KAJIAN PENANGANAN PASCA PANEN BELIMBING
WULUH (
Averrhoa bilimbi.
L) SEBAGAI BAHAN BAKU
PEMBUATAN BUBUK ASAM SUNTI MENGGUNAKAN
PENGERINGAN KABUT (
SPRAY DRYER
).
Oleh IRHAMI F153090051
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Irhami
ABSTRACT
IRHAMI. Study on Post-Harvest Handling of “Wuluh” Starfruit (Averrhoa bilimbi L.) as a Raw Material to Produce Asam Sunti Powder Using Spray Dryer Supervised by SUTRISNO and EMMY DARMAWATI.
Asam sunti is a kind of unique and popular seasoning in tradisional
food that made of the dried “wuluh” starfruit. Recently, asam sunti become
popular widely, not limited only in Aceh, therefore it is need to produce asam sunti in powder form such as tumeric powder, pepper, chili and some other spices. The problems in making asam sunti powder is the lack of quality standards of semi-wet asam sunti to be the raw material for powder asam sunti. The quality of
wet asam sunti is greatly influenced by the level of ripeness of “wuluh” starfruit
and its moisture content. Hence necessary to study the influence of fruit maturity level and mechanically drying temperature to produce of a semi-wet asam sunti which is the raw material of powder asam sunti. The purpose of this research is to determine a maturity level of fruit and the best drying temperature to produce semi-wet asam sunti and then to define of spray dryer temperature and addition of dextrin to produce asam sunti powder that meet with consumer preferences. The study was began by measuring the physicochemical properties of “wuluh” starfruit at three levels of maturity fruit, with parameter of color, size, firmness, total acid, and oxalic acid as the preliminary data from fresh sampel. The second stage of research was done to determine of drying time based on the final moisture content which is close with the moisture content of the control sampel (asam sunti from Aceh). The third stage of research was done to perform drying process of
“wuluh” starfruit using a cabinet dryer with drying time based on the results of the second stage, and follow by the last stage to study of producing asam sunti powder using a spray dryer. The best semi-wet asam sunti according to
consumers’ preferences are made from a half-mature starfruit (green-yellow) with the drying temperature 50 °C for 8 hours, where it has total acid 37.80%, oxalic acid 4.76% and will perform a rendemen of 50.74%. After that, semi-wet asam sunti is processed into asam sunti powder. The best asam sunti powder which is based on consumer preferences is combination of addition dextrin 30%, drying temperature 180 °C, and will produce the products with moisture content 5.14%, total acid 48.40%, oxalic acid 6.10%, and rendemen 11.28%. Meanwhile, when the local asam sunti is used as raw material for asam sunti powder, the best result based on consumer preferences should be produced by add 30% of dextrin with drying temperature of 170°C.
RINGKASAN
IRHAMI. Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer). Dibimbing oleh SUTRISNO dan EMMY DARMAWATI.
Belimbing wuluh merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di Indonesia khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Biasanya belimbing wuluh ini terlebih dahulu diolah menjadi makanan atau dikeringkan sebelum dikonsumsi. Di daerah Aceh pembuatan asam sunti saat ini belum berbentuk produk olahan yang praktis untuk digunakan seperti halnya bumbu masakan jahe, kunyit, lada, cabe dan beberapa bumbu masakan lainnya. Pengguna asam sunti yang tidak terbatas di wilayah Aceh, menjadi pendorong untuk membuat asam sunti dalam bentuk bubuk seperti halnya bubuk dari bumbu-bumbu yang lain. Masalah yang dihadapi saat ini dalam pembuatan asam sunti yaitu tidak seragamnya produk yang dihasilkan karena tingkat kematangan buah yang berbeda saat pengolahan, sehingga perlu adanya kajian terhadap penanganan pasca panen buah belimbing wuluh berdasarkan tingkat kematangan baik dari segi warna, ukuran maupun kekerasan dari komoditi tersebut untuk dijadikan produk asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kematangan belimbing wuluh dan perlakuan pengolahan dalam memproduksi bubuk asam sunti terhadap mutu yang dihasilkan, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan (menggunakan pengering kabinet) untuk menghasilkan asam sunti yang baik berdasarkan preferensi konsumen. (2) Menentukan suhu pengeringan terbaik spray dryer untuk menghasilkan bubuk asam sunti. (3) Menentukan perlakuan dekstrin yang optimum terhadap mutu bubuk asam sunti.
sunti semi basah dan bubuk asam sunti dihitung untuk melihat aspek ekonomisnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematangan buah belimbing wuluh setengah matang dengan suhu pengeringan 50°C selama 8 jam merupakan produk terbaik yang dipilih sesuai dengan preferensi konsumen untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan bubuk asam sunti dengan skor masing-masing parameter adalah rendemen 50.74%, kadar air 74.85%, pH 1.74, total asam 37.80% dan asam oksalat 4.76%; nilai kecerahan (L) 46.06, nilai a 0.05 dan nilai b 26.49. Suhu pengeringan spray dryer 180°C dengan konsentrasi dekstrin 30% merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan bubuk dari asam sunti hasil penelitian yang sesuai dengan tingkat kesukaan konsumen. Skor dari masing-masing parameter yang diperoleh yaitu rendemen 11.28%, kadar air 5.14%, pH 1.28, total asam 48.40%, asam oksalat 6.10% dan kelarutan 96.47%. Sedangkan suhu pengeringan 170°C dengan konsentrasi dekstrin 50% merupakan suhu yang dipilih untuk menghasilkan bubuk asam sunti lokal yang sesuai dengan tingkat kesukaan konsumen dengan masing-masing skor parameter yang diperoleh yaitu rendemen 14.84%, kadar air 6.36%, pH 1.27, total asam 61.16%, asam oksalat 7.71% dan kelarutan 82.80%. Hasil analisis nilai tambah proses produksi asam sunti semi basah dan bubuk asam sunti menyatakan bahwa sumbangan input lain terutama pada penggunaan alat mekanis sangat berperan penting. Tetapi proses produksi masih dapat dijalankan karena masih memberikan keuntungan bagi pemilik usaha.
® Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atas seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KAJIAN PENANGANAN PASCA PANEN BELIMBING
WULUH (
Averrhoa bilimbi.
L) SEBAGAI BAHAN BAKU
PEMBUATAN BUBUK ASAM SUNTI MENGGUNAKAN
PENGERINGAN KABUT (
SPRAY DRYER
).
IRHAMI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer)
Nama : Irhami
NRP : F153090051
Program Studi/Mayor : Teknologi Pasca Panen
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Ketua
Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Pasca Panen
Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah pengolahan
asam sunti menjadi produk bubuk sebagai bumbu masakan, dengan judul Kajian
Pembuatan Bubuk Asam Sunti dari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L)
Menggunakan Alat Pengering Kabut (Spray Dryer).
Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis haturkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si selaku
pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada
penulis mulai penyusunan proposal sampai pada penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si selaku penguji luar komisi atas saran dan
masukannya,
3. Ketua Mayor Teknologi Pascapanen, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB dan
staf,
4. Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen
Teknik Mesin dan Biosistem,
6. Bu Rus, Pak Mul, dan Pak Sulyaden yang sudah membantu dan memberikan
kemudahan dalam urusan administrasi Mayor TMB,
7. Orang tua penulis (H. Poniman Usman dan Dra. Hj. Sarwati Hamzah), suami
tercinta (Abdullah, S.TP), kakak dan adik tersayang (dr. Nurfitriani, Sp.P,
Nurbariah, M.Si, Muhammad Baiquni, ST) serta mertua atas segala kasih
sayang, kesabaran, doa dan dukungan selama penulis melaksanakan studi,
8. Rekan-rekan seperjuangan dalam TPP’09; Riwan, Jati dan Mamad, serta tak terlupakan temen-temen TPP’10, terimakasih atas kebersamaan dan dukungan selama studi,
10. Teman-teman Megakost; Epi, Tajul, Ayu, Putri, Vony, Nia, Mba Farida, Mba
Anty, Mba Tia, Mba Tami, terimakasih untuk kebersamaan dan canda
11. Serta masih banyak lagi ucapan terimakasih dan penghargaan penulis
sampaikan kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, Semoga Allah SWT senantiasa memberikan berkat dan
anugerah-Nya berlimpah bagi beliau-beliau yang tersebut di atas. Sangat disadari
dalam karya ilmiah ini terdapat banyak kekurangan oleh karena itu semua saran
dan kritik penulis terima dengan lapang dada demi kesempurnaan penulisan karya
ilmiah ini. Akhirnya harapan penulis semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
kita semua. Amin……….
Bogor, Juli 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Montasik, Aceh Besar pada tanggal 07 Juli 1980
sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara, dari pasangan H. Poniman Usman dan
Dra. Hj. Sarwati Hamzah. Penulis lulus dari MAN 2 Banda Aceh pada tahun 2000
lalu melanjutkan S1 tahun 2000 di Program Studi Tarbiyah Pendidikan Agama
Institut Agama Islam Negeri Arraniry (IAIN Arraniry) melalui jalur Undangan
dan selesai pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis juga diterima di
Program studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah
Kuala (UNSYIAH) melalui jalur UMPTN dan selesai tahun 2008. Pada tahun
2009, penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) pada Departemen Teknik
DAFTAR ISI
3.3.2. Penelitian Tahap Pertama ... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
4.1. Penelitian Pendahuluan ... 27
4.1.1. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua ... 27
4.1.2. Penelitian Pendahuluan Tahap Kedua ... 29
4.2. Penelitian Utama ... 31
4.2.1. Penelitian Utama Tahap Pertama ... 31
4.2.1.1. Rendemen Asam Sunti ... 31
4.2.1.7. Uji Organoleptik Asam Sunti ... 47
4.2.1.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa ... 47
4.2.1.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna ... 50
4.2.1.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma ... 51
4.2.1.7.4. Penerimaan Sensori Terhadap Tekstur ... 53
4.2.1.7.5. Penerimaan Keseluruhan ... 56
4.2.1.8. Perlakuan Terbaik Asam Sunti ... 58
4.2.2. Penelitian Utama Tahap Kedua ... 59
4.2.2.1. Rendemen Bubuk asam Sunti ... 62
4.2.2.2. Kadar Air Bubuk asam Sunti ... 65
4.2.2.3. pH Bubuk asam Sunti ... 68
4.2.2.4. Total Asam Bubuk asam Sunti ... 71
4.2.2.5. Asam Oksalat Bubuk asam Sunti ... 74
4.2.2.6. Daya Kelarutan Bubuk asam Sunti ... 76
4.2.2.7. Uji Organoleptik Bubuk asam Sunti ... 79
4.2.2.7.1. Penerimaan Sensori Terhadap Rasa ... 79
4.2.2.7.2. Penerimaan Sensori Terhadap Warna ... 83
4.2.2.7.3. Penerimaan Sensori Terhadap Aroma ... 86
4.2.2.7.4. Penerimaan Keseluruhan ... 90
4.2.2.8. Perlakuan Terbaik Bubuk Asam Sunti... 94
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi per 100 gram buah belimbing wuluh ... 6
2 Analisis perhitungan nilai tambah Hayami ... 18
3 Nilai warna, ukuran, kekerasan dan total asam belimbing wuluh dari berbagai tingkat kematangan ... 28
4 Kadar air dan waktu lama pengeringan belimbing wuluh untuk tiga tingkat kematangan ... 30
5 Kandungan Asam Organik Buah Belimbing Wuluh ... 43
6 Analisis Nilai Tambah Pengolahan Asam Sunti Semi Basah ... 97
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagian dari tanaman belimbing wuluh (a) pohon, (b) bunga dan
(c) buah ... 5
2 Skema respirasi klimakterik dan non-klimakterik ... 7
3 Alat pengering yang digunakan dalam penelitian (a) alat pengering
Kabinet dryer dan (b) alat pengering Spray dryer ... 19
4 Diagram pembuatan asam sunti ... 21
5 Diagram pembuatan asam sunti bubuk ... 22
6 Tingkat kematangan buah belimbing wuluh; (a) belum matang (hijau),
(b) setengah matang (hijau:kuning) dan (c) matang (kuning) ... 27
7 Perbandingan rendemen asam sunti berdasarkan tingkat kematangan
buah dan suhu pengeringan ... 31
8 Perbandingan kadar air asam sunti berdasarkan tingkat kematangan
buah dan suhu pengeringan ... 35
9 Perbandingan pH asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan... 37
10 Perbandingan total asam berdasarkan tingkat kematangan buah dan
suhu pengeringan ... 39
11 Perbandingan asam oksalat asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 42
12 Perbandingan tingkat kecerahan (Nilai L) asam sunti berdasarkan
tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 44
13 Perbandingan nilai a asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan... 45
14 Perbandingan nilai b asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah
dan suhu pengeringan... 45
15 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa asam sunti
berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 48
16 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa asam
sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 49
17 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna asam sunti Berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 50
19 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 52
20 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 52
21 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap tekstur asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 54
22 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap tekstur asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 55
23 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu pengeringan ... 56
24 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap produk asam sunti berdasarkan tingkat kematangan buah dan suhu
pengeringan ... 57
25 Hasil produk bubuk dari asam sunti hasil penelitian dengan berbagai
tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 61
26 Hasil produk bubuk dari asam sunti lokal dengan berbagai tingkat
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 61
27 Perbandingan rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 63
28 Perbandingan rendemen bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 64
29 Perbandingan kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 66
30 Perbandingan kadar air bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 67
31 Perbandingan pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 69
32 Perbandingan pH bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengeringan ... 70
33 Perbandingan total asam bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 72
34 Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 73
35 Perbandingan asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil penelitian
berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 74
36 Perbandingan total asam bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 75
37 Perbandingan daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil penelitian
38 Perbandingan daya kelarutan bubuk asam sunti lokal berdasarkan
konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 77
39 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ... 80
40 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ... 81
41 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap rasa bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 82
42 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan ... 83
43 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ... 84
44 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap rasa bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 85
45 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap warna bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 86
46 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap warna bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan ... 86
47 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 87
48 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ... 88
49 Perbandingan nilai penerimaan panelis Aceh terhadap aroma bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan ... 89
50 Perbandingan nilai penerimaan panelis luar Aceh terhadap aroma bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan suhu
pengeringan ... 90
51 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap bubuk dari asam sunti hasil penelitian berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ... 91
53 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengeringan ... 93
54 Perbandingan nilai penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh terhadap bubuk asam sunti lokal berdasarkan konsentrasi dekstrin dan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Lama pengeringan dan kadar air dari beberapa tingkat kematangan
belimbing wuluh dan suhu pengeringan ... 109
2 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti ... 110
3 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap rendemen asam sunti ... 110
4 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap kadar air asam sunti ... 111
5 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap kadar air asam sunti ... 111
6 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap pH asam sunti ... 112
7 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap pH asam sunti ... 112
8 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap total asam asam sunti ... 113
9 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap asam oksalat asam sunti ... 113
10 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti... 114
11 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan
Suhu pengeringan terhadap warna (nilai L) asam sunti ... 114
12 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap warna (nilai a) asam sunti ... 115
13 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap warna (nilai b) asam sunti ... 115
14 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis
Aceh ... 116
15 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis
16 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis luar
Aceh ... 117
17 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik rasa asam sunti panelis luar
Aceh ... 117
18 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam sunti panelis
Aceh ... 118
19 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik warna asam sunti panelis luar
Aceh ... 118
20 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis
Aceh ... 119
21 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis
Aceh ... 119
22 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis luar
Aceh ... 120
23 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik aroma asam sunti panelis luar
Aceh ... 120
24 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis
Aceh ... 121
25 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis
Aceh ... 121
26 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis luar
Aceh ... 122
27 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap organoleptik tekstur asam sunti panelis luar
Aceh ... 122
28 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis Aceh ... 123
30 Analisis sidik ragam pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis luar Aceh ... 124
31 Uji lanjut Duncan pengaruh tingkat kematangan belimbing wuluh dan suhu pengeringan terhadap penerimaan keseluruhan asam sunti panelis luar Aceh ... 124
32 Data parameter yang diuji pada berbagai tingkat kematangan belimbing Wuluh dan suhu pengeringan ... 125
33 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 126
34 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spraydryer terhadap rendemen bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 126
35 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap rendemen bubuk asam sunti lokal ... 127
36 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap rendemen
bubuk asam sunti lokal ... 127
37 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap kadar air bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 128
38 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap kadar air
bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 128
39 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal ... 129
40 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spraydryer terhadap kadar air bubuk asam sunti lokal ... 129
41 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 130
42 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap pH bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 130
43 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap pH bubuk asam sunti lokal ... 131
44 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap pH bubuk asam sunti lokal ... 131
45 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap total asam bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ... 132
46 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap total asam bubuk asam sunti lokal ... 132
47 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap total asam
48 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap asam oksalat bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ... 133
49 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap asam oksalat bubuk asam sunti lokal ... 134
50 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap asam oksalat bubuk asam sunti lokal ... 134
51 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ... 135
52 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spraydryer terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal ... 135
53 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal ... 136
54 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap daya kelarutan bubuk asam sunti lokal ... 136
55 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada rasa bubuk dari
asam sunti hasil penelitian ... 137
56 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap organoleptik
panelis Aceh pada rasa bubuk dari asam hasil penelitian ... 137
57 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa bubuk
dari asam sunti hasil penelitian ... 138
58 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan spray dryer dan interaksi terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa
bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 138
59 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada rasa bubuk asam
sunti lokal ... 139
60 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada rasa bubuk
asam sunti lokal ... 139
61 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada warna bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 140
62 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk
63 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ... 141
64 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada warna bubuk asam sunti lokal ... 141
65 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada warna bubuk
asam sunti lokal ... 142
66 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada aroma bubuk dari
asam sunti hasil penelitian ... 142
67 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 143
68 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin dan interaksi terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk dari asam sunti hasil
penelitian ... 143
69 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis Aceh pada aroma bubuk
asam sunti lokal ... 144
70 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap organoleptik panelis luar Aceh pada aroma bubuk asam sunti lokal ... 144
71 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 145
72 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap penerimaan
keseluruhan panelis Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian .... 145
73 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada
bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 146
74 Uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi dekstrin, suhu pengeringan dan interaksi terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada bubuk dari asam sunti hasil penelitian ... 146
75 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis Aceh pada bubuk
asam sunti lokal ... 147
76 Analisis sidik ragam pengaruh konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer terhadap penerimaan keseluruhan panelis luar Aceh pada
77 Data parameter bubuk asam sunti hasil penelitian yang diuji pada berbagai tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 148
78 Data parameter bubuk asam sunti lokal yang diuji pada berbagai tingkat konsentrasi dekstrin dan suhu pengeringan spray dryer ... 149
79 Data bahan baku dan bahan penolong, serta analisis nilai tambah
pengolahan asam sunti semi basah ... 150
80 Data bahan baku dan bahan penolong, serta analisis nilai tambah
pengolahan bubuk asam sunti ... 151
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) atau sering disebut belimbing
asam merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di Indonesia, khususnya
di Provinsi Aceh. Belimbing wuluh banyak ditanam masyarakat dan biasa dipakai
sebagai bumbu untuk beberapa masakan karena rasa khasnya tidak dapat
digantikan oleh buah lain. Biasanya belimbing wuluh ini terlebih dahulu diolah
menjadi makanan atau dikeringkan sebelum dikonsumsi (Lingga, 1997).
Di daerah Aceh, belimbing wuluh yang dikeringkan untuk bumbu
masakan dinamakan dengan ”asam sunti”. Pembuatan asam sunti saat ini masih dalam bentuk produk olahan semi basah, belum dijadikan produk olahan yang
lebih praktis untuk digunakan seperti halnya bumbu masakan seperti jahe, kunyit,
lada, cabe dan beberapa bumbu masakan lainnya. Upaya pembuatan
bumbu-bumbu dalam bentuk bubuk selain untuk kepraktisan dalam penggunaannya, juga
untuk meningkatkan nilai tambah melalui tindakan pemasaran yang lebih luas
dengan masa simpan lebih lama. Penggunaan asam sunti yang tidak terbatas
hanya di wilayah Aceh, menjadi pendorong untuk membuat asam sunti dalam
bentuk bubuk seperti halnya bubuk dari bumbu-bumbu yang lain.
Pengolahan asam sunti menjadi bubuk akan memudahkan dalam
penggunaannya karena bentuk bubuk lebih awet, penampakan lebih menarik dan
higienis, mudah dikemas dalam bentuk kemasan retail (eceran) yang menarik
sehingga dapat dipasarkan di pasar modern untuk meningkatkan nilai jual asam
sunti di luar Aceh.
Asam sunti (asam sunti semi basah) yang dihasilkan oleh masyarakat
Aceh pada umumnya diolah dari buah belimbing wuluh yang ada di lahan tanpa
memperhatikan kualitas bahan bakunya, diantaranya adalah tingkat kematangan
buah. Tingkat kematangan buah diduga akan berpengaruh terhadap mutu asam
sunti yang dihasilkan. Sebagai bahan baku bubuk asam sunti, maka asam sunti
yang dihasilkan dari pengolahan buah belimbing wuluh segar seharusnya
memiliki mutu yang baik dan distandarkan agar mudah dalam melakukan
kematangan buah dalam menghasilkan asam sunti perlu dilakukan untuk dapat
menetapkan tingkat kematangan dan lama pengeringan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan asam sunti dengan mutu yang baik dan diharapkan dapat dijadikan
standar bagi pembuatan bubuk asam sunti.
Penelitian pembuatan asam sunti secara mekanis dengan mesin
pengering telah dilakukan oleh Hayati (2002). Pada penelitian tersebut proses
pembuatan asam sunti dilakukan dengan menggunakan belimbing wuluh yang
umur petiknya 34 hari setelah bunga mekar. Hasil asam sunti terbaik diperoleh
pada perlakuan penggaraman awal saat pengeringan dengan suhu pengeringan
60ºC menggunakan cabinet dryer. Penggaraman dilakukan dengan penambahan
10% garam dalam tiga kali penambahan (Zuhra dan Syamsuddin, 2007).
Proses pembuatan bubuk berbahan hasil pertanian telah banyak
dilakukan dengan menggunakan proses spray drying (alat pengering kabut).
Metode pengeringan kabut mampu mengeringkan produk tanpa harus kontak
dengan permukaan panas sehingga komponen-komponen yang terdapat di dalam
bahan terutama yang peka terhadap panas tidak mengalami kerusakan setelah
menjadi produk. Waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan hanya
beberapa detik saja karena penguapan air terjadi pada permukaan yang luas,
sehingga produk yang dihasilkan memiliki sifat dan mutu yang dapat terkontrol
secara efektif. Pengeringan dengan spray drying dapat digunakan pada makanan
yang peka terhadap panas, menghasilkan produk yang relatif seragam dan
partikel-partikelnya berbentuk bulat mendekati proporsi yang sama.
Moreau dan Rosenberg (1996) mengemukakan bahwa pengeringan
dengan spray drying memberikan luas permukaan butiran yang sangat besar
sehingga mempertinggi proses oksidasi, oleh karena itu kulit yang melapisi
butiran harus mampu menahan masuknya O2. Penggunaan bahan penyalut untuk
enkapsulasi biasanya berupa hidrokoloid yaitu polimer rantai panjang dengan
berat molekul yang tinggi, memperlihatkan kelarutan yang tinggi dan memiliki
kemampuan mengemulsi, dapat membentuk lapisan film, serta memiliki
kemampuan mengering dan menghasilkan konsentrat larutan dengan viskositas
Fitrotin et al (2008) menjelaskan bahwa kandungan vitamin C
menurun setelah sari buah tomat dibuat menjadi bubuk yang diduga akibat
kerusakan vitamin C yang disebabkan oleh proses oksidasi. Oleh karena itu
penambahan dekstrin diharapkan dapat mengurangi kerusakan vitamin C.
Fennema (1985) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang
dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses
oksidasi dapat dicegah. Semakin tinggi proporsi dekstrin yang digunakan, lapisan
film yang mengelilingi droplet akan semakin tebal dan kuat, sehingga ketika
proses pengeringan berlangsung partikel vitamin C akan terlindungi (Rosenberg
et al., 1990).
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan kajian dalam
penyediaan bahan baku berupa pemilihan tingkat kematangan belimbing wuluh
segar, proses pembuatan asam sunti menggunakan pengering mekanis dengan
perlakuan suhu pengering, dan proses pembuatan bubuk asam sunti menggunakan
spray drying.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh
kematangan belimbing wuluh dan perlakuan pengolahan dalam memproduksi
bubuk asam sunti terhadap mutu yang dihasilkan.
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menentukan tingkat kematangan buah belimbing wuluh dan suhu pengeringan
(menggunakan pengering kabinet) untuk menghasilkan asam sunti yang baik
berdasarkan preferensi konsumen.
2. Menentukan suhu pengeringan terbaik spray dryer untuk menghasilkan bubuk
asam sunti.
3. Menentukan perlakuan dekstrin yang optimum terhadap mutu bubuk asam
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam:
1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai umur petik belimbing
wuluh (tingkat kematangan) yang terbaik untuk dijadikan sebagai bahan baku
bubuk asam sunti.
2. Memberikan alternatif produk asam sunti dalam bentuk bubuk instan yang
diharapkan mampu memberi nilai tambah, praktis dalam penggunaan dan
distribusinya.
3. Meningkatkan jangkauan distribusi dan nilai jual asam sunti di luar daerah
Aceh.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
Buah belimbing adalah nama Melayu untuk jenis tanaman buah dari
keluarga Oxalidaceae, marga Averrhoa. Tanaman belimbing dibagi menjadi dua
jenis, yaitu belimbing manis (Averrhoacarambola) dan belimbing asam
(Averrhoabilimbi) atau disebut juga dengan belimbing wuluh atau belimbing
sayur, belimbing asam atau belimbing buluh, merupakan tanaman yang
mempunyai buah berasa asam yang kaya khasiat dan sering digunakan sebagai
bumbu sayuran atau campuran jamu (Lingga, 1997).
Tumbuhan belimbing wuluh berjenis pepohonan yang hidup di
ketinggian dari 5-500 meter di atas permukaan laut. Pohon ini dapat mencapai
tinggi 10 meter dengan batang yang tidak begitu besar dan mempunyai garis
tengah sekitar 30 cm. Batang belimbing wuluh kasar, percabangannya sedikit dan
arahnya condong ke atas, dimana cabang muda berambut halus seperti beledru,
warnanya coklat muda. Daunnya majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang
anak daun. Perbungaan berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau
percabangan yang besar, bunganya kecil-kecil berbentuk bintang dengan warna
ungu kemerahan. Buahnya merupakan buah buni dengan bentuk bulat lonjong
bersegi yang memiliki panjang 4-10 cm. Buahnya berwarna hijau bila masih muda
dan berwarna kuning sampai kuning pucat bila telah masak, dimana daging
buahnya berair dan sangat asam (Gambar 1). Biasanya buah belimbing wuluh
digunakan sebagai penyedap masakan, membersihkan noda pada kain,
mengkilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan, juga sebagai bahan obat
tradisional (Anonim, 2010).
Belimbing wuluh selain mengandung vitamin A, B, dan C, juga
mengandung saponin dan flavonoid. Vitamin C dalam belimbing wuluh cukup
besar, tetapi kurang diminati oleh masyarakat karena rasanya sangat asam.
Belimbing wuluh jarang dimakan sebagai buah segar, tetapi lebih banyak
digunakan sebagai bumbu.
Kandungan gizi yang ada pada belimbing wuluh cukup banyak
sehingga bila tidak dimanfaatkan dengan baik akan sia-sia. Adapun komposisi
kimia yang terdapat dalam belimbing wuluh dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi per 100 gram buah belimbing wuluh
Komponen Jumlah
Energi (kal) 32
Karbohidrat (gr) 7
Protein (gr) 0.4
Vitamin C (mg) 52
Kalsium (mg) 10
Phospor (mg) 10
Zat Besi (mg) 1
Sumber: Lingga, 1985 di dalam Haryati (2010)
2.2. Fisiologi Pasca Panen Buah Belimbing
Rahardi et al (2000) mengatakan bahwa buah belimbing wuluh
termasuk ke dalam golongan buah non-klimakterik. Buah non-klimakterik
mempunyai pola respirasi yang berbeda dengan buah klimakterik, dimana pada
buah non-klimakterik, jumlah CO2 yang dihasilkan terus menurun secara
perlahan-lahan sampai pada saat senescene, sedangkan pada buah klimakterik
menunjukkan adanya laju produksi CO2 yang sangat rendah saat praklimakterik,
diikuti dengan peningkatan mendadak saat puncak klimakterik dan penurunan laju
produksi CO2 pada fase senesence (Gambar 2) (Winarno, 2002). Secara praktis,
perbedaan antara buah klimakterik dan buah non klimakterik terkait dengan
tingkat kematangan buah setelah panen maupun sebelum dipanen. Buah
klimakterik yang dipanen pada saat sudah tua (mature), untuk mendapatkan
kematangan yang optimum dapat dilakukan dengan pemeraman (karbit), tetapi
di pohon, bila buah dipanen dalam keadaan belum matang maka buah tersebut
tidak akan matang lagi setelah dipanen.
Gambar 2. Skema Respirasi Klimakterik dan Non-Klimakterik
Menurut Muchtadi (1992), selama proses pematangan terjadi beberapa
perubahan penting pada buah-buahan, misalnya warna yang asalnya hijau menjadi
kuning atau merah, rasa yang asalnya asam menjadi manis, teksturnya menjadi
lebih lunak, terbentuknya vitamin, dan timbulnya aroma yang khas karena
terbentuknya senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatil). Proses di atas
dapat terjadi pada buah klimakterik pasca dipanen tetapi tidak dapat terjadi pada
buah non-klimakterik.
Mutu buah yang baik adalah apabila pemanenan dilakukan pada
tingkat kematangan yang tepat. Selama pematangan, buah mengalami beberapa
perubahan dalam warna, tekstur dan bau yang menunjukkan bahwa terjadi
perubahan-perubahan dalam susunannya. Pantastico (1997) mengatakan bahwa
pada jeruk manis perubahan warna diakibatkan oleh perombakan klorofil dan
pembentukan zat warna karotenoid. Sedangkan pada buah belimbing, perubahan
warna yang terjadi tidak menyolok, karena pada umur buah di atas 40 hari setelah
bunga mekar baru terjadi perubahan warna dari hijau menjadi kuning.
Menetapkan tingkat kematangan buah pada saat panen akan sangat
menentukan kualitas dan kuantitas hasil, dan juga sangat berpengaruh pada
buah, kadar asam organik cenderung menurun akibat dikonversi menjadi gula
(Zulkarnain, 2010).
Menurut Prabowo (2009) umur panen buah belimbing sangat
dipengaruhi oleh letak geografi penanaman, yaitu faktor lingkungan dan iklim.
Ciri buah belimbing yang sudah saatnya dipanen adalah ukurannya besar
(maksimal), telah matang dan warna buahnya berubah dari hijau menjadi kuning.
Waktu panen merupakan faktor yang penting dalam mengurangi
kemerosotan kualitas karena dapat mempengaruhi kelunakan dari produk
akhirnya. Pelunakan buah biasanya disebabkan karena adanya perombakan
protopektin yang tidak larut menjadi larut atau hidrolisis zat pati atau lemak.
2.3. Asam Sunti
Asam sunti adalah jenis bumbu dapur khas Aceh yang terbuat dari
belimbing wuluh yang telah dikeringkan. Biasanya bumbu dapur ini digunakan
masyarakat Aceh dalam masakan yang memiliki rasa asam pedas seperti gulai
asam ke’eung (ikan bilis), uengkoet kemamah (ikan kayu), pepes ikan dan
sebagainya.
Di daerah Aceh, cara pembuatan asam sunti adalah buah belimbing
setelah dipanen, dicuci, kemudian dijemur pada sinar matahari. Setelah
penjemuran tahap pertama, belimbing kemudian diberi garam dan disimpan di
tempat yang teduh dan keesokan harinya dijemur kembali. Kandungan asam dan
garam yang cukup tinggi pada asam sunti dapat menghambat proses pembusukan
oleh mikroorganisme. Penjemuran dilakukan secara berulang-ulang sampai
belimbing kering atau kandungan airnya menurun. Biasanya asam sunti yang
dihasilkan berwarna coklat dan teksturnya kenyal, bentuknya pipih, ukurannya
lebih kecil dari buah segar karena kadar airnya sudah berkurang, rasanya asam
dan asin. Asam sunti dapat disimpan dalam waktu lebih dari 3 bulan (Aceh Pedia,
2009).
2.4. Garam
Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia.
Bentuknya kristal putih, tetapi kadang-kadang berwarna kuning kecoklatan yang
laut karena air laut mengandung ± 3% garam dapur. Biasanya garam dapur yang
tersedia secara umum adalah Natrium Klorida (NaCl).
Secara umum garam terdiri dari 39.39% Na dan 60.69% Cl dengan
kristalnya berbentuk seperti kubus dan berwarna putih. Garam digunakan sebagai
pengawet karena mempunyai tekanan osmotik yang tinggi, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya proses osmose dalam bahan dan pada sel-sel
mikroorganisme yang menyebabkan plasmolisis sehingga air sel mikroorganisme
tertarik keluar dan mikroorganisme mati (Sastra, 2008).
Dalam proses penggaraman bahan akan mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain yaitu kadar air, berat akhir bahan,
pH, tekstur dan warna. Penggunaan garam dalam pengolahan bahan makanan
selain berfungsi untuk mencegah pembusukkan juga berfungsi untuk membentuk
cita rasa. Garam memiliki cita rasa yang khas sehingga penambahan garam pada
suatu bahan juga dapat meningkatkan cita rasa dari bahan tersebut. Penggunaan
garam dalam proses fermentasi seringkali menghasilkan komponen-komponen
yang membentuk cita rasa seperti pada pembuatan kecap, asinan, dan sebagainya.
Garam juga berfungsi sebagai katalisator pertumbuhan bakteri
halofilik. Penggunaan garam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan bakteri
proteolitik (Winarno dan Fardiaz, 1982). Syarief dan Halid (1993), juga
berpendapat bahwa penggaraman bahan pangan akan membatasi jumlah dan jenis
mikroorganisme yang dapat tumbuh. Hal ini juga dapat disebabkan karena
pengurangan aktivitas air bahan pangan oleh garam itu sendiri. Penyimpanan ikan
asin pada kadar air 15 persen dengan kadar garam 5-20 persen dapat
mempertahankan daya simpan hingga lebih dari satu tahun. Beberapa jenis bakteri
yang toleran terhadap kadar garam yang tinggi bahkan tidak dapat tumbuh bila
kadar garam pada bahan pangan kurang dari 10 persen. Biasanya konsentrasi
garam dapur yang digunakan untuk mengawetkan ikan dan juga bahan-bahan lain
adalah minimal sebanyak 20% atau 2 ons/kg bahan (Anonim, 2000).
Menurut Muchtadi dan Tien (1989), cara penggaraman dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu metode penggaraman kering dan metode
penggaraman basah. Metode penggaraman kering yaitu menggunakan garam
menggunakan larutan garam pada bahan yang akan direndam. Pada pembuatan
asam sunti biasanya dilakukan penggaraman dengan cara kering dan konsentrasi
garam yang ditambahkan berkisar 10-20% dari berat buah belimbing wuluh.
2.5. Bubuk
Bubuk dan tepung biasanya dibedakan berdasarkan ukuran partikel.
Bubuk merupakan produk yang mempunyai ukuran partikel lebih kasar dan dapat
melewati saringan berukuran 10-60 mesh. Sedangkan tepung mempunyai ukuran
partikel yang lebih halus dan dapat disaring melalui saringan berukuran 100 mesh
(Muchtadi, 1989 ; Winarno, 1993).
Dalam proses pengolahan bahan pangan, pengayakan sering digunakan
untuk memisahkan campuran yang berbentuk butiran atau bubuk dalam suatu
interval ukuran tertentu. Pada tepung hasil pengayakan dapat dicapai dengan 80
mesh, sedangkan pada bubuk adalah 60 mesh. Perbedaan mesh ini disebabkan
karena bubuk masih dalam keadaan kasar, sedangkan tepung sudah dalam
keadaan halus sehingga mudah menembus pori-pori dari ayakan mesh yang
memiliki lubang sesuai dengan jumlah mesh yang dihasilkan (Mc Cabe et al.,
1994).
Produk bubuk selain bentuknya yang menarik, saat ini juga sangat
diminati oleh masyarakat karena memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah
dalam penggunaan, umur simpannya panjang karena kadar air bahan rendah,
bubuk yang dihasilkan tidak menggumpal sehingga perlu digunakan kemasan
yang kedap udara agar uap air dari lingkungan tidak masuk ke dalam kemasan,
dan tidak memakan banyak tempat untuk penyimpanannya.
Penelitian untuk membuat produk bubuk dari komoditi hasil pertanian
telah banyak dilakukan antara lain yaitu pembuatan bubuk Spice Blend dari
daging buah pala sebagai flavor, bubuk konsentrat kunyit, bubuk bawang putih,
bubuk cabe merah, bubuk pepaya terfermentasi, minuman bubuk jambu biji dan
masih banyak lagi komoditi pertanian lainnya yang diproduksi dalam bentuk
2.6. Pengeringan
Pengeringan merupakan bagian penting dari proses penanganan pasca
panen produk pertanian. Kadar air yang tinggi, membuat pertumbuhan
mikroorganisme sangat cepat yang akan mengakibatkan berbagai kerusakan baik
secara fisik maupun kimia. Hal tersebut akan menyebabkan umur simpan produk
pertanian menjadi sangat pendek.
Menurut Winarno (1993) pengeringan merupakan suatu cara untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan
menguapkan sebagian besar air yang dikandung melalui penggunaan energi panas.
Biasanya, kandungan air bahan tersebut dikurangi sampai batas tertentu sehingga
mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Selama proses
pengeringan, air dalam bahan pangan akan dipindahkan ke permukaan bahan dan
kemudian diuapkan jika RH (kelembaban) ruangan lebih rendah. Proses ini terjadi
hingga keseimbangan kadar air bahan dengan RH lingkungan tercapai (Kuswanto,
2003).
Taib et al (1988) menyatakan bahwa parameter yang mempengaruhi
kecepatan pengeringan antara lain adalah suhu, kelembaban, laju aliran udara,
kadar air bahan, jenis alat pengering dan bahan baku yang ditambahkan. Ukuran
bahan juga mempengaruhi cepat lambatnya proses pengeringan yang berlangsung.
Proses pengeringan akan berlangsung lebih lama dengan rendahnya suhu
pengeringan. Namun, jika suhu terlalu tinggi maka bahan akan mengalami
kerusakan baik secara fisik maupun kimia. Kelembaban berbanding lurus dengan
waktu pengeringan. Jika kelembaban udara tinggi, proses pengeringan akan
berlangsung lama. Laju pengeringan akan konstan sampai kadar air bebas di
permukaan telah hilang dan laju pengeluaran air makin lama makin berkurang.
Kadar air pada saat laju pengeringan berubah dari konstan ke pengeringan
menurun disebut kadar air kritis (Brooker et al., 1974).
Menurut Devahastin (2000), pengeringan terjadi melalui penguapan
cairan dengan pemberian panas ke bahan umpan basah. Panas yang diberikan
dapat disediakan melalui konveksi (pengering langsung), medium pemanas yang
dipakai biasanya udara panas atau gas-gas pembakaran ini kontak langsung
dalam produk pangan. Konduksi (tidak langsung), medium pemanas yang
digunakan biasanya uap panas dan terpisah dari bahan padat yang akan
dikeringkan, radiasi atau secara volumetrik dengan menempatkan bahan basah
tersebut dalam medan elektromagnetik gelombang mikro atau frekuensi radio.
Seluruh cara pengeringan kecuali gelombang mikro atau frekuensi radio,
menyediakan panas pada batas objek yang dikeringkan sehingga panas berdifusi
ke dalam padatan dengan cara konduksi. Cairan harus bergerak ke batas bahan
sebelum diangkut keluar oleh gas pembawa (atau dengan penerapan vakum pada
pengeringan non konveksi).
Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu dijemur, pengeringan buatan (menggunakan alat pengering), dan
pengeringan beku (freeze drying). Pemilihan alat pengering disesuaikan dengan
sifat dan karakteristik bahan yang dikeringkan, bentuk produk akhir yang
diinginkan, dan cara kerja mesin pengering (Loesecke dalam Ginting, 2004).
Bahan pangan yang berbentuk padat umumnya dikeringkan dengan cabinet dryer,
tray dryer, tunnel dryer, dan lain-lain. Bahan pangan yang berbentuk cair
dikeringkan dengan menggunakan spray dryer dan drum dryer.
2.6.1. Pengering Kabinet
Pengering kabinet terdiri dari suatu ruangan dimana rak-rak untuk
produk yang dikeringkan dapat diletakkan di dalamnya. Di dalam pengering yang
berukuran besar tersebut, rak-rak pengering disusun di atas kereta untuk
memudahkan penanganannya, sedangkan dalam unit yang berukuran kecil,
rak-rak pengering dapat disusun di atas suatu penyangga yang tetap di dalam
pengering tersebut. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin melalui
suatu pemanas dan kemudian menembus rak-rak yang berisi bahan pangan yang
dikeringkan.
Pengering kabinet biasanya merupakan pengering yang paling murah
pembuatannya, mudah pemeliharaannya, dan sangat luwes penggunaannya. Pada
umumnya pengering ini digunakan untuk penelitian-penelitian dehidrasi sayuran
dan buah-buahan di dalam laboratorium, dan di dalam skala kecil serta digunakan
2.6.2. Pengering Kabut (Spray Dryer)
Proses pengeringan dengan spray dryer adalah suatu proses mengubah
bahan fluida menjadi produk kering dalam satu operasi. Menurut Suharto (1991),
spray dryer digunakan untuk mengeringkan bahan yang berbentuk larutan kental
(viscous) serta berbentuk pasta (cream). Biasanya produk yang diperoleh dari
mesin ini yaitu dalam pengolahan susu menjadi tepung, susu telur menjadi tepung
telur maupun berbagai bahan lainnya. Prinsip pengeringan kabut ini cukup
sederhana, yang mana larutan disemprotkan menuju ke dalam ruang pengering.
Cairan yang diatomisasikan menggunakan nozzle dan butiran air kontak secara
mendadak dengan udara panas dalam ruang pengering. Hasil evaporasi yang cepat
mengandung suhu butiran yang rendah sehingga suhu pengering yang tinggal
dapat digunakan tanpa mempengaruhi produk. Waktu pengeringan yang sangat
singkat memungkinkan spray dryer digunakan untuk produk-produk yang peka
terhadap panas dan menghasilkan produk berkualitas tinggi (Widodo dan
Budiharti, 2006).
Suhu inlet dan suhu outlet yang digunakan pada spray dryer
tergantung dari bahan yang akan dikeringkan. Pola aliran udara, kelembaban,
suhu, aliran cairan dan pembentukan butiran merupakan variabel-variabel proses
utama dari spray dryer. Menurut Singh dan Heldman (2001), keuntungan dari
penggunaan alat spray dryer adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi dalam
ruang pengeringan (residence time) singkat dan produk akhir siap dikemas ketika
selesai proses dengan kadar air bahan yang dihasilkan berkisar 3% hingga 5%
dengan tekanan-tekanan nozzle sekitar 125 hingga 350 kg/cm2 (122.58 hingga
343.23 bar) (Suharto, 1991). Residence time pada alat pengering semprot yaitu
antara 5-100 detik dan partikel yang dihasilkan mempunyai ukuran 10-500 µ m
(Canovas dan Mercado, 1996). Oleh karena tuntutan produk, maka udara/uap
yang masuk pun dipergunakan penyaring untuk membersihkan udara panas ke
dalam ruang pengering. Tempat pengumpul hasil pengeringan berada pada bagian
paling bawah dari ruang pengering dan dikumpulkan dengan bantuan pengerok
ataupun klep yang berputar. Pada sebagian tipe mesin yang lain, bahan kering
keluar dari ruang pengeringan bersama-sama dengan udara panas/uap panas yang
Menurut Masters didalam Lindawati (1992), ada tiga elemen
terpenting pada alat spray dryer yaitu atomizer, ruang pengering dan pengumpul
partikel-partikel kering yang dihasilkan. Masing-masing elemen tersebut
memerlukan kondisi tertentu yang sangat tergantung dari sifat bahan yang akan
dikeringkan. Untuk buah-buahan, suhu pengeringan yang umum digunakan
berkisar antara 135-180ºC.
Penelitian yang dilakukan Rahayu (1988), menghasilkan bubuk
bawang putih terbaik yaitu produk cukup kering dengan aroma yang masih tajam
dengan menggunakan spray dryer pada kisaran suhu 160-170ºC dibandingkan
dengan pengeringan menggunakan sinar matahari, oven biasa (Electric driyer
oven), cabinet dryer, dan oven vakum. Sedangkan pada penelitian Lindawati
(1992), produk minuman bubuk jambu biji terbaik diperoleh pada penggunaan
suhu spray dryer180ºC dengan tekanan 4,8 kg/cm2. Bila tekanan dinaikkan atau
diturunkan akan diperoleh produk yang agak basah (lengket).
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2002), menyatakan
bahwa suhu terbaik untuk mengeringkan gelatin tipe A dan tipe B dari kulit sapi
menggunakan spray dryer adalah suhu 170ºC dengan laju alir bahan 15 ml/menit.
Karakteristik kedua jenis gelatin tersebut masuk dalam standar SNI yang berlaku.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Sharief (2006), penggunaan spray dryer
dengan suhu 180ºC, menghasilkan rendemen teh hijau instan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan penggunaan suhu 120 dan 150ºC. Teh hijau instan yang
dihasilkan bersifat mudah larut pada air panas.
2.7. Dekstrin
Young et al (1993) mengatakan bahwa untuk bahan-bahan yang akan
menggunakan metode spray drying maka bahan penyalut yang digunakan harus
memperlihatkan kemampuan kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan
mengemulsi, dapat membentuk lapisan, kemampuan mengering dan menghasilkan
konsentrat larutan dengan viskositas yang rendah. Pada penggunaan spray dryer
untuk mengenkapsulasikan bahan, maka bahan yang akan dilakukan atomisasi
sebelumnya harus dilarutkan terlebih dahulu bersama bahan pengenkapsulasinya,
Senyawa yang paling sering digunakan untuk enkapsulasi adalah pati
yang telah dimodifikasi oleh asam, basa dan enzim yang biasanya dipecah-pecah
sampai Dextrose Equivalent (DE) tertentu. Salah satu produk yang dihasilkan
oleh degradasi pati yang memiliki viskositas rendah serta DE lebih kecil dari 20
yaitu dekstrin.
Dekstrin merupakan oligosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis pati
secara tidak sempurna, sehingga dihasilkan zat dengan berat molekul yang lebih
kecil dan larut dalam air. Acton (1976) menyatakan bahwa dekstrin mempunyai
rumus molekul (C6H10O5)n dan struktur molekulnya lebih kecil dan bercabang
dibandingkan pati. Menurut Shallenberger dan Birch (1975), struktur molekul
dekstrin berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavor akan terperangkap di
dalam struktur “spiral helix”. Dengan demikian penambahan dekstrin dapat menekan komponen volatil selama proses pengolahan.
Dekstrin merupakan campuran dari banyak jenis molekul
oligosakarida yang berbeda baik dalam ukuran maupun dalam derajat
percabangannya. Perbedaan struktur molekul pati dengan dekstrin menyebabkan
terjadinya perbedaan sifat antara pati dan dekstrin tersebut. Dalam pembuatan
dekstrin, rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh suatu enzim atau
hidrolisa asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu dengan
6-10 unit glukosa. Dengan berkurangnya panjang rantai, maka terjadi perubahan
sifat dimana pati yang tidak larut dalam air dingin menjadi dekstrin yang mudah
larut (Somaatmadja, 1970).
Fennema (1976) mengatakan bahwa dekstrin mempunyai viskositas
yang relatif rendah, karena itu pemakaian dekstrin dalam jumlah banyak masih
diijinkan. Hal ini sangat menguntungkan apabila pemakaian dekstrin sebagai
bahan pengisi (filler) karena dapat meningkatkan berat produk yang dihasilkan
dalam bentuk bubuk.
Penambahan dekstrin tidak meningkatkan kekentalan secara berlebihan
sehingga dapat digunakan lebih banyak, tetapi konsentrasi dekstrin yang terlalu
banyak dapat mengakibatkan warna produk menjadi pucat. Penambahan dekstrin
juga dapat meningkatkan rendemen serta mempermudah proses pengeringan.
flavor, lemak dan bahan-bahan lain, yang tidak mengkristal dan terbentuk
penampakan yang baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitrotin et al (2008), menyatakan
bahwa penambahan konsentrasi dekstrin 5% memberikan kualitas bubuk sari buah
tomat yang baik. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Murtala (1999),
menyatakan bahwa penambahan dekstrin 10% menghasilkan kualitas bubuk sari
buah markisa yang baik secara fisik, kimia dan organoleptik. Adapun pada
penelitian yang dilakukan oleh Lindawati (1992), menyatakan bahwa penambahan
konsentrasi dekstrin 9% memberikan hasil yang baik pada minuman bubuk jambu
biji daripada penambahan konsentrasi dekstrin 17% yang menghasilkan
penampakan produk yang kurang baik.
2.8. Analisis Nilai Tambah (Metode Hayami)
Nilai tambah didefinisikan sebagai pertambahan nilai yang terjadi pada
suatu komoditas karena komoditas tersebut mengalami proses pengolahan lebih
lanjut dalam suatu proses produksi (Harjanto, 1989). Analisis nilai tambah ini
merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar imbalan
bagi tenaga kerja dan keuntungan yang diperoleh pengusaha untuk setiap
kilogram bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. Nilai tambah yang
tinggi dapat digunakan sebagai parameter untuk pengembangan suatu
agroindustri. Salah satu metode yang digunakan untuk melakukan analisa nilai
tambah dari pengolahan hasil pertanian adalah metode Hayami (Tabel 2)
Pada perhitungan nilai tambah dapat diketahui kategori suatu
agroindustri berdasarkan rasio nilai tambahnya yang dihasilkan dari pembagian
antara nilai tambah dan nilai output dari produk dan dipersenkan. Dengan rasio
nilai tambah, maka suatu agroindustri dapat dikategorikan bernilai tambah rendah,
sedang atau tinggi. Kategori nilai tambah rendah, sedang dan tinggi ditentukan
dengan kriteria, yaitu nilai tambah dikatakan rendah jika nilai rasio <15%, sedang
Pengolahan produk pertanian menjadi produk-produk tertentu untuk
diperdagangkan akan memberikan banyak arti ditinjau dari segi ekonomi menurut
(Soekartawi, 2001) antara lain:
1. Meningkatkan nilai tambah
Adanya pengolahan produk pertanian dapat meningkatkan nilai tambah, yaitu
meningkatkan nilai (value) komoditas pertanian yang diolah dan meningkatkan
keuntungan pengusaha yang melakukan pengolahan komoditas tersebut.
2. Meningkatkan kualitas hasil
Dengan kualitas hasil yang lebih baik, maka nilai barang akan menjadi lebih
tinggi. Kualitas hasil yang baik dipengaruhi oleh komposisi bahan baku yang
digunakan. Perbedaan segmentasi pasar, tetapi juga mempengaruhi harga
barang itu sendiri.
3. Meningkatkan pendapatan
Selain pengusaha, petani penghasil bahan baku yang digunakan dalam industri
pengolahan tersebut akan mengalami peningkatan pendapatan.
4. Menyediakan lapangan kerja
Dalam proses pengolahan produk-produk pertanian menjadi produk lain
tentunya tidak terlepas dari adanya keikutsertaan tenaga manusia sehingga
proses ini akan membuka peluang bagi tersedianya lapangan kerja.
5. Memperluas jaringan distribusi
Adanya pengolahan produk-produk pertanian akan menciptakan atau
meningkatkan diversifikasi produk sehingga keragaman produk ini akan
Tabel 2. Analisis Perhitungan Nilai Tambah Hayami
7.Upah Tenaga Kerja Langsung (Rp/HOK) (7)
II. Penerimaan dan Keuntungan
8.Harga bahan Baku (Rp/Kg) (8)
9.Sumbangan Input Lain (Rp/Kg) (9)
10. Nilai Output (Rp/Kg) (10) = (4) x (6)
11. a. Nilai Tambah (Rp/Kg) b. Rasio Nilai Tambah (%)
(11a) = (10) – (9) – (8) (11b) = (11a)/(10) x 100% 12. a. Pendapatan Tenaga Kerja Langsung (Rp/Kg)
b. Pangsa Tenaga Kerja (%) III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi
14. Marjin (Rp/Kg)