secara nyata memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dari pada data yang tercatat. Usaha perikanan tangkap skala kecil memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha di sektor lain, karena sering dihadapkan dengan resiko dan ketidakpastian.
Nelayan di pantai utara Jawa (Pantura) sebagian besar nelayan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, dimana kesempatan atau peluang kerja lain terutama di sektor pertanian sangat kecil. Apabila dilokasi tidak dapat menangkap ikan karena berbagai masalah misalnya cuaca yang sedang buruk, nelayan pantai utara biasanya menjadi nelayan andon di lokasi lain yang sedang musim ikan. Sementara itu nelayan di pantai selatan biasanya selain bekerja sebagai nelayan, masih menggantungkan sebagian sumber pendapatannya dari sektor pertanian dan peternakan.
Berdasarkan Permen KP no 45/MEN/2011, pengelolaan perikanan di Indonesia dibagi berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pengelolaan perikanan dibagi menjadi 11 WPP di seluruh Indonesia. Potensi perikanan berdasarkan WPP tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan jenis sumber daya perikanan. Pengelompokan perikanan pelagis kecil dan demersal dengan pelagis besar merupakan dua kelompok dominan sumberdaya di Indonesia. Potensi perikanan pelagis kecil dan demersal 5,098 juta ton (78,2%) dari total 6,52 juta ton potensi perikanan di Indonesia. Sedangkan potensi ikan pelagis besar sebesar 1,145 juta ton (17,57%). Sumber daya di pantai utara Jawa yang meliputi kawasan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 712) didominasi oleh jenis ikan pelagis kecil (41%) demersal (30%). Sedangkan produksi perikanan selatan Jawa sebagian besar adalah pelagis besar (50%), pelagis kecil (32%). Berdasarkan jenis armadanya WPP 712 (Laut Jawa) dan WPP 573 (Samodera Indonesia Selatan Jawa) didominasi oleh kapal-kapal < dari 5 GT. Armada didominasi oleh perahu motor tempel (PMT) sebanyak 90,50% di WPP 573 (Samodera Hindia) dan 85,87% (WPP 712).
oleh kapal-kapal skala kecil dengan produksi sebagian besar adalah ikan pelagis kecil dan demersal. Sentra industri pengolahan berskala besar dan kecil telah banyak berkembang. Karakteristik perikanan tangkap skala kecil di Lamongan dicirikan: sebagian besar dengan armada kecil kurang dari 5 GT, alat tangkap utama Payang dan Gill net. Kedua alat tangkap tersebut mempunyai perbedaan dimana sering menimbulkan konflik antar kelompok nelayan. Alat tangkap Payang biasanya bisa menangkap hasil yang jauh lebih banyak karena semua jenis ikan dapat tertangkap, alat tangkap ini sering disebut mini trawl. Sedangkan alat tangakp gill net lebih ramah lingkungan dengan target tangkapan jenis ikan dengan ukuran tertentu.
Kelembagaan yang berkembang di Lamongan adalah kelembagaan yang tumbuh dari bawah yang dinamakan Blandongan. Kelembagaan ini beranggota 60-80 orang setiap Blandongan. Tiap desa bisa ada 6-9 Blandongan. Pada tingkat desa Blandongan tersebut membuat asosiasi yang dinamakan Rukun Nelayan (RN), dan kumpulan RN-RN membentuk kelembagaan ditingkat Kabupaten yaitu HNSI. Kelembagaan tersebut mampu memenuhi kepentingan anggota-anggotanya, kelembagaan ini terus eksis dan manjadi bagian penting dalam pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Lamongan. Sebagian besar sifat usahanya adalah tradisional, dimana peran “agen” masih cukup dominan, meskipun dalam beberapa tahun belakangan dengan semakin bertambah luasnya pengetahuan dan kesadaran, peran “agen” semakin mengecil.
Perikanan di Kabupaten Sukabumi yang berpusat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu, armada perikanan tangkap lebih bervariasi, sebagian merupakan perikanan skala kecil dan sebagian lagi adalah perikanan skala besar/industri. Produksi ikan didominasi oleh produksi ikan pelagis besar terutama Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TTC). Sebagian besar produk tersebut langsung dipasarkan dalam bentuk segar ke sentra industri di Jakarta sebagai bahan baku ekspor atau industri pengolahan. Hal ini berdampak kepada kecilnya
share perikanan terhadap PDRB di Kabupaten Sukabumi. Beberapa industri yang berkembang terutama prosesing dan industri pengolahan skala kecil (pindang dan pengeringan). Kelembagaan yang berkembang adalah kelembagaan yang biasanya mengikuti program pemerintah.
based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) yang tinggi di sektor perikanan sebagaimana dicerminkan dari potensi sumber daya yang ada. Salah satu permasalahan dalam bidang perikanan adalah skala usaha, dimana sebagian besar adalah skala usaha kecil. Peningkatan efisiensi dilakukan melalui upaya untuk meningkatkan
economic of scale sehingga meningkatkan keuntungan dan dapat mendorong peningkatan investasi baru pada akhirnya mampu mendorong pertumbuhan lebih cepat (Rustiadi, 2009)
Berdasarkan kondisi tersebut maka penelitian ini perlu dilakukan, hasil penelitian ini diharapkam mampu memberikan masukan untuk perumusan rekomendasi kebijakan terkait dengan model pengembangan perikanan tangkap skala kecil untuk mendukung pembangunan perekonomian wilayah. Model yang direkomendasikan merupakan sintesa berdasarkan evaluasi dari kondisi saat ini (existing condition) dan hasil analisis yang menghasilkan model yang komprehenshif menjadi “templete” pengembangan perikanan tangkap skala kecil.
Perumusan Masalah
Salah satu tujuan pem angunan kelautan dan perikanan dalam kerangka pem angunan jangka menengah adalah terwujudnya kesejahteraan angsa Indonesia melalui peningkatkan pendapatan nelayan, pem udidaya ikan, serta pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya. Undang-Undang No.45 Tahun 2009 telah mengamanatkan bahwa tujuan pengelolaan perikanan adalah untuk (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya-ikan kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan bahan untuk industri pengolahan ikan, (8) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan dan, (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang. Perikanan tangkap skala kecil menurut UU No.45/2009 adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (GT).
kecil (kurang dari 5 GT), data statistik menunjukkan bahwa kapal tangkap yang berukuran kurang dari 30 GT hampir 90,11% (KKP, 2013).
Salah satu isu pembangunan perikanan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia adalah bagaimana menyeimbangkan antara tujuan ekonomi dengan keberlangsungan sumber daya perikanan, di mana dalam beberapa dekade belakangan ini pengelolaan sumber daya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumber daya perikanan secara besar-besaran tanpa memperhatikan aspek kelestarian (Fauzi, 2010). Di sisi lain kondisi sumber daya perikanan di Indonesia khususnya di wilayah pantai cenderung mulai berkurang, sehingga hasil tangkapan beberapa jenis ikan terus mengalami penurunan.
Menurut Dahuri (2012), salah satu permasalaahan yang dihadapi oleh nelayan skala kecil yang menyebabkan kemiskinan adalah banyak nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI (sumber daya ikan) nya mengalami overfishing (tangkap lebih). Secara nasional, total potensi produksi lestari (MSY, Maximum Sustainable Yield) SDI di seluruh wilayah laut Indonesia, termasuk ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), sebesar 6,52 juta ton/tahun (KKP, 2011). Pada 2011 total produksi ikan hasil tangkapan dari laut mencapai 5,34 juta ton (KKP, 2012) atau sekitar 81% dari total MSY. Agar stok SDI tetap lestari dan usaha perikanan tangkap bisa berkelanjutan, maka laju (tingkat) penangkapan SDI maksimal sebesar 80% MSY (FAO, 1995). Artinya, status pemanfaatan SDI laut Indonesia saat ini hampir mendekati jenuh (fully exploited).
Indikator kondisi overfishing dari suatu stok SDI adalah: (1) total volume ikan hasil tangkapan (produksi) lebih besar dari MSY SDI tersebut; (2) hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap (Catch per unit of effort/CPUEt) cenderung menurun; (3) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil; dan (4) fishing ground (daerah penangkapan ikan) semakin menjauh dari daratan, atau semakin dalam ke dasar laut seperti yang sedang terjadi pada stok ikan lemuru di Selat Bali dalam dua tahun terakhir. Oleh sebab itu, overfishing jelas mengakibatkan volume ikan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan semakin menurun. Apabila, kegiatan penangkapan ikan dengan laju yang lebih besar dari pada MSY dibiarkan terus, maka pendapatan nelayan yang bakal kian menurun.
Secara spesifik permasalahan mendasar yang berkaitan dengan keberlanjutan perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang komprehensif dari seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas penangkapan, tingkat pendapatan, ketersediaan sumber daya ikan dan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Di sisi lain untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya, nelayan kecil sebagai pelaku perikanan tangkap masih memiliki berbagai permasalahan klasik, yaitu terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan nelayan, terbatasnya armada dan alat tangkap, kurangnya modal usaha, manajemen usaha bersifat tradisional dan dengan teknologi terbatas, terbatasnya akses informasi dan pasar, terbatasnya prasarana, sarana dan institusi pendukung.
nelayan semakin menurun, konflik pemanfaatan SDI yang semakin meningkat yang berakibat pada peningkatan intensitas konflik sosial antar nelayan. Konflik pemanfaatan SDI yang terjadi saat ini juga diakibatkan oleh kurang jelasnya aturan dan belum efektifnya penegakan hukum.
Permasalahan dari segi sumber daya perikanan adalah besarnya tekanan terhadap sumber daya perikanan yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya perikanan (Fauzi, 2010). Menurut data FOA tahun 2007 (dalam Fauzi, 2010) sekitar 28% dari stok ikan dunia sudah berada dalam kondisi over exploited maupun depleted (terkuras) dan 52% dalam kondisi fully exploited. Sedangkan data Komis Pengkajian Stock Ikan Nasional (Kajiskan) kondisi serupa juga terjadi pada perikanan Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena dua hal utama yaitu overfishing dan ekses kapasitas (over capacity).
Banyak permasalahan kompleks yang dihadapi masyarakat/nelayan skala kecil yang menyebabkan tekanan untuk mempertahankan sumber mata pencaharian (Sudarmo et al., 2015; Fauzi dan Anna, 2010; Kramer et al., 2002; Sievanen, 2014). Seperti di banyak bagian dunia, nelayan skala kecil menghadapi banyak tantangan seperti persaingan dengan wisata pantai dan sektor perikanan lainnya, penurunan stok ikan, variabilitas iklim, dan fluktuasi pasar (Sievanen, 2014). Kondisi terakhir, stock sumber daya dan matapencaharian dari kegiatan penangkapan perikanan banyak mengalami penurunan, dan penurunan ini diperparah oleh ketidakpastian terkait dengan peningkatan variabilitas dan perubahan iklim (Sievanen, 2014; Fauzi dan Anna, 2010).
Menurut Scot (1979) dalam Fauzi (2010) ada empat alasan utama perlunya pengaturan (regulasi) dalam perikanan yaitu: Pertama regulasi diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan perikanan, perikanan yang tidak diatur (open-access) cenderung menimbulkan inefisiensi karena terlalu banyak input yang digunakan dari yang seharusnya. Kedua regulasi perikanan diperlukan untuk meningkatkan kualitas serta bobot dan ukuran ikan yang ditangkap, pada perikanan yang tidak diatur selalu menyebabkan munculnya eksternalitas. Ketiga laut mempunyai sifat multiple use (multi guna), pengaturan diperlukan agar konflik pemanfaatan ruang tidak terjadi. Keempat regulasi diperlukan untuk mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal serta untuk mendorong alokasi sumber daya yang efisien.
Perkiraan kontribusi perikanan skala kecil secara ekonomi “undervalued”,
nilai perikanan skala kecil di Sabah, Malaysia terhitung mungkin tiga kali lipat dari kontribusi perikanan terhadap PDB (Teh et al, 2011). Kajian dengan hasil sama dilakukan oleh Zeller et al. (2007) yang dilakukan di negera-negara Samoa dan Guam, yang menyatakan bahwa hasil tangkapan sebenarnya lebih dari 2,5 kali data (statistik) resmi, hal ini menunjukkan bahwa kontribusi sebenarnya dari perikanan tangkap skala kecil jauh lebih besar dari yang tercatat secara resmi. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, kebijakan industrialisasi perikanan bertujuan untuk mendorong kontribusi Sektor Kelautan dan Perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
perikanan skala kecil mempekerjakan 87% dari populasi orang dewasa, menghasilkan rata-rata 82% dari seluruh pendapatan rumah tangga.
Produksi perikanan sebagian besar digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan telah diolah menjadi produk olahan. Sedangkan penyediaan ikan untuk konsumsi meningkat rata-rata pertahun 7,78% dari 23,95 kg/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008 pada tahun 2012 telah naik menjadi 33,89 kg/kapita/tahun (KKP, 2013). Diharapkan penyediaan ikan untuk konsumsi dapat sejajar dengan negara asia lainnya, seperti Jepang sebesar 110 kg/kapita/tahun, Korea Selatan sebesar 85 kg/kapita/tahun dan Thailand sebesar 35 kg/kapita/tahun.
Adanya sumber daya perikanan yang cukup melimpah, namun disisi lain peranan perikanan tangkap skala kecil yang merupakan sebagian besar pelaku usaha penangkapan dikabupaten Lamongan perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Perhatian yang lebih besar dari pemerintah diharapkan mampu meningkatkan peran usaha perikanan tangkap skala kecil terhadap perekonomian.
Usaha nelayan untuk melakukan penangkapan masih sering terkendala dengan ketersediaan sumber dana operasional. Kebutuhan dana operasional nelayan kecil diperlukan setiap hari. Namun kebutuhan dana tersebut sering tidak dapat dipenuhi dengan dana pribadi nelayan. Diperlukan ketersediaan sumber dana yang dapat diperoleh dengan cepat dan tidak memerlukan mekanisme yang rumit. Langgan/pedagang perantara merupakan salah satu sumber pendanaan alternatif bagi nelayan. Interaksi nelayan-pedagang perantara/langgan merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir semua komunitas nelayan kecil, interaksi tersebut memunculkan jargon patron-client antara juragan dengan nelayan. Hu ungan “patron-client” telah lama erperan dalam pemanfaatan sum erdaya
laut di Asia Tenggara (Merlijn 1989; Pelras 2000). Sifat dari hubungan tersebut menggambarkan hubungan vertikal, dimana patron sebagai “superior” dan client/nelayan se agai “inferior” (Lande, 1977).
Hubungan interaksi patron-client didasari oleh alasan ekonomi dan kepentingan kedua belah pihak yang seharusnya saling menguntungkan. Dalam prakteknya sering terjadi hubungan ekploitatif antara kedua belah pihak, dimana pihak patron sering menggunakan kekuasaan sebagai sumber penyedia modal kepada nelayan yang posisinya lebih lemah. Sementara peran lembaga keuangan formal belum bisa memenuhi kebutuhan nelayan, sehingga nelayan lebih sering menggunakan sumberdana operasional dari langgan/pedagang perantara. Fakta yang muncul tidak ada pihak yang ingin menyelesaikan hutang-piutang yang berjalan, selama kepercayaan di antara tengkulak/langgan dengan nelayan tersebut masih ada, tidak ada alasan untuk khawatir tentang transaksi keuangan (penyelesaian hubungan hutang piutang).
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa secara umum permasalahan yang dihadapi perikanan skala kecil cukup komplek. Namun demikian untuk mempertajam fokus penelitian ini, rumusan masalah akan difokuskan pada beberapa aspek:
1) Berdasarkan komponen input yang digunakan serta karakteristik lokasi nelayan skala kecil, bagaimana tingkat efisiensi dan faktor produktifitas total di kedua lokasi perikanan skala kecil tersebut.
3) Sumber daya finansial merupakan salah satu komponen penting yang bisa menjadi sumber ketidakpastian usaha, bagaimana nelayan skala kecil melakukan strategi permodalan dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya.
4) Perikanan skala kecil berperan penting dalam perekonomian lokal, bagaimana nilai tambah/value added memberikan kontribusi dalam perekonomian lokal.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini untuk mengembangkan model pada perikanan tangkap skala kecil untuk mendukung pembanguan ekonomi wilayah. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:
1. Melakukan analisis efisiensi alokasi sumber daya dan perubahan faktor produktifitas total pada perikanan tangkap;
2. Melakukan analisis indeks ketidakstabilan perikanan tangkap
3. Melakukan analisis untuk mengetahui kecenderungan nelayan skala kecil dalam memenuhi modal untuk biaya operasional;
4. Melakukan analisis efisiensi dan value added perikanan tangkap skala kecil
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemecahan masalah terutama dalam memberikan sumbangan dalam mengembangkan model pada perikanan tangkap skala kecil untuk mendukung perekonomian wilayah. Manfaat penelitian ini antara lain:
a. Menambah referensi terutama terkait dengan karakteristik, peran dan fungsi kelembagaan pada perikanan tangkap skala kecil
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pemerintah sebagai bahan penyusunan kebijakan terkait dengan pengembangan perikanan tangkap skala kecil dalam pembangunan ekonomi wilayah.
c. Sebagai salah satu acuan pada kajian atau penelitian selanjutnya mengenai model pengembangan perikanan tangkap skala kecil
Ruang Lingkup Penelitian
biaya operasional. Sedangkan analisis nilai tambah untuk mengetahui nilai tambah aktifitas perikanan. Sistesis dari hasil analisis tersebut akan menghasilkan model yang akan direkomendasikan sebagai saran kebijakan.
Kebaruan/Novelty
Studi terkait peran perikanan skala kecil baik dalam skala mikro maupun makro sudah relatif banyak dilakukan. Namun demikian fokus kajian kuantitatif dengan menekankan pada aspek efisiensi pemanfaatan faktor produksi, kecenderungan perilaku nelayan dalam memperoleh sumber pendanaan dan strategi yang dilakukan dalam menghadapi ketidakpastian dalam menghadapi kendala pasar belum pernah dilakukan. Penelitian yang mencakup aspek komprehenship usaha nelayan skala kecil belum pernah dilakukan di Indonesia. Selain itu kebaruan penelitian juga terletak pada deferensiasi lokasi yang diduga berperan penting dalam pola hubungan patron-client yang dilakukan oleh nelayan skala kecil. Penelitian sejenis belum pernah dilakukan dan studi ini merupakan studi yang pertama mengkaji aspek tersebut.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Pengembangan Perikanan Nasional
Pembangunan perikanan telah banyak memberikan manfaat bagi perekonomian secara mikro maupun secara makro. Peranan dalam pembangunan ekonomi makro, sektor perikanan tumbuh diatas rata-rata sektor/subsektor pertanian lainnya. PDRB Perikannan tumbuh diatas 7%. Sumbangan sektor perikanan terhadap PDB tahun 2014 sebesar 2,34%, naik dari 2,21 tahun 2013 dan 2,14 tahun 2012 (KKP, 2015). Kenaikan peranan dalam perekonomian makro tersebut tidak terlepas dari kebijakan pembanguan sektor perikanan sejak berada dibawah Depertemen Pertanian maupun setelah menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berdiri sejak tahun 1999. Namun demikian pengembangan sektor kelautan dan perikanan perlu dipacu dengan berbagai kebijakan sehingga potensi perikanan dan kelautan dapat memberikan kontribusi yang lebih tinggi. Saat ini Indonesia masih kalah bersaing dibandingkan beberapa negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam (Dahuri 2002). Sejak awal kemerdekaan pemerintah teleh memperhatikan sektor perikanan dengan berbagai kebijakan.
Perkembangan perikanan di Indonesia tidak terlapas dengan adanya kebijakan dan perundangan sebagai dasar pengelolaan perikanan di Indonesia. UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. Terbitnya UU tersebut memperkokoh konsep wawasan nusantara, sedangkan bagi sektor perikanan UU dan Keppres tersebut merupakan perangkat kebijakan yang menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia.
tahun 1965. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang.
Pada era orde baru kebijakan pembangunan perikanan dilakukan dengan berbagai instrumen. Kebijakan tersebut menghasilkan pertumbuhan produksi perikanan yang tumbuh pesat. Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Peningkatan produksi pada era orde baru karena adanya kebijakan motorisasi perikanan tujuannya adalah untuk mendorong modernisasi perikanan tangkap. Motorisasi perikanan merupakan faktor pendorong peningkatan produksi pada perikanan di Indonesia. Peran sektor perikanan dalam perekonomian nasional tidak dapat dipisahkan dari pasang surutnya peran perusahaan perikanan nasional. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1,4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% erupa kapal motor (“in oard motor”), dan agian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Pada era orde baru peningkatan produksi yang cukup pesat akan tetapi juga munculnya konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil.Munculnya dualisme struktur perikanan. ditunjukkan oleh Bailey pada kasus penting yaitu introduksi trawl dan purse seine. Nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.
Kebijakan motorisasi antara tahun 70-an sampai 80-an, dikenal sebagai ke ijakan pengem angan “armada semut”. Ke ijakan ini dilaksanakan terkait dengan pelaksanaan Keppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusan trawl di Indonesia. Terdapat dua strategi penting dari kebijakan pelarangan trawl tersebut, yaitu: untuk meredam konflik sosial akibat pasca pelarangan trawl beroperasi pada perairan Indonesia dan mendorong peningkatan produksi perikanan tangkap melalui modernisasi perahu tanpa motor menjadi perahu motor tempel dan armada kapal motor.
ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001.
Pada periode Kementerian Kelautan dan Perikanan terdapat beberapa kebijakan, yaitu : Protekan (2003), Program Gerbang Mina Bahari (2003), Program Minapolitan (2010) dan Program industrialisasi perikanan (awal 2012). Kebijakan program ekspor perikanan (Protekan), kebijakan ini dilaksanakan pada tahun 2003. Sasaran dari protekan adalah untuk mendorong ekspor perikanan Indonesia. Saat ini, eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI. Kepmen KP no 45 tahun 2011 yang mengatur wilayah pengelolaan perikanan RI (WPPRI) telah menetapkan potensi berdasarkan WPP yang dibagi menjadi 11 WPP. Status perikanan Indonesi menurut SK tersebut sebesar 6.520 juta ton. Sedangkan produksi pada tahun 2014 telah mencapai 5.8 juta ton.
Program Gerbang Mina Bahari (GMB) tidak secara langsung mengakselerasi industrialisasi perikanan, tetapi lebih diarahkan untuk mengatasi krisis ekonomi, mensejahterakan masyarakat khususnya nelayan, penyerapan tenaga kerja, meningkatkan produksi perikanan termasuk konsumsi ikan. Pelaksanaan Program GMB ini dapat dikatakan kurang mencapai sasaran karena tidak didukung oleh kementerian lain, terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur dan kebijakan makro ekonomi nasional. Program GMB menetapkan target produksi perikanan sekitar 8,1 juta ton pada tahun 2005 dan 9,5 juta ton pada tahun 2006.
Berdasarkan issue dan permasalahan perdesaan yang terjadi di Indonesia, pengembangan Kawasan Minapolitan merupakan alternatif solusi untuk pembangunansektor kelautan dan perikanan berbasis wilayah. Konsep pembangunan tersebut sejalan dengan Arah Umum Pembangunan Nasional dan Arah Kebijakan Pembangunan Kewilayahan dan Pengembangan Kawasan sebagaimana tertuang di dalam Buku I RPJM Tahun 2010-2014. Sejalan dengan arah kebijakan nasional tersebut, pembangunan sektorkelautan dan perikanan perlu dilakukan dengan pengembangan kawasan-kawasan ekonomi unggulan menjadi lebih produktif dengan konsep Kawasan Minapolitan (KKP, 2010). Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12/MEN/2010, tentang lokasi program minapolitan. Melalui program Minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan telah merangkul dukungan kementerian lain untuk terlibat dalam program minapolitan. Pembangunan sarana dan prasarana untuk mendukung pengembangan minapolitan telah dilakukan oleh Kementerian lainnya seperti PU, Kesehatan, Perumahan rakyat. Keterlibatan kementerian lain dalam program minapolitan mempermudah Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk fokus terhadap target-target yang telah ditetapkan, sehingga kinerja pembangunan kelautan dan perikanan meningkat.
produk olahan agar diperoleh nilai tambah. Kebijakan industrialisasi yang dilaksanakan saat ini merupakan proses perubahan sistem produksi untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumber daya kelautan dan perikanan. Upaya pemerintah untuk mensukseskan program industrialisasi adalah penetapan lokasi-lokasi percontohan yang berada di kawasan pelabuhan perikanan. Lokasi percontohan adalah pada PPS Nizam Zachman, PPS Bungus, PPS Bitung, PPN Ambon dan PPN Pelabuhanratu. Komoditas utama khusus untuk perikanan tangkap laut adalah komoditas tuna, tongkol dan cakalang.
Menurut Sutisna (2006) model pengembangan perikanan berdasarkan pendekatan optimasi di perairan Selatan Jawa Barat dapat dirumuskan suatu model umum untuk pengembangan perikanan tangkap yang terdiri dari 7 komponen utama, yaitu:sumber daya ikan, armada penangkapan ikan, nelayan, sarana penunjang produksi, pelabuhan perikanan, unit pemasaran hasil tangkapan, dan unit pengolahan ikan. Dalam perikanan terdapat beberapa peubah endogen maupun eksogen yang membedakan model ekonomi, yakni: (1) kepemilikan asset, (2) daerah produksi (penangkapan ikan) yang berbeda, (3) sistem bagi hasil dalam pengaturan upah, dan (4) peubah kebijakan. Sehubungan dengan hal tersebut, kemampuan nelayan untuk memaksimumkan hasil tangkapan ikan ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain: (1) modal kerja atau investasi (perahu/motor dan jenis alat tangkap), (2) potensi sumber daya perairan atau daerah operasi penangkapan ikan di laut, (3) hari kerja efektif melaut, (4) kemudahan untuk memasarkan hasil tangkapan dengan harga yang wajar, dan (5) biaya operasi/produksi penangkapan ikan (Smith, 1987). Modernisasi dalam kepemilikan asset perikanan seringkali menyebabkan juga berbagai permasalahan, antara lain : ketimpangan antar nelayan (buruh dengan pemilik kapal) karena kesempatan untuk memperoleh bantuan teknologi dan modal seringkali bias pada segelintir nelayan (Kusnadi, 2002). Oleh karena itu pembangunan perikanan yang diharapkan sebagai sumber pertumbuhan baru, lebih diarahkan pada penyediaan sarana dan prasarana produksi antara lain modernisasi jenis alat tangkap dan motorisasi armada penangkapan ikan.
Peranan Perikanan dalam Perekonomian Indonesia
Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar produk perikanan dimana perikanan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian Indonesia. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2009 sebesar 5,108 juta ton sedangkan pada tahun 2014 naik menjadi 5,8 juta ton, atau tumbuh 3,75% (KKP, 2014). Upaya meningatkan peranan saektor perikanan sangat terasa setelah dibentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Sejak saat itu peranan industri perikanan dalam struktur ekonomi melalui sumbangan industri perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) semakin meningkat. Pada tahun 2014 peranan sektor perikanan terhadap PDB nasional sebesar 2,34 %, jauh meningkat dari tahun 1990 yang hanya sebesar sekitar 1%.
negara tersebut, sektor perikanan mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar. Sebagai contoh Islandia dan Norwegia, kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 60% dan 25%. Keadaan tersebut jauh berbeda dengan kontribusi sektor perikanan Indonesia terhadap PDB nasional yang hanya mencapai 2,34% pada tahun 2014. Sebagai negara kepulauan dengan potensi perikanan yang besar, seharusnya sektor perikanan menjadi andalan dalam pembangunan Indonesia. Selain itu sektor perikanan juga berpotensi untuk dijadikan penggerak utama (prime mover) ekonomi Indoneisa. Namun secara empiris pembangunan sektor perikanan selama ini kurang mendapatkan perhatian sehingga kontribusi dan pemanfaatnnya dalam perekonomian Indonesia masih kecil.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya perikanan dan menjadikan sektor ini sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional, diperlukan upaya percepatan dan terobosan dalam pembangunan kelautan dan perikanan yang didukung dengan kebijakan politik dan ekonomi serta iklim sosial yang kondusif. Dalam kaitan ini, koordinasi dan dukungan lintas sektor serta
stakeholders lainnya menjadi salah satu prasyarat yang sangat penting (KKP, 2010).
upaya mencapai pemanfaatan perikana secara optimal dan berkelanjutan dalam pengelolaan perikanan yang menjamin kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan di seluruh Indonesia, Menteri Kelautan dan Perikanan keluarkan Peraturan Menteri nomor PER.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Peraturan ini sebagai penyempurnaan dan mengganti Keputusan Menteri Pertanian No.996/Kpts/IK.210/9/ 1999 tentang Potensi Sumber Daya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan. Kemudian dilakukan menyempurnakan manajemen pemanfaatan perairan itulah maka dilakukan penentuan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) di seluruh Indonesia dari 9 WPP menjadi 11 WPP. Upaya ini adalah merupakan langkah maju dalam menerapkan ketentuan internasional Code of Conduct for Responsible Fisheries, atau Tatanan Pengelolaan Perikanan yang Bertanggungjawab atau Berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui sumber daya perikanan adalah termasuk sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources). Setiap WPP pada prinsipnya memiliki karakteristik yang berbeda, dimana WPP di bagian timur umumnya memiliki potensi sumber daya ikan pelagis besar sehingga armada yang beroperasi relatif lebih besar dibandingkan di WPP bagian barat yang sebagian besar potensi sumber daya ikannya adalah jenis ikan pelagis kecil. Namun demikian, dilihat dari tingkat kepadatan nelayan, WPP bagian barat relatif lebih padat dibandingkan bagian timur sehingga di WPP banyak terjadi kegiatan illegal fishing karena besarnya potensi sumber daya ikan yang dimiliki di wilayah tersebut. Oleh karena itu, WPP bagian timur banyak disebut sebagai golden fishing ground, seperti Laut Arafura, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik.
Struktur Kapal Perikanan di Indonesia
Sumber : Statistik Perikanan Tangkap Indonesia tahun 2015 (diolah) Gambar 1 Struktur kapal perikanan Inodnesia tahun 2004-2014.
Kinerja sektor kelautan dan perikanan selama semester I tahun 2013, nilai ekspor perikanan mencapai USD1,97 juta dengan volume 621,7 ribu ton, terjadi kenaikan produksi ikan 4,2 persen dan untuk volume perdagangan naik 5,3 persen. Komoditi udang masih menjadi primadona ekspor dengan menyumbang 36,7 persen atau USD723,6 juta. Sedangkan negara tujuan ekspor masih tertuju pada negara AS, Jepang, Uni Eropa dan China. Nilai perdagangan produk perikanan surplus USD 1,78 miliar atau naik 3,5 persen dari tahun sebelumnya (KKP, 2013).
Untuk mendukung target tersebut, KKP telah menyiapkan berbagai program yang secara langsung mendukung pencapaian target. Diantaranya program peningkatan daya saing perikanan melalui produktivitas, efesiensi, kualitas produk dan nilai tambah. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan arah kebijakan dan strategi pembangunan kelautan dan perikanan melalui industrialisasi perikanan. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk serta meningkatkan daya saing berbasis pengetahuan (KKP, 2012). Kebijakan industrialisasi perikanan menjadi fokus perhatian KKP, dan merupakan kebijakan strategis untuk menggerakkan seluruh potensi perikanan, sebagai industri hilir. Kebijakan industrialisasi perikanan dilakukan melalui pengembangan komoditi unggulan untuk meningkatkan nilai tambah produk secara menyeluruh, mulai dari hulu sampai hilir, sehingga diharapkan akan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
ton/tahun, sedangkan potensi WPP 573 (Samudera Hindia, selatan Jawa) 491.700 ton/tahun. Ilustrasi produksi ikan dominan tahun 2012 di WPP 712 (Laut Jawa) dan WPP 573 (Samudera Hindia Selatan Laut Jawa) . seperti pada Gambar 2.
Sumber : KKP, 2013
Gambar 2 Perbandingan produksi ikan dominan di WPP 712 (Laut Jawa) dan WPP 753 (Samudera Hindia Selatan Pulau Jawa). Sumber: KKP, 2013)
Karakteristik Perikanan Skala Kecil
Karakteristik sumber daya perikanan bersifat open access, sehingga menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal, dengan demikian elemen resiko menjadi sangat tinggi (Satria, 2009). Menurut Polnak (1988) ciri-ciri perikanan skala kecil beroperasi di daerah yang tumpang tindih dengan kegiatan budidaya dan bersifat padat karya. Perikanan skala kecil juga dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), biasanya untuk pemenuhan sendiri (subsisten) yang sering disebut sebagai peasant fisher, yaitu karena alokasi hasil tangkapan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dari pada yang diinvestasikan kembali untuk pengembangan usaha (Satria, 2009).
Jumlah yang besar dari usaha-usaha kecil tersebut membawa ke isu-isu aksi kolektif, kekuasaan, dan resolusi konflik. Perikanan tangkap skala kecil sering didasarkan pada komunitas kecil di pesisir yang tergantung pada sumber daya lokal yang dapat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan ekonomi disekelilingnya baik negatif maupun positif. Jenis kapal perikanan yang beroperasi di wialayah kabupten Lamongan dan Sukabumi mempunyai komposisi jenis kapal, ukuran, dan alat tangkap yang spesifik (Tabel 1).
Tabel 1 Jenis-jenis kapal/perahu nelayan Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Sukabumi
Lamongan Sukabumi
No Jenis
Kapal/Perahu
Alat Tangkap No Jenis Kapal Alat Tangkap
1 Kapal Ijon-Ijon
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lamongan, 2012 dan PPN Pelabuhanratu, 2013
Perikanan tangkap skala kecil secara geografis sering terpencil, dan secara politis jauh dari pusat pengambilan keputusan. Sektor perikanan yang banyak jenis (multispecies) dan banyak armada (multi-fleet) yang pada umumnya ada di wilayah tropis membuat tugas mengelola perikanan skala kecil menjadi lebih menantang dari pada di Negara-negara Utara yang secara ekologi kurang kompleks. Otoritas perikanan di negara-negara berkembang mungkin terbatas kapasitasnya dalam mengelola perikanan tangkap skala kecil. Ketidakmampuan ini disebabkan karena penggunaan metode-metode pengelolaan perikanan konvensional yang dikembangkan di negara maju dan tidak cocok untuk perikanan tangkap skala kecil.
Tabel 2 Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Besar dan Skala Kecil
Karakteristik yang terkait dengan
Perikanan
Kategori
Skala Besar Skala Kecil Subsisten Industri Artisanal Investasi Tinggi Sedang sampai rendah. Rendah Tangkapan (per unit
perikanan)
Besar Sedang ke rendah Rendah ke sangat rendah
Tingkat pendapatan Seringkali tinggi Sedang ke rendah Minimum Integrasi dengan
Perikanan (Fauzi, 2005), mempunyai karakteristik pertama: kepemilikan bersifat common property, dan rezim akses terbuka dalam eksploitasinya; Nelayan marginal menghadapi highliner illusion (ilusi untuk menjadi nelayan sukses), yang menimbulkan sticky labor force dimana ekses tenaga kerja disektor perikanan sulit dikurangi yang menyebabkan nelayan sulit untuk keluar dari perangkap kemiskinan (poverty trap); usaha perikanan mengalami cycle asymmetry (siklus non asimetrik), menyebabkan capital yang sudah terlanjur ditanamkan sulit untuk ditarik kembali pada saat periode kurang menguntungkan, hal ini terkait dengan sifat usaha perikanan yang bersifat fluktuatif karena faktor alam; kemiskinan yang persisten disebabkan sulitnya penyesuaian terhadap produktifitas; sering mengalami masalah finansial yaitu kurangnya modal dan kesulitan masuk ke lembaga modal.
Kapasitas, Overcapacity, dan Efisiensi
dan kondisi teknologi saat itu (FAO, 1998). Pendekatan ini dapat menghasilkan informasi dasar tentnag kapasiatas dan pemanfaatan kapasitas yang bermanfaat untuk mengetahui status armada penangkapan dan pemanfaatan sumber daya ikan dalam jangka pendek.
Kapasitas perikanan secara umum dapat diartikan sebagai faktor input dalam proses produksi perikanan tangkap (Pascoe et al., 2003). Dalam perikanan tangkap skala kecil atau tradisional, konsep kapasitas tersebut diartikan sebagai ukuran modal dan nelayan. Secara teknis konsep kapasitas menggambarkan kondisi terknologi yang bersifat increasing, decreasing atau constant return to scale. Konsep kapasitas tersebut bermanfaat dalam menganalisis pola pengelolaan dan pemandaatan sumber daya ikan.
Sejak FAO menerapkan konsep kapasitas perikanan tahun 1999, masalah kapasitas perikanan menjadi isu utama dalam pengembangan sektor perikanan (Kirkley et al., 2004). Kebijakan pembangunan perikanan berdasarkan kapasitas perikanan (capacity utilization dan capacity measurement) dipandang sebagai konsep dan isu strategis yang mampu memberikan arahan kebijakan baru tentang revitalisasi pembangunan perikan dimasa yanga akan datang (Fauzi, 2005). Dua konsep penting dalam kapasitas adalah excess capacity dan overcapacity (Pascoe
et al., 2003). Excess capacity merupakan perbandingan relatif antara tingkat output potensial (maksimal) terhadap tingkat output dalam jangka pendek, sedangkan overcapacity adalah perbedaan output potensial maksimum yang dapat diproduksi dan tingkat output optimum yang diinginkan. Overcapacity biasanya terjadi karena kegagalan pasar dalam mengalokasikan input dan output secara efisien dan merupakan konsep dalam jangka panjang. Dampak excess capacity
dan overcapasity adalah kerugian masyarakat khususnya nelayan berupa penurunan keuntungan, infesiensi produksi, hilangnya peluang alternatif dialami masyarakat dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan over fishing.
Permasalahan kapasitas penangkapan diindikasikan adalanya kelebihan modal atau kapal penangkap (overcapitalization) dalam industri penangkapan ikan dan kelebihan eksploitasi (overexploitasion) terhadap sumber daya ikan secara konsisten. Kelebihan armada penangkapan ikan (overcapitalization) dan
under-utilization kapasitas penangkapan memberikan indikasi pemborosan bersifat economis. Inefisiensi dapat diartikan sebagai suatu tahapan dimana tujuan dari pelaku ekonomi belum dimaksimalkan secara penuh. Isu inefisiensi timbul dari anggapan bahwa nelayan dan usaha perikanan tangkap berperilaku memaksimalkan keuntungan. Kirkley et al., 2004 menyatakan kombinasi pendekatan fungsi stochastic produktion frontier (SPF) dan programing non parametrik atau dikenal dengan Data Evelopment Analysis (DEA) merupakan pendekatan yang populer digunakan untuk menganalisis kapasitas perikanan dan lebih efektif.