• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian Kredit - Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Perjanjian Kredit Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Sentra Kredit Kecil Polonia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian Kredit - Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Perjanjian Kredit Pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Sentra Kredit Kecil Polonia"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A. Pengertian Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian

Subekti memberikan defenisi mengenai perjanjian adalah sebagai berikut :

“ Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbul timbal balik suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) adalah sama artinya.”12

Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, defenisi tentang perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perjanjian itu dapat dituangkan dalam tulisan atau surat dan dapat pula terjadi secara lisan. Jadi perjanjian itu merupakan suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis yaitu salah satu pihak menawarkan atau mengajukan usul dan pihak lain menerima atau menyetujui usul oleh pihak-pihak yang bersangkutan maka timbullah perjanjian yang mengakibatkan ikatan hukum bagi para pihak.

12

(2)

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu kontrak oleh hukum dianggap mengikat kedua belah pihak, apabila perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang terpada pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari : (1) Kecakapan

Kecakapan yang dimaksud di sini adalah kemampuan membuat perjanjian, yaitu setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas oleh hkum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti: gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Lebih jauh ditegaskan perihal yang dianggap tidak cakap berdasarkan Pasal 1330 menegaskan, “tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

a. Orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian

tertentu.

(2) Sepakat mereka yang membuat perjanjian

(3)

lisan, tertulis, dengan simbol-simbol tertentu serta berdiam diri. Perikatan dapat menjadi batal (dapat dibatalkan) jika saja terjadi cacat kehendak atau cacat kesepakatan melalui beberapa hal, diantaranya kekhilafan/ kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan keadaan.

Cacat kehendak karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan diatur dalam Pasal 1321 BW yang menegaskan “tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kemudian diatur juga dalam Pasal 1449 BW yang menegaskan “perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.

(3) Perihal Tertentu

Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum(nuul and void).Pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 BW prestasi itu dapat berupa:

(4)

Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat sesuatu, dan berdiam diri untuk tidak berbuat sesuatu seperti “berjanji untuk tidak membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetetangga.13

(4) Sebab yang halal

Sebab yang halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.

Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud

13

(5)

dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.14

3. Pengertian Perjanjian Kredit

Pengertian perjanjian kredit berasal dari Bahasa Inggris, yaitu

contract credit. Dalam hukum Inggris, perjanjian kredit bank termasuk

loan of money15. Istilah perjanjian kredit ditemukan dalam instruksi pemerintah dan berbagai surat edaran, antara lain:16

1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EKA/10/96, yang berisi instruksi kepada bank bahwa dalam memberikan kredit bentuk apa pun, bank-bank wajib mempergunakan “akad perjanjian kredit”;

2. Surat Edaran Bank Indonesia Unit I Nomor: 2/539/UPK/Pemb/1996; 3. Surat Edaran Bank Negara Indonesua Nomor : 2/643/Pemb/1996

tentang Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan.

Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

R. Subekti berpendapat:17

“ Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan dalam semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalamm Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1754 sampai dengan pasal 1769”.

14

http://id.shvoong.com/law-and-politics/2230796-pengertian-causa-yang-halal-dalam/ diakses pada hari/tanggal : selasa, 2 Mei 2012 pada pukul 10.20 WIB.

(6)

Pendapat yang sama dikemukakan Marhainis Abdul Hay:

“Perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam-meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman :18 Dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perbankan mengenai perjanjian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754. Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika

verbruikleningtermasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah”.

Tetapi pendapat ini disangkal oleh pakar hukum lainnya. Menurut Hartono Soerja Pratiknyo:19

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo). Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang piutang (perjanjian pijam mengganti). Sedang perjanjian hutang pitutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. Jadi arti pendahuluan pada perjanjian kredit diibedakan dengan asti pelaksanaan perjanjian hutang piutang.

4. Ciri Perjanjian Kredit

Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan tiga ciri perjanjian kredit kredit, sebagai berikut:20

18

Rachmadi Usman,Aspek.,hal.261 19

(7)

1.1 Bersifat konsensual

Sifat konsensual suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam-meminjam uang yang bersifat riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsepsual, tetapi bukan perjanjian peminjaman uang menurut hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan yang konsensual sifatnya. Setelah perjanjian kredit ditandatangani menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya setelah ditandatanganinya kredit oleh kedua belah pihak, belumlah menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan dalam perjanjian kredit.

1.2 Penggunaaan kredit tidak dapat digunakan secara leluasa

Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitur, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang atau debitur pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan

20

(8)

pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstanding kredit. Hal ini berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang. Dengan kata lain, perjanjian kredit tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam-meminjam atau pinjam mengganti. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit bank tidak berlaku ketentuan-ketentuan Bab XIII Buku Ketiga Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

1.3 Syarat cara penggunaannya

(9)

Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikan dan penggunaannya selalu berada dalam pengawasan bank.21

5. Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata seperti telah diuraikan di depan. Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang komplek ini perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita menyimpan tabungan atau deposito di Bank maka akan memperoleh buku tabungan atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian sebagai alat bukti.22

Berdasarkan Pasal 1 butir (11) Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam adalah bentuk perjanjian kredit, sehingga nama perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit. Meskipun pada umumnya perjanjian tidak perlu dibuat secara tertulis (asalkan kedua belah pihak sepihak,

21

H. Salim HS.,Op.Cit., hal 80 22

(10)

cakap hukum, tentang suatu sebab tertentu, dan suatu sebab yang halal sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang membolehkan kesepakatan pada perjanjian dapat dilakukan dalam bentuk lisan maupun tulisan) namun kiranya kesepakatan pada perjanjian perbankan harus dibuat dalam sebuah perjanjian tertulis.

Ketentuan ini terdapat pada penjelasan Pasal 8 Undang-undang Perbankan yang mewajibkan kepada Bank pemberi kredit untuk membuat perjanjian secara tertulis. Keharusan perjanjian perbankan harus berbentuk tulisan telah ditetapkan dalam pokok-pokok ketentuan perkreditan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Perbankan.

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1996 tanggal 10 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No. 03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.23

23

(11)

Perjanjian yang dibuat secara tertulis dalam praktek perbankan dibedakan lagi menjadi dua bentuk perjanjian yaitu :24

1. Akta di bawah tangan; dan 2. Akta autentik.

Kedua bentuk perjanjian (akta) tersebut dapat dijadikan sebagai berikut:

5.1. Akta Di Bawah Tangan

Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh Bank kemudian ditawarkan kepada Debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja Bank, biasanya Bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh Bank tersebut termasuk jenis Akta Di Bawah Tangan.25

Apabila calon nasabah debitur tidak berkenan terhadap klausul yang terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat kesempatan untuk melakukan protes atas klausul yang tidak diperkenankan oleh nasabah tersebut, karena perjanjian tersebut telah dibakukan oleh lembaga perbankan yang bersangkutan dan bukan oleh petugas perbankan yang

24

Badriyah Harun,Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2010, hal. 24.

25

(12)

berhadapan langsung dengan calon nasabah debitur. Sehingga seperti yang telah disinggung sebelumnya, mau tidak mau, calon nasabah yang hendak mengajukan kredit , harus menyetujui segala syarat dan ketentuan yang telah diajukan oleh bank sebagai kreditur.

5.2. Akta Otentik

Akta otentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandantangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata, akta autentik berupa akta yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat dan/atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuat.

Perjanjian kredit yang berbentuk akta autentik pada umumnya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang. Biasanya dikhususkan kepada kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi (lebih dari satu kreditur), dan lain-lain.

Dalam praktiknya, meskipun akta tersebut dibuat oleh dan/atau di hadapan notaris, namun segala syarat dan ketentuan yang terdapat dalam akta dibuat oleh bank, kemudian diberikan kepada notaris ke dalam akta.26

B. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Baku

26

(13)

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.

Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah :

“suatu kontrak yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplace) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan-perubahan dalam klausul-klausulnya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut.”27

Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku. Ciri perjanjian baku, yaitu :28

1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat; 2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian;

3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

27

Munir Fuady,Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik Buku Keempat, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003, hal.146.

28

(14)

4. Bentuk tertentu (tertulis);

5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.

Sutan Remi Sjahdeini juga memberikan pengertian tentang perjanjian baku. Perjanjian baku adalah :

“perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu pun adalah juga perjanjian baku.”29

Setelah mengetahui definisi-definisi perjanjian baku berdasarkan pendapat para sarjana, maka adapun jenis-jenis perjanjian baku tersebut adalah :

1. Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu.

2. Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur). Secara formal debitur ikut serta untuk menetapkan isi perjanjian tetapi secara materiil debitur hanya mengikat diri sebagai anggota serikat atau perkumpulan tersebut.

3. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai objek-objek atas tanah.

29

(15)

4. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan di notaris, yang konsepnya semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris

Beberapa pakar hukum menolak keberadaan perjanjian baku ini karena dinilai:30

a. Kedudukan pengusaha dalam perjanjian baku sama seperti pembentuk undang-undang swasta atau (legio particulure wetgever), karenanya perjanjian baku bukan perjanjian;

b. Perjanjian baku merupakan perjanjian paksa (dwangcontract);

c. Negara-negaracommon law systemmenerapkan doktrinunconscionability. Doktrinunconscionabilitymemberikan wewenang kepada perjanjian demi menghindari hal-hal yang dirasakan sebagai bertentangan dengan hati nurani. Perjanjian dianggap meniadakan keadilan.

Sebaliknya beberapa pakar hukum menerima kehadiran perjanjian baku sebagai suatu perjanjian, hal ini karena:31

a. Perjanjian baku diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu;

30

Rachmadi Usman,Aspek., hal 265. 31

(16)

b. Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin sesseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya;

c. Perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan kebiasaan (gebruk) yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.

Keabsahan perjanjian baku terletak pada persetujuan kedua belah pihak guna menunjang dan menjamin keberlangsungan usaha. Meskipun pada umumnya di dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat yang tidak setara antara pihak yang telah mempersiapkan (bank) dengan pihak yang disodorkan (nasabah-debitur), biasanya nasabah debitur menerimanya dengan segala konsekuensi yang timbul di kemudian hari. Dengan sendirinya pihak yang telah mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya dan membebani pihak lain dengan kewajiban-kewajiban yang tidak setara.32

C. Isi Perjanjian Kredit Bank

Setiap pemberian kredit harus dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Bentuk dan formatnya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada

masing-32

(17)

masing bank untuk menetapkannya, namun sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:33

a. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi kepentingan bank.

b. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan-persyaratan kredit lainnya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan persetujuan kredit dimaksud.

1. Komposisi/Susunan Perjanjian Kredit

Setiap membuat perjanjian kredit apakah perjanjian otentik (dibuat Notaris) atau perjanjian kredit di bawah tangan (dibuat para pihak sendiri), pada umumnya mempunyai komposisi sebagai berikut:34

a. Judul b. Komparisi c. Substantif

a. Judul

Judul yang digunakan di dalam praktek perbankan untuk membuat perjanjian kredit berbeda-beda. Ada yang menggunakan judul Perjanjian Kredit, Perjanjian Membuka Kredit, Perjanjian Pinjaman, Perjanjian Pinjam Uang. Judul disini berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat tersebut,

33

Rachmadi Usman,Aspek., hal. 267. 34

(18)

setidaknya kita akan mengetahui bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank.35

b. Komparisi

Komparisi adalah bagian dari suatu akta yang digunakan untuk mengawali suatu bagian dari pembukaan pembuatan akta yang memuat keterangan mengenai orang atau pihak yang menghadap untuk menandatangani akta itu. Keterangan mengenai orang atau pihak yang menghadap berarti mengidentifikasi dari pihak atau orang yang terlibat dan mengikatkan diri dalam akta tersebut.

Jadi dalam suatu akta komparisi itu berupa :36

1) Uraian terinci mengenai identitas dari pihak-pihak atau orang yang menghadap Notaris atau Pejabat Negara lainnya untuk menandatangani akta. Identitas meliputi nama, alamat.

2) Dasar hukum yang memberikan kewenangan yuridis bagi para pihak yang menghadap Notaris untuk menandatangani akta.

3) Kedudukan para pihak yang menghadap apakah bertindak untuk diri sendiri atau sebagai kuasa orang lain atau mewakili perusahaan yang berbadan hukum.

Para pihak yang diuraikan dalam komparisi perjanjian kredit yaitu:37 1) Bank sebagai Kreditur. Bank adalah badan hukum berarti sebagai

subyek hukum. Sebagai badan hukum Bank tidak dapat menjalankan sendiri aktivitasnya, karena badan hukum bersifat abstrak sehingga

35

Sutarno,Op.Cit., hal. 107 36

Ibid. hal. 108 37

(19)

tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri maka harus diwakili oleh organnya. Menurut Anggaran Dasar organ yang mewakili Bank adalah Direksi atau pejabat lain yang mewakili Direksi sebagai kuasanya. Komparisi dari Bank atau Kreditur adalah identitas Bank meliputi nama Bank, alamat/domisili Bank, nama dan alamat yang mewakili Bank yaitu Direksi atau pejabat lain selaku kuasa Direksi. 2) Sedangkan jika Debitur perorangan identitas meliputi nama, alamat,

rumah atau kantor dan jika Debitur perorangan tersebut telah menikah maka dalam komparisi harus ditambah surat persetujuan dari istrinya. c. Substantif

Sebuah perjanjian perjanjian kredit bank berisikan klausula-klausula yang merupakan ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit, minimal harus memuat maksimum kredit, bunga dan denda, jangka waktu kredit, cara pembayaran kredit, agunan kredit,opensbaar clause, dan pilihan hukum.38

2. Klausul-Klausul Dalam Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit yang baik seyogyanya sekurang-kurangnya bersisi klausula-klausula sebagai berikut:39

a. Klausula-klausula tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik;

b. Klausula-klausula tentang bunga, commitment fee, dan denda kelebihan tarik;

38

Rachmadi Usman,Aspek., hal.268 39

(20)

c. Klausula tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan rekening pinjaman nasabah kreditur;

d. Klausula tentang representations and warranties, yaitu klausula yang berisi pernyataan-pernyataan nasabah kreditur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah kreditur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit tersebut; e. Klausula tentangconditions precedent, yaitu klausula tentang syarat-syarat

tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah kreditur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah kreditur berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut;

f. Klausula tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan;

g. Klausula tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan Rekening Koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan; h. Klausula tentang affirmative covenants, yaitu klausula yang berisi

janji-janji nasabah kreditur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanji-janjian kredit masih berlaku;

(21)

j. Klausula tentang financial covenants, yaitu klausula yang berisi nasabah kreditur untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu;

k. Klausula tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan, dan penyelesaian kredit;

l. Klausula tentangevents of default, yaitu klausula yang menentukan suatu peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruhoutstanding kredit;

m. Klausula tentang arbitrase, yaitu klausula yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan diantara para pihak melalui suatu badan arbitrase, baik badan arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional;

n. Klausula-klausula bunga rampai atau miscellaneous provisions atau

(22)

Menurut Ch. Gatot Wardoyo ada beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit, yaitu:40

1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause). Klausula ini menyangkut:

a. Pembayaran provisi, premi asuransi kredit dan asuransi barang jaminan serta biaya pengikatan jaminan secara tunai;

b. Penyerahan barang jaminan dan dokumennya serta pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut;

c. Pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi di luar kesalahan kreditur maupun kreditur.

2. Klausula mengenai maksimum kredit (amount clause). Klausula ini mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu :

a. Merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru;

b. Merupakan batas kewajiban pihak kreditur yang berupa penyediaan dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak kreditur untuk melakukan penarikan pinjaman;

c. Merupakan penetapan berapa besarnya nilai agunan yang harus diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provisi atau

commitment fee;

40

(23)

d. Merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (over draft).

3. Klasula mengenai jangka waktu kredit. Klausula ini penting dalam beberapa hal, yaitu:

a. Merupakan batas waktu bagi bank kapan keharusan menyediakan dana sebesar maksimum kredit berakhir dan sesudah dilewatinya jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih/pengembalian kredit dari nasabah; b. Merupakan batas waktu kapan bank boleh melakukan teguran-teguran

kepada debitur bila tidak memenuhi kewajiban tepat pada waktunya; c. Merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan tinjauan

atau analisis kembali apakah fasilitas kredit tersebut perlu diperpanjang atau perlu segera ditagih kembali.

4. Klausula mengenai bunga pinjaman (interest clause). Klausula ini diatur secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk:

a. Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama, karena bunga merupakan penghasilan bank baik secara langsung maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit tersebut;

b. Pengesahan pemungutan bunga di atas 60 % per tahun asalkan diperjanjikan secara tertulis.

(24)

Klausula ini bertujuan agar pihak debitur tidak melakukan penarikan atau penggantian barang jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak lain

6. Klausula asuransi (insurance clause)

Klausula ini bertujuan untuk pengalihan resiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat mengenai maskapai asuransi yang ditunjuk, premi asuransinya, keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank, dan sebagainya.

7. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause).

Klausula ini terdiri dari atas berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis dan ekonomi bagi pengaman kepentingan bank sebagai tujuan utama. 8. Tigger clause atau opeisbaar clause

Klausula ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir. 9. Klausula mengenai denda (penalty clausul)

Klausula ini dimaksudkan untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pungutan baik mengenai besarnya maupun kondisinya.

10. Expence Clause

Klausula ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada nasabah dan meliputi antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan utang, dan penagihan kredit.

(25)

Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitu. 12. Representation and Warranties/Material Adverse Change Clause

Klausula ini dimaksudkan bahwa pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak diputarbalikkan.

13. Klausula ketaatan pada ketentuan bank

Klausula ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan bila terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan secara khusus tetapi dipandang perlu, maka sudah dianggap tekah diperjanjikan secara umum.

14. Miscellaneous/Boiler Plate Provision Pasal-pasal tambahan.

15. Dispute Settlement (Alternatif Dispute Resolution)

Klausula mengenai metode penyelesaian perselisihan antara kreditur dan kreditur bila terjadi.

16. Pasal-Pasal Penutup

Pasal penutup merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kredit serta tanggal penandatanganan perjanjian.

Sehingga dalam sebuah perjanjian kredit bank minimal seyogjanya memuat klausula-klausula yang berhubungan dengan:41

41

(26)

1. Ketentuan mengenai fasilitas kredit yang diberikan, diantaranya tentang jumlah maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik;

2. Suku bunga dan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit, diantaranya bea materai, provisi/commitment fee dan denda kelebihan tarik;

3. Kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan/atau rekening kredit penerima kredit untuk bunga denda kelebihan tarik dan bunga tunggakan serta segala macam biaya yang timbul karena dan untuk pelaksanaan hal-hal yang ditentukan yang menjadi beban peenerima kredit; 4. Representation dan warranties, yaitu pernyataan dari penerima kredit atas

pembebanan segala harta kekayaan penerima kredit menjadi jaminan guna pelunasan kredit;

5. Conditions precedent, yaitu tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh penerima kredit agar dapat menarik kredit untuk pertama kalinya;

6. Agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan;

7. Affirmative dan negative covenants, yaitu kewajiban-kewajiban dan pembatasan tindakan penerima kredit selama masih berlakunya perjanjian kredit;

8. Tindakan-tindakan bank dalam rangka pengawasan dan penyelamatan kredit; 9. Events of defaults/ wanprestasi/ cidera janji/ trigger clause/ opeisbaar clause,

(27)

kredit dan untuk seketika akan menagih semua utang beserta bunga dan biaya lainnya yang timbul.

10. Pilihan domisili/ forum/ hukum apabila terjadi pertikaian di dalam penyelesaian kredit antara bank dan nasabah penerima kredit;

11. Ketentuan mulai berlakunya perjanjian kredit dan penandatanganan perjanjian kredit.

D. Berakhirnya Perjanjian Kredit

Pasal 1319 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menetapkan semua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan

suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat

didalam bab ini dan bab yang lalu.

Jadi perjanjian kredit yang merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, juga harus tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata.42

Berakhirnya atau hapusnya perjanjian diterangkan oleh Pasal 1381 KUH Perdata bahwa hapusnya atau berakhirnya perjanjian disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut:43

a. Karena pembayaran

Pembayaran adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian yang telah diadakan. Dengan adanya pembayaran oleh seorang

42

Rachmadi Usman,Aspek., hal. 84. 43

(28)

debitur atau pihak yang berhutang berarti Debitur telah melakukan prestasi sesuai perjanjian. Dengan dilakukannya pembayaran oleh Debitur maka perjanjian kredit/hutang menjadi hapus atau berakhir.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan atau dalam bahasa Belanda dinamakan consignatie.

(29)

c. Novasi atau pembaruan utang

Novasi merupakan salah satu cara untuk menghapuskan atau mengakhiri suatu perjanjian. Novasi atau pembaruan utang adalah suatu perjanjian baru yang menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang sama memunculkan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama. Pasal 1413 KUH Perdata menetapkan 3 (tiga) macam cara untuk terjadinya Novasi:

1) Novasi subyektif aktif adalah suatu perjanjian yang bertujuan menggantikan Kreditur lama dengan seorang Kreditur baru. Misalnya Bank A memberikan kredit atau pinjaman uang kepada seorang bernama Ali. Bank A sebagai Kreditur menjual piutangnya kepada B, maka disini terjadi pergantian Kreditur Bank A diganti Kreditur baru Bank B. Pergantian Kreditur dapat secara sepihak dilakukan Kreditur tanpa sepengetahuan Debitur.

(30)

3) Novasi obyektif suatu perjanjian antara Kreditur dengan Debitur untuk memperbaharui atau merubah obyek atau isi perjanjian. Pembaruan obyek perjanjian ini terjadi jika kewajiban prestasi tertentu dari Debitur diganti dengan prestasi lain. Misalnya kewajiban menyerahkan suatu barang diganti dengan menyerahkan uang.

d. Kompensasi atau perjumpaan utang

Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generische ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun kreditur terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.44

Untuk dapat dilakukan perjumpaan utang atau kompensasi pasal 1427 KUH Perdata memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:

1) Kedua utang harus sama-sama mengenai utang atau barang yang dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama.

2) Kedua utang seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kalau yang satu dapat ditagih sekarang sedangkan utang lainnya baru dapat satu bulan yang akan datang maka kedua utang itu tidak dapat diperjumpakan.

e. Percampuran utang

44

(31)

Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan Kreditur dan Debitur bersatu pada satu orang, maka demi hukum atau otomatis suatu percampuran utang terjadi dan perjanjian ini menjadi hapus atau berakhir. Contoh terjadinya pernikahan antara Kreditur dan Debitur dan ada persatuan harta pernikahan maka terjadi percampuran hutang.

f. Pembebasan utang

Pembebasan hutang adalah perbuatan hukum yang dilakukan Kreditur dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran hutang dari Debitur. Artinya Kreditur memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada Debitur bahwa Kreditur membebaskan kepada Debitur untuk tidak membayar lagi hutangnya. Jadi pembebasan hutang ini dapat dilakukan secara sepihak yang berupa pernyataan atau pemberitahuan tertulis kepada Debitur yang isinya Kreditur membebaskan hutangnya dan Debitur menerima pemberitahuan itu atau membalas surat Kreditur yang menyetujui pembebasan hutang tersebut.

g. Musnahnya barang yang terhutang

Apabila barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, hilang, tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang itu tidak diketahui lagi apakah barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus asal musnahnya barang, hilangnya barang bukan kesalahan Debitur dan sebelum Debitur lalai menyerahkan barangnya kepada Kreditur.

(32)

hak-hak berkaitan dengan barang yang musnah atau hilang, misalnya hak asuransi atas barang tersebut maka Debitur diwajibkan menyerahkan kepada Kreditur.

h. Pembatalan perjanjian

Jika syarat subyektif (Sepakat dan Cakap) tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan artinya para pihak dapat menggunakan hak untuk membatalkan atau tidak menggunakan hak untuk membatalkan.

Bila syarat obyektif (obyek tertentu dan sebab yang halal) tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang dilahirkan. Meskipun syarat-syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian telah dipenuhi, perjanjian juga dapat dibatalkan oleh salah satu pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan wanprestasi (Pasal 1266 KUH Perdata).

Akibat hukum suatu perjanjian dibatalkan karena syarat subyektif dan syarat obyektif dalam perjanjian tidak dipenuhi atau karena dibatalkan salah satu pihak karena wanprestasi yaitu:

i. Hak dan kewajiban para pihak kembali kepada keadaan semula sebelum adanya perjanjian

(33)

telah menerima pembayaran segera mengembalikan uang (Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUH Perdata).

i. Berlakunya suatu syarat batal

Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang lahirnya atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu masih belum tentu terjadi. Suatu perikatan yang lahirnya digantungkan dengan terjadinya suatu peristiwa dinamakan perikatan dengan syarat tangguh.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menggambarkan faktor risiko yang mempengaruhi pre eklamsi kehamilan pada ibu post partum yaitu 56% kasus pre eklamsi terjadi pada ibu paritas satu, 65% kasus

rumusan penelitian ini adalah “adakah hubungan tingkat kemampuan a ktivitas dasar sehari- hari dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Wredha Budhi Dharma

Kesimpulan dari penelitian penyelesaian kasus perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga berbasis hukum progresif (studi kasus di Pengadilan Agama Purbalingga) ini

lokasi minimarket dengan pasar, di Kabupaten Banyumas terdapat 58 minimarket atau sekitar 55 % sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas sedangkan sisanya

Berdasarkan nilai daya serap klasikal dan ketuntasan belajar klasikal pada kegiatan pembelajaran siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan

Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir Menguasai kaidah bahasa Bali sebagai rujukan Dapat menggunakan konfiks dalam pembentukan keilmuan yang mendukung mata pelajaran

[r]

Penggabungan turbin overshot dengan turbin savonius tipe L mampu mengkonversi energi air dan angin secara bersamaan sehingga menghasilkan output tegangan yang