HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Capaian Program RTLH di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Persentase jumlah RTLH belum tertangani dibandingkan dengan jumlah
4.1.3. Swadaya yang Dimiliki Masyarakat
4.1.3.2. Swadaya Non Material
Masyarakat penerima bantuan juga mengusahakan swadaya non material dalam proses pembangunan rumah mereka. swadaya tersebut berupa pembangunan rumah secara bergotong royong. Biaya upah tukang tidak terdapat dalam seluruh skema bantuan RTLH, hanya skema BSPS dan DAK saja yang memberikan ruang bantuan untuk memberi upah tukang. Oleh karena itu, pembangunan secara gotong royong diharapkan dapat meringankan beban para penerima bantuan RTLH.
1. Gotong Royong Pembangunan
Swadaya non material berupa gotong royong pembangunan Rumah Tidak Layak Huni yang dilaksanakan oleh masyarakat adalah berupa:
a. Gotong Royong Perubuhan Rumah dan Pemasangan Atap
Sebagian besar masyarakat di Jawa Tengah melakukan gotong royong kerja bakti saat merubuhkan rumah dan memasang atap.
Gotong royong tersebut dilakukan oleh para tetangga pada satu RT/RW/Desa/Dusun. Perubuhan rumah biasanya juga disertai dengan pembuatan pondasi rumah. Gotong royong ini biasanya hanya dilakukan selama satu hari saja. Hari-hari berikutnya, pembangunan rumah dilakukan oleh tukang yang diupah. Pada tahap akhir yaitu saat pemasangan atap, warga sekitar penerima bantuan
53 kembali melakukan gotong royong pemasangan atap. Sama dengan perubuhan, pemasangan atap juga hanya berlangsung selama satu hari saja. Tidak hanya tenaga, warga sekitar penerima bantuan juga memberikan bantuan berupa makanan atau minuman bagi peserta gotong royong.
Gotong royong kerja bakti saat merubuhkan rumah dan memasang atap dalam pembangunan RTLH banyak dilakukan di daerah perdesaan dan perkotaan, misalnya di Kabupaten Boyolali baik di pedesaan maupun perkotaan rata-rata masih menggunakan system gotong royong dalam pembangunan rumah. Lain halnya di wilayah Kota Solo, sebagian besar wilayah penerima bantuan RTLH tidak lagi menggalakkan gotong royong untuk membangun rumah.
b. Gotong Royong Harian
Sebagian masyarakat di Jawa Tengah terutama di perdesaan dan di area dataran tinggi yang kegotong-royongannya masih sangat kuat melakukan gotong royong harian dalam membangun Rumah Tidak Layak Huni hingga selesai menjadi rumah layak huni. Gotong royong masyarakat tersebut dikoordinatori oleh tetua kampung seperti ketua RT, dan atau perangkat desa. Peran koordinator dalam gotong royong harian pembangunan RTLH adalah mengkoordinasikan: (1) cara kerja; (2) pembagian kerja termasuk jumlah pekerja dan lama kerja dalam 1 hari; dan (3) manajemen pengelolaan pembangunan RTLH hingga menjadi rumah layak huni.
Dalam satu hari, rata-rata gotong royong dilakukan oleh 5-8 orang yang bergotong royong mulai dari pukul 08.00-16.00. Sekalipun demikian, penerima bantuan juga menyediakan tukang yang bisa mengarahkan para peserta gotong royong dalam membangun rumah.
Rata-rata pelaksanaan pembangunan rumah dengan gotong royong memakan waktu antara 10 hari hingga 30 hari. Jika ada warga sekitar yang tidak bisa bergotong royong karena pekerjaan rutin, maka ia akan mendapat jatah di hari libur atau mengganti partisipasi gotong
54 royongnya dengan memberikan bantuan makanan bagi peserta gotong royong.
Wilayah-wilayah yang masih menerapkan gotong royong harian dalam membangun rumah adalah wilayah pedesaan yang rata-rata penduduknya masih bekerja di bidang informal, seperti buruh bangunan, buruh tanam, atau petani. Hal ini karena waktu bekerja mereka lebih fleksibel dan tidak terikat.
Meskipun pembangunan dengan gotong royong dapat mengurangi beban biaya pembangunan rumah, beberapa penerima bantuan justru tidak ingin rumahnya dibangun dengan gotong royong. Alasannya, seringkali pembangunan dengan gotong royong tidak bisa sebaik atau serapi pekerjaan tukang bangunan. Mereka juga merasa pekewuh atau sungkan untuk menegur para peserta gotong royong jika ada kesalahan dalam proses pembangunan.
c. Gotong Royong Pembangunan oleh Saudara Dekat
Sebagian bentuk swadaya masyarakat dalam pembangunan RTLH adalah gotong royong pembangunan oleh saudara dekat dari penerima bantuan. Seringkali karena tidak terdapat ongkos tukang dalam skema bantuan RTLH, maka saudara dekat yang berprofesi sebagai tukang batu/kayu atau mempunyai kemampuan bekerja sebagai tukang membantu melaksanakan pembangunan RTLH hingga pembangunan selesai.
2. Problematika dalam Gotong Royong
Tidak semua penerima bantuan RTLH bisa memanfaatkan gotong royong di wilayah mereka untuk membantu pembangunan rumah. Beberapa wilayah, khususnya di wilayah perkotaan sudah tidak lagi mempraktekkan gotong royong dalam pembangunan rumah, sehingga biaya tukang sudah sepenuhnya ditanggung oleh penerima bantuan.
Dalam pelaksanaan gotong royong pembangunan RTLH, terdapat problematika yang terjadi di masyarakat, diantaranya adalah:
55 a. Gotong royong harian hanya dilakukan di wilayah-wilayah yang masuk kawasan pedesaan dengan masyarakat miskin. Biasanya di wilayah tersebut, masyarakat sekitar lebih banyak bekerja di bidang nonformal seperti petani atau buruh bangunan sehingga mereka memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel. Para peserta gotong royong dikoordinir oleh ketua RT setempat yang sebelumnya sudah diberi tahu oleh kepala desa bahwa salah satu warga RT tersebut menerima bantuan RTLH. Koordinasi dilakukan ketua RT dengan mengumpulkan warga dan membagi mereka menjadi kelompok-kelompok kerja. Jika ada warga yang bekerja di sektor formal dan memiliki waktu terbatas, biasanya akan dijadwalkan di hari libur.
Selain gotong royong tenaga, warga sekitar penerima bantuan RTLH juga seringkali menyumbang bahan makanan atau makanan matang yang menjadi teman kerja peserta gotong royong.
Gotong royong pembangunan rumah dilakukan mulai pukul 08.00-16.00. Pemilik rumah juga tetap menyediakan tukang sebagai pengarah dalam pembangunan rumah. Pada prakteknya, seringkali pekerjaan yang dilakukan dengan gotong royong memang tidak bisa maksimal. Pemiliki rumah tidak bisa menetapkan waktu kerja yang pasti karena sifatnya hanya sukarela. Terkadang peserta yang datang sesuai dengan jadwal, terkadang datang dan pergi sesempatnya saja.
Belum lagi hasil pengerjaan yang juga tidak selalu sesuai dengan standar karena para pekerja tidak memiliki keahlian di bidang bangunan.
b. Gotong royong perubuhan dan pemasangan atap dilakukan di wilayah pedesaan, sebagian besar wilayah pedesaan masih melakukan hal tersebut. Perubuhan dilakukan di awal tahapan kerja dan hanya membutuhkan waktu sehari saja, begitu pula dengan pemasangan atap yang juga hanya dilakukan selama satu hari sehingga hampir dipastikan seluruh warga sekitar penerima bantuan, khususnya laki-laki dewasa, akan mengikuti gotong royong tersebut.
56 Gotong royong ini tidak memerlukan koordinasi dari kepala RT, kabar akan adanya gotong royong menyebar dari mulut ke mulut.
c. Gotong royong tidak lagi dilakukan di wilayah-wilayah perkotaan, dalam pelaksanaan pembangunan RTLH murni mengandalkan tukang bayaran. Hal ini disebabkan karena masyarakat di wilayah perkotaan sebagian besar bekerja di sektor formal sehingga mereka tidak memiliki waktu luang yang cukup. Masyarakat juga tidak lagi memiliki kepentingan bersama, sehingga mereka lebih bersifat invidual. Modal sosial tidak lagi dimiliki secara bersama, ketergantungan satu sama lain semakin rendah karena berbagai kepentingan masyarakat telah dipenuhi oleh sistem yang mengandalkan materi. Akan tetapi, tetap saja ada wilayah-wilayah perkotaan yang masih melaksanakan gotong royong meskipun hanya saat perubuhan atau pembongkaran saja.
Minimnya swadaya masyarakat berupa tenaga kerja membuat hasil renovasi rumah penerima bantuan RTLH di perkotaan seringkali ukuran dan kualitasnya malah lebih rendah dibanding di wilayah pedesaan. Akan tetapi, justru penerima bantuan di wilayah perkotaan tidak mengeluarkan biaya tambahan yang besar dalam proses pembangunan.
d. Beberapa penerima bantuan RTLH justru memilih untuk tidak membangun secara gotong royong karena dinilai malah membebani biaya karena harus menyediakan makanan serta hasil kerja tidak rapi atau tidak sesuai dengan standar. Memang beberapa bangunan terkadang tidak dibangun sesuai standar keamanan, tetapi pemilik rumah mengaku sungkan untuk mengingatkan warga yang bergotong royong karena merasa pekerjaan gotong royong tersebut sifatnya hanya sukarela. Pemilik rumah khawatir dianggap tidak tahu terima kasih jika menuntut macam-macam kepada warga yang membantu gotong royong “sungkan bade matur niki niku, sampun dibantu
57 nggih matur nuwun ngoten, mangke misal rewel nopo-nopo ndak mboten dibantu malih”.
3. Dorongan untuk Melakukan Gotong Royong
Dalam masyarakat terutama di perdesaan dan di daerah dataran tinggi terdapat kecenderungan dan dorongan untuk tetap melakukan gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, tercermin dari ungkapan:
“guyup rukun, podo butuh-e” yang berarti ungkapan bahwa dalam bermasyarakat warga akan selalu saling membutuhkan sehingga dorongan untuk saling membantu dan saling menolong selalu ada dalam masyarakat (resiprositas). Hal ini terjadi karena masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah masih menjadikan hubungan sosial sebagai penjamin kelangsungan hidup mereka, ketika kebutuhan-kebutuhan belum bisa dipenuhi secara maksimal oleh materi. Inilah yang disebut sebagai modal sosial, dimana modal ini digunakan masyarakat yang belum bisa memenuhi kebutuhan material mereka secara mandiri, sehingga mengandalkan pemenuhan kebutuhan oleh lingkungan sosialnya.