• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Posisi Subjek-Objek

5.1.4.3. Susi dan Nilai yang Diwariskan dari Ibu

A. Posisi Subjek-Objek

Dalam teks ini aktor yang berperan sebagai Subjek adalah Susi dan Objek dari teks ini adalah Ibu dari Susi. Susi menceritakan mengenai sosok Ibunya dan yang terpenting mengenai nilai-nilai kehidupan yang dia warisi dari Ibunya, karena perjalanan hidup yang keras, Susi mempelajari mengenai kerasnya hidup dan bagaimana cara bertahan dalam saat-saat seperti itu dari Ibunya. 3 hal penting yang di pelajari Susi adalah kemandirian, konsistensi dan kerja keras dalam upaya mencapai tujuan hidup mereka.

Susi memilih mempelajari sisi nilai-nilai kehidupan yang mampu membuatnya menjadi pejuang dalam karirnya melalui ibunya. Dalam perkembangannya, kemandirian, konsistensi dan kerja keras masih sangat jarang dijumpai pada perempuan di zaman ibu Susi, sehingga bagi Susi nilai-nilai tersebut menjadi sangat berharga. Kemandirian sendiri memiliki kata dasar „mandiri‟ yang berasal dari kata independent dalam bahasa Prancis pada awal abad ke 17 yang Andy : Mana percaya, terus entar saya percaya anda bisa jahit ya, jadi nilai-nilai apa yang anda dapatkan, atau yang anda warisi dari Ibu seperti itu ?

Susi : kemandirian dan konsisitensi untuk mencapai goal dan kerja keras

73

berarti Qui n'est en aucune façon lié à autre chose, qui est sans rapport avec autre chose (Larousse France-English Dictionary,2017) yang diartikan sebagai Which is in no way linked to something else, which is unrelated to anything else, makna yang sama juga dijelaskan dalam KBBI nomina „kemandirian‟ diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain, secara keseluruhan dari definisi ini mengarah pada individu yang mampu bertahan sendiri dan berjuang dalam hidupnya. Susi sebagai individu yang mewarisi nilai ini dari ibunya menunjukan bahwa sebagai seorang menteri dan pemimpin Susi memiliki kemandirian itu dalam dirinya, kemandirian ini juga ternyata mengambil andil dalam perkembangan wacana maskulinitas yang ada didalam masyarakat mengenai Susi, karena dalam 8 konsep maskulinitas yang diungkap Beynon dalam Dermantoto dalam Nahdar (2016) terdapat salah satu konsep maskulinitas mengenai kemnadirian yaitu, Be Sturdy Oak yaitu agar dapat dikategorikan maskulin, seorang individu harus memiliki rasionalitas, kuat dan kemandirian.

Kata selanjutnya juga memperkuat karakter pejuang Susi, „Konsistensi‟ dengan bentuk asal consistentia dari bahasa Late Latin yang diartikan sebagai Standing Firm yang dalam bentuk kata sifat (adjektiva) arti kata ini mengarang pada berdiri kokoh pada pendirian dan tegas ataupun tangguh. Dalam hal ini Susi menjadi Sosok yang harus tetap berdiri pada pendiriannya dan tidak pernah hilang fokus menuju tujuan awalnya, salah satu aspek konsistensi ini memiliki pandangan maskulin dalam masyarakat, konsistensi membutuhkan ketegaran serta ketegasan dalam mengambil keputusan ataupun bertindak, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ketegasan dan ketegaran dalam mepertahankan konsistensi merupakan karakter yang melekat pada laki-laki, konstruksi yang dibangun pada laki-laki ini coba

74

dijelaskan oleh Donaldson (1993) dalam Dermantoto (2010) bahwa dalam masyarakat terdapat tolak ukur maskulinitas yang tidak tertulis namun disepakati bersama salah satunya yaitu laki-laki pantang menangis, harus tampak tegar, kuat dan pemberani. Sehingga ketika diterapkan pada seorang perempuan dalam hal ini Susi, maka pandangan masyarakat adalah Susi adalah perempuan maskulin karena karakter tersebut dikonstruksikan sebagai milik laki-laki maskulin.

Kata selanjutnya adalah „kerja keras‟ yang terdiri dari dua kata dasar „kerja‟ dan „keras‟ masing-masing kata memiliki definisi tersendiri berdasarkan konteks kalimat. Kata „kerja‟ yang berdasarkan asal mula kata ini berasal dari bahasa Jerman Wyrcan dan kemudian diterapkan dalam bahasa Inggris sebagai work yang berdasarkan konteks kalimat diatas dapat diartikan sebagai activity involving mental or physical effort done in order to achieve a purpose or result atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai aktivitas/kegiatan yang melibatkan usaha secara fisik dan mental dalam usaha untuk memenuhi tujuan dan memperoleh hasil, sedangkan kata „keras‟ yang berasal dari bahasa Jerman hart dan seirig berjalannya waktu diterapkan dalam bahasa Inggris modern sebagai adjektiva hard yang dalam definisinya memiliki dua arti, dalam konteks kalimat ini arti yang sesuai adalah requiring a great deal of endurance or effort atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai membutuhkan usaha dan kesabaran dalam mencapai hal yang ingin dituju.

Dari definisi kata „kerja keras‟ memiliki makna yang kuat dalam merepresentasikan kepribadian Susi sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang kuat dalam pandangan masyarakat. sama halnya dengan karakter-karakter sebelumnya, faktor kerja keras juga memiliki nilai maskulin dalam masyarakat, perempuan yang dikonstruksikan dengan kelembutan dan lebih menggunakan hati dari

75

pada rasionalitas sangat jauh dari kata kerja keras dalam ranah kerja professional, „kerja keras‟ dari awal dikonstruksikan pada laki-laki. Seorang laki-laki wajib bekerja keras dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, salah satu konsep yang menjelaskan kosntruksi diatas adalah konsep dari Barker bahwa Maskulinitas tradisional menganggap tinggi nilai-nilai, antara lain kekuatan, kekuasaan, ketabahan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri, kesetiakawanan laki-laki, dan kerja. Di antara yang dipandang rendah adalah hubungan interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan, dan anak-anak (Nasir,2007 dalam Dermantoto,2010).

B. Posisi Pembaca

Dalam teks ini Pembaca yaitu pemirsa, diposisikan sebagai seorang anak perempuan, bagaimana dia mampu melihat perjalanan berat hidup Ibunya dan mengambil setiap nilai yang dapat dia pelajari dari Ibunya, kemudian dengan jelas menunjukan penerapan setiap nilai tersebut dalam kerja mereka.

Secara tidak langsung melalui teks diatas, Susi mencoba menghantar pemikiran perempuan-perempuan yang menjadi pembaca teks ini melakukan hal serupa, mengambil setiap hal positif yang dapat dipelajari dari orang tua mereka. Secara tidak langsung makna setiap nilai tersebut memiliki unsur maskulin, sehingga setiap perempuan perlu memahami semua nilai itu sebagai suatu nilai yang harusnya juga menjadi kepemilikan perempuan dan bukan hanya berhenti pada kosntruksi yang menjadikan nilai-nilai tersebut milik laki-laki maksulin.

76

5.1.5. Segment 6

5.1.5.1. Peristiwa Kematian Anak Susi

Dokumen terkait