NOVASI TERHADAP DEBITUR PADA PERJANJIAN
KREDIT MODAL KERJA
(Studi Pada Bank X)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
FATIYA ROCHIMAH
080200141
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
NOVASI TERHADAP DEBITUR PADA PERJANJIAN
KREDIT MODAL KERJA
(Studi Pada Bank X)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
FATIYA ROCHIMAH
080200141
DISETUJUI OLEH,
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
NIP. 196603031985081004 Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Tan Kamello, S.H, M.S
NIP. 196204211988031004 NIP. 195506261986012001
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas anugerah
dan karuniaNya masih diberikan kesehatan dan kemampuan untuk menjalani
perkuliahan sampai pada menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “NOVASI TERHADAP DEBITUR PADA
PERJANJIAN KREDIT MODAL KERJA (Studi Pada Bank X)”.
Skripsi ini ditulis dan bermuatan tentang penyebab terjadinya novasi
terhadap debitur pada perjanjian Kredit Modal Kerja (KMK), bagaimana proses
novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK, dan akibat hukum apabila terjadi
novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK di Bank X.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, SH.MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas
5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS selaku Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu Sinta Uli, SH.M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan
bantuan selama penulis mengikuti kuliah.
9. Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan doa, perhatian, dan
dukungan sehingga penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini.
10.Kakak-kakak penulis, Rizky Hindayani, Dina Yulia dan adik penulis
Ahmad Iqbal Maulana Lubis, terima kasih doa dan semangatnya.
11.Pak Abdul Rahim, Pak Suaheli Anggrata, Pak Agus Suprianto, Pak Iing,
dan seluruh jajaran Bank X, terima kasih atas kerja sama dan bantuan
bahannya.
12.Teman- teman terbaik dan terkasih yang telah mewarnai kehidupan
kampus penulis dari semester satu sampai akhir perkuliahan, Rizky
Wirdatul Husna, Faradina, Anggina Rizki Harahap, Erny Suciapriyanti,
Siti Khairunnissa, Fika Habbina, Lidya Ramadhani, dan Berliana. Semoga
13.BTM. Alladdinsyah, SH beserta jajaran pengurus, yang telah memberikan
ilmu, kasih sayang, dan semangat kepada penulis selama kuliah.
Medan, April 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penulisan ... 9
D. Manfaat Penulisan ... 10
E. Metode Penelitian ... 10
F. Keaslian Penulisan ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT MODAL KERJA A. Pengertian Kredit Modal Kerja ... 16
B. Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Modal Kerja ... 33
C. Jenis-Jenis Kredit Modal Kerja ... 40
D. Prosedur Pemberian Kredit Modal Kerja ... 43
E. Berakhirnya Kredit Modal Kerja ... 46
BAB III NOVASI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN PERKEMBANGANNYA A. Pengertian Novasi ... 49
C. Novasi Sebagai Salah Satu Penyebab Hapusnya Perikatan 54
D. Akibat Hukum Terjadinya Novasi ... 57
E. Perbedaan Antara Novasi, Subrogasi, dan Cessie ... 59
BAB IV NOVASI TERHADAP DEBITUR PADA PERJANJIAN
KREDIT MODAL KERJA DI BANK X
A. Penyebab Terjadinya Novasi Terhadap Debitur Pada Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank X ... 66
B. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan Novasi Terhadap Debitur Pada Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank X ... 71
C. Akibat Hukum Novasi Terhadap Debitur Pada Perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank X ... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79
ABSTRAK
Fatiya Rochimah *
Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS ** Sinta Uli P, SH.M.Hum ***
Kemajuan kondisi perekonomian di Indonesia tidak lepas dari peran masyarakat yang melakukan usaha di bidang perekonomian atau bisnis baik itu usaha dengan ruang lingkup usaha yang besar, menengah maupun kecil. Setiap kegiatan usaha tersebut sebagian besar memerlukan bantuan dari pemerintah melalui jasa-jasa bank dan lembaga keuangan lain seperti bantuan modal, pinjaman, dan sebagainya. Lembaga perbankan sebagai salah satu sumber guna memperoleh dana yang dianggap mudah dan cepat bagi sebagian masyarakat dalam hal membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya, seperti dalam pemanfaatan pendanaan dari bank dalam fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK). Pemberian KMK kepada pelaku usaha disertai dengan risiko sebagai akibat adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian kredit dengan pelunasan kredit di kemudian hari. Selama jangka waktu kredit berlangsung ada kemungkinan terjadi debitur meninggal dunia ataupun peningkatan status hukum debitur dalam hal debitur adalah badan usaha. Apabila hal ini terjadi maka perlu dilakukan novasi terhadap debitur (novasi subjektif pasif). Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu apa yang menjadi penyebab, bagaimana proses dan akibat hukum novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK di Bank X.
Dalam menyusun skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK merupakan salah satu peristiwa yang menjadi sebab hapusnya perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1381 KUHPerdata, dimana perjanjian KMK awalnya menjadi hapus karena disebabkan adanya suatu pembaharuan utang. Demikian juga terhadap perjanjian accessoir berupa perjanjian jaminan yang mengikuti perjanjian kredit lama menjadi gugur/ berakhir. Dalam pelaksanaan novasi terhadap debitur pada Bank X, untuk debitur baru dibuat perjanjian KMK baru untuk mengganti perjanjian kredit yang lama. Dan demi menjamin pelunasan utang debitur baru semua jaminan tetap dipertahankan dan dilakukan pembaharuan pengikatannya. Novasi subjektif pasif diperlukan apabila debitur meninggal dunia dimana KMKnya belum lunas atau apabila terjadi perubahan status hukum debitur dari CV/ Firma menjadi PT, maka terhadap perjanjian kredit lama harus dilakukan novasi.
Kata Kunci : Novasi, Kredit Modal Kerja, Novasi Subjektif Pasif
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Fatiya Rochimah *
Prof. Dr. Tan Kamello, SH.MS ** Sinta Uli P, SH.M.Hum ***
Kemajuan kondisi perekonomian di Indonesia tidak lepas dari peran masyarakat yang melakukan usaha di bidang perekonomian atau bisnis baik itu usaha dengan ruang lingkup usaha yang besar, menengah maupun kecil. Setiap kegiatan usaha tersebut sebagian besar memerlukan bantuan dari pemerintah melalui jasa-jasa bank dan lembaga keuangan lain seperti bantuan modal, pinjaman, dan sebagainya. Lembaga perbankan sebagai salah satu sumber guna memperoleh dana yang dianggap mudah dan cepat bagi sebagian masyarakat dalam hal membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya, seperti dalam pemanfaatan pendanaan dari bank dalam fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK). Pemberian KMK kepada pelaku usaha disertai dengan risiko sebagai akibat adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian kredit dengan pelunasan kredit di kemudian hari. Selama jangka waktu kredit berlangsung ada kemungkinan terjadi debitur meninggal dunia ataupun peningkatan status hukum debitur dalam hal debitur adalah badan usaha. Apabila hal ini terjadi maka perlu dilakukan novasi terhadap debitur (novasi subjektif pasif). Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yaitu apa yang menjadi penyebab, bagaimana proses dan akibat hukum novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK di Bank X.
Dalam menyusun skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, dengan menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK merupakan salah satu peristiwa yang menjadi sebab hapusnya perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1381 KUHPerdata, dimana perjanjian KMK awalnya menjadi hapus karena disebabkan adanya suatu pembaharuan utang. Demikian juga terhadap perjanjian accessoir berupa perjanjian jaminan yang mengikuti perjanjian kredit lama menjadi gugur/ berakhir. Dalam pelaksanaan novasi terhadap debitur pada Bank X, untuk debitur baru dibuat perjanjian KMK baru untuk mengganti perjanjian kredit yang lama. Dan demi menjamin pelunasan utang debitur baru semua jaminan tetap dipertahankan dan dilakukan pembaharuan pengikatannya. Novasi subjektif pasif diperlukan apabila debitur meninggal dunia dimana KMKnya belum lunas atau apabila terjadi perubahan status hukum debitur dari CV/ Firma menjadi PT, maka terhadap perjanjian kredit lama harus dilakukan novasi.
Kata Kunci : Novasi, Kredit Modal Kerja, Novasi Subjektif Pasif
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya
melaksanakan pembangunan dalam segala bidang kehidupan, salah satunya
adalah di bidang perekonomian. Dewasa ini perekonomian Indonesia
menunjukkan akselerasi pertumbuhan yang cukup tinggi di tengah
ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global.
Kemajuan perekonomian di Indonesia tidak lepas dari peran masyarakat
yang melakukan usaha di bidang perekonomian atau bisnis baik itu usaha dengan
ruang lingkup usaha yang besar, menengah maupun kecil. Setiap kegiatan usaha
tersebut sebagian besar memerlukan bantuan dari pemerintah melalui jasa-jasa
bank dan lembaga keuangan lain seperti bantuan modal, pinjaman, kerja sama
dagang, simpanan dan sebagainya.
Pada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) disebutkan bahwa perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi. Untuk mewujudkan
demokrasi ekonomi haruslah melalui pemberian persamaan kesempatan bagi
setiap pelaku usaha baik besar maupun kecil. Artinya ada kerjasama yang serasi
antara usaha negara, koperasi, dan usaha swasta, dan antara usaha besar,
menengah, dan kecil perlu dikembangkan berdasarkan semangat kekeluargaan
Agar dalam dunia usaha tercipta keseimbangan yang adil antara usaha
besar, menengah, dan kecil, konsentrasi kekuatan pasar pada usaha besar harus
makin berkurang, yakni dengan cara mendorong lapisan usaha menengah dan
kecil agar tumbuh lebih cepat.
Dalam rangka mengembangkan usaha kecil dan menengah, pemerintah
telah banyak mengeluarkan kebijakan untuk pemberdayaan Usaha Kecil dan
Menengah (UKM), terutama lewat kredit bersubsidi dan bantuan teknis. Kredit
program untuk pengembangan UKM bahkan dilakukan sejak 1974. Kredit
program pertama UKM, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP), yang menyediakan kredit investasi dan modal kerja
permanen, dengan masa pelunasan hingga 10 tahun, dan suku bunga bersubsidi.
Dewasa ini hampir semua bank baik itu bank umum maupun Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) menyediakan fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK).
Peranan bank sangat penting dalam mengatasi hambatan dan kesulitan
yang berkaitan dengan pengadaan modal. Dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari tidak dapat dielakkan bahwa tingkat kebutuhan manusia semakin lama akan
semakin meningkat. Dalam upaya meningkatkan taraf dan standar hidupnya
anggota masyarakat akan melakukan berbagai usaha untuk memenuhi
kebutuhannya. Salah satu alternatif pendanaan yang dapat digunakan adalah
melalui bank.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dalam bentuk kredit dan/ atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya harus
berdasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung di dalam ideologi negara
Indonesia yakni Pancasila dan tujuan negara Indonesia dalam UUD Negara RI
Tahun 1945. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan perbankan Indonesia,
diantaranya adalah perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama
bank sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat yang bertujuan
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional dalam peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.1
Berkaitan dengan fungsi utama bank sebagai lembaga perantara keuangan
(financial intermediation) yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk
menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam
hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat luas yang mempunyai kelebihan
dana (surplus of funds) yang dikenal dengan istilah dalam dunia perbankan adalah kegiatan funding. Masyarakat menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan. Jenis simpanan yang dapat dipilih masyarakat adalah seperti giro,
tabungan, sertifikat deposito, deposito, dan sebagainya. Dana yang dihimpun
tersebut oleh bank disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan
dana (lack of funds) dalam bentuk pinjaman atau dikenal dengan istilah kredit.
1
Adapun jenis kredit antara lain kredit investasi, KMK, kredit konsumsi, dan
lain-lain.
Peranan penting dan strategis dari lembaga perbankan sebagaimana
diuraikan di atas menjadikan lembaga perbankan sebagai salah satu sumber guna
memperoleh dana yang dianggap mudah dan cepat bagi sebagian masyarakat
dalam hal membutuhkan dana untuk memenuhi kebutuhannya, seperti dalam
pemanfaatan pendanaan dari bank dalam fasilitas KMK. Kehadiran sistem KMK
sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang memiliki usaha dalam level kecil dan
menengah. Karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha
perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal
dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas.
Pemberian KMK (working capital credit) bagi masyarakat perorangan atau badan usaha sangat mempengaruhi iklim dunia usaha dan perekonomian
negara pada umumnya. KMK yang diberikan bank kepada pelaku usaha
digunakan untuk membiayai pembelian modal lancar untuk keperluan
meningkatkan produksi dalam operasionalnya yang habis dalam pemakaian,
seperti untuk pembelian barang dagangan, bahan baku, membayar gaji pegawai
atau biaya-biaya lain yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan. KMK
bersifat revolving loan (kredit berulang-ulang) yaitu kredit yang pengambilannya tidak sekaligus tetapi secara berulang-ulang, asalkan masih dalam batas
maksimum dan masih dalam jangka waktu yang diperjanjikan.
Usaha kecil dan menengah merupakan bagian integeral dunia usaha
strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional pada umumnya dan
tujuan ekonomi pada khususnya. Usaha kecil dan menengah merupakan kegiatan
usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan dapat berperan dalam proses
pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta mendorong
pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada
umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya.2
Dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 dirumuskan bahwa kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
Mengingat peranan usaha kecil dan menengah yang sangat strategis dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya dalam penyediaan lapangan kerja
dan peningkatan pendapatannya, maka pembiayaan usaha kecil dan menengah
perlu mendapat prioritas tinggi. Meskipun faktor permodalan tidak selalu menjadi
penghalang bagi berjalannya suatu usaha kecil dan menengah, namun
ketersediaan dana yang cukup dan sesuai kebutuhan akan sangat mendukung
perkembangan usaha kecil dan menengah.
Salah satu bank milik negara yang secara luas telah menyediakan
pendanaan bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk mengembangkan
dan meningkatkan kegiatan usahanya baik berskala besar, kecil dan menengah
adalah Bank X. Bank ini telah membuktikan ikut memberikan kontribusi dalam
pembangunan negara, turut mensejahterakan masyarakat dengan menyediakan
KMK untuk membantu kebutuhan modal usaha, sehingga jutaan masyarakat
Indonesia hidupnya menjadi lebih makmur dan sejahtera.
2
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pemberian kredit oleh perbankan memerlukan persyaratan yang
dituangkan dalam suatu perjanjian atau akad kredit. Perjanjian kredit mempunyai
peranan yang sangat penting karena merupakan dasar hukum dalam hal
penyaluran, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit perbankan. Di samping itu
perjanjian kredit merupakan alat bukti otentik, baik bagi pihak bank sebagai
kreditur ataupun bagi nasabah peminjam dana sebagai debitur dan juga pengaman
yang sangat penting, untuk ”mengcover/melindungi” risiko kerugian yang
mungkin timbul dalam penyaluran kredit.
Kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan asset bank. Kredit
merupakan risk asset bagi bank karena asset bank itu dikuasai pihak luar bank yaitu debitur. Setiap bank menginginkan dan berusaha keras agar kualitas risk asset ini sehat dalam arti produktif dan collectable. Namun kredit yang diberikan kepada debitur selalu ada risiko berupa kredit tidak dapat kembali tepat pada
waktunya yang dinamakan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank karena bank tidak
mungkin menghindarkan adanya keredit bermasalah. Bank hanya berusaha
menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi
ketentuan Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas perbankan.3
3
Pemberian fasilitas kredit menimbulkan risiko yang harus dihadapi oleh
bank (kreditur). Tingkat risiko (degree of risk) tersebut sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan pelunasan kredit
yang akan diterima kemudian hari. Selama jangka waktu pemberian kredit,
banyak peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi terhadap debitur seperti debitur
meninggal dunia, peningkatan status hukum debitur dalam hal debitur adalah
badan usaha, dan sebagainya. Jika debitur meninggal dunia atau dilakukan
peningkatan status hukum debitur pada saat jangka waktu kredit masih
berlangsung maka pihak bank perlu melakukan novasi subjektif pasif (novasi
terhadap debitur).4
Novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK yang dilakukan dimana
jangka waktu kreditnya masih dalam masa angsuran, biasanya terjadi karena,
dimana debitur lama mengalami suatu kesulitan untuk melanjutkan pembayaran
angsuran, atau sebab lain yaitu debitur lama meninggal sehingga ahli warisnya Berdasarkan Pasal 1413 KUHPerdata, novasi atau pembaharuan utang ada
tiga (3) jenis yaitu novasi obyektif, novasi subjektif aktif, dan novasi subjektif
pasif. Novasi subyektif pasif atau disebut juga alih debitur yaitu penggantian
debitur lama oleh debitur baru. Debitur lama sebagai pihak yang berhutang atas
inisiatif debitur sendiri atau inisiatif dari krediturnya dapat mengalihkan utang
debitur lama kepada pihak lain sebagai debitur baru. Dengan penggantian debitur
lama kepada debitur baru berarti membebaskan debitur lama dari kewajiban
membayar utangnya kepada kreditur.
4
menggantikan posisi debitur lama, dan sebab lainnya karena terjadinya perubahan
status debitur perorangan menjadi Firma (Fa) atau Perseroan Terbatas (PT).
Novasi perlu dilakukan agar usaha debitur yang notabene merupakan kontributor
dalam kemajuan kondisi perekonomian di Indonesia, tetap berlangsung dan dapat
terus beroperasional dengan dukungan fasilitas KMK.
Dalam proses novasi subjektif pasif, ada syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi baik oleh pihak bank sebagai kreditur maupun
debitur lama dan debitur baru. Selain itu juga perlu dibuat beberapa akta atau
dokumen yang perlu dibuat berkaitan dengan proses novasi ini.
Salah satu syarat dilakukannya novasi subjektif pasif debitur sebagaimana
diatur pada Pasal 1415 jo 1417 KUH Perdata yaitu novasi subyektif pasif harus
dilakukan secara tegas tidak boleh hanya dipersangkakan. Artinya novasi terhadap
debitur tersebut harus dilakukan dengan persetujuan dari pihak bank sebagai
kreditur.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap penyebab terjadinya novasi terhadap debitur pada
perjanjian KMK di Bank X, bagaimana proses novasi terhadap debitur pada
perjanjian KMK di Bank X, serta akibat hukum apabila terjadi novasi terhadap
debitur pada perjanjian KMK di Bank X.
Atas dasar uraian-uraian tersebut di atas, penulis mengangkat judul skripsi
“Novasi Terhadap Debitur Pada Perjanjian Kredit Modal Kerja (Studi Pada
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang yang telah dipaparkan oleh penulis
di atas maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi
ini yakni sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi penyebab terjadinya novasi terhadap debitur pada
perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank X?
2. Bagaimana proses novasi terhadap debitur pada perjanjian Kredit
Modal Kerja di Bank X?
3. Apa akibat hukum apabila terjadi novasi terhadap debitur pada
perjanjian Kredit Modal Kerja di Bank X?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun yang menjadi tujuan penulis
dalam penyusunan skripsi yaitu:
1. Untuk mengetahui yang menjadi penyebab terjadinya novasi terhadap
debitur dalam perjanjian KMK di Bank X.
2. Untuk mengetahui proses novasi terhadap debitur pada perjanjian
KMK di Bank X.
3. Untuk mengetahui akibat hukum apabila terjadi novasi terhadap
debitur pada perjanjian KMK di Bank X.
Adapun penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat secara teoretis, penulisan ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan penulis khususnya dan bagi kalangan akademisi pada
umumnya di bidang hukum perikatan khususnya perjanjian KMK dan
novasi subjektif.
2. Manfaat secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan dapat berguna
dalam memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai proses novasi
terhadap debitur pada perjanjian KMK dan dapat dimanfaatkan untuk
memberikan informasi dan gambaran kepada pihak bank sebagai kreditur,
debitur maupun notaris tentang penggantian debitur pada perjanjian KMK
sehingga dalam pelaksanaanya terhindar dari masalah-masalah dan aman
dari segi hukum.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif
yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
mengelolah dan menggunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum
membantu. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang penyebab
dilakukannya novasi terhadap debitur pada perjanjian KMK, proses novasi
terhadap debitur pada perjanjian KMK dan akibat hukum dilakukannya novasi
terhadap debitur pada perjanjian KMK tersebut.
2. Metode Pendekatan
Metode yang dipergunakan adalah metode pendekatan yang bersifat
yuridis empiris, yaitu data yang diperoleh berpedoman pada segi-segi yuridis, dan
berpedoman pada segi-segi empiris yang bersifat nyata dan objektif.
Pendekatan yuridis mempergunakan sumber data sekunder, untuk
menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum
perbankan dan hukum perikatan, literatur-literatur yang berkaitan dan jurnal yang
mempunyai korelasi, yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti,
sedangkan pendekatan secara empiris dipergunakan dari sumber data primer,
untuk menganalisa hukum yang berlaku dalam pelaksanaannya.
3. Data dan Sumber data
Pada umumnya data dibagi dua jenis yakni data primer dan data sekunder.
Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau masyarakat. Untuk memperoleh
data primer, perlu dilakukan pengumpulan data langsung kepada masyarakat
dengan cara wawancara, quisioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara
partisipatif maupun nonpartisipatif. Data sekunder adalah data yang tidak
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar,
makalah, dan lain sebagainya.5
4. Alat Pengumpul Data
Pada penulisan skripsi ini digunakan kedua jenis data tersebut yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penelitian lapangan dan
peraturan perundang-undangan, sementara data sekunder merupakan hasil
penelitian kepustakaan.
Pada skripsi ini digunakan dua alat pengumpul data :
a. Studi Kepustakaan, yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan
bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku,
literatur-literatur, jurnal hukum dan karya tulis ilmiah yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
b. Studi lapangan, yakni penelitian yang dilakukan secara langsung pada
objeknya. Pada penelitian skripsi ini penulis mengadakan penelitian
secara langsung dengan melakukan wawancara (interview) dengan staf Bank X. Dengan menggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman
untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang diajukan.
5. Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari penelitian disusun secara sistematis dan
kemudian dianalisis secara kualitatif. Selanjutnya dilakukan penarikan dengan
menggunakan metode deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang
5
bersifat umum ke hal-hal yang bersifat khusus dalam upaya menjawab
permasalahan.
F. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan pemeriksaan judul di Kepustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa skripsi dengan judul “Novasi
Terhadap Debitur Pada Perjanjian Kredit Modal Kerja (Studi Pada Bank X)” ,
belum pernah ditulis oleh orang lain.
Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran penulis
secara pribadi. Oleh karena itu skripsi ini adalah hasil dari karya penulis sendiri
yang disusun dengan cara mempelajari, membaca, mengutip data-data yang ada
pada buku-buku, literatur-liteartur, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
judul skripsi penulis. Di samping itu juga penulis melakukan penelitian ke
lapangan yaitu Bank X. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli dikerjakan oleh
penulis.
G. Sistematika Penulisan
Di dalam penulisan skripsi sangatlah diperlukan suatu sistematika
penulisan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memaparkan
materi dari skripsi ini dan juga untuk memudahkan pembaca untuk mengerti isi
dari skripsi ini. Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang masing-masing terdiri
dari sub-sub bab. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
Pada bab ini diuraikan tentang Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode
Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
MODAL KERJA
Bab ini berisi tentang Pengertian Kredit Modal Kerja, Syarat
Sahnya Perjanjian Kredit Modal Kerja, Jenis-Jenis Kredit Modal
Kerja, Prosedur Pemberian Kredit Modal Kerja, dan Berakhirnya
Kredit Modal Kerja.
BAB III : NOVASI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA DAN PERKEMBANGANNYA
Pada bab ini akan diuraikan tentang Pengertian Novasi dan
Syarat-Syarat Terjadinya Novasi, Novasi Sebagai Salah Satu Penyebab
Hapusnya Perikatan, Akibat hukum Terjadinya Novasi, Perbedaan
Antara Novasi, Subrogasi, dan Cessie
BAB IV : NOVASI PADA PERJANJIAN KREDIT MODAL KERJA DI
BANK X
Pada bab ini akan dibahas tentang Penyebab Terjadinya Novasi
Terhadap Debitur Pada Perjanjian KMK, Proses Novasi Terhadap
Debitur Pada Perjanjian KMK, dan Akibat Hukum Apabila Terjadi
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi Kesimpulan dan Saran
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT MODAL KERJA
A. Pengertian Kredit Modal Kerja
1. Kredit Modal Kerja
Salah satu usaha dari bank adalah memberikan fasilitas kredit kepada
nasabah. KMK merupakan salah satu dari jenis-jenis kredit yang diberikan bank
kepada nasabah. Sebelum menjelaskan tentang pengertian KMK maka akan
dijelaskan terlebih dahulu pengertian kredit.
Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi “credere” yang artinya kepercayaan (faith). Dengan demikian maka perkreditan memiliki unsur utama kepercayaan walaupun kredit itu sendiri bukan hanya sekedar kepercayaan.
Makna kepercayaan di sini mengandung arti, yaitu pihak yang memberikan kredit
(kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup memenuhi
segala sesuatu yang telah diperjanjikan.
Dalam KUHPerdata tidak ditemukan istilah kredit. Padahal bagi
masyarakat Indonesia, istilah kredit tersebut sudah tidak asing lagi. Dalam
kehidupan sehari-hari, kata kredit selalu diidentikkan dengan utang atau pinjaman
berupa uang atau barang.
Adapun definisi kredit dalam pandangan hukum sebagaimana yang
dirumuskan dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan pengertian-pengertian kredit di atas dapat diketahui bahwa
unsur esensial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai
kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur. Kepercayaan tersebut timbul
karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit
bank oleh debitur antara lain: jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda
jaminan atau agunan, dan lain-lain.6
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar
diterimanya dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
Menurut Thomas Suyatno dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar Perkreditan, unsur-unsur yang terdapat dalam kredit adalah :
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian
prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan
datang.
c. Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin lama kredit
diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya, karena sejauh-jauh
kemampuan manusia untuk menerobos masa depan itu, maka masih selalu
terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang
6
menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah,
maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.
d. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi
juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi
modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit
yang menyangkut uanglah yang setiap kali dijumpai dalam praktik
perkreditan.7
Kredit yang diberikan oleh bank umum dan BPR kepada masyarakat
sangat beragam jenisnya. Secara umum jenis-jenis kredit dapat dilihat dari
berbagai segi antara lain :8
a. Kredit Investasi
1. Berdasarkan kegunaan kredit
Kredit yang biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau
membangun proyek/pabrik baru di mana masa pemakaiannya untuk suatu
periode yang relatif lama dan biasanya kegunaan kredit ini adalah untuk
kegiatan utama suatu perusahaan.
b. Kredit Modal Kerja
Kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam
operasinalnya. Contohnya, KMK diberikan untuk membeli bahan baku,
membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lain yang berkaitan dengan
proses produksi perusahaan. KMK merupakan kredit yang dicairkan untuk
mendukung kredit investasi yang sudah ada.
7 Ibid.
8
2. Berdasarkan tujuan pemakaian kredit
c. Kredit Produktif
Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau
investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang dan jasa.
Artinya kredit ini digunakan untuk diusahakan sehingga menghasilkan
sesuatu baik berupa barang maupun jasa.
b. Kredit Konsumtif
Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini
tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang
untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai
contoh kredit pemilikan rumah (KPR), kredit mobil pribadi, dan lain-lain.
c. Kredit Perdagangan
Kredit yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan biasanya untuk
membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil
penjualan barang dagangan tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada
supplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar.
3. Berdasarkan jangka waktu kredit
a. Kredit jangka pendek
Kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari satu tahun atau paling
lama satu tahun.
Kredit yang mempunyai jangka waktu antara satu sampai tiga tahun,
biasanya untuk investasi.
c. Kredit jangka panjang
Kredit yang mempunyai jangka waktu di atas tiga tahun.
4. Berdasarkan jaminan
a. Kredit dengan jaminan
Kredit yang diberikan dengan suatu jaminan tertentu. Jaminan tersebut
dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud. Artinya setiap
kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan si
calon debitur.
b. Kredit tanpa jaminan
Kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit
jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha, karakter serta loyalitas
atau nama baik si calon debitur selama berhubungan dengan bank yang
bersangkutan.
5. Berdasarkan sektor usaha
a. Kredit pertanian
Kredit yang diberikan untuk membiayai sektor perkebunan atau pertanian
rakyat. Sektor usaha pertanian dapat berupa jangka pendek atau jangka
panjang.
b. Kredit peternakan
Kredit yang diberikan untuk jangka waktu yang relatif pendek, misalnya
c. Kredit industri
Kredit untuk membiayai industri kecil, menengah atau besar.
d. Kredit pertambangan
Jenis usaha yang biasa dibiayai oleh kredit ini biasanya dalam jangka
panjang, seperti tambang emas, minyak atau timah.
e. Kredit pendidikan
Kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan
atau dapat pula berupa kredit untuk mahasiswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka KMK merupakan salah satu jenis kredit
yang diberikan bank kepada nasabahnya untuk membiayai operasional perusahaan
yang berhubungan dengan pengadaan barang maupun proses produksi sampai
barang tersebut terjual. Pengertian KMK adalah kredit yang dipergunakan untuk
menambah modal kerja suatu perusahaan seperti pembelian bahan baku,
biaya-biaya produksi, pemasaran, dan lain-lain.
Prinsip dari modal kerja ini adalah penggunaan modal yang akan habis
dalam satu siklus usaha yaitu dimulai dari perolehan uang tunai dari kredit bank
kemudian digunakan untuk membeli barang dagangan atau bahan-bahan baku
kemudian diproses menjadi barang jadi lalu dijual baik secara tunai atau kredit
selanjutnya memperoleh uang tunai kembali. Dalam menjalankan kegiatan
operasionalnya, perusahaan membutuhkan dana yang cukup untuk menjamin
kelangsungan operasinya tersebut.
KMK dan jenis kredit lainnya yang diberikan oleh bank didasarkan atas
adalah orang yang dipercaya, orang tersebut akan mampu dan mau untuk
mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya disertai imbalan bunga,
menggunakan pinjaman sesuai tujuan. Namun tidak mudah untuk mengetahui
apakah orang yang mengajukan permohonan kredit adalah orang yang dapat
dipercayai.
Oleh karena pemberian kredit oleh bank dimaksudkan sebagai salah satu
bentuk usaha bank untuk mendapatkan keuntungan, maka bank hanya boleh
meneruskan simpanan masyarakat kepada nasabahnya dalam bentuk kredit, jika
benar-benar bahwa si debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterimanya
sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak.
Untuk memperoleh keyakinan bahwa si calon nasabah debitur adalah
orang yang dapat dipercaya, akan mengembalikan pinjaman dari bank sesuai
dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati, pada umumnya
dunia perbankan menggunakan instrumen analisa yang terkenal dengan The five C’s of credit analysis, yang terdiri dari :
a. Penilaian watak (character)
Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk
mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau
mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di
kemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan
diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian dan prilaku
calon debitur dalam kehidupan kesehariannya.
b. Penilaian kemampuan (capacity)
Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya
dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang akan
dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya
dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan
pinjamannya.
c. Penilaian terhadap modal (capital)
Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh
mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui
kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek
atau usaha calon debitur yang bersangkutan.
Seorang yang akan mengajukan permohonan kredit baik untuk
kepentingan produktif atau konsumtif maka orang itu harus memiliki modal.
Misalnya orang yang akan mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk
membeli sebuah rumah maka pemohon kredit harus memiliki modal untuk
membayar uang muka. Uang muka itulah sebagai modal sendiri yang dimiliki
pemohon kredit sedangkan kredit berfungsi sebagai tambahan.
d. Penilaian terhadap agunan (collateral)
macet. Jaminan ini diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit baik utang
pokok maupun bunganya.
e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy) Bank harus menganalisa keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa
lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil
proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui.
Prinsip 5C di atas menjadi dasar pertimbangan dalam pemberian kredit
maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah oleh bank. Sebelum memberikan
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus melakukan
penilaian yang saksama terhadap kelima aspek tersebut untuk mencegah
terjadinya kredit bermasalah di kemudian hari.
Kelima prinsip di atas juga diatur pada penjelasan Pasal 8 UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan penjelasan Pasal 8, yang mesti
dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah adalah watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
nasabah debitur. Oleh karena itu setiap pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan asas-asas perkreditan dan
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Pada sasarannya prinsip 5C ini akan dapat memberikan informasi
mengenai itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya.9
9
2. Perjanjian Kredit Modal Kerja
Perjanjian yang dikenal dalam bahasa Belanda dengan istilah
overeenkomst , pada Pasal 1313 KUHPerdata dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.
Menurut R.Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan hukum
antara dua pihak yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara para pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan atau kalimat-kalimat yang mengandung
janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau dibuat dalam tulisan oleh para pihak
yang membuat perjanjian.10
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum perikatan yang diatur
dalam Buku III KUHPerdata. Untuk membuat suatu perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat sah sebagaimana ditentukan pada Pasal 1320 KUHPerdata agar
perjanjian tersebut bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Adapun
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tersebut, antara lain :
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
10
Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dapat digolongkan ke dalam dua
kelompok, yaitu :
1. Syarat Subjektif, meliputi syarat (1) dan (2) yang jika dilanggar maka
perjanjian dapat dibatalkan.
2. Syarat Objektif, meliputi syarat (3) dan (4) yang jika dilanggar maka
perjanjian batal demi hukum.
Di dalam hukum perdata khususnya hukum perikatan dikenal beberapa
asas hukum yang menjiwai atau melatarbelakangi perjanjian, antara lain :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
berbunyi : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.
2. Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari bahasa latin Consensus yang berarti sepakat, maka sesuai dengan artinya bahwa konsensualisme adalah
kesepakatan. Asas ini menetapkan bahwa suatu perjanjian itu sudah
terjadi atau sudah dilahirkan pada saat tercapainya kata sepakat dari
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. Jadi dalam perjanjian
sudah ada dan mempunyai akibat hukum apabila telah ada kata sepakat
mengenai hal-hal pokok dalam suatu perjanjian, kecuali perjanjian
yang bersifat formal.
Pacta Sunt Servanda berasal dari bahasa Romawi yang artinya setiap janji adalah mengikat dengan kata lain setiap perjanjian harus ditaati
oleh kedua belah pihak.11
4. Asas Itikad Baik
Adapun maksud dari asas ini dalam
perjanjian, tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para
pihak yang telah membuat perjanjian itu.
Perjanjian yang sudah disepakati para pihak yang diwujudkan dengan
penandatanganan perjanjian oleh para pihak harus dilaksanakan
dengan itikad baik atau dalam bahasa Belanda disebut te goeder trouw, dalam bahasa Inggris disebut in good faith, dan dalam bahasa Perancis disebut de bone foi. Pelaksanaan perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
yang menegaskan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik artinya cara menjalankan atau melaksanakan suatu
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.12
Ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan dan ketentuan-ketentuan
khusus tentang perjanjian bernama diatur di dalam Buku III KUHPerdata yang
berjudul tentang Perikatan (Van Verbintenissen), seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, perjanjian hibah, perjanjian pinjam meminjam dan
lain-lain. Namun dalam perkembangannya jenis-jenis perjanjian dalam
KUHPerdata tidak dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat dalam
bidang ekonomi dan perdagangan sehingga tumbuh atau muncul berbagai jenis
11
Ibid, hal. 78.
12
perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata secara khusus seperti misalnya
perjanjian kredit, perjanjian sewa beli atau leasing dan lain-lain.
Istilah perjanjian kredit tidak ada ditemukan dalam KUHPerdata dan UU
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, melainkan terdapat dalam instruksi
pemerintah dan beberapa surat edaran, antara lain :13
Beberapa pakar hukum mengemukakan pendapatnya mengenai perjanjian
kredit, diantaranya adalah R. Subekti yang berpendapat bahwa dalam bentuk
apapun juga pemberian kredit itu diadakan, maka pada hakikatnya yang terjadi a. Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1996 , yang berisi instruksi
kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apapun, bank wajib
mempergunakan “akad perjanjian kredit”.
b. Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit 1 No. 2/539/UPK/Pemb/1996;
dan
c. Surat Edaran Bank Negara Indonesia No. 2/634/Pemb/1996 tentang
Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum memberikan rumusan
dan pengertian tentang perjanjian kredit secara eksplisit. Meskipun demikian
dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ditentukan
bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain. Namun undang-undang tersebut tidak
menentukan lebih lanjut mengenai bagaimana untuk persetujuan pinjam
meminjam tersebut.
13
adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur di dalam
KUHPerdata Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata.14
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian kredit adalah perjanjian
pendahuluan yang bersifat konsensuil sedangkan penyerahan uangnya bersifat riil.
Dalam aspek konsensuil dan riil perjanjian kredit memiliki identitas sendiri
dengan sifat-sifat umum sebagai berikut: pertama, merupakan perjanjian
pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian penyerahan uang; kedua, perjanjian kredit bersifat konsensuil; ketiga, perjanjian penyerahan uangnya
bersifat riil; keempat, perjanjian kredit termasuk dalam jenis perjanjian standar;
kelima, perjanjian kredit banyak dicampuri pemerintah; keenam, perjanjian kredit
lazimnya dibuat secara rekening koran; ketujuh, perjanjian kredit harus
mengandung perjanjian jaminan; kedelapan, perjanjian kredit dalam riil adalah
perjanjian sepihak; kesembilan, perjanjian kredit dalam aspek konsensuil adalah
perjanjian timbal balik.15
Tan Kamello berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah suatu
proses perjanjian untuk mendapatkan peminjaman uang yang didahului dengan
mengadakan permufakatan dan diakhiri dengan penyerahan. Momentum
terjadinya dua hubungan hukum tersebut berbeda. Perjanjian kredit lahir pada saat
ditandatangani formulir perjanjian kredit bank, yang memiliki sifat
konsensuil-obligatoir, sedangkan penyerahan uang (levering) menyusul kemudian setelah ada
14
Rachmadi Usman, Op.cit, hal.261.
15
pernyataan dari bank bahwa nasabah debitur dibolehkan mengambil uang
(pinjaman), yang sifatnya riil.16
Pendapat lain diungkapkan oleh Remy Sjahdeini, yang mengatakan bahwa
perjanjian kredit tidak identik dengan perjanjian pinjam uang sebagaimana
tertuang dalam KUHPerdata.17 Terdapat ciri khusus dari perjanjian kredit yang
membedakannya dari perjanjian pinjam uang biasa. Selanjutnya Remy
membedakan perjanjian kredit bank dengan perjanjian pinjam meminjam, sebagai
berikut :18
NO. Perjanjian Kredit Bank Perjanjian Peminjaman Uang
1 Bersifat konsensual Bersifat riil
2 Syarat mengenai penggunaan
pinjaman harus sesuai tujuan
Tujuan penggunaan bebas
3 Cara pengambilan pinjaman
tertentu (cek, perintah
pembayaran, pemindahbukuan)
Penyerahan pinjaman/uang secara
sekaligus
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit bank tidak
identik dengan perjanjian pinjam-meminjam uang sebagaimana dimaksud dalam
KUHPerdata. Meskipun perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam
KUHPerdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan
dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata, seperti
16
Ibid, hal 61.
17
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hal.148.
18
ditegaskan dalam Pasal 1319 KUHPerdata bahwa semua perjanjian baik yang
mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama
khusus, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan
Bab II Buku Ketiga KUHPerdata.
Dalam membuat perjanjian kredit, terdapat beberapa judul dalam praktik
perbankan tidak sama satu sama lain, ada yang menggunakan judul perjanjian
kredit, akad kredit, persetujuan pinjam uang, persetujuan membuka kredit, dan
lain sebagainya. Meskipun judul dari perjanjian tersebut berbeda-beda, tetapi
secara yuridis isi perjanjian pada hakekatnya sama yaitu memberikan pinjaman
berbentuk uang.19
Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam
pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditandatangani bank dan debitur
maka tidak ada pemberian kredit. Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan
perjanjian jaminan maka perjanjian kredit adalah perjanjian pokok sedangkan
perjanjian jaminan adalah perjanjian ikutan atau assesoir artinya ada dan
berakhirnya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokok (perjanjian
kredit). Sebagai contoh jika perjanjian kredit berakhir karena ada pelunasan utang
maka secara otomatis perjanjian jaminan akan menjadi hapus atau berakhir. Tetapi Mengenai pembakuan bentuk draft isi perjanjian kredit, antara bank
sendiri belum terdapat kesepakatan. Masing-masing bank memiliki standar
tersendiri mengenai isi perjanjian kredit dan tahapan dalam proses pemberian
kredit.
19
sebaliknya jika perjanjian jaminan hapus atau berakhir misalnya barang yang
menjadi jaminan musnah maka perjanjian kredit tidak berakhir. Jadi perjanjian
kredit harus mendahului perjanjian jaminan, tidak mungkin ada jaminan tanpa ada
perjanjian kredit.20
Jaminan perorangan atau jaminan pribadi (personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya
kewajiban-kewajiban si debitur. Pada praktek yang sebenarnya jaminan
kebendaan yang lebih banyak dipraktekkan. Jaminan kebendaan merupakan suatu
tindakan berupa suatu penjaminan yang dilakukan oleh kreditur dengan
debiturnya, ataupun antara kreditur dengan seseorang pihak ketiga guna menjamin
dipenuhinya kewajiban-kewajiban si debitur.
Sebagaimana objek jaminan utang yang lazim digunakan dalam suatu
utang-piutang, secara umum jaminan kredit perbankan dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok, yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak, dan jaminan
perorangan. (penanggungan utang).
21
Jaminan berupa tanah maka pembebanannya adalah dengan menggunakan
hak tanggungan atas tanah, sedangkan jika yang dijadikan jaminan adalah kapal
laut atau pesawat udara, maka pembebanannya dengan menggunakan hipotik.
Sementara itu, kalau yang dijadikan jaminan adalah benda bergerak, maka
pembebanannya dengan menggunakan gadai dan fidusia.
20
Ibid, hal. 98.
21
B. Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Modal Kerja
Dalam pemberian suatu KMK oleh bank kepada debitur, pertama-tama
selalu dimulai dengan pengajuan permohonan kredit oleh calon nasabah debitur
yang bersangkutan. Terhadap permohonan pemberian kredit tersebut terdapat dua
kemungkinan jawaban, yakni penerimaan atau penolakan permohonan KMK
tersebut. Apabila permohonan tersebut ditolak maka tahapan permohonan
pemberian KMK terhenti, namun bila permohonan tersebut diterima (layak untuk
diberikan) maka untuk terlaksananya pemberian/pelepasan KMK tersebut terlebih
dahulu haruslah diadakan suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk
perjanjian KMK secara tertulis (biasa disebut akad kredit).
Salah satu yang mendasari harus dibuatnya perjanjian ini adalah bunyi
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan dimana disebutkan bahwa kredit
diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain. Adapun filosofi harus dibuatnya perjanjian KMK adalah
berfungsinya perjanjian kredit itu sebagai alat bukti, dan sebagaimana diketahui
bahwa surat-surat perjanjian yang ditandatangani adalah merupakan suatu akta.22
22
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 139-140.
Di dalam Undang-Undang Perbankan tidak ditentukan bentuk dari perjanjian
kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun
lisan. Dalam praktik perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau
dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standards contract) dan juga dapat dibuat di bawah tangan ataupun notariil.23
1. Perjanjian Kredit Di Bawah Tangan
Secara yuridis formal ada dua jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang
digunakan bank dalam melepas kreditnya yaitu:
Perjanjian kredit ini hanya dibuat antara bank selaku kreditur dan
debitur tanpa adanya saksi. Perjanjian kredit ini banyak mengandung
kelemahan dan terkadang mengalami banyak hambatan dalam
pembuktian di pengadilan,
2. Perjanjian Kredit Notariil (Otentik)
Perjanjian kredit ini dibuat dihadapan notaris , dan sering disebut
dengan perjanjian kredit notariil (otentik) atau perjanjian kredit dengan
akta otentik. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah
akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang
dibuat oleh atau di hadapan pegawai yang berwenang untuk itu,
berdasarkan tempat dimana akta tersebut dibuatnya.
Pada perjanjian KMK Bank X, perjanjian dibuat dengan akta di bawah
tangan dan dalam bentuk perjanjian baku. Dimana yang berarti perjanjian ini
dibuat oleh para pihak dalam hal ini bank sebagai kreditur dan debitur, tidak
melalui perantara Pejabat yang berwenang (pejabat umum), isi dan
klausula-klausula perjanjian KMK ini diserahkan sepenuhnya kepada pihak bank
(kreditur), namun tetap harus dipedomani bahwa rumusan perjanjian tersebut
23
tidak boleh tidak jelas (kabur) dan harus memperhatikan keabsahan dan
persyaratan secara hukum.24
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya kebatalan
dari perjanjian yang bersangkutan. Selain itu juga harus diperhatikan bahwa isinya
tidak boleh merugikan salah satu pihak. Secara umum biasanya perjanjian KMK
ini berisi definisi-definisi, jumlah kredit (pinjaman), besarnya bunga dan denda,
jangka waktu, angsuran dan cara pembayaran, agunan, wanprestasi, timbul dan
berakhirnya hak dan kewajiban, serta hukum yang berlaku bagi perjanjian
tersebut.
Pemberian kredit perbankan di Indonesia tunduk kepada ketentuan UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
10 Tahun 1998 dan peraturan pelaksanaannya, antara lain yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia dan peraturan intern masing-masing bank. Adapun mengenai
perjanjian kreditnya, sebagai salah satu perjanjian, tunduk kepada ketentuan
hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan tentang perjanjian
terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUHPerdata, Buku Ketiga tentang Perikatan.
Oleh karena itu, sahnya perjanjian kredit modal kerja berlaku dengan
sendirinya ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian para
pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:
24
Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang
bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki
oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu
bertemu dalam “sepakat” (konsensus) tersebut.25
Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut
asas konsensualisme. Artinya ialah hukum perjanjian itu menganut suatu asas
bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa
perjanjian itu (dan dengan demikian ”perikatan” yang ditimbulkan karenanya)
sudah dilahirkan pada saat tercapainya konsensus. Jika sudah tercapai sepakat
tersebut, maka sudah mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
26
Badrulzaman, Mariam Darus mengatakan bahwa “kata sepakat
mengadakan perjanjian berarti kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan
kehendak. Para pihak tidak mendapatkan suatu tekanan yang mengakibatkan
adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.”
Namun ada perkecualian
terhadap asas ini yaitu bagi perjanjian-perjanjian riil yang membutuhkan
formalitas-formalitas tertentu selain kata sepakat.
27
25
R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 3
26
Ibid, hal. 3-4
27
Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, FH USU, 1974, hal.163.
Ini berarti bahwa sepakat mengandung kebebasan antara para pihak yang
artinya betul-betul atas kemauan secara sukarela dari para pihak, tidak ada
Kesepakatan karena paksaan, penipuan maupun kekhilafan maka
kesepakatan itu tidaklah sah (Pasal 1321 KUHPerdata).
2. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian
Yang dimaksud dengan kecakapan adalah kemampuan membuat
perjanjian. Artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus dalam keadaan
“cakap berbuat” atau “berwenang berbuat” (bevoegd).
Seorang pemohon kredit harus mampu melakukan perbuatan hukum yaitu
orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran serta tidak dilarang oleh
undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum.
Mengenai cakap atau tidaknya seseorang dalam membuat suatu perjanjian
dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:
“setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia
oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”
Dari ketentuan di atas dapat dikatakan bahwa selama tidak dilarang oleh
undang-undang untuk membuat suatu perikatan maka seseorang dianggap cakap. Adapun
orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum ditentukan dalam Pasal
1330 KUHPerdata, yaitu:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 47
menetapkan bahwa orang yang dianggap telah dewasa jika sudah berumur 18
tahun ke atas atau sebelum umur 18 tahun tetapi telah melangsungkan
perkawinan. Ketentuan dewasa ini berlaku untuk seluruh warga negara tanpa
membeda-bedakan golongan penduduknya. Dengan demikian, umur dewasa 21
tahun sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata, sudah tidak berlaku lagi. Hal
ini juga telah dikuatkan oleh keputusan Mahkamah Agung, antara lain dalam
putusannya No. 477 K / Sip / 1976, tanggal 13 Oktober 1976.28
1. Orang yang dungu (onnoozelheid);
Orang yang belum
dewasa yang berarti orang di bawah umur 18 tahun dan belum pernah kawin
dianggap belum dapat melakukan perbuatan hukum. Jadi hanya orang yang sudah
dewasalah yang bisa mengajukan permohonan kredit.
Tentang orang-orang di bawah pengampuan yang dianggap tidak cakap
atau tidak berwenang (bevoegd) dalam membuat perjanjian adalah orang-orang:
2. Orang gila (tidak waras pikiran);
3. Orang yang mata gelap atau pemarah (razemij); 4. Orang yang boros. (Lihat Pasal 433 KUHPerdata)
Untuk melakukan tindakan hukum, orang yang belum dewasa
(minderjaring/underage) diwakili oleh orang tuanya atau walinya, sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya (mental incompetent/ intoxicated person) diwakili oleh pengampunya (curator) karena dianggap tidak mampu (ombevoegd) untuk bertindak sendiri.
28
Mengenai ketentuan ketiga pada Pasal 1330 KUHPerdata di atas telah
dikesampingkan oleh Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No. 3/1963 tanggal
5 September 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang
memenuhi syarat telah dewasa dan tidak di bawah pengampuan.
Persyaratan kecakapan seseorang yang membuat perjanjian sangat
diperlukan karena hanya orang yang cakap yang mampu memahami dan
melaksanakan isi perjanjian yang dibuat.
3. Suatu hal tertentu
Yaitu apa-apa yang diperjanjikan harus jelas baik mengenai obyek
perjanjian maupun hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pasal 1333 KUHPerdata
memberi petunjuk bahwa mengenai perjanjian yang menyangkut tentang barang
paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya kemudian.
Ketentuan tersebut menunjukkan dalam perjanjian harus jelas apa yang menjadi
obyeknya, supaya perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Suatu perjanjian
yang tidak memenuhi syarat yang ketiga ini berakibat batal demi hukum,
perjanjian dianggap tidak pernah ada (terjadi).
4. Suatu sebab yang halal
Syarat terakhir pada ketentuan ini adalah suatu sebab (causa) yang halal,
artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau yang
diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau ukuran dari suatu sebab yang
a. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku.
b. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan.
c. Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban
umum.
Mengenai suatu sebab yang halal ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1335 sampai
1337. Dengan demikian apabila suatu perjanjian dibuat tanpa memperhatikan atau
melanggar ketentuan-ketentuan di atas, maka perjanjian yang dibuat tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat atau dapat dikatakan batal demi hukum.
C. Jenis-Jenis Kredit Modal Kerja
Berdasarkan bentuk dan sifatnya, KMK pada Bank X dapat dibagi sebagai
berikut:
a. Aflopend
adalah kredit yang diberikan kepada nasabah yang pelunasannya
dilaksanakan secara angsuran sesuai dengan jadwal pelunasan yang
disetujui.
Kriteria KMK Aflopend adalah:
1) Jangka waktu maksimum tiga tahun
2) Terdapat jadwal angsuran
3) Tidak dapat ditarik kembali
adalah kredit jangka pendek untuk memenuhi modal kerja usaha. Mutasi
penarikan dan penyetoran dapat dilakukan secara berulang, dengan batas
penarikan dan penyetoran dapat dilakukan secara berulang, dengan batas
penarikan setinggi-tingginya sampai maksimum kredit.
Kriteria KMK Revolving adalah :
1) Jangka waktu maksimum satu tahun dan dapat diperpanjang
2) Tidak mempunyai jadwal pembayaran kembali yang tetap
3) Debitur dapat bertransaksi (tarik/setor) berulang
Kredit modal kerja dapat diperpanjang jangka waktunya, apabila terdapat
indikator seperti :
1. Realisasi penjualan mencapai target penjualan yang ditetapkan
sebelumnya.
2. Realisasi produksi mencapai target produksi yang ditetapkan
sebelumnya.
3. Tidak ada hal-hal yang negatif.
4. KMK tersebut betul-betul masih diperlukan.
5. Prospek usaha baik.
Maksimal nominal Kredit Modal Kerja yang diberikan, ditentukan berdasarkan
segmentasi. Adapun pembagian segmentasi debitur Bank X sebagai berikut :
1. Segmen usaha kecil :
a. Bank X Kredit Usaha Rakyat (KUR), maksimal kredit s/d Rp. 500
b. Bank X Wira Usaha (BWU), maksimal kredit Rp. 50 juta s/d 1
Milyar.
c. Bank X Usaha Berkembang, maksimal kredit di atas Rp. 1 Milyar s/d
Rp. 3 Milyar.
d. Bank X Usaha Maju, maksimal kredit di atas Rp.3 Milyar s/d Rp.10
Milyar.
2. Segmen usaha menengah
3. Segmen usaha besar/ korporasi29
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), usaha kecil adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar.
Kriteria usaha kecil sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UU No. 20 Tahun
2008, adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan paling
banyak Rp. 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha); atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebi dari Rp. 300 juta sampai
dengan Rp. 2,5 Milyar.
29
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 20 Tahun 2008 tentang
UMKM, usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar.
Kriteria usaha menengah mengacu kepada Pasal 6 ayat (3) UU No. 20
Tahun 2008, ditetapkan sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500 juta sampai dengan
paling banyak Rp. 10 Milyar tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2,5 Milyar sampai
dengan paling banyak Rp. 50 Milyar.
D. Prosedur Pemberian Kredit Modal Kerja
Prosedur pemberian KMK merupakan tahapan-tahapan yang dilalui untuk
memberikan KMK. Prosedur pemberian kredit dan penilaian kredit oleh dunia
perbankan secara umum sama, antara satu bank dengan bank lainnya memiliki
prosedur yang tidak jauh berbeda. Dengan kata lain prosedur pemberian kredit
antara satu bank dengan bank lain tidak terlau kontras perbedaannya. Hal yang
menjadi perbedaan mungkin terletak pada bagaimana tujuan bank tersebut serta
persyaratan yang ditetapkan dengan pertimbangan-pertimbangan masing-masing.
Tujuan utama dari prosedur ini untuk mempermudah bank menilai kelayakan