• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

4. Swaps Contract

Swap adalah salah satu instrument yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko terhadap perubahan valuta asing. Pengurangan risiko tersebut dapat dilakukan dengan merubah tangga jatuh tempo dari kewajiban hutang (financial liabiities) tersebut dan financial assets lainnya (Lubis, 2001:33).

Menurut Kasidi (2010:134) Swap adalah transaksi pertukaran dua valuta melalui pembeian dan penjualan saja, tanpa disertai dengan transaksi lain yang berlawanan diantara pihak-pihak bersangkutan untuk tanggal berlaku (value date) spot atau forward.

Merupakan kesepakatan antara dua pihak atau perusahaan untuk saling mempertahankan arus kas di masa tertentu (selama kurun waktu tertentu) yang akan datang. Kesepakatan ini ditentukan secara spesifik tanggal pembayaran tunai dan cara menghitung jumlah tunai yang akan saling dipertukarkan (dibayarkan masing-masing pihak). Biasanya di dalam perhitungan telah dipertimbangkan nilai yang akan datang, tingkat bunga, kurs mata uang, dan variabel-variabel lainnya yang relevan. Swap adalah istilah asing yang maknanya adalah "pertukaran" namun di Indonesia istilah juga digunakan secara umum. Perjanjian swap adalah

transaksi pertukaran dua valuta melalui pembelian atau penjualan tunai (spot) dengan penjualan/pembelian kembali secara berjangka yang dilakukan secara simultan dengan bank yang sama dan pada tingkat premi atau diskon dan kurs yang dibuat dan disepakati pada tanggal transaksi dilakukan.

2.1.3.2 Keuntungan dan Kerugian Melakukan Hedging

Penyediaan cadangan untuk menopang kerugian merupakan best practice dalam manajemen risiko. Sebelum menyediakan cadangan, perusahaan dapat mengurangi risikonya terlebih dahulu dengan melakukan hedging. Prinsip hedging adalah menutupi kerugian posisi asset awal dengan keuntungan dari posisi instrument hedging.

Hedging memberikan beberapa keuntungan ekonomis baik untuk pihak produsen, pabrikan, eksportir, maupun konsumen (BAPPEBTI, 1997) sebagai berikut:

1. Hedging merupakan sarana untuk mengurangi atau meminimalkan risiko harga apabila terjadi perubahan harga yang tidak sesuai dengan yang diperkirakan, disebut “risk insrance”.

2. Bagi produsen atau pemilik komoditi, hedging merupakan alat marketing (a marketing tool). Dengan melakukan hedging, para petani dapat menentukan harga penjualan produknya, sebelum, selama, dan sesudah panen melalui pasar berjangka. Mereka dapat menentukan suatu jumlah penerimaan yang akan diperoleh dikemudian hari dengan menyimpan produk tersebut untuk dijual kemudian.

3. Bagi pengolah komoditi seperti prosseco atau miller, hedging tersebut merupakan suatu alat pembelian (a purchasing tools). Melalui pasar berjangka mereka menentukan harga pembelian bahan baku yang akan diolah dikemudian hari, sehingga dapat menetapkan biaya produksi dan akhirnya dapat dengan pasti menetapkan harga jualnya untuk masa yang akan datang.

4. Dengan adanya hedging pihak kreditor (bank) lebih berani memberikan kredit kepada produsen atau pemilik komoditi yang telah meng-hedge komoditinya. Karena dengan melakukan tindakan tersebut, pemilik komoditi telah memperkecil risiko fluktuasi harga dari komoditi yang akan dihasilkan atau bahan yang dibeli, sehingga profit yang ditargetkan lebih pasti dan hal ini merupakan jaminan bank bahwa uang yang diberikan dapat kembali dan bunganya dapat dibayar. Biasanya bank hanya menyediakan 50 persen dari modal kerja bagi produk atau persediaan yang tidak di hedge, sedangkan bagi yang melakukan hedging mendapat kredit 90 persen dari modal kerja.

5. Melalui hedging, konsumen akhir akan dibebankan harga jual yang lebih rendah dan stabil hal ini dikarenakan baik produsen maupun processeor mampu memperkecil biaya akibat fluktuasi harga yang merugikan, serta adanya kesempatan untuk memperbesar operting capital

Selain keuntungan yang diperoleh, hedging juga mempunyai beberapa kerugian yang harus dihadapi hedger (BAPPEBTI, 1997), yaitu:

1. Risiko basis

Perkembangan harga di pasar fisik kadang-kadang tidak berkorelasi secara wajar (tidak searah) dengan pasar berjangka, sehingga risiko yang ada tidak sesuai dengan perencanaan sebelumnya.

2. Biaya

Dengan melakukan hedging terdapat beban biaya bagi hedger, antara lain, biaya angkut, biaya bunga bank, biaya gedung, biaya asuransi, pembayaran margin dan biaya transaksi. Oleh karena itu, hedger harus mempertimbangkan biaya-biaya tersebut sebelum melakukan hedging. 3. Ketidaksesuaian (incompatible) antara kondisi fisik dan futures

Hal ini terjadi mengingat mutu dan jumlah produk yang di hedge tidak selalu sama dengan mutu dan jumlah standar kontrak yang diperdagangkan. Oleh karena itu hedger dituntut agar mampu menyesuaikan perbedaan-perbedaan tersebut dengan cara melakukan hedging yang sesuai dengan volume produksinya.

2.1.4 Pertumbuhan Perusahaan (Growth Opportunity)

Perusahaan yang mempunyai pertumbuhan yang tinggi cenderung akan menginvestasikan kembali ke dalam perusahaan. Semakin tinggi tingkat pertumbuhannya, maka semakin tinggi kebutuhan dana untuk investasi. Untuk itu perusahaan akan menggunakan laba yang diperoleh untuk membiayai investasinya, daripada membagikan dividen (Pribadi, 2012).

Growth Opportunity yang tinggi menunjukkan peluang perusahaan untuk maju kian besar, sehingga untuk menjawab kesempatan tersebut, kebutuhan dana

dalam jumlah yang cukup besar untuk membiayai pertumbuhan tersebut di masa yang akan datang akan sangat dibutuhkan (Putro,2012).

Proksi pengukuran variabel Growth Opportunity pada penelitian ini adalah secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:

2.1.5 Tingkat Likuiditas (Liquidity)

Likuiditas adalah mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, baik kewajiban dalam membiayai proses produksi maupun kewajiban keluar perusahaan. Perusahaan yang mempunyai cukup kemampuan membayar utang jangka pendek disebut perusahaan yang likuid. Perusahaan yang berada dalam keadaan tidak mempunyai kemampuan membayar utang jangka pendek disebut ilikuid (Sunyoto, 2013:101).

Untuk menilai likuiditas berikut ini penerapan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan likuiditas jangka pendek suatu perusahaan diproksikan dengan current ratio karena semua aktiva lancar dikonversikan ke dalam kas, jadi waktunya lebih lama untuk dicairkan dalam bentuk kas, karena semua komponen aktiva lancar (Kamaludin dan Indriani, 2011:42).

Current ratio adalah ukuran yang umum digunakan atas solvensi jangka pendek, kemampuan suatu perusahaan memenuhi kebutuhan hutang ketika jatuh tempo. Penggunaan current ratio dalam menganalisis laporan keuangan hanya mampu member analisa secara kasar, oleh karena itu perlu adanya dukungan analisa secara kualitatif secara lebih komperhensif (Fahmi, 2014:153).

Dengan rumus current ratio adalah :

2.1.6 Ukuran Perusahaan (F irm Size)

Suatu perusahaan yang sudah mapan akan memiliki akses yang mudah menuju pasar modal untuk meningkatkan dana dengan biaya yang lebih rendah, sementara perusahaan yang baru dan yang masih kecil akan mengalami banyak kesulitan untuk memiliki akses ke pasar modal (Pribadi, 2012).

Ukuran perusahaan adalah rata–rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Ukuran perusahaan digunakan sebagai salah satu indikator mengenai seberapa besar perusahaan itu telah berkembang. Besar kecilnya suatu perusahaan membuat pengambilan keputusannya pun berbeda-beda.

Ukuran perusahaan (Firm Size) diproksikan melalui:

Firm Size = In Total Assets

Ukuran perusahaan dilihat dari jumlah total asset yang dimilikinya, semakin besar asset yang dimiliki, semakin hati-hati perusahaan tersebut melangkahkan suatu kegiatan di perusahaannya. Firm size menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh investor dalam pengambilan keputusan investasi (Putro, 2012).

2.1.7 Leverage

Rasio leverage adalah untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana perusahaan mendanai aktivanya. Rasio ini memberikan ukuran atas dana yang

disediakan pemilik dibandingkan dengan keuangan yang diberikan oleh kreditor. Pembiayaan dengan hutang mempunyai pengaruh bagi perusahaan karena hutang mempunyai beban yang bersifat tetap. Kegagalan perusahaan dalam membayar bunga atas hutang dapat menyebabkan kesulitan keuangan yang berakhir dengan kebangkrutan perusahaan (Kamaludin dan Indriani, 2011:42).

Dokumen terkait