• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENANGANAN PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI BERBASIS SWADAYA MASYARAKAT DI JAWA TENGAH (PENELITIAN AWAL DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENANGANAN PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI BERBASIS SWADAYA MASYARAKAT DI JAWA TENGAH (PENELITIAN AWAL DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

PENANGANAN PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI BERBASIS SWADAYA MASYARAKAT DI JAWA TENGAH (PENELITIAN AWAL DALAM MENDUKUNG PROGRAM

PENGENTASAN KEMISKINAN)

Oleh :

Wiwin Widiastuti, SE, MSc, MT.

Ir. Eny Hari Widowati, M.Si Af’idatul Lathifah S. Ant., MA

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2019

(2)

ii

LAPORAN PENELITIAN

PENANGANAN PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI BERBASIS SWADAYA MASYARAKAT DI JAWA TENGAH (PENELITIAN AWAL DALAM MENDUKUNG PROGRAM

PENGENTASAN KEMISKINAN)

Oleh :

Wiwin Widiastuti, SE, MSc, MT.

Ir. Eny Hari Widowati, M.Si Af’idatul Lathifah S. Ant., MA

Dokumen ini Disusun Sebagai Laporan Pelaksanaan Penelitian

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2019

(3)

iii

PENANGANAN PROGRAM RUMAH TIDAK LAYAK HUNI BERBASIS SWADAYA MASYARAKAT DI JAWA TENGAH

(PENELITIAN AWAL DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN)

Penulis :

Wiwin Widiastuti, SE, MSc, MT.

Ir. Eny Hari Widowati, M.Si Af‟idatul Lathifah S. Ant., MA

Editor :

Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, MA Tahun :

2019 Penerbit :

Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah

Jalan Pemuda No. 127 – 133 Semarang

(4)

iv

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul : Penanganan Program Rumah Tidak Layak Huni Berbasis Swadaya Masyarakat Di Jawa Tengah (Penelitian Awal Dalam Mendukung Program Pengentasan Kemiskinan)

2. Metode Penelitian : Swakelola 3. Lembaga Pelaksana :

a. Nama : Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah b. Alamat : Jl. Pemuda No. 127-133, Semarang

c. Telp./Fax/E-mail : 0243515591/3546802/[email protected] 4. Pelaksanaan :

a. Waktu : Bulan Mei-Nopember 2019

b. Lokasi : Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kabupaten Batang, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Purworejo

c. Peneliti : Wiwin Widiastuti, SE, MSc, MT.

Ir. Eny Hari Widowati, M.Si Af‟idatul Lathifah S. Ant., MA

d. Anggaran : APBD Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2019

Mengetahui, Kepala Bidang Riset dan Pengembangan

TRI YUNI ATMOJO, ST, M.Si Pembina Tk. I

NIP. 19720203 199803 1 010

Peneliti

WIWIN WIDIASTUTI, SE, MSc, MT.

Pembina

NIP. 19670818 199603 2 001 Mengesahkan,

KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH

Dr. PRASETYO ARIBOWO, SH, M.Soc. SC Pembina Utama Madya

NIP. 19611115 198603 1 010

(5)

v

KATA PENGANTAR

Program rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dilaksanakan dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan masyarakat Jawa Tengah. Program Penanganan RTLH dilaksanakan dengan mensinergikan program dari Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan swasta. Bantuan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) berupa stimulan bantuan tunai langsung dan diperlukan tambahan dana yang harus disediakan oleh penerima bantuan secara swadaya.

Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui implementasi penanganan RTLH untuk pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah, dengan dana pemerintah dan pemerintah daerah, pola-pola pendanaan swadaya masyarakat yang selama ini diterapkan dalam penanganan rehabilitasi RTLH dan pola pendanaan swadaya masyarakat yang dapat diterapkan di kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam penanganan rehabilitasi RTLH.

Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan maupun penyusunan laporan penelitian ini.

Kami berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh stakeholders terkait pelaksanaan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Jawa Tengah.

Semarang, Desember 2019

KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI JAWA TENGAH

Dr. PRASETYO ARIBOWO, SH, M.Soc.Sc Pembina Utama Madya

NIP. 19611115 198603 1 010

(6)

vi ABSTRAK

Program rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dilaksanakan dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan masyarakat Jawa Tengah. Program Penanganan RTLH dilaksanakan dengan mensinergikan program dari Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan swasta. Bantuan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) berupa stimulan bantuan tunai langsung dan diperlukan tambahan dana yang harus disediakan oleh penerima bantuan secara swadaya untuk bisa mewujudkan rumah layak huni. Tujuan penelitian adalah (1) mengidentifikasi implementasi penanganan RTLH untuk pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah, dengan dana dari pemerintah dan pemerintah daerah; (2) mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pengelolaan RTLH berbasis swadaya masyarakat; (3) mengidentifikasi pola-pola pendanaan swadaya masyarakat yang diterapkan dalam penanganan rehabilitasi RTLH;

(4) menganalisis pola pendanaan swadaya masyarakat yang bisa diterapkan di kabupaten/kota di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai skema pendanaan, yaitu dari APBN, APBD, APBDesa, dan Corporate Social Responsibility dalam implementasi bantuan program Rumah Tidak Layak Huni di Jawa Tengah. Faktor pendukung utama dalam pengelolaan RTLH berbasis swadaya masyarakat adalah adanya keswadayaan masyarakat, kekerabatan/gotong-royong masyarakat, komitmen kepala daerah (kebijakan teknis) dan semangat masyarakat untuk menurunkan angka RTLH, sedangkan faktor penghambat dalam pengelolaan RTLH berbasis swadaya masyarakat adalah (a) data base kemiskinan yang tidak actual; (b) minimnya nominal bantuan RTLH dengan biaya pajak & operasional; (c) perbedaan skema pendanaan & sistem penyaluran; (d) memudarnya sikap gotong royong masyarakat, utamanya di perkotaan. Pola-pola pendanaan swadaya masyarakat yang bisa diterapkan dalam penanganan rehabilitasi RTLH di Kabupaten/kota di Jawa Tengah adalah (a) Komponen: (1) bantuan dana untuk bahan material bangunan dan biaya tukang pada tingkat layak, (2) swadaya masyarakat penerima bantuan (dana/material/tenaga) dan swadaya masyarakat sekitar (tenaga/material); (b) Sistem/Mekanisme: (1) Terdapat koordinasi Kelompok Penerima Bantuan, (2) Tanpa potongan pajak dan biaya operasional dan (3) Terdapat Tenaga Fasilitator Lapangan

Kata Kunci: rumah tidak layak huni, keswadayaan masyarakat, bantuan stimulan

(7)

vii ABSTRACT

Inhabitant housing rehabilitation program (RTLH) program is carried out in the context of efforts to alleviate poverty in the people of Central Java. The RTLH Handling Program is carried out by synergizing programs from the Central Government, Provincial Governments, Regency / City Governments and the private sector. Assistance for Non-Habitable Homes program in the form of direct cash assistance stimulants and additional funds needed to be provided by the recipient of assistance independently to be able to realize livable homes. The research objectives are (1) identifying the implementation of RTLH handling for poverty alleviation in Central Java, with funds from the government and regional governments; (2) identifying supporting factors and inhibiting factors in community based RTLH management; (3) identify patterns of non- government funding applied in the handling of RTLH rehabilitation; (4) analyzing patterns of non-government funding that can be applied in districts/cities in Central Java.The results showed that there were various funding schemes, namely from the state budget, regional budget, village budget, and corporate social responsibility in implementing assistance for the Unliveable Housing program in Central Java. The main supporting factors in community-based RTLH management are the existence of community self-reliance, community kinship / community cooperation, commitment of regional heads (technical policy) and community enthusiasm to reduce RTLH figures, while inhibiting factors in community-based RTLH management are (a) data poverty base that is not actual; (b) minimal nominal RTLH assistance with tax & operational costs; (c) differences in funding schemes & distribution systems; (d) waning community mutual cooperation, especially in urban areas. The patterns of self-help funding that can be applied in handling RTLH rehabilitation in regencies / cities in Central Java are (a) Components: (1) funding assistance for building materials and cost of workers at an appropriate level, (2) self-help recipient community ( funds / materials / personnel) and non-governmental organizations (personnel / materials); (b) System / Mechanism: (1) There is coordination of the Beneficiary Group, (2) No tax deduction and operational costs and (3) There is a Field Facilitator Staff

Keywords: uninhabitable homes, community self-sufficiency, stimulant assistance

(8)

viii

DAFTAR ISI

Hal

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... iv

Kata Pengantar ... v

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... x

Daftar Gambar ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 4

1.3. Maksud dan Tujuan ... 5

1.4. Sasaran ... 5

1.5. Ruang Lingkup ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

1.1. Kerangka Teori ... 6

1.2. Penelitian Terdahulu ... 15

1.3. Kerangka Pemikiran ... 16

BAB III METODE PENELITIAN... 17

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.2. Sifat Penelitian ... 17

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 18

3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 20

4.1. HASIL ... 20

4.1.1. Skema RTLH di Provinsi Jawa Tengah ... 20

4.1.1.1. Data Statistik Kondisi Kemiskinan di Jawa Tengah ... 20

4.1.1.2. Relevansi Kemiskinan Dengan Kebutuhan Rumah Layak Huni di Jawa Tengah ... 21

4.1.1.3. Skema-skema RTLH yang ada di Jawa Tengah 23 4.1.1.4. RTLH Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya 31 4.1.1.5. RTLH Dana Alokasi Khusus ... 35

4.1.1.6. RTLH Provinsi Jawa Tengah ... 37

4.1.1.7. RTLH Kabupaten/Kota dan Desa ... 42

(9)

ix

4.1.1.8. RTLH Corporate Social Responsibility ... 46

4.1.2. Pelaksanaan Program Rumah Tidak Layak Huni ... 47

4.1.3. Swadaya yang Dimiliki Masyarakat ... 48

4.1.3.1. Swadaya Material ... 50

4.1.3.2. Swadaya Non Material ... 52

4.1.4. Problem Teknis Pelaksanaan Program RTLH ... 57

4.2. PEMBAHASAN ... 59

4.2.1. Faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pengelolaan RTLH berbasis swadaya masyarakat ... 59

4.2.2. Pola-pola pendanaan swadaya masyarakat yang diterapkan dalam penanganan rehabilitasi RTLH ... 59

4.2.3. Pola pendanaan swadaya masyarakat yang bisa diterapkan di kabupaten/kota di Jawa Tengah ... 62

BAB V PENUTUP... 63

5.1. Kesimpulan ... 63

5.2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(10)

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Level Partisipasi Menurut Arnsten ... 11 Tabel 4.1 Capaian Hasil Program RTLH s/d Tahun 2019 ... 49

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 16 Gambar 4.1 Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah Th. 2014-2019 ... 20 Gambar 4.2 Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa

Tengah (Kondisi Maret 2019 ) ... 21

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

UUD 1945 pasal 28H ayat 1 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hunian yang sehat, aman dan serasi. Rumah termasuk kebutuhan pokok di dalam urutan prioritas kebutuhan manusia/masyarakat. Setiap bagian dari rumah berperan dan saling berkaitan untuk bersama-sama memenuhi fungsi sebenarnya sesuai kebutuhan penghuninya. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman bahwa dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

Rumah merupakan bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Berkaitan dengan hal tersebut maka untuk memperolehnya masyarakat Indonesia sebagaian besar melakukan dengan cara swadaya artinya memperoleh dengan prakarsa sendiri atau kelompok dalam kondisi yang layak dan tidak layak untuk ditempati. Rumah yang layak untuk ditempati adalah rumah yang melindungi penghuninya dari kesehatan dan keselamatan, tetapi tidak semua masyarakat mampu mengkases kondisi tersebut, sehingga sebagian masyarakat memiliki rumah dengan kondisi tidak layak huni akibatnya rumah tidak berfungsi secara optimal karena mengalami kerusakan yang mengakibatkan berbagai dampak negatif bagi penghuninya.

Penentuan rumah disebut rumah tidak layak huni berdasarkan indikator- indikator yang telah ditetapkan. Penentuan indikator RTLH antar stakeholder berbeda-beda; Indikator RTLH oleh BPS antara lain meliputi: i) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang, ii) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; iii) Jenis dinding tempat tinggal dari

(13)

2 bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester; iv) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain; v) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; v) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. Untuk Kemensos berdasarkan database terpadu dan keluarga penerima manfaat PKH.

Untuk Kementerian PUPR adalah Masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Berdasarkan data dari sinar harapan bahwa sampai akhir tahun 2018 di Indonesia masih terdapat rumah tidak layak huni sebesar 3,4 juta unit yang tersebar di berbagai Provinsi. Provinsi Jawa Tengah sampai dengan tahun 2019 masih terdapat rumah tidak layak huni sebesar 1.723.500 unit (TPKPD, 2019).

Untuk menangani permasalahan tersebut maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa program penyediaan rumah dan peningkatan kualitas rumah tidak layak huni yang di lakukan oleh kementerian, lembaga non kementerian dan Pemerintah Daerah.

Program penanganan rumah tidak layak huni yang di keluarkan oleh pemerintah antara lain Program Bantuan Stimulan perumahan Swadaya (BSPS) atau Bedah Rumah yang terbagi menjadi dua yaitu Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya di Provinsi dan Program Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak layak Huni dan Sarana Lingkungan (RS-RTLH dan Sarling). Kegiatan ini dilakukan secara gotong royong agar tercipta kondisi rumah yang layak sebagai tempat tinggal.

Pemerintah Daerah juga mengimplementasikan program Bankeupemdes RTLH.

Di Jawa Tengah pada umumnya penghuni rumah tidak layak huni merupakan warga masyakat yang berpenghasilan rendah bahkan dalam kriteria dari Biro Pusat Statistik mereka sering dikatakan sebagai bagian dari masyarakat dengan kategori Rumah Tangga Miskin (RTM). RTM ini terdapat di kawasan perkotaan dan pedesaan. Berkaitan dengan RTLH dalam RTM maka penanganan RTLH perlu dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin.

Penanganan RTLH dilaksanakan dengan mensinergikan program dari Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembagian tugas dan tanggung jawab penanganan tahunan diupayakan dengan perbandingan 20%

Pemerintah Pusat, 30% Pemerintah Provinsi dan 50% Pemerintah Kabupaten

(14)

3 Kota. Penanganan Bansos RTLH Tahun 2017 dilaksanakan menyebar dan bertahap sesuai dengan tingkat kemiskinan, sesuai prioritas a) Prioritas Pertama Desa/ 3 komponen rusak; b) Prioritas Kedua Desa/ 2 komponen rusak;c) Prioritas Ketiga Desa/ 1 komponen rusak. Kriteria penerima bantuan sosial RTLH adalah berdasarkan kondisi rumah, pemilik rumah, letak dan status rumah.

Model pembiayaan untuk Penanganan Rumah Tidak Layak Huni adalah berupa bantuan langsung kepada penerima. Dalam APBD Provinsi Jawa Tengah, belanja untuk Kegiatan Penanganan Rumah Tidak Layak Huni masuk dalam Belanja Tidak Langsung (BTL) pada anggaran Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman. Penerima bantuan rumah tidak layak huni (RTLH) yang telah dilaksanakan, bisa menerima bantuan kembali sekurang-kurangnya 5 tahun (dapat mengajukan proposal kembali) dan pada tahun 2018-2019 pembiayaan dilakukan dengan Bantuan Keuangan Pemerintah Desa dengan sasaran adalah seluruh desa di Jawa Tengah dan masing-masing desa sebanyak 3 unit dengan tidak memperhatikan apakah desa tersebut merupakan desa miskin. Penanganan RTLH yang tersebar di semua desa dan tidak difokuskan ke desa miskin tentu saja pengentasan kemisikinan dari indicator rumah layak huni menjadi tidak optimal.

Program rehabilitasi rumah tidak layak huni dilaksanakan dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan masyarakat Jawa Tengah, berupa stimulan bantuan tunai langsung yang nilai nominalnya di lapangan belum bisa dipergunakan untuk melaksanakan 100% pemugaran atau renovasi rumah tidak layak huni menjadi rumah layak huni, diperlukan tambahan dana yang harus disediakan oleh penerima bantuan. Dana tambahan harus disediakan dengan cara swadaya artinya si penerima bantuan harus menyedianakan dana untuk pembangunan rumah layak huni di satu sisi penerima bantuan adalah masyarakat miskin yang tidak memiliki dana. Selain itu, swadaya berupa tenaga gotong royong juga diharapkan hadir dalam penangana RTLH ini dengan asumsi penerima dana adalah masyarakat miskin yang di lingkungannya masih kental dengan budaya gotong royong.

Skema pemberian dana RTLH tersebut tentu saja berpotensi memberatkan penerima dana mengingat masyarakat penerima dana kemungkinan tidak memiliki

(15)

4 dana tunai. Belum lagi kebiasaan gotong royong yang muali luntur membuat program ini menjadi sulit untuk direalisasikan. Hanya saja, sejak digulirkan hingga saat ini, progrma penanganan RTLH masih terus berjalan. Hal ini membuktikan bahwa program tersebut dapat direalisasikan sekalipun dengan penerimaan dana yang minim. Untuk itu, penelitian ini mencoba melihat bagaimana penanagan RTLH di wilayah Jawa Tengah dan bagaimana keswadayaan masyarakat penerima dana dalam merealisasikan program penangana RTLH.

1.2. PERMASALAHAN

Penanganan rehabilitasi RTLH di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan menggunakan dana pemerintah dan pemerintah daerah. Indikator yang berbeda digunakan dalam skema pendanaan rehabilitasi RTLH pemerintah dan pemerintah daerah. Disatu sisi indikator RTLH adalah merupakan salah satu faktor kriteria penentu penduduk miskin, sehingga desa miskin merupakan target dan sasaran penanganan RTLH. Tetapi kebijakan pemerintah dengan memberikan bantuan stimulan dalam rehabilitasi RTLH mengharuskan adanya swadaya dari penerima manfaat, sedangkan penerima manfaat adalah masyarakat miskin pada desil 1 dan desil 2. Sehingga kondisi ini diduga akan menjadi beban bagi masyarakat penerima manfaat. Sedangkan harapan pemerintah terhadap penyediaan dana secara swadaya melalui gotong royong masyarakat dalam mendukung program rehabilitasi RTLH sulit dilakukan karena nilai-nilai tersebut telah luntur.

Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi penanganan RTLH untuk pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah, dengan dana pemerintah dan pemerintah daerah?

2. Apakah faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi pengelolaan rehabilitasi RTLH berbasis swadaya masyarakat?

3. Bagaimana pola-pola pendanaan swadaya masyarakat yang selama ini diterapkan dalam penanganan rehabilitasi RTLH?

(16)

5 4. Bagaimana pola pendanaan swadaya masyarakat yang dapat diterapkan di kabupaten/kota di Jawa Tengah dalam penanganan rehabilitasi RTLH?

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Maksud penelitian adalah untuk memperoleh model penanganan RTLH melalui swadaya masyarakat sehingga tujuan penelitian adalah:

1. Mengidentifikasi implementasi penanganan RTLH untuk pengentasan kemiskinan di Jawa Tengah, dengan dana dari pemerintah dan pemerintah daerah.

2. Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pengelolaan RTLH berbasis swadaya masyarakat

3. Mengidentifikasi pola-pola pendanaan swadaya masyarakat yang diterapkan dalam penanganan rehabilitasi RTLH

4. Menganalisis pola pendanaan swadaya masyarakat yang bisa diterapkan di kabupaten/kota di Jawa Tengah

1.4. SASARAN:

Diperolehnya pola swadaya masyarakat dalam pelaksanaan program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

1.5. RUANG LINGKUP:

1. Koordinasi dengan Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman

2. Melakukan identifikasi indikator implementasi RTLH oleh pemerintah dan pemerintah daerah

3. Mengidentifkasi faktor pendukung dan penghambat dalam pengelolaan RTLH dengan swadaya

4. Mengidentifikasi pola-pola pendanaan secara swadaya yang diterapkan

(17)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KERANGKA TEORI

2.1.1. Kemiskinan dan Masyarakat Miskin

Kemiskinan didefinisikan dalam berbagai versi, tetapi secara umum kemiskinan membicarakan suatu standar tingkat hidup yang rendah. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.Kemiskinan menjadi penyebab kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar,ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

Kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (BAPPENAS, dalam BPS, 2002).

Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar, antara lain informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan seringkali juga hidup dalam alienasi, yaitu akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup menjadi sempit dan pengap (Nasikun, 1995).

Kemiskinan dapat ditentukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan individu atau keluarga dengan pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimummerupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai konsep kemiskinan absolut. Pada kondisi lain bila tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar minimum, tetapi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya, konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai kemiskinan relatif (Esmara, 1986).

(18)

7 Dengan demikian, sekurang-kurangnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk pemahaman tentang kemiskinan, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pendekatan pertama adalah perspektif yang melihat kemiskinan secara absolut, yaitu berdasarkan garis absolut yang biasanya disebut dengan garis kemiskinan Syahrir (dalam Arya Budi, 2013). Pendekatan yang kedua adalah pendekatan relatif, yaitu melihat kemiskinan itu berdasarkan lingkungan dan kondisi sosial masyarakat.

Pendekatan yang sering digunakan oleh para ahli ekonomi adalah pendekatan dari segi garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan diartikan sebagai batas kebutuhan minimum yang diperlukan seseorang atau rumahtangga untuk dapat hidup dengan layak. Akan tetapi, diantara para ekonom terdapat perbedaan dalam menetapkan tolak ukur yang digunakan untuk menetapkan garis kemiskinan tersebut.

Indikator utama kemiskinan berdasarkan batasan yang telah dipaparkan di atas dapat dilihat dari berbagai aspek. Indikator-indikator kemiskinan adalah sebagai berikut:

1. Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan.

2. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan.

3. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu pelayanan pendidikan.

4. Terbatasnya akses terhadap air bersih.

5. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah.

6. Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam.

7. Lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi atau urbanisasi.

Sedangkan kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik atau BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar

(19)

8 makanan dan bukan makanan yang diukur, namun dari sisi pengeluaran. P1 (Indeks Kedalaman Kemiskinan) dan P2 (Indeks Keparahan Kemiskinan) indeks tersebut Memberikan informasi yang saling melengkapi pada insiden kemiskinan dan juga penghitungan dari Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yaitu yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Maka Penduduk Miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan dan tidak dapat memenuhi kebutuhan perumahan, sandan, pendidikan dan kesehatan. Seperti halnya pada Program Bantuan Perbaikan RTLH bahwa rumah menjadi salah satu penilaian dalam menentukan masyarakat miskin.

Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), yaitu suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari hal tersebut maka seseorang atau sekelompok itu akan merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurang mampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya).

Selanjutnya Supriatna (1997) mengemukakan lima karakteristik masyarakat miskin, antara lain: 1). Tidak memiliki faktor produksi sendiri; 2). Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri; 3). Tingkat pendidikan pada umunya rendah; 4). Banyakdiantara mereka tidak mempunyai fasilitas; 5). Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.

Sedangkan Menurut Mubyarto (2004) bahwa: “Kemiskinan di gambarkan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok atau kebutuhan hidup minimum yaitu sandang, pangan, perumahan, pendidikan dan kesehatan.

(20)

9 Berdasarkan pada uraian diatas maka Kemiskinan dapat diartikan sebagai keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan air minum. Hal tersebut sangat berhubungan erat dengan kualitas hidup. Secara ekonomi, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.

Menurut Suparlan (1985), kemiskinan yang terjadi di Indonesia secara sosiologis memiliki beberapa pola, yaitu:

1. Kemiskinan Individu

Kemiskinan individu terjadi karena adanya kekurangan-kekurangan yang dipandang oleh seseorang mengenai syarat-syarat yang diperlukan untukmengatasi dirinya dari lembah kemiskinan.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan relatif merupakan pengertian yang disebut dengan social economics status atau disingkat dengan SES (biasanya untuk keluarga atau rumahtangga). Dalam hal ini diadakan perbandingan antara kekayaan materil dari keluarga atau rukun tetangga di dalam suatu komunitas teritorial.

3. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial ekonomi yang sedemikian rupa sehingga masyarakat menjadi bagiannya. Kemiskinan struktural dipahami sebagai kemiskinan yang terjadi disebabkan oleh ketidakmerataan sumberdaya karena struktur dan peran seseorang dalam masyarakat.

4. Kemiskinan Budaya

Kemiskinan budaya adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat ditengah-tengah lingkungan alam yang mengandung banyak bahan mentah yang bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidup.

(21)

10 2.1.2. Partisipasi Masyarakat

Didalam kamus besar bahasa Indonesia partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan (keikutsertaan). Sedangkan dalam kamus sosiologi participation ialah setiap proses identifikasi atau menjadi peserta suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu.

Conyers (1991) berpendapat didalam Suharto sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Suatu definisi partisipatif baik deskriptif maupun normatif terutama harus menekankan bahwa segala perkembangan masyarakat dan pembangunan merupakan proses yang hanya bisa berhasil jika hanya dijalankan bukan saja bagi tetapi juga bersama dengan dan oleh rakyat sendiri, terlebih orang miskin. Dengan kata lain Masyarakat harus ikut secara aktif dalam menentukan danmenjalankan upaya dan program bantuan dari pemerintah, dan dengan demikian dapat menentukan keadaan hidup mereka sendiri mulai dari saat pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasannya hingga perawatan suatu program. Seperti halnya program Bantuan Perbaikan RTLH yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat untuk penetingan bersama dan masyarat harus ikut serta dalam pelaksanaannya agar program tersebut dapat berhasil.

Menurut teori Sherry Arnstein (1971). Dalam konsepnya, Arnstein menjelaskan “partisipasi masyarakat yang didasarkan kepada kekuatan masyarakat untuk menentukan suatu produk akhir, tiap tangga dibedakan berdasarkan corresponding to the extent of citizen’s power in determining the plan and/or program”. Secara umum dalam model ini ada tiga derajat partisipasi

(22)

11 masyarakat, 1). Tidak Partisipatif (Non Participation); 2). Derajat Semu (Degrees of Tokenism); 3). Kekuatan Masyarakat (Degrees of Citizen Powers).

Tabel 2. 1

Level Partisipasi Menurut Arnsten

1 Manipulasi (manipulation) Tidak Partisipatif (Non Participation) 2 Terapi (theraphy)

3 Pemberian Informasi (information) Partisipasi Semu (Tokenism) 4 Konsultasi (consultation)

5 Penentraman (placation)

6 Kendali Warga (citizen control) Derajat Kuasa/ Kekuatan Masyarakat

(Degree of Citizen Power) 7 Kuasa yang didelegasi (delegated power)

8 Kemitraan (partnership)

Sumber: Sherry R Arnstein, A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Instituteof Planners 35.1969, Hal 216-224

Suhartanta (2001) juga mendefinisikan “partisipasi sebagai suatu proses pihak yang terlibat dalam suatu program yang ikut mempengaruhi dan mengendalikan inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan serta pengelolaan sumber daya pembangunan yang mempengaruhinya”. Partisipasi sebagai salah satu elemen dalam pembangunan merupakan proses adaptasi masyarakat terhadap perubahan yang sedang berjalan. Dengan demikian partisipasi mempunyai posisi yang penting pula dalam pembangunan.

Dari beberapa definisi partisipasi masyarakat yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan sesuatu melibatkan masyarakat bukan hanya pada proses pelaksanaan kegiatan saja, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan dari pelaksanaan program tersebut, termasuk menikmati hasil dari pelaksanaan program tersebut.

Begitu pula dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dalam penelitian ini bertujuan untuk memahami level/tingkat partisipasi masyarakat jika dinilai dari teori Arnstein (1971). Perubahan kualitas sangat diharapkan setelah adanya program peningkatan kesejahteraan sosial baik itu perubahan personal kelembagaan maupun perubahan institusional. Melalui pengadaan Program Bantuan Perbaikan RTLH untuk bersama-sama bergotong royong dalam pelaksanaan pembangunan sehingga dihasilkan rekomendasi untuk

(23)

12 perbaikan kualitas pembangunan. Hal tersebut menandakan masyarakat memiliki kendali dimana masyarakat meningkatkan level partisipasi tertinggi yaitu citizen control/citizen power.

2.1.3. Modal Sosial

Modal sosial adalah hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), saling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama secara efisien dan efektif (Putra, 2008). Modal sosial adalah jumlah sumber-sumber daya, aktual atau virtual (tersirat) yang berkembang pada seorang individu atau sekelompok individu karena kemampuan untuk memiliki suatu jaringan yang dapat bertahan lama dalam hubungan-hubungan yang lebih kurang telah diinstitusikan berdasarkan pengetahuan dan pengenalan timbal balik (Hasbullah, 2006).

Modal sosial menurut fungsinya yaitu modal sosial itu bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen. Pertama, modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial. Kedua modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku dalam struktur tersebut. Modal sosial dapat ditentukan sebagai akumulasi dari beragam tipe dari aspek sosial, psikologi, budaya, kelembagaan, dan aset yang tidak terlihat (intangible) yang memengaruhi perilaku kerjasama. Corak-corak kehidupan sosial jaringan-jaringan, norma- norma dan kepercayaan yang menyanggupkan para partisipan untuk bertindak bersama lebih efektif untuk mengejar tujuan-tujuan bersama (Putnam, 1996).

Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas masyarakat dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan keteguhan hati (dependability). Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum, dimana merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor yang penting bagi kesehatan ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar kultural (Fukuyama, 2001).

(24)

13 Modal sosial dapat merujuk pada norma atau jaringan yang memungkinkan orang untuk melakukan tindakan kolektif. Modal sosial sebagai agregat sumberdaya aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet sehingga melembagakan hubungan persahabatan yang saling menguntungkan. Jaringan sosial (social network) dikonstruksi melalui strategi investasi yang berorientasi pada pelembagaan hubungan kelompok (group relation) yang dapat dipakai sebagai sumber terpercaya untuk meraih keuntungan (Kushandajani, 2008). Modal sosial sebagai gambaran organisasi sosial, jaringan sosial, saling kepercayaan, norma-norma yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dan saling menguntungkan. Pentingnya kerjasama dalam kegiatan kelompok diperkuat oleh saling kepercayaan dan norma. Saling kepercayaan dapat dijelaskan dari interaksi- interaksi yang didasari perasaan yakin, bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana yang diharapkan dan saling mendukung (Pranadji, 2006). Modal sosial tergantung pada tiga kunci yaitu kepercayaan dari lingkungan sosial dan perluasan aktual dari kewajiban yang sudah dipenuhi, jaringan informasi yang sangat penting sebagai basis tindakan dan norma serta sanksi yang efektif dalam kelompok atau suatu komunitas yang dapat mendukung individu untuk memperoleh prestasi (Syahyuti, 2008).

2.1.4. Rumah Tidak Layak Huni

Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disingkat RTLH menurut Kementerian Perumahan Rakyat dan Permukiman adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni. Rumah bisa dikatakan layak huni apabila memenuhi persyaratan keselamatan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan para penghuninya.

Berdasarkan peraturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) yang sesuai dengan Kepmen Kimpraswil No.403/KPTS/M/2002 dan Permenpera Nomor 22//Permen/M/2008, untuk menciptakan rumah layak huni, harus mempertimbangkan berbagai aspek.

(25)

14 1. Faktor Kesehatan

Salah satu kriteria rumah layak huni atau tidak adalah dari sisi kesehatan.

Hunian yang dianggap layang haruslah berada di lokasi yang tidak terkena banjir dan tidak lembap. Selain itu, setiap ruangannya haruslah memenuhi persyaratan pencahayaan dan sirkulasi udara yang baik.

Kehadiran utilitas jaringan listrik yang berfungsi, juga menjadi poin penting dari rumah layak huni. Setiap lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN minimum 450 VA. Kemudian, tersedia pula penerangan jalan umum.

Selain listrik, kehadiran jaringan air bersih dari PDAM atau berasal dari sumur pompa juga wajib tersedia. Syarat air dalam kategori layak dikonsumsi apabila secara fisik terlihat jernih, tidak berbau dan tidak berasa.

2. Faktor Keamanan Bangunan

Faktor keamaanan konstruksi juga menjadi hal utama yang harus dimiliki rumah layak huni. Bangunan rumah harus memenuhi persyaratan teknis dan pemilihan material yang tepat.

Bagian atap harus memiliki kemiringan yang disesuaikan dengan bahan penutup yang digunakan. Sehingga tidak akan mengakibatkan bocor.

Persentase atap bocor sedang yakni < 20% dari luas atap dan persentase atap bocor berat, yaitu >20% dari luas atap. Sedangkan, bagian lantai harus terbuat dari material yang mudah dibersihkan, tidak lembap serta kuat untuk menahan beban yang akan timbul dan memperhatikan lendutannya.

Pada bagian dinding, harus dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat memikul beban di atasnya serta berat angin. Untuk bagian dinding kamar mandi, setidaknya harus memiliki ketinggian 1,5 meter di atas permukaan lantai.

3. Faktor Keindahan dan Kenyamanan

Setelah rumah aman secara konstruksi, bangunan dapat dikatakan layak huni jika dirancang secara indah dan nyaman. KemenPUPR

(26)

15 menyarankan untuk menggunakan gaya arsitektur lokal serta penataan dan penentu besaran ruangan yang optimal.

2.2. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian terdahulu mengenai Evaluasi Kinerja Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni Di Kabupaten Purbalingga oleh Putri Prissilia Pramitha membahas kinerja program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Purbalingga dengan menggunakan indikator menurut AKIP yaitu input, output, outome, benefit dan impact. Hasil penelitian evaluasi kinerja program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni di Kabupaten Purbalingga termasuk dalam kategori program yang baik, meskipun belum belum merata dan belum dapat dijadikan sebagai solusi permasalahan kemiskinan, karena program ini hanya memiliki dampak pada aspek pengentasan kemiskinan yaitu dalam hal papan.

Penelitian Pembangunan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni Termasuk Jamban/Sanitasi Keluraga Oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun Di Kecamatan Tebing oleh Ruvi Indayu membahas pelaksanaan pembangunan rehabilitasi rumah tidak layak huni termasuk jamban/sanitasi keluarga dan faktor- faktor yang menghambat pelaksanaan rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni termasuk jamban/ sanitasi keluarga oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun.

Hasil penelitian menyatakan hambatan kegiatan pembangunan Rehabilitasi RTLH di Kecamatan Tebing, berupa tidak selesai tepat waktu pengerjaanya, bahkan tidak dilanjutkan lagi, karena kurangnya dana bantuan, dan adanya permainan oleh pihak-pihak tertentu. Keterlambatan persediaan bahan bangunan dan hambatan sulitnya mencari ahli bangunan (tukang) yang sesuai dengan upah bayaran yang telah ditetapkan sebagaimana yang telah tercantum dalam lampiran Peraturan Bupati Karimun.

(27)

16 2.3. KERANGKA PEMIKIRAN

(28)

17

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian akan dilaksanakan di Jawa Tengah dengan mengambil lokasi di kabupaten yang yang telah menerapkan model pengelolaan program rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) swadaya berbasis masyarakat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan metode purposive sampling, yakni pengambilan yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan tertentu. Kabupaten yang dipilih adalah yang berhasil dan belum berhasil dalam mengelola program rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) swadaya berbasis masyarakat yaitu di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, Kabupaten Tegal. Waktu pelaksanaan Penelitian akan dilaksanakan selama 4 (empat) yaitu bulan, Juni sampai bulan Oktober 2019.

3.2. SIFAT PENELITIAN.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Metode kualitatif dilakukan karena permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang tidak terungkap melalui data-data statistik sehingga perlu pendekatan tertentu untuk memahaminya. Penelitian kualitatif merupakan cara untuk memahami perilaku sosial yang merupakan serangkaian kegiatan atau upaya menjaring informasi secara mendalam dari fenomena atau permasalahan yang ada didalam kehidupan suatu obyek dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah baik dari sudut pandang teoritis maupun empiris. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2002), metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan suatu proses yang diamati.

Objek penelitian ini adalah pelaksanaan program rumah tidak layak huni (RTLH). Subjek penelitian adalah penerima manfaat. Lokasi penelitian adalah kabupaten/kota yang telah melaksanakan program rehabilitasi RTLH swadaya berbasis masyarakat. Informan akan dipilih pada lokasi yang telah berhasil dan

(29)

18 belum berhasil dalam menerapkan program tersebut sedangkan responden akan dipilih secara sengaja yaitu yang telah berhasil dan belum berhasil memanfaatkan program tersebut.

3.3. METODE PENGUMPULAN DATA.

1. Jenis data

Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder.

a. Data primer, yaitu data utama yang diambil dan diperoleh secara langsung melalui wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari penelitian, adalah data-data yang berbentuk laporan lembaga resmi, buku-buku, literatur, jurnal, media cetak, internet, dan hasil-hasil penelitian terdahulu, serta dokumen-dokumen lainnya.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara, yaitu pengumpulan data penelitian yang memanfaatkan informasi dan data primer yang diperoleh secara langsung dari subyek yang diteliti baik wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara dan juga wawancara secara terbuka. Data yang akan digunakan adalah kaitan dengan proses perencanaan, implementasi, faktor-faktor dan evaluasi rehabilitasi rumah tidak layak huni. Informan penelitian adalah pihak yang memiliki kewenangan dalam perencanaan dan implementasi rehabilitasi rumah tidak layak huni dari unsur pemerintah, aparat desa, masyarakat penerima bantuan serta kelompok sosial desa yang terkait.

b. Focus group discussian (FGD) terhadap instansi yang menangani kegiatan RTLH dari pemerintah, pemerintah daerah dan swasta.

FGD dilaksanakan di 6 kabupaten/kota yaitu di Kota Semarang, Kab.

Semarang, Kab. Boyolali, Kab. Batang, Kab. Purworejo, dan Kab.

Cilacap. Kabupaten/kota ini dipilih sesuai dengan kriteria wilayah

(30)

19 pedesaan dan perkotaan, wilayah pesisir dan pegunungan, wilayah yang sukses menerapkan gotong royong dan wilayah yang sudah minim partisipasi masyarakat dalam gotong royong. FGD melibatkan staf Disperakim, perangkat desa yang menerima dana rehabilitasi RTLH, dan fasilitator lapangan.

3.4. METODE PENGOLAHAN DAN ANÁLISIS DATA.

Pengolahan data dilakukan dengan model identifikasi kondisi eksisting, yang meliputi (identifikasi indikator implementasi RTLH oleh pemerintah dan pemerintah daerah, Implementasi RTLH di Desa Miskin, faktor-faktor yang mempengaruhi Pengelolaan RTLH dengan swadaya, pola-pola pendanaan secara swadaya yang diterapkan). Analisis dilakukan dengan Analisis model interaktif sebagaimana dikembangkan oleh Miles dan Hubberman (1984), dimana proses pengumpulan, pengolahan dan penyajian data secara simultan untuk menghasilkan kesimpulan yang saling terkait (Husaini dan Purnomo, 2008).

(31)

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL

4.1.1. Skema RTLH di Provinsi Jawa Tengah

4.1.1.1. Data Statistik Kondisi Kemiskinan di Jawa Tengah

Jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah pada Maret 2019 sebesar 3.743,23 ribu orang (10,80%), turun 124, 19 ribu orang (0,39%) poin dibanding September 2018, sementara jumlah penduduk miskin Indonesia turun 529,86 ribu orang atau penurunan kemiskinan Indonesia sebesar 0,25persen poin.

Gambar 4.1.

Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah Th. 2014-2019

Di Jawa Tengah terdapat 14 Kabupaten dengan tingkat kemiskinan di atas rata-rata Jawa Tengah dan nasional (warna merah), yaitu Kebumen 16,82%, Wonosobo 16,63%, Brebes 16,22%, Pemalang 15,41%, Purbalingga 15,03%, Rembang 14,95%, Banjarnegara 14,76, Sragen 12,79%, Banyumas 12,53%,

(32)

21 Klaten 12,28%, Demak 11,86%, Grobogan 11,77%, Purworejo 11,67%, dan Blora 11,90%.

Terdapat 9 (sembilan) Kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan dibawah Provinsi Jawa Tengah dan diatas Nasional, yaitu: Cilacap 11,25%, Magelang 11,23%, Wonogiri 10,75%, Pekalongan 10,06%, Boyolali 10,04%, Karanganyar 10,01%, Pati 9,90%, Temanggung 9,87% dan Kendal 9,84%.

Sementara terdapat 12 Kabupaten/Kota dengan tingkat kemiskinan dibawah Provinsi Jawa Tengah dan Nasional, yaitu Kota Surakarta 9,08%, Kab. Batang 8,69%, Kab. Tegal 7,94%, Kota Magelang 7,87%, Kota Tegal 7,81%, Kab.

Sukoharjo 7,41%, Kab. Semarang 7,29%, Kab. Jepara 7,00%, Kab. Kudus 6,98%, Kota Pekalongan 6,75%, Kota Salatiga 4,84% dan Kota Semarang 4,14%.

Gambar 4.2

Posisi Relatif Tingkat Kemiskinan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah (Kondisi Maret 2019)

4.1.1.2. Relevansi Kemiskinan Dengan Kebutuhan Rumah Layak Huni di Jawa Tengah

Kriteria kemiskinan yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan masyarakat di Jawa Tengah adalah kriteria kemiskinan Badan Pusat Statistik.

Terdapat 14 kriteria miskin menurut standar BPS:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

(33)

22 3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas

rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam dalam satu kali seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat SD.

14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual denga minimal Rp.

500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Jika 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga disebut rumah tangga miskin.

Sedangkan kriteria rumah yang layak huni adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni (penjelasan pasal 24 huruf a UU PKP). Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disingkat RTLH adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni. Rumah dalam kondisi tidak layak huni ditentukan berdasarkan tiga indikator rumah layak huni, yaitu:

(34)

23 1. Aspek keselamatan bangunan: (a) komponen struktur bangunan (pondasi, sloof, kolom/tiang. ring balok, kerangka atap); dan (b). kualitas bahan penutup atap, lantai, dinding;

2. Aspek kesehatan penghuni: (a) pencahayaan; (b) penghawaan; dan (c) ketersediaan MCK;

3. Aspek kecukupan minimum luas bangunan

Dari ke-14 kriteria miskin menurut standar BPS, terdapat 5 (lima) point kriteria yang sesuai dengan standar kriteria rumah tidak layak huni yaitu:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.

Terdapat relevansi antara kemiskinan dengan kebutuhan rumah layak huni, dimana pendataan penghitungan rumah tangga miskin oleh Badan Pusat Statistik didasarkan pada kriteria yang juga memenuhi kriteria rumah tidak layak huni pada 5 (lima) point tersebut diatas

4.1.1.3. Skema-skema RTLH yang ada di Jawa Tengah

Skema-skema program rehabilitasi rumah tidak layak huni yang ada di Jawa Tengah, didanai oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota), pemerintah provinsi (Pemprov Jateng), dan pemerintah pusat. Skema tersebut terdiri dari:

(35)

24 1. Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Pemerintah Pusat - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Republik Indonesia

Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya yang selanjutnya disingkat BSPS adalah bantuan Pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendorong dan meningkatkan keswadayaan dalam peningkatan kualitas rumah dan pembangunan baru rumah beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2018 pasal 1).

Bantuan ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), yaitu masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.

Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang diberikan berupa uang digunakan untuk membeli bahan bangunan dan membayar upah kerja. Sedangkan jenis kegiatan BSPS terdiri atas: (1) Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya selanjutnya disingkat PKRS, yang merupakan kegiatan memperbaiki rumah tidak layak huni menjadi layak huni yang diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat baik secara perseorangan atau berkelompok; dan (2) Pembangunan Baru Rumah Swadaya yang selanjutnya disingkat PBRS, yang merupakan kegiatan pembangunan rumah baru yang layak huni yang diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat baik secara perseorangan atau berkelompok.

Kegiatan Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya (PKRS) dimaksudkan untuk memperbaiki rumah tidak layak huni menjadi layak huni dengan memenuhi persyaratan: (a). keselamatan bangunan; (b). kesehatan penghuni; dan (c). kecukupan minimum luas bangunan. Keselamatan bangunan meliputi pemenuhan standar keandalan komponen struktur bangunan serta peningkatan kualitas bahan penutup atap, lantai, dan dinding bangunan. Kesehatan penghuni meliputi pemenuhan standar kecukupan sarana pencahayaan dan penghawaan serta ketersediaan

(36)

25 sarana utilitas bangunan meliputi sarana mandi, cuci, dan kakus.

Kecukupan minimum luas bangunan meliputi pemenuhan standar ruang gerak minimum per-orang untuk kenyamanan bangunan.

Kegiatan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) dilakukan oleh Penerima BSPS dengan persyaratan: (a). pembangunan Rumah baru pengganti Rumah rusak total; atau (b). pembangunan Rumah baru di atas kavling tanah matang.

Besaran nilai BSPS untuk jenis kegiatan Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya (PKRS) adalah Rp 17.500.000,- (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah), dengan perincian Rp. 15.000.000 (lima belas juta rupiah) adalah ongkos bahan bangunan dan Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) adalah ongkos tukang. Sedangkan besaran nilai BSPS untuk jenis kegiatan Pembangunan Baru Rumah Swadaya (PBRS) adalah sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah).

Dalam pelaksanaan kegiatan Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di lapangan dibantu oleh Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) yang merupakan tenaga profesional pemberdayaan lokal yang menjadi penggerak dan pendamping penerima bantuan dalam melaksanakan kegiatan BSPS.

2. Bantuan Rumah Swadaya, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Perumahan Permukiman Subbidang Rumah Swadaya dari Pemerintah Pusat - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Republik Indonesia

Bantuan Rumah Swadaya (BRS) adalah bantuan pemerintah bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendorong dan meningkatkan keswadayaan dalam peningkatan kualitas rumah dan pembangunan baru rumah besert aprasarana, sarana, dan utilitas umum. Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Subbidang Rumah Swadaya adalah dana yang dialokasikan dari APBN untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah yang sifatnya stimulant guna mendorong dan meningkatkan keswadayaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan perumahan swadaya

(37)

26 layak huni melalui peningkatan kualitas rumah dan pembangunan baru rumah berserta prasarana, sarana, dan utilitas umum yang merupakan prioitas nasional dan menjadi urusan dan kewenangan Pemerintah Daerah.

Kegiatan Dana Alokasi Khusus (DAK) reguler dan afirmasi bertujuan mengurangi backlog dan rumah tidak layak huni yang ada di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kekuranga rumah (backlog) adalah jumlah rumah tangga/keluarga dikurangi jumlah rumah tangga/keluarga yang telah menghuni atau menempati rumah.

Program Bantuan Rumah Swadaya meliputi: (a) Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya disingkat PKRS; (b) Pembangunan Rumah Baru Swadaya disingkat PRBS; (c) Pembangunan prasarana jalan lingkungan termasuk drainase dalam rangka pemenuhan rumah swadaya yang layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.

Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya (PKRS) adalah kegiatan memperbaiki rumah tidak layak huni menjadi layak huni yang diselenggarakan atas prakara dan upaya masyarakat baik secara perseorangan atau berkelompok. Sedangkan Pembangunan Rumah Baru Swadaya (PRBS) adalah kegiatan pembangunan rumah baru yang layak huni yang diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat baik secara perseorangan atau berkelompok.

Bantuan Rumah Swadaya DAK yang diberikan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah jenis Peningkatan Kualitas Rumah Swadaya (PKRS) adalah sebesar Rp 17.500.000 (tujuh belas juta lima ratus ribu rupiah) dengan perincian Rp 15.00.000 (lima belas juta rupiah) dipergunakan untuk ongkos pembelian bahan bangunan dan Rp.

2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dialokasikan untuk ongkos tukang.

Dalam pelaksanaan kegiatan Bantuan Rumah Swadaya DAK di lapangan dibantu oleh Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) yang merupakan tenaga

(38)

27 profesional pemberdayaan lokal yang menjadi penggerak dan pendamping penerima bantuan dalam melaksanakan kegiatan BRS.

Bantuan Rumah Swadaya diselenggarakan sesuai dengan prisip-prinsip:

a. Swadaya Masyarakat

Bantuan Rumah Swadaya bersifat stimulant dalam rangka peningkatan kualitas rumah swadaya dan pembangunan baru rumah swadaya agar layak huni, mencakup kualitas kelayakan rumah agar dapat dihuni diperlukan komitmen serta kesiapan masyarakat berupa dana swadaya baik berupa tabungan bahan bangunan maupun asset lain atau tabungan yang dapat dijadikan dana tambahan.

b. Pemberdayaan Masyarakat

Kegiatan dilakukan dalam rangka memberdayakan masyarakat agar mampu melakukan penyelenggaraan perumahan swadaya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan secara bertanggungjawab.

c. Transparan dan dapat dipertanggungjawabkan

Pengelolaan kegiatan dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggung jawabkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Pengembangan Mandiri Pasca Kegiatan

Pengembangan mandiri pasca konstruksi adalah kegiatan swadaya pembangunan perumahan setelah selesainya program bantuan rumah swadaya, dilakukan atas inisiatif/prakarsa dan dengan dana dari masyarakat sendiri. Keberhasilan tersebut ditentukan oleh proses pemberdayaan masyarakat sejak persiapan hingga pasca konstruksi yang dilakukan oleh Kelompok Penerima Bantuan (KPB) secara swadaya.

3. Bantuan Keuangan Pemerintah Desa untuk Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (Bankeu Pemdes RTLH) dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Bantuan Keuangan kepada Pemerintah Desa diberikan sebagai bentuk dukungan Daerah kepada Pemerintah Desa dalam rangka percepatan

(39)

28 pembangunan desa, pemberdayaan masyarakat desa dan penanggulangan kemiskinan.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 48 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Keuangan Kepada Pemerintah Desa Di Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberian Bantuan Keuangan kepada Pemerintah Desa untuk Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (Pasal 13 butir g) disebut sebagai Bankeu Pemdes Rehabilitasi RTLH. Rehabilitasi adalah kegiatan pemulihan suatu keadaan menjadi seperti semula. Rumah Tidak Layak Huni yang selanjutnya disingkat RTLH adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan kecukupan minimal luas, kualitas dan kesehatan bangunan.

Bantuan Keuangan Pemerintah Desa Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni adalah merupakan dana bantuan yang bersifat stimulan yang memerlukan peran serta masyarakat untuk swadaya dan gotong – royong, yang merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan prakarsa dan swadaya masyarakat dalam mewujudkan Rumah Layak Huni, yang perlu melibatkan masyarakat sejak proses pengusulan, perencanaan hingga pelaksanaan. Bankeu Pemdes Rehabilitasi RTLH dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah diberikan kepada masing-masing desa sejumlah 5 (lima) unit rumah dengan dana sebesar @ Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

Dalam pelaksanannya Bantuan Keuangan kepada Pemerintah Desa ditransfer langsung ke Rekening Kas Desa dan dianggarkan dalam APB Desa. Bantuan Keuangan Kepada Pemerintah Desa dapat digunakan untuk biaya operasional dan/atau administrasi kegiatan paling tinggi 5%

(lima persen) dari pagu anggaran kegiatan. Pemerintah Kabupaten dan Kecamatan memfasilitasi serta berperan aktif melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan Bantuan Keuangan kepada Pemerintah Desa sesuai kewenangannya.

(40)

29 Prinsip-Prinsip Pengelolaan Bantuan Keuangan Pemerintah Desa adalah:

a. Berpihak pada Masyarakat Miskin: Kegiatan bantuan keuangan kepada pemerintah desa diarahkan bermanfaat untuk masyarakat miskin.

b. Transparansi: Bantuan keuangan kepada pemerintah desa dilaksanakan dengan semangat keterbukaan, seluruh masyarakat dan pelaku memiliki akses yg sama terhadap informasi tentang rencana, pelaksanaan pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat.

c. Swakelola dan gotong royong: Kegiatan bantuan keuangan kepada pemerintah desa dilakukan secara swakelola dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada di desa secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat untuk memperluas kesempatan kerja dan pemberdayaan masyarakat setempat.

d. Swadaya: Dalam pelaksanaan kegiatan masyarakat ikut serta mendukung baik berupa uang, barang, dan /atau tenaga sesuai dengan kemampuan.

e. Partisipatif: Masyarakat turut berperan aktif dalam setiap kegiatan bantuan keuangan kepada pemerintah desa.

f. Akuntabel: Pengelolaan kegiatan bantuan keuangan kepada pemerintah desa dilaksanakan sesuai dengan aturan dan ketentuan serta dapat dipertanggungjawabkan.

g. Keberlanjutan: Pelaksanaan bantuan keuangan kepada pemerintah desa dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi dan berkesinambungan.

h. Responsif gender: Dalam pelaksanaan bantuan keuangan kepada pemerintah desa, perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.

4. Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dari Pemerintah Kabupaten/Kota.

Bantuan dana rehabilitasi untuk Rumah Tidak Huni (RTLH) dari Anggaran Pemerintah Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota yang

(41)

30 diberikan kepada desa dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Tengah. Besaran dana rehabilitasi RTLH rata-rata sebesar Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) per unit rumah. Model pengelolaan program RTLH yang bersumber dari APBD kabupaten/kota beragam sesuai kemampuan daerah. Beberapa daerah menganggarkan dana untuk tenaga fasilitator lapangan dan sebagian tidak.

5. Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dari Pemerintah Desa Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Provinsi Jawa Tengah, pada beberapa kabupaten/kota dianggarkan dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes). Bantuan dana rehabilitasi RTLH dari anggaran desa sepenuhnya terlaksana atas inisiatif Kepala Desa. Besarnya dana rehabilitasi RTLH rata-rata sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) per unit rumah. Bantuan dana rehabilitasi RTLH dari APBDesa dimaksudkan sebagai stimulan untuk peningkatan kualitas rumah tidak layak huni menjadi rumah layak huni.

6. Program Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dari Swasta/Corporate Social Responsibility.

Dana untuk pelaksanaan Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) di Provinsi Jawa Tengah, pada beberapa kabupaten/kota berasal dari dana swasta/Corporate Social Responsibility. Bantuan dana rehabilitasi RTLH dari Corporate Social Responsibility (CSR) sepenuhnya terlaksana atas inisiatif Kepala Daerah yang aktif berkolaborasi dan bekerjasama dengan perusahaan swasta. Besarnya dana rehabilitasi RTLH rata-rata sebesar Rp. 15.000.000 (limabelas juta rupiah) s/d Rp. 20.000.000 (duapuluh juta rupiah) per unit rumah.

Bantuan dana rehabilitasi RTLH dari Corporate Social Responsibility (CSR) dimaksudkan sebagai stimulan untuk peningkatan kualitas rumah tidak layak huni menjadi rumah layak huni dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Jawa Tengah

(42)

31 4.1.1.4. Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) dari Pemerintah Pusat - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Republik Indonesia

1. Persyaratan Penerima Bantuan

Penerima BSPS merupakan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memenuhi persyaratan:

a. Warga negara Indonesia yang sudah berkeluarga;

b. Memiliki atau menguasai tanah dengan alas hak yang sah;

c. Belum memiliki Rumah, atau memiliki dan menempati satu-satunya Rumah dengan kondisi tidak layak huni;

d. Belum pernah memperoleh BSPS atau bantuan pemerintah untuk program perumahan;

e. Berpenghasilan paling banyak sebesar upah minimum daerah provinsi; dan

f. Bersedia berswadaya dan membentuk KPB dengan pernyataan tanggung renteng.

2. Mekanisme Pelaksanaan Pekerjaan

a. Membentuk Kelompok Penerima Bantuan (KPB) yang memenuhi persyaratan: (1) terdiri atas unsur ketua merangkap anggota, sekretaris merangkap anggota, bendahara merangkap anggota dan anggota; (2) anggota KPB paling banyak 20 (dua puluh) orang; (3) anggota KPB bertempat tinggal di desa/kelurahan yang sama; dan (4) ditetapkan oleh kepala desa/lurah.

b. Penyelenggaraan BSPS meliputi tahapan:

(1) pengusulan lokasi BSPS;

(2) penetapan lokasi;

(3) penyiapan masyarakat;

(4) penetapan calon Penerima BSPS;

(5) pencairan, penyaluran, dan pemanfaatan BSPS bentuk uang;

(6) pengadaan dan penyerahan BSPS bentuk barang; dan (7) pelaporan.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu bentuk nyata atas keseriusan Pemerintah Indonesia dalam menangani Covid-19 adalah melalui pembentukan regulasi yang dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka didapat simpulan tidak ada hubungan assosiatif antara gaya belajar dengan hasil

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 pada ayat (2) huruf a dengan ketentuan tidak mengganggu dominasi kawasan yang bersangkutan dan tidak

Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa algoritma Bresenham memiliki kecepatan proses 1.44 kali lebih cepat dari Bezier untuk 70 titik penggambaran, sedangkan akurasi dalam

16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Bahwa Pengembangan SPAM adalah kegiatan yang bertujuan membangun, memperluas dan/atau

Meskipun pembentukan ini sesungguhnya menjawab ajakan dari Organisasi serupa yang sudah terbentuk duluan di Jepang selaku induk karate , namun sesungguhnya tujuan

bahwa Negara Indonesia telah mengesahkan Konvensi tentang Hak Anak dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang harus ditindak lanjuti oleh Pemerintah dalam upaya

“TO SUPPLY, DELIVER, INSTALL, SETUP, PROGRAMMING, TESTING, COMMISSIONING AND TRAINING OF IP NETWORKING CCTV SYSTEM AT SURUHANJAYA SYARIKAT MALAYSIA UTC KUALA LUMPUR BRANCH