• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis

Sumberdaya ikan laut Indonesia pada dasarnya dikelompokkan berdasarkan taksonomi, yaitu ikan (pisces) dan non-ikan (mollusca, crustaceae, holoturaedae, reptilian, mammalian). Kelompok ikan kemudian dibedakan berdasarkan habitatnya menjadi ikan pelagis, ikan demersal dan ikan karang. Ikan pelagis adalah ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada di kolom air terutama dekat permukaan, ikan demarsal adalah ikan yang sebagian besar masa hidupnya berada pada atau di dekat perairan dan ikan karang adalah ikan yang kehidupannya terikat dengan perairan karang. Ikan pelagis dibagi lagi menjadi dua berdasarkan ukuran, yaitu ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Ikan pelagis besar seperti madidihang, cakalang, tongkol, tenggiri dan cucut, sedangkan ikan pelagis kecil seperti layang, selar, lemuru, teri dan kembung. Ikan karang dibagi lagi menjadi ikan karang konsumsi dan ikan hias. Kelompok non- ikan dibagi menjadi udang dan krustasea lainnya, moluska dan teripang, cumi- cumi, penyu,mamalia, karang dan rumput laut (Aziz, 1998).

Salah satu sifat ikan pelagis yang paling penting bagi pemanfaatan usaha perikanan yang komersil adalah sifat mengelompok. Karena adanya sifat mengelompok ini, ikan dapat ditangkap dalam jumlah besar. Pola tingkah laku berkelompok pada ikan pelagis juga dipengaruhi oleh jenis dan ukurannya. Ikan pelagis pada umumnya berkelompok dan akan naik ke permukaan pada sore hari. Ikan-ikan tersebut akan menyebar di lapisan pertengahan perairan setelah matahari terbenam dan akan turun ke lapisan yang lebih dalam saat matahari terbit (Laevastu dan Hela, 1970). Hal-hal yang menyebabkan ikan membentuk gerombolan antara lain adalah (1) sebagai perlindungan diri dari pemangsa/ predator; (2) mencari dan menangkap mangsa; (3) pemijahan; (4) musim dingin; (5) ruaya dan pergerakan; (6) pengaruh faktor dari lingkungan (Mantiefel dan RadakovvideGunarso, 1985).

Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan perairan. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fisik, kimia, dan biologi lingkungan. Faktor-faktor ini penting untuk mengetahui penyebaran atau

distribusi ikan yang berguna untuk pencarian ikan dan pemilihan teknik penangkapannya. Faktor oseanografi fisika yang paling berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya ikan adalah faktor salinitas dan suhu perairan. Kedua faktor ini menarik untuk diamati karena berperan dalam keberlangsungan ikan (Gunarso,1985).

Gunarso (1985) mengatakan bahwa penyebaran ikan pelagis dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang sesuai dengan kondisi tubuhnya. Daerah yang banyak diminati ikan pelagis adalah daerah yang banyak mendapatkan cahaya matahari yang dikenal sebagai daerah fotik. Daerah ini memiliki suhu yang optimal bagi ikan pelagis yaitu berkisar 28 0C - 30 0C. Pada siang hari suhu lapisan permukaan akan lebih tinggi sehingga ikan pelagis beruaya ke lapisan bawah.

Konsentrasi plankton mempengaruhi pengelompokan ikan pelagis. Plankton mengadakan migrasi harian secara vertikal dengan berbagai mekanisme. Pola pergerakan plankton akan diikuti oleh pola migrasi ikan-ikan pelagis (Nybakken, 1992).

Jenis-jenis ikan yang tertangkap di perairan Selat Malaka selama penelitian ini adalah mata besar (Priacanthus tayenus), biji nangka (Upeneus molluccensis), kuniran (Upeneus tragula), tetengkek (Megalaspis cordyla), banyar (Rastrelliger kanagurta), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), gulamah (Pennahia argentata), pepetek (Gazza sp), layur (Trichiurus lepturus), temenong (Selar crumenophtalmus), kakap merah (Lutjanus argentimaculatus), kerapu (Epinephelus sp), pari (Dasyatis sp), gerot-gerot (Pomadasys argenteus), perak (Pentaprion longimanus), sotong (Sephia sp), tenggiri (Scomberomorus commersoni), peperek topang (Leiognathus equulus), selar kuning (Selaroides leptolepis), layang (Decapterus russelli), kurau (Eleutheronema tetradactylum), madidihang (Thunnus albacares), beloso (Saurida undosquamis), selanget (Anodontostoma chacunda), japuh (Dussumieria acuta), selar hijau (Atule mate) dan cumi-cumi (Loligospp). Berikut ini merupakan penjelasan dari beberapa ikan yang tertangkap tersebut.

Direktorat Jenderal Perikanan (1979) menyebutkan bahwa ikan ini memiliki kepala dan punggung yang berwarna merah sawo matang serta bagian bawah yang berwarna keputihan sedikit ungu. Terdapat satu garis coklat atau gelap yang membujur di sepanjang badannya, mulai dari mulut hingga ke pangkal ekor. Pada sirip punggung nya terdapat garis-garis serong berwarna merah darah. Pada sirip perut dan sirip duburnya terdapat totol-totol berwarna merah kunyit yang membentuk garis-garis. Pada sirip ekor terdapat garis-garis merah, merah kehitaman pada lembaran sirip ekor bawah secara melintang, berjumlah 4-6 garis pada lembaran atas dan 5-8 pada lembaran bawah. Jumlah garis-garis ini berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Ikan ini menyebar di perairan pantai dan perairan karang di seluruh Indonesia serta perairan Indo-Pasifik lainnya.

4) Tetengkek (Megalaspis cordyla; Linnaeus, 1758)

Masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama cencaru (Gambar 4). Ikan ini memiliki tubuh yang memanjang dan agak pipih seperti cerutu. Sirip punggung pertamanya memiliki 8-9 jari-jari keras, sedangkan sirip punggung yang kedua memiliki 1 jari-jari keras dan 10 jari-jari lemah, diikuti 8-9 jari-jari sirip tambahan. Sirip duburnya terdiri dari 2 jari-jari keras yang saling lepas satu sama lain, 1 jari-jari keras yang menyatu dengan 10 jari-jari lemah diikuti 6-8 jari-jari sirip tambahan (finlet). Sirip dadanya berbentuk sabit, memanjang dan ujungnya meruncing. Bagian depan garis rusuk melengkung dan lurus dibelakangnya. Terdapat 53-58 sisik duri, berukuran besar dan kuat serta berbentuk lancip. Batang ekornya kuat dan kaku (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979).

Menurut Torres (2010) dalam situs www.fishbase.org, ikan ini hidup di daerah tropis pada perairan laut maupun payau dengan kisaran kedalaman 20-100 m dan berasosiasi dengan karang dan biasanya membentuk gerombolan. Makanan utama ikan ini adalah ikan. Tetengkek dapat tumbuh hingga mencapai panjang maksimum 80 cm tetapi panjang umumnya adalah 45 cm. Tetengkek mencapai kematangan gonad pada ukuran 22 cm.

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1979), warna tubuh ikan ini hijau keabuan pada bagian atas dan putih perak pada bagian bawah. Sirip punggung, dada dan ekornya berwarna keabuan sedikit kekuningan. Ikan ini menyebar di

18

sedikit kekuningan dengan pinggiran gelap. Sirip dubur dan sirip perut berwarna kuning jeruk. Ikan kurau tersebar di perairan pantai terutama Laut Jawa, Sumatera bagian timur, sepanjang Kalimantan, Sulawesi Selatan, Arafuru, Teluk Benggala, Teluk Siam, sepanjang pantai Laut Cina Selatan sampai Queenland (Australia).

12) Madidihang (Thunnus albacares; Bonnaterre, 1788)

Masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama tongkol sisik (Gambar 12). Direktorat Jenderal Perikanan (1979) menyebutkan bahwa ikan madidihang badannya memanjang dan bulat seperti cerutu. Tapis insangnya berjumlah 26-34 pada busur insang pertama. Memiliki dua cuping diantara kedua sirip perutnya. Terdapat 13-14 jari-jari keras pada sirip punggung pertama dan 14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti 8-10 jari-jari sirip tambahan. Sirip dubur berjari-jari lemah 14-15, diikuti 7-10 jari-jari sirip tambahan. Terdapat satu lunas kuat pada batang sirip ekor yang diapit dua lunas kecil pada ujungnya. Pada ikan dewasa, sirip punggung kedua dan sirip dubur tumbuh sangat panjang. Sirip dadanya cukup panjang. Badannya bersisik kecil-kecil, korselet bersisik agak besar tetapi tidak nyata.

Kesner-Reyes (2010) dalam situs www.fishbase.org menyebutkan bahwa ikan madidihang adalah spesies yang biasa hidup di atas dan di bawah daerah termoklin. Bersifat pelagis di perairan terbuka, tetapi kadang terlihat di perairan karang. Ikan ini biasanya membentuk gerombolan sesuai ukuran. Ikan dewasa sering bergerombol dengan lumba-lumba, juga berasosiasi dengan reruntuhan yang mengapung dan benda-benda lain. Madidihang memakan ikan, udang- udangan dan cumi-cumi. Sensitif terhadap konsentrasi oksigen yang rendah sehingga biasanya tertangkap pada kedalaman di atas 250 m di perairan tropis. Ikan ini dapat tumbuh hingga mencapai panjang maksimal 239 cm, tetapi panjang umumnya adalah 150 cm dan mencapai kematangan gonad pada ukuran 107,5 cm. Direktorat Jenderal Perikanan (1979) menyebutkan bahwa madidihang memiliki tubuh yang berwarna gelap keabuan pada bagian atas dan kuning perak pada bagian bawah. Sirip-sirip punggung, perut dan sirip tambahan berwarna kuning cerah berpinggiran gelap. Pada perut terdapat kurang lebih 20 garis putus-

24

Ikan ini kemudian dilahap dengan gigitan-gigitan kecil hingga menyisakan usus dan ekornya. Sisa ini kemudian dibuang (Ruppert dan Barnes, 1994).

Cumi-cumi memiliki kemampuan untuk mengubah-ubah warna kulitnya yang disebabkan oleh adanya chromatophore pada integumennya. Ketika kulitnya berkontraksi, chromatophore-nya keluar membentuk piringan datar, ketika kulitnya berelaksasi, pigmennya terkonsentrasi dan tidak kelihatan. Chromatophore ini menghasilkan warna kuning, orange, merah, biru dan hitam yang dikendalikan oleh sistem saraf dan mungkin juga oleh hormon yang didahului dengan adanya rangsangan (Ruppert dan Barnes, 1994).

Roper, Sweeney dan Nauen (1984) vide Yudha (1994) menyatakan bahwa cumi-cumi tersebar di perairan Pasifik Barat, Australia Utara, Kepulauan Philipina, sebelah utara Laut Cina Selatan hingga ke perairan Jepang. Daerah penyebarannya di Indonesia adalah perairan sebelah barat Sumatera (perairan Meulaboh), perairan sebelah barat Sumatera Utara (perairan Sibolga), perairan sebelah selatan Jawa Barat, sebelah selatan Jawa Tengah (perairan Cilacap), sebelah selatan Jawa Timur (perairan Puger), Selat Alas, Teluk Saleh, Laut Sawu, perairan Arafuru, Selat Malaka, di sepanjang pantai Kalimantan, perairan Sulawesi, Maluku dan selatan Irian Jaya (Anonimous, 1992videYudha, 1994).

2.2 Tingkat Kematangan Gonad

Ukuran ikan pertama kali matang gonad ada hubungannya dengan pertumbuhan ikan dan pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhannya. Tiap spesies ikan tidak sama ukuran dan umurnya saat pertama kali matang gonad. Ikan-ikan yang sama spesiesnya juga berbeda matang gonadnya jika letak geografis perairannya berbeda (Sjafeiet al, 1992).

Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad ikan di daerah sub tropis antara lain suhu dan makanan. Di daerah tropis, ikan relatif tidak mengalami perubahan suhu yang mencolok sehingga gonadnya akan lebih cepat matang (Sjafeiet al, 1992).

Setelah pertama kali matang gonad, pada umumnya ikan akan terus menerus memijah, tergantung daur pemijahannya. Ada yang setahun sekali, beberapa kali

dalam satu tahun dan sebagainya. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan daur reproduksi antara lain suhu, oksigen terlarut dalam perairan dan faktor-faktor lingkungan lain, juga hormon-hormon yang berperan dalam reproduksi yang pada gilirannya akan memacu organ-organ reproduksi untuk berfungsi (Sjafeiet al, 1992).

Romimohtarto dan Sri Juwana (2007) mengatakan bahwa analisis tingkat kematangan gonad (TKG) untuk ikan didasarkan pada lima tingkatan dengan kriteria-kriteria yang tercantum pada Tabel 1 di bawah ini. Suwarso (2010) mengatakan bahwa secara umum, ikan akan mencapai ukuran panjang matang gonad pertama kali (length of maturity) pada saat memasuki tingkat kematangan gonad (TKG) III.

Tabel 1 Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan

TINGKAT KEADAAN GONAD DESKRIPSI

I Tidak matang (immature) Gonad memanjang, kecil dan hampir transparan.

II Sedang matang

(maturing)

Gonad membesar, berwarna jingga kekuning-kuningan, butiran telur belum dapat terlihat dengan mata telanjang.

III Matang (mature) Gonad berwarna putih kekuningan, butiran telur sudah dapat terlihat dengan mata telanjang.

IV Siap pijah (ripe) Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih, dapat keluar dengan sedikit penekanan pada bagian perut. V Pijah (spent) Gonad mengecil, berwarna merah dan

banyak terdapat pembuluh darah.

Sumber : Romimohtarto dan Sri Juwana, 2007

2.3 Perikanan Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan

Sumberdaya perikanan merupakan modal dasar pembangunan perikanan dan pemanfaatannya diperlukan bagi kesejahteraan masyarakat sebesar-besarnya. Perlu diketahui bahwa sifat sumberdaya perikanan adalah terbatas sehingga pemanfaatannya harus lebih berhati-hati agar tidak terjadi kepunahan. Pengembangan penangkapan ikan pada hakekatnya mengarah pada pemanfaatan

26

sumberdaya ikan secara optimal dan rasional bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya ikan itu sendiri maupun lingkungannya (Baskoro, 2006).

Mustaruddin (2006) mengatakan pemanfaatan sumberdaya ikan harus sepadan dengan status stok sumberdaya ikan yang dimanfaatkan tersebut. Sebagai langkah awal, perlu ditetapkan acuan bagi :

1) jenis dan ukuran ikan yang boleh dimanfaatkan;

2) alat tangkap dan armada penangkapan yang diperbolehkan;

3) syarat-syarat teknis penangkapan yang harus dipenuhi oleh nelayan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4) sifat ramah lingkungan dari kegiatan penangkapan; dan 5) daerah, jalur dan waktu penangkapan.

Berkaitan dengan alat tangkap yang diperbolehkan di atas, Mustaruddin (2006) juga mengatakan bahwa alat tangkap ramah lingkungan merupakan jenis teknologi penangkapan ikan yang tidak merusak ekosistem dan layak untuk dikembangkan. Suatu alat tangkap dapat dikatakan ramah lingkungan apabila memenuhi 9 kriteria, yakni :

1) mempunyai selektivitas yang tinggi; 2) tidak merusak habitat;

3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi; 4) tidak membahayakann nelayan;

5) produksi tidak membahayakan konsumen; 6) by catchrendah;

7) dampak kebiodiversityrendah;

8) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; dan 9) dapat diterima secara sosial.

Pemanfaatan sumberdaya dapat pulih seperti ikan atau udang, laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode tertentu. Selain itu, dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut, prinsip pendekatan berhati-hati (precautionary approach) perlu dipertimbangkan, mengingat sifat-sifat sumberdaya laut yang sangat dinamis dan rentan terhadap kerusakan lingkungan (Dahuri, 2003).

Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga dapat dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan terutama untuk pengembangan pariwisata. Melalui pembangunan kepariwisataan, semua objek dan daya tarik wisata bahari, seperti keindahan pantai, keragaman flora dan fauna yang terdapat di terumbu karang dan hutan mangrove dapat dikomersialkan untuk menghasilkan devisa negara serta pendapatan masyarakat lokal di kawasan pesisir secara berkelanjutan (Dahuri, 2003).

28

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan di pelabuhan Belawan, Sumatera Utara yang merupakan tempat pendaratan hasil tangkapan ikan kapal-kapal yang beroperasi di sebagian perairan Selat Malaka pada lokasi yang ditunjukkan oleh Gambar 18. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010.

3.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Peta perairan Belawan, yang digunakan untuk menunjukkan lokasi saat dilakukannya penelitian;

2) Kamera digital, yang digunakan untuk mendokumentasikan tempat penelitian, kapal sampel dan hasil tangkapannya;

3) Data sheet,yang digunakan untuk menulis segala hal yang berkaitan dengan penelitian untuk mempermudah pengumpulan data;

4) Komputer, yang digunakan untuk melakukan pengolahan data dan penyajian hasil penelitian;

5) Alat tulis, yang digunakan untuk menulis informasi yang dibutuhkan pada datasheet; dan

6) Alat pengukur panjang (meteran atau penggaris), yang digunakan untuk mengukur ikan hasil tangkapan kapal sampel.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun, 1995).

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner

terhadap responden berupa posisi penangkapan, waktu operasi dan komposisi hasil tangkapan (jenis dan jumlah ikan) yang didaratkan di tempat pelelangan ikan (TPI). Penentuan responden dan sampel kapal dilakukan secara sengaja atau purposive samplingdengan pertimbangan sebagai berikut :

1) Sampel kapal berbasis di PPS Belawan dan melakukan operasi penangkapan ikan di perairan Selat Malaka;

2) Sampel kapal layak beroperasi, yakni : a) memiliki kekuatan struktur badan kapal, b) menunjang keberhasilan operasi penangkapan, c) memiliki stabilitas yang tinggi, d) memiliki fasilitas penyimpanan hasil tangkapan ikan yang memadai (Nomura dan Yamazaki, 1977); dan

3) Anak buah kapal (ABK) dari sampel kapal terpilih dapat memberikan informasi yang representatif dan komprehensif sesuai dengan kebutuhan penelitian.

Data hasil tangkapan yang dikumpulkan berasal dari 16 kapal penangkap ikan yang terdiri dari 2 unit pukat ikan, 5 unit pukat udang, 5 unit pukat cincin dan 4 unit jaring insang. Keempat jenis alat tangkap tersebut dipilih berdasarkan dominansinya di lokasi penelitian.

Posisi kapal dicatat pada saat operasi penangkapan dilakukan (setting dan hauling). Posisi kapal ditentukan dengan menggunakan peta perairan Belawan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Komposisi jumlah (berat) dari masing-masing jenis (spesies) ikan yang tertangkap dicatat berdasarkan akumulasi posisi penangkapan. Dalam penentuan ukuran hasil tangkapan tiap spesies, ditarik sampel sebanyak 5-20 secara acak dari akumulasi posisi penangkapan masing-masing kapal sampel. Penentuan jumlah sampel ikan ini tergantung pada variasi ukuran ikan. Jika ukuran hasil tangkapan dari spesies ikan tertentu cukup bervariasi, maka jumlah sampel ditentukan lebih banyak, dan sebaliknya jika ukuran ikan relatif homogen, maka jumlah sampel ikan tidak perlu terlalu banyak.

Data sekunder diperoleh dari dinas atau instansi-instansi terkait yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Data sekunder ini meliputi kondisi umum lokasi penelitian, data produksi dan upaya penangkapan bulanan dan tahunan selama 5

30

tahun terakhir, spesifikasi dan perkembangan unit penangkapan ikan (nelayan dan alat tangkap).

3.4 Analisis Data 3.4.1 Hasil tangkapan

Data hasil tangkapan yang didaratkan dianalisis secara deskriptif dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Data hasil tangkapan dianalisis untuk mengetahui komposisi jenis hasil tangkapan (spesies), komposisi berat hasil tangkapan menurut spesies dan ukuran spesies hasil tangkapan menurut skala ruang (penyebaran daerah penangkapan) dan waktu penangkapan.

3.4.2 Penentuan daerah penangkapan ikan potensial

Penentuan daerah penangkapan ikan potensial didasarkan pada dua indikator, yaitu jumlah tangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap pada daerah penangkapan. Jumlah tangkapan masing-masing jenis ikan pada setiap daerah penangkapan dibandingkan dengan nilai produktivitas atau Catch per Unit Effort (CPUE) rata-rata. Nilai CPUE rata-rata ini dihitung berdasarkan data time series produksi dan upaya penangkapan selama 5 tahun terakhir dengan membandingkan antara jumlah hasil tangkapan dengan jumlah hari melaut. Bila hasil tangkapan pada posisi daerah penangkapan tertentu lebih besar dari CPUE rata-rata atau sebagian besar alat tangkap yang beroperasi di daerah penangkapan ikan tersebut memiliki CPUE yang lebih besar daripada CPUE rata-rata, maka hasil tangkapan dapat dikategorikan banyak dan diberi bobot 5. Bila hasil tangkapan lebih rendah atau sama dengan CPUE rata-rata atau sebagian kecil alat tangkap yang beroperasi di daerah penangkapan ikan tersebut memiliki CPUE yang lebih kecil daripada CPUE rata-rata, maka hasil tangkapan termasuk dalam kategori rendah dan diberi bobot 3 (Tabel 2).

Tabel 2 Evaluasi jumlah tangkapan jenis ikan tertentu pada berbagai lokasi penangkapan Posisi Penangkapan Perbandingan Tangkapan (C) terhadap CPUE Rata-Rata

Kategori Bobot Keterangan

DPI-1 . . . . DPI-n C > CPUE rata-rata

C≤ CPUE rata-rata

Banyak

Rendah 5

3

CPUE rata-rata untuk setiap jenis ikan dihitung berdasarkan data produksi dan upaya penangkapan selama 5 tahun terakhir

Ket : C = tangkapan (kg/trip)

Ukuran panjang individu ikan dievaluasi hanya berdasarkan pengamatan visual untuk menentukan kelompok ikan dewasa dan juvenile (belum dewasa). Jika ikan yang tertangkap didominasi oleh ikan ukuran dewasa, maka diberi bobot yang lebih besar dan daerah penangkapan tersebut dikategorikan potensial, tetapi jika sebaliknya, maka diberi bobot yang lebih rendah dan daerah penangkapan tersebut dikategorikan kurang potensial (Tabel 3). Ukuran ikan yang dikategorikan sudah dewasa/belum dewasa (juvenile) ditentukan dengan melihat ukuran panjang ikan yang tertangkap dan membandingkannya dengan ukuran ikan tersebut saat pertama kali mencapai kematangan gonad (length of maturity) yang diambil dari hasil penelitian terdahulu melalui situs Fishbase dan jurnal ilmiah.

Tabel 3 Evaluasi hasil tangkapan jenis ikan tertentu pada berbagai daerah penangkapan berdasarkan kategori ukuran dewasa dan belum dewasa

Posisi Penangkapan

Persentase ukuran panjang ikan dewasa Bobot Keterangan DPI-1 . . . DPI-n

Ukuran panjang dewasa > 50%

Ukuran panjang dewasa≤ 50%

5

3

Ukuran panjang ikan sudah dewasa/belum dewasa ditentukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya

32

Pengaruh kedua indikator penentu DPI potensial diasumsikan sama, sehingga bobot masing-masing indikator pada DPI yang sama dapat dijumlahkan. Jumlah bobot yang lebih besar menunjukkan potensi DPI yang lebih bagus dibandingkan dengan jumlah bobot yang lebih kecil.

34

2001, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 91.881 jiwa. Luas wilayahnya adalah 26,25 km2dengan kepadatan penduduknya adalah 3.500,23 jiwa per km2.

PPS Belawan memiliki fasilitas pokok dermaga, jalan pelabuhan, alur pelayaran, lahan pelabuhan, jetty dan turap/revetment. Fasilitas fungsionalnya adalah kantor pelabuhan, tempat pelelangan ikan, transit sheed, cold storage, rambu suar, APMS, SPDN, kantor bersama samsat, bus pegawai dan pabrik es. Fasilitas penunjangnya adalah kios waserda, masjid PPS Belawan, guest house dan balai pertemuan nelayan.

4.2 Keadaan Umum Perikanan 4.2.1 Unit penangkapan ikan

Jumlah armada kapal perikanan yang berbasis di PPS Belawan selalu berubah setiap tahun. Perkembangan jumlah kapal perikanan di PPS Belawan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah kapal perikanan laut menurut ukuran kapal di PPS Belawan periode 2005-2009

No. Tahun Jumlah kapal (unit) pada ukuran (GT) Total (unit)

0-5 5-10 10-30 30-60 60-100 >100 1 2005 87 229 50 50 38 79 533 2 2006 - 86 139 58 88 101 472 3 2007 - 117 213 48 49 79 506 4 2008 - 106 237 43 43 72 501 5 2009 - 106 237 43 43 72 501 Jumlah (unit) 87 644 876 242 261 403 2513 Perkembangan (%) - -30,03 21,78 -3,73 -7,35 -3,16 -22,49

Sumber : PPS Belawan, 2010 (diolah)

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa kapal yang berukuran 0-5 Gross Ton (GT) sudah tidak beroperasi lagi sejak tahun 2006. Kapal yang berukuran 5-10 GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 30,03 % dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Kapal yang berukuran 10-30 GT mengalami peningkatan rata-rata sebesar 21,78 % dan peningkatan paling drastis terjadi pada tahun 2006. Kapal yang berukuran 30-60 GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 3,73 %

dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2007. Kapal yang berukuran 60- 100 GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 7,35 % dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2007. Kapal yang berukuran lebih besar dari 100 GT mengalami penurunan rata-rata sebesar 3,16 % dan penurunan paling drastis terjadi pada tahun 2007. Secara umum jumlah kapal yang beroperasi di PPS Belawan dari tahun 2005-2009 menurut ukuran kapalnya mengalami penurunan. Kapal yang mengalami peningkatan paling besar per tahunnya hanya kapal yang berukuran 10-30 GT, sedangkan kapal yang mengalami penurunan paling besar per tahunnya adalah kapal yang berukuran 5-10 GT.

Ada lima jenis alat tangkap yang biasa digunakan oleh nelayan di PPS Belawan yaitu pukat cincin, pukat ikan, jaring insang, pancing dan lampara dasar/pukat udang. Jumlah alat tangkap ini juga berubah-ubah setiap tahun. Perkembangan alat tangkap di PPS Belawan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah unit penangkapan perikanan laut menurut jenis alat tangkap di PPS Belawan periode 2005-2009

Jenis alat tangkap

Dokumen terkait