• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Asam Sunti

Asam sunti adalah jenis bumbu dapur khas Aceh yang terbuat dari belimbing wuluh yang telah dikeringkan. Biasanya bumbu dapur ini digunakan masyarakat Aceh dalam masakan yang memiliki rasa asam pedas seperti gulai asam ke’eung (ikan bilis), uengkoet kemamah (ikan kayu), pepes ikan dan sebagainya.

Di daerah Aceh, cara pembuatan asam sunti adalah buah belimbing setelah dipanen, dicuci, kemudian dijemur pada sinar matahari. Setelah penjemuran tahap pertama, belimbing kemudian diberi garam dan disimpan di tempat yang teduh dan keesokan harinya dijemur kembali. Kandungan asam dan garam yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan oleh mikroorganisme. Penjemuran dilakukan secara berulang-ulang sampai belimbing kering atau kandungan airnya menurun. Biasanya asam sunti yang dihasilkan berwarna coklat dan teksturnya kenyal, bentuknya pipih, ukurannya lebih kecil dari buah segar karena kadar airnya sudah berkurang, rasanya asam dan asin. Asam sunti dapat disimpan dalam waktu lebih dari 3 bulan (Aceh Pedia, 2009).

2.4. Garam

Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia. Bentuknya kristal putih, tetapi kadang-kadang berwarna kuning kecoklatan yang berasal dari kotoran-kotoran yang ada di dalamnya, seringkali dihasilkan dari air

laut karena air laut mengandung ± 3% garam dapur. Biasanya garam dapur yang tersedia secara umum adalah Natrium Klorida (NaCl).

Secara umum garam terdiri dari 39.39% Na dan 60.69% Cl dengan kristalnya berbentuk seperti kubus dan berwarna putih. Garam digunakan sebagai pengawet karena mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, sehingga dapat menyebabkan terjadinya proses osmose dalam bahan dan pada sel-sel mikroorganisme yang menyebabkan plasmolisis sehingga air sel mikroorganisme tertarik keluar dan mikroorganisme mati (Sastra, 2008).

Dalam proses penggaraman bahan akan mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain yaitu kadar air, berat akhir bahan, pH, tekstur dan warna. Penggunaan garam dalam pengolahan bahan makanan selain berfungsi untuk mencegah pembusukkan juga berfungsi untuk membentuk cita rasa. Garam memiliki cita rasa yang khas sehingga penambahan garam pada suatu bahan juga dapat meningkatkan cita rasa dari bahan tersebut. Penggunaan garam dalam proses fermentasi seringkali menghasilkan komponen-komponen yang membentuk cita rasa seperti pada pembuatan kecap, asinan, dan sebagainya.

Garam juga berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan bakteri halofilik. Penggunaan garam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan bakteri proteolitik (Winarno dan Fardiaz, 1982). Syarief dan Halid (1993), juga berpendapat bahwa penggaraman bahan pangan akan membatasi jumlah dan jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh. Hal ini juga dapat disebabkan karena pengurangan aktivitas air bahan pangan oleh garam itu sendiri. Penyimpanan ikan asin pada kadar air 15 persen dengan kadar garam 5-20 persen dapat mempertahankan daya simpan hingga lebih dari satu tahun. Beberapa jenis bakteri yang toleran terhadap kadar garam yang tinggi bahkan tidak dapat tumbuh bila kadar garam pada bahan pangan kurang dari 10 persen. Biasanya konsentrasi garam dapur yang digunakan untuk mengawetkan ikan dan juga bahan-bahan lain adalah minimal sebanyak 20% atau 2 ons/kg bahan (Anonim, 2000).

Menurut Muchtadi dan Tien (1989), cara penggaraman dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu metode penggaraman kering dan metode penggaraman basah. Metode penggaraman kering yaitu menggunakan garam dalam bentuk padat atau kristal, sedangkan metode penggaraman basah

menggunakan larutan garam pada bahan yang akan direndam. Pada pembuatan asam sunti biasanya dilakukan penggaraman dengan cara kering dan konsentrasi garam yang ditambahkan berkisar 10-20% dari berat buah belimbing wuluh.

2.5. Bubuk

Bubuk dan tepung biasanya dibedakan berdasarkan ukuran partikel. Bubuk merupakan produk yang mempunyai ukuran partikel lebih kasar dan dapat melewati saringan berukuran 10-60 mesh. Sedangkan tepung mempunyai ukuran partikel yang lebih halus dan dapat disaring melalui saringan berukuran 100 mesh (Muchtadi, 1989 ; Winarno, 1993).

Dalam proses pengolahan bahan pangan, pengayakan sering digunakan untuk memisahkan campuran yang berbentuk butiran atau bubuk dalam suatu interval ukuran tertentu. Pada tepung hasil pengayakan dapat dicapai dengan 80 mesh, sedangkan pada bubuk adalah 60 mesh. Perbedaan mesh ini disebabkan karena bubuk masih dalam keadaan kasar, sedangkan tepung sudah dalam keadaan halus sehingga mudah menembus pori-pori dari ayakan mesh yang memiliki lubang sesuai dengan jumlah mesh yang dihasilkan (Mc Cabe et al., 1994).

Produk bubuk selain bentuknya yang menarik, saat ini juga sangat diminati oleh masyarakat karena memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah dalam penggunaan, umur simpannya panjang karena kadar air bahan rendah, bubuk yang dihasilkan tidak menggumpal sehingga perlu digunakan kemasan yang kedap udara agar uap air dari lingkungan tidak masuk ke dalam kemasan, dan tidak memakan banyak tempat untuk penyimpanannya.

Penelitian untuk membuat produk bubuk dari komoditi hasil pertanian telah banyak dilakukan antara lain yaitu pembuatan bubuk Spice Blend dari daging buah pala sebagai flavor, bubuk konsentrat kunyit, bubuk bawang putih, bubuk cabe merah, bubuk pepaya terfermentasi, minuman bubuk jambu biji dan masih banyak lagi komoditi pertanian lainnya yang diproduksi dalam bentuk bubuk.

2.6. Pengeringan

Pengeringan merupakan bagian penting dari proses penanganan pasca panen produk pertanian. Kadar air yang tinggi, membuat pertumbuhan mikroorganisme sangat cepat yang akan mengakibatkan berbagai kerusakan baik secara fisik maupun kimia. Hal tersebut akan menyebabkan umur simpan produk pertanian menjadi sangat pendek.

Menurut Winarno (1993) pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Selama proses pengeringan, air dalam bahan pangan akan dipindahkan ke permukaan bahan dan kemudian diuapkan jika RH (kelembaban) ruangan lebih rendah. Proses ini terjadi hingga keseimbangan kadar air bahan dengan RH lingkungan tercapai (Kuswanto, 2003).

Taib et al (1988) menyatakan bahwa parameter yang mempengaruhi kecepatan pengeringan antara lain adalah suhu, kelembaban, laju aliran udara, kadar air bahan, jenis alat pengering dan bahan baku yang ditambahkan. Ukuran bahan juga mempengaruhi cepat lambatnya proses pengeringan yang berlangsung. Proses pengeringan akan berlangsung lebih lama dengan rendahnya suhu pengeringan. Namun, jika suhu terlalu tinggi maka bahan akan mengalami kerusakan baik secara fisik maupun kimia. Kelembaban berbanding lurus dengan waktu pengeringan. Jika kelembaban udara tinggi, proses pengeringan akan berlangsung lama. Laju pengeringan akan konstan sampai kadar air bebas di permukaan telah hilang dan laju pengeluaran air makin lama makin berkurang. Kadar air pada saat laju pengeringan berubah dari konstan ke pengeringan menurun disebut kadar air kritis (Brooker et al., 1974).

Menurut Devahastin (2000), pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan pemberian panas ke bahan umpan basah. Panas yang diberikan dapat disediakan melalui konveksi (pengering langsung), medium pemanas yang dipakai biasanya udara panas atau gas-gas pembakaran ini kontak langsung dengan bahan padat yang dikeringkan, kemudian terjadi difusi uap air dari dan di

dalam produk pangan. Konduksi (tidak langsung), medium pemanas yang digunakan biasanya uap panas dan terpisah dari bahan padat yang akan dikeringkan, radiasi atau secara volumetrik dengan menempatkan bahan basah tersebut dalam medan elektromagnetik gelombang mikro atau frekuensi radio. Seluruh cara pengeringan kecuali gelombang mikro atau frekuensi radio, menyediakan panas pada batas objek yang dikeringkan sehingga panas berdifusi ke dalam padatan dengan cara konduksi. Cairan harus bergerak ke batas bahan sebelum diangkut keluar oleh gas pembawa (atau dengan penerapan vakum pada pengeringan non konveksi).

Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dijemur, pengeringan buatan (menggunakan alat pengering), dan pengeringan beku (freeze drying). Pemilihan alat pengering disesuaikan dengan sifat dan karakteristik bahan yang dikeringkan, bentuk produk akhir yang diinginkan, dan cara kerja mesin pengering (Loesecke dalam Ginting, 2004). Bahan pangan yang berbentuk padat umumnya dikeringkan dengan cabinet dryer, tray dryer, tunnel dryer, dan lain-lain. Bahan pangan yang berbentuk cair dikeringkan dengan menggunakan spray dryer dan drum dryer.

2.6.1. Pengering Kabinet

Pengering kabinet terdiri dari suatu ruangan dimana rak-rak untuk produk yang dikeringkan dapat diletakkan di dalamnya. Di dalam pengering yang berukuran besar tersebut, rak-rak pengering disusun di atas kereta untuk memudahkan penanganannya, sedangkan dalam unit yang berukuran kecil, rak- rak pengering dapat disusun di atas suatu penyangga yang tetap di dalam pengering tersebut. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin melalui suatu pemanas dan kemudian menembus rak-rak yang berisi bahan pangan yang dikeringkan.

Pengering kabinet biasanya merupakan pengering yang paling murah pembuatannya, mudah pemeliharaannya, dan sangat luwes penggunaannya. Pada umumnya pengering ini digunakan untuk penelitian-penelitian dehidrasi sayuran dan buah-buahan di dalam laboratorium, dan di dalam skala kecil serta digunakan secara komersial (Desrosier, 1988).

2.6.2. Pengering Kabut (Spray Dryer)

Proses pengeringan dengan spray dryer adalah suatu proses mengubah bahan fluida menjadi produk kering dalam satu operasi. Menurut Suharto (1991), spray dryer digunakan untuk mengeringkan bahan yang berbentuk larutan kental (viscous) serta berbentuk pasta (cream). Biasanya produk yang diperoleh dari mesin ini yaitu dalam pengolahan susu menjadi tepung, susu telur menjadi tepung telur maupun berbagai bahan lainnya. Prinsip pengeringan kabut ini cukup sederhana, yang mana larutan disemprotkan menuju ke dalam ruang pengering. Cairan yang diatomisasikan menggunakan nozzle dan butiran air kontak secara mendadak dengan udara panas dalam ruang pengering. Hasil evaporasi yang cepat mengandung suhu butiran yang rendah sehingga suhu pengering yang tinggal dapat digunakan tanpa mempengaruhi produk. Waktu pengeringan yang sangat singkat memungkinkan spray dryer digunakan untuk produk-produk yang peka terhadap panas dan menghasilkan produk berkualitas tinggi (Widodo dan Budiharti, 2006).

Suhu inlet dan suhu outlet yang digunakan pada spray dryer tergantung dari bahan yang akan dikeringkan. Pola aliran udara, kelembaban, suhu, aliran cairan dan pembentukan butiran merupakan variabel-variabel proses utama dari spray dryer. Menurut Singh dan Heldman (2001), keuntungan dari penggunaan alat spray dryer adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi dalam ruang pengeringan (residence time) singkat dan produk akhir siap dikemas ketika selesai proses dengan kadar air bahan yang dihasilkan berkisar 3% hingga 5% dengan tekanan-tekanan nozzle sekitar 125 hingga 350 kg/cm2 (122.58 hingga 343.23 bar) (Suharto, 1991). Residence time pada alat pengering semprot yaitu antara 5-100 detik dan partikel yang dihasilkan mempunyai ukuran 10-500 µ m (Canovas dan Mercado, 1996). Oleh karena tuntutan produk, maka udara/uap yang masuk pun dipergunakan penyaring untuk membersihkan udara panas ke dalam ruang pengering. Tempat pengumpul hasil pengeringan berada pada bagian paling bawah dari ruang pengering dan dikumpulkan dengan bantuan pengerok ataupun klep yang berputar. Pada sebagian tipe mesin yang lain, bahan kering keluar dari ruang pengeringan bersama-sama dengan udara panas/uap panas yang keluar (Suharto, 1991).

Menurut Masters didalam Lindawati (1992), ada tiga elemen terpenting pada alat spray dryer yaitu atomizer, ruang pengering dan pengumpul partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung dari sifat bahan yang akan dikeringkan. Untuk buah-buahan, suhu pengeringan yang umum digunakan berkisar antara 135-180ºC.

Penelitian yang dilakukan Rahayu (1988), menghasilkan bubuk bawang putih terbaik yaitu produk cukup kering dengan aroma yang masih tajam dengan menggunakan spray dryer pada kisaran suhu 160-170ºC dibandingkan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari, oven biasa (Electric driyer oven), cabinet dryer, dan oven vakum. Sedangkan pada penelitian Lindawati (1992), produk minuman bubuk jambu biji terbaik diperoleh pada penggunaan suhu spray dryer180ºC dengan tekanan 4,8 kg/cm2. Bila tekanan dinaikkan atau diturunkan akan diperoleh produk yang agak basah (lengket).

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2002), menyatakan bahwa suhu terbaik untuk mengeringkan gelatin tipe A dan tipe B dari kulit sapi menggunakan spray dryer adalah suhu 170ºC dengan laju alir bahan 15 ml/menit. Karakteristik kedua jenis gelatin tersebut masuk dalam standar SNI yang berlaku. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sharief (2006), penggunaan spray dryer dengan suhu 180ºC, menghasilkan rendemen teh hijau instan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan suhu 120 dan 150ºC. Teh hijau instan yang dihasilkan bersifat mudah larut pada air panas.

2.7. Dekstrin

Young et al (1993) mengatakan bahwa untuk bahan-bahan yang akan menggunakan metode spray drying maka bahan penyalut yang digunakan harus memperlihatkan kemampuan kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan mengemulsi, dapat membentuk lapisan, kemampuan mengering dan menghasilkan konsentrat larutan dengan viskositas yang rendah. Pada penggunaan spray dryer untuk mengenkapsulasikan bahan, maka bahan yang akan dilakukan atomisasi sebelumnya harus dilarutkan terlebih dahulu bersama bahan pengenkapsulasinya, tetapi keduanya bersifat tidak saling melarutkan.

Senyawa yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi adalah pati yang telah dimodifikasi oleh asam, basa dan enzim yang biasanya dipecah-pecah sampai Dextrose Equivalent (DE) tertentu. Salah satu produk yang dihasilkan oleh degradasi pati yang memiliki viskositas rendah serta DE lebih kecil dari 20 yaitu dekstrin.

Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati secara tidak sempurna, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul yang lebih kecil dan larut dalam air. Acton (1976) menyatakan bahwa dekstrin mempunyai rumus molekul (C6H10O5)n dan struktur molekulnya lebih kecil dan bercabang

dibandingkan pati. Menurut Shallenberger dan Birch (1975), struktur molekul dekstrin berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavor akan terperangkap di

dalam struktur “spiral helix”. Dengan demikian penambahan dekstrin dapat menekan komponen volatil selama proses pengolahan.

Dekstrin merupakan campuran dari banyak jenis molekul oligosakarida yang berbeda baik dalam ukuran maupun dalam derajat percabangannya. Perbedaan struktur molekul pati dengan dekstrin menyebabkan terjadinya perbedaan sifat antara pati dan dekstrin tersebut. Dalam pembuatan dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh suatu enzim atau hidrolisa asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu dengan 6-10 unit glukosa. Dengan berkurangnya panjang rantai, maka terjadi perubahan sifat dimana pati yang tidak larut dalam air dingin menjadi dekstrin yang mudah larut (Somaatmadja, 1970).

Fennema (1976) mengatakan bahwa dekstrin mempunyai viskositas yang relatif rendah, karena itu pemakaian dekstrin dalam jumlah banyak masih diijinkan. Hal ini sangat menguntungkan apabila pemakaian dekstrin sebagai bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan dalam bentuk bubuk.

Penambahan dekstrin tidak meningkatkan kekentalan secara berlebihan sehingga dapat digunakan lebih banyak, tetapi konsentrasi dekstrin yang terlalu banyak dapat mengakibatkan warna produk menjadi pucat. Penambahan dekstrin juga dapat meningkatkan rendemen serta mempermudah proses pengeringan. Penggunaan dekstrin sebagai bahan penyalut menghasilkan enkapsulasi vitamin,

flavor, lemak dan bahan-bahan lain, yang tidak mengkristal dan terbentuk penampakan yang baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitrotin et al (2008), menyatakan bahwa penambahan konsentrasi dekstrin 5% memberikan kualitas bubuk sari buah tomat yang baik. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Murtala (1999), menyatakan bahwa penambahan dekstrin 10% menghasilkan kualitas bubuk sari buah markisa yang baik secara fisik, kimia dan organoleptik. Adapun pada penelitian yang dilakukan oleh Lindawati (1992), menyatakan bahwa penambahan konsentrasi dekstrin 9% memberikan hasil yang baik pada minuman bubuk jambu biji daripada penambahan konsentrasi dekstrin 17% yang menghasilkan penampakan produk yang kurang baik.

Dokumen terkait