• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL DALAM PENGAJUAN KEPAILITAN BANK

B. Aspek Hukum Permohonan Pernyataan Pailit

4. Syarat Permohonan Pailit

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menunj

bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang Debitor adalah192 :

a. ”Debitor yang bersangkutan;

c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; e. Badan P

f. Menteri Keuangan apabila debitornya adalah Perusahaan Asuransi; yang bergerak di bidang kepentingan publik”.

192

Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Menurut Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan menyatakan pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada seorang Debitor adalah193 :

a. “Debitor yang bersangkutan; b. Kreditor atau Para Kreditor;

d. Bank Indonesia apabila debitornya adalah Bank; Perusahaan Efek”.

Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ditambahkan Menteri Keuang

perusahaan efek saja, melainkan juga lembaga-lembaga lain yang

ukan permohonan pailit, pihak yang

Pe n oleh Debitor disebut dengan voluntary

ebitor, yang tidak mensyaratkan berapa besar jumlah utang yang dimilikinya.

c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;

e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah

an sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berkaitan dengan kegiatan perasuransian dan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM- LK)194 di dalam mengajukan permohonan pailit juga menjadi lebih luas karena tidak hanya semata-mata

terlibat di dalam kegiatan pasar modal.195

Beberapa pihak di atas yang dapat mengaj

paling umum mengajukan permohonan pailit adalah pihak Debitor dan Kreditor. ngajuan permohonan pailit yang dilakuka

petition. Voluntary petition adalah permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh

D

193

Pasal 1 ayat (1), (2), (3), (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 194

Kewenangan BAPEPAM-LK juga mengatur, mengawasi, dan membina Pasar Modal Indonesia, sama dengan Bank Indonesia yang mengatur, mengawasi, dan membina Perbankan di Indonesia. Lihat : M. Adenan AS., “Kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-LK) dalam Penanganan Money Laundering di Pasar Modal”, (Medan : Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. ii.

195

Man. S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung : Alumni, 2006), hal. 92.

Sebalik

kukan Kreditor apabila Debitor memiliki utang yang telah ditentukan di dalam perjanjian.196

atu pihak yang dapat mengajukan ak egara. Namun ketentuan ini memberi kesempatan bagi Debitor nakal untuk melaku

mbayaran Utang. Ketentuan ini juga telah mengatur pula kewenangan Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen dapat

Kepaili an

nya pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh pihak Kreditor disebut dengan involuntary petition. Involuntary petition adalah pengajuan permohonan pernyataan pailit yang dila

jumlah nilai utangnya dan bentuk utangnya

Ketentuan bahwa Debitor adalah salah s

permohonan pailit terhadap dirinya sendiri adalah ketentuan yang dianut di bany n

kan rekayasa demi kepentingannya. Oleh karenanya, sekalipun mungkin saja permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor dikabulkan oleh pengadilan, baik yang diajukan oleh Debitor sendiri atau oleh Kreditor teman kolusi Debitor atau sekongkolnya, namun Debitor tidak seharusnya lepas dari jerat pidana.197 Sedangkan ketentuan Kreditor di dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit mengacu pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pe

mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang dimilikinya terhadap harta Debitor dan haknya untuk didahulukan.198

Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang kepailitan diantaranya Faillissementsverordening, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang

tan, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penunda

196

Siti Anisah, Op.cit., hal. 72. Lihat juga : Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Indonesia, Op.cit.

197

Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Indonesia, Op.cit. Lihat juga : Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 122-124.

198

Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kewajiban Pembayaran Utang telah menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan atas permintaan Debitor maupun atas permintaan kreditornya. Namun ketiga undang-undang kepailitan ini tidak membedakan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor individu atau perusahaan.199 Padahal tujuan dan manfaa

Menurut H.L.A. Hart mengenai yang membagi hukum dalam dua bentuk, yaitu primary rule dan secondary rule, terkait pengajuan kepailitan oleh Bank t hukum kepailitan perseorangan dan perusahaan berbeda. Tujuan dan manfaat hukum kepailitan perseorangan adalah pembagian yang adil harta pailit Debitor di antara para kreditornya dan memberi kesempatan bagi Debitor Insolven untuk memperoleh fresh start.200

Di sisi lain, tujuan dan manfaat hukum kepailitan perusahaan adalah memperbaiki atau memulihkan perusahaan guna memperoleh keuntungan dalam perdagangan, memaksimalkan pengembalian tagihan para Kreditor, menyusun tagihan Kreditor, dan mengidentifikasi penyebab kegagalan perusahaan serta menerapkan sanksi terhadap manajemen yang menyebabkan kepailitan.201 Ketiadaaan perbedaan permohonan pailit terhadap Debitor perseorangan dan perusahaan menjadikan undang-undang kepailitan di Indonesia berbeda dengan undang-undang kepailitan di negara lain.202

199

Siti Anisah, Op.cit., hal. 126-127. 200

Fresh start adalah kesempatan bagi debitor dimana debitor tidak diwajibkan untuk melunasi

Sjahdeini, Op.cit., hal. .39.

Netherlands Bankruptcy Act untuk penjatuhan kepailitan terhadap

utang-utangnya dan dapat melakukan bisnis tanpa dibebani utang yang menggantung dari masa lalu. Lihat : Sutan Remy

201

Siti Anisah, Op.cit., hal. 127. 202

Misalnya saja di Belanda terdapat

perusahaan dan Debt Restructuring Act For Private Individual untuk kepailitan konsumen atau individual.

Indonesia terhadap Bank adalah bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (sebagai primary rule) sudah tepat menentukan Bank Indonesia yang dapat mengajukan pailit terhadap Bank. Karena terkait dengan yang dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa ada yang diselamatkan jika Bank Indonesia yang mengajukan permohonan tersebut yaitu

rush, semua itu demi menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang stabil.

Namun pada, Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank (sebagai secondary rule) yang mengatur mengen

Dalam Likuidasi dimohonkan pailit oleh Nasabah Bank reditor Lain) dan ditolak oleh Pengadilan maka yang menjadi masalah hukum bagi Bank Indonesia terletak pada pengembalian dana nasabah Bank Dalam Likuidasi tersebut. Rasanya tidak adil bila nasabah harus menanggung keputusan likuidasi akibat salah urus Bank. Wajar bila deposan berhak mendapatkan seluruh dana berikut

Likuida

Bank sebagai akibat pembubaran badan hukum Bank. Kenyataannya ai likuidasi Bank adalah kurang tepat karena menurut Erman Radjagukguk bahwa status Bank Umum yang sudah dicabut izinnya akan berubah menjadi Perseroan Terbatas biasa yang tidak lagi bergerak dalam bidang perbankan. Jadi, Kreditor lainnya selain Bank Indonesia juga dapat mengajukan permohonan pailit terhadap bank dalam likuidasi terkait pencabutan izin oleh Bank Indonesia.

C. Masalah Hukum yang Dihadapi Bank Indonesia