• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Modal Kerja

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT MODAL

B. Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Modal Kerja

Dalam pemberian suatu KMK oleh bank kepada debitur, pertama-tama selalu dimulai dengan pengajuan permohonan kredit oleh calon nasabah debitur yang bersangkutan. Terhadap permohonan pemberian kredit tersebut terdapat dua kemungkinan jawaban, yakni penerimaan atau penolakan permohonan KMK tersebut. Apabila permohonan tersebut ditolak maka tahapan permohonan pemberian KMK terhenti, namun bila permohonan tersebut diterima (layak untuk diberikan) maka untuk terlaksananya pemberian/pelepasan KMK tersebut terlebih dahulu haruslah diadakan suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk perjanjian KMK secara tertulis (biasa disebut akad kredit).

Salah satu yang mendasari harus dibuatnya perjanjian ini adalah bunyi Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain. Adapun filosofi harus dibuatnya perjanjian KMK adalah berfungsinya perjanjian kredit itu sebagai alat bukti, dan sebagaimana diketahui bahwa surat-surat perjanjian yang ditandatangani adalah merupakan suatu akta.22

22

Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 139-140.

Di dalam Undang-Undang Perbankan tidak ditentukan bentuk dari perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktik perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, umumnya perjanjian kredit dituangkan

dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standards contract) dan juga dapat dibuat di bawah tangan ataupun notariil.23

1. Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan

Secara yuridis formal ada dua jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan bank dalam melepas kreditnya yaitu:

Perjanjian kredit ini hanya dibuat antara bank selaku kreditur dan debitur tanpa adanya saksi. Perjanjian kredit ini banyak mengandung kelemahan dan terkadang mengalami banyak hambatan dalam pembuktian di pengadilan,

2. Perjanjian Kredit Notariil (Otentik)

Perjanjian kredit ini dibuat dihadapan notaris , dan sering disebut dengan perjanjian kredit notariil (otentik) atau perjanjian kredit dengan akta otentik. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai yang berwenang untuk itu, berdasarkan tempat dimana akta tersebut dibuatnya.

Pada perjanjian KMK Bank X, perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan dan dalam bentuk perjanjian baku. Dimana yang berarti perjanjian ini dibuat oleh para pihak dalam hal ini bank sebagai kreditur dan debitur, tidak melalui perantara Pejabat yang berwenang (pejabat umum), isi dan klausula-klausula perjanjian KMK ini diserahkan sepenuhnya kepada pihak bank (kreditur), namun tetap harus dipedomani bahwa rumusan perjanjian tersebut

23

tidak boleh tidak jelas (kabur) dan harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum.24

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya kebatalan dari perjanjian yang bersangkutan. Selain itu juga harus diperhatikan bahwa isinya tidak boleh merugikan salah satu pihak. Secara umum biasanya perjanjian KMK ini berisi definisi-definisi, jumlah kredit (pinjaman), besarnya bunga dan denda, jangka waktu, angsuran dan cara pembayaran, agunan, wanprestasi, timbul dan berakhirnya hak dan kewajiban, serta hukum yang berlaku bagi perjanjian tersebut.

Pemberian kredit perbankan di Indonesia tunduk kepada ketentuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan peraturan pelaksanaannya, antara lain yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan peraturan intern masing-masing bank. Adapun mengenai perjanjian kreditnya, sebagai salah satu perjanjian, tunduk kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUHPerdata, Buku Ketiga tentang Perikatan.

Oleh karena itu, sahnya perjanjian kredit modal kerja berlaku dengan sendirinya ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:

24

Wawancara dengan Suhaeli Anggrata, Penyelia Administrasi Kredit Bank X, tanggal 13 Maret 2012.

Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” (konsensus) tersebut.25

Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut asas konsensualisme. Artinya ialah hukum perjanjian itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian ”perikatan” yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat tercapainya konsensus. Jika sudah tercapai sepakat tersebut, maka sudah mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

26

Badrulzaman, Mariam Darus mengatakan bahwa “kata sepakat mengadakan perjanjian berarti kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapatkan suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.”

Namun ada perkecualian terhadap asas ini yaitu bagi perjanjian-perjanjian riil yang membutuhkan formalitas-formalitas tertentu selain kata sepakat.

27

25

R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 3

26

Ibid, hal. 3-4

27

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, FH USU, 1974, hal.163.

Ini berarti bahwa sepakat mengandung kebebasan antara para pihak yang artinya betul-betul atas kemauan secara sukarela dari para pihak, tidak ada kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), ataupun penipuan (bedrog) yang mengakibatkan adanya cacat dari kebebasan itu.

Kesepakatan karena paksaan, penipuan maupun kekhilafan maka kesepakatan itu tidaklah sah (Pasal 1321 KUHPerdata).

2. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian

Yang dimaksud dengan kecakapan adalah kemampuan membuat perjanjian. Artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus dalam keadaan “cakap berbuat” atau “berwenang berbuat” (bevoegd).

Seorang pemohon kredit harus mampu melakukan perbuatan hukum yaitu orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran serta tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum.

Mengenai cakap atau tidaknya seseorang dalam membuat suatu perjanjian dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”

Dari ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa selama tidak dilarang oleh undang-undang untuk membuat suatu perikatan maka seseorang dianggap cakap. Adapun orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:

1. Orang-orang yang belum dewasa

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47 menetapkan bahwa orang yang dianggap telah dewasa jika sudah berumur 18 tahun ke atas atau sebelum umur 18 tahun tetapi telah melangsungkan perkawinan. Ketentuan dewasa ini berlaku untuk seluruh warga negara tanpa membeda-bedakan golongan penduduknya. Dengan demikian, umur dewasa 21 tahun sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata, sudah tidak berlaku lagi. Hal ini juga telah dikuatkan oleh keputusan Mahkamah Agung, antara lain dalam putusannya No. 477 K / Sip / 1976, tanggal 13 Oktober 1976.28

1. Orang yang dungu (onnoozelheid);

Orang yang belum dewasa yang berarti orang di bawah umur 18 tahun dan belum pernah kawin dianggap belum dapat melakukan perbuatan hukum. Jadi hanya orang yang sudah dewasalah yang bisa mengajukan permohonan kredit.

Tentang orang-orang di bawah pengampuan yang dianggap tidak cakap atau tidak berwenang (bevoegd) dalam membuat perjanjian adalah orang-orang:

2. Orang gila (tidak waras pikiran);

3. Orang yang mata gelap atau pemarah (razemij); 4. Orang yang boros. (Lihat Pasal 433 KUHPerdata)

Untuk melakukan tindakan hukum, orang yang belum dewasa (minderjaring/underage) diwakili oleh orang tuanya atau walinya, sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya (mental incompetent/ intoxicated person) diwakili oleh pengampunya (curator) karena dianggap tidak mampu (ombevoegd) untuk bertindak sendiri.

28

Munir Fuady, Hukum Kontrak ( Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Adtya Bakti, 1999, hal. 65.

Mengenai ketentuan ketiga pada Pasal 1330 KUHPerdata di atas telah dikesampingkan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No. 3/1963 tanggal 5 September 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi syarat telah dewasa dan tidak di bawah pengampuan.

Persyaratan kecakapan seseorang yang membuat perjanjian sangat diperlukan karena hanya orang yang cakap yang mampu memahami dan melaksanakan isi perjanjian yang dibuat.

3. Suatu hal tertentu

Yaitu apa-apa yang diperjanjikan harus jelas baik mengenai obyek perjanjian maupun hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pasal 1333 KUHPerdata memberi petunjuk bahwa mengenai perjanjian yang menyangkut tentang barang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya kemudian. Ketentuan tersebut menunjukkan dalam perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, supaya perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat yang ketiga ini berakibat batal demi hukum, perjanjian dianggap tidak pernah ada (terjadi).

4. Suatu sebab yang halal

Syarat terakhir pada ketentuan ini adalah suatu sebab (causa) yang halal, artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau yang diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau ukuran dari suatu sebab yang halal yakni:

a. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

b. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan. c. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban

umum.

Mengenai suatu sebab yang halal ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1335 sampai 1337. Dengan demikian apabila suatu perjanjian dibuat tanpa memperhatikan atau melanggar ketentuan-ketentuan di atas, maka perjanjian yang dibuat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dapat dikatakan batal demi hukum.

Dokumen terkait