BAB III
TINJAUAN UMUM JAMINAN HAK TANGGUNGAN
A.Tinjauan Umum Tentang Jaminan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Jaminan
Istilah Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu
“Zakerheid”, sedangkan istilah “Zakerheidsrecht” digunakan untuk hukum
jaminan atau hak jaminan. Namun istilah hukum jaminan ternyata mempunyai
makna yang lebih luas dan umum serta bersifat mengatur dibandingkan dengan
hak jaminan seperti halnya hukum kebendaan yang mempunyai ruang lingkup
yang lebih luas dan mempunyai sifat mengukur dari pada hak kebendaan serta
mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya,
disamping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Selain
istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat dibaca dalam
Pasal 1 angka 23 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Agunan adalah :
“Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka
mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah.”
Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir). Tujuan
agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh
debitur kepada bank. Unsur-unsur agunan, yaitu :
b. Diserahkan oleh debitur kepada bank ;
c. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.42
Didalam Seminar Badan Pembina Hukum Nasional yang diselenggarakan di
Yogyakarta, dari tanggal 20 s.d. 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan.
Jaminan adalah “menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan
erat sekali dengan hukum benda.”43
Konstruksi jaminan dalam definisi ini ada kesamaan dengan yang
dikemukakan Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan. Hartono Hadisoeprapto
berpendapat bahwa jaminan adalah “Sesuatu yang diberikan kepada kreditur
untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.”44
1) Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditur (bank) ; Kedua definisi jaminan yang dipaparkan tersebut adalah:
2) Wujudnya jaminan ini dapat dinilai dengan uang ( jaminan materiil ) ;
dan
3) Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditur dengan
debitur.
Istilah yang digunakan oleh M.Bahsan adalah jaminan. Ia berpendapat
bahwa jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan
42
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011), Cet 2, hal.22
43
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab tentang Credietverband, Gadai, dan Fiducia, (Bandung, Alumni Bandung, 1987), hal.227-265
44
debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.” 45
a) Telah lazim digunakan dalam bidang Ilmu Hukum, dalam hal ini
berkaitan dengan penyebutan-penyebutan, seperti hukum jaminan,
lembaga jaminan, jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan,
dan sebagainya ;
Alasan
digunakan istilah jaminan karena :
b) Telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang
lembaga jaminan, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan dan Jaminan Fidusia.
Sehubungan dengan pengertian hukum jaminan, tidak banyak literatur yang
merumuskan pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu
diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang
seorang kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah
hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang. Definisi ini difokuskan
pada pengaturan pada hak-hak kreditur semata-mata, tetapi juga erat kaitannya
dengan debitur. Sedangkan yang menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan.46
Kata “jaminan” dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan penjelasan Pasal 8
Undang-Undang Perbankan 1998, dari kedua ketentuan itu diketahui bahwa
jaminan erat hubungannya dengan masalah utang. Hal ini dikarenakan terkait
kepada peminjaman uang serta pelunasan hutang. Dalam perjanjian pinjam
45
M Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta, Rejeki Agung, 2002), hal.148
46
meminjam uang pihak kreditur meminta debitur menyediakan jaminan berupa
harta kekayaannya untuk kepentingan pelunasan hutang,47
Dalam hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan
yang sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan
utang. Materi atau isi peraturan perundang-undangan tersebut memuat
ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan
penjaminan utang, antara lain mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan,
lembaga-lembaga jaminan, objek jaminan utang, penanggungan utang dan sebagainya.Di
dalam KUHPerdata (KUHPerdata) tercantum beberapa ketentuan yang dapat
digolongkan sebagai hukum jaminan. Hukum jaminan dalam ketentuan hukum
KUHPerdata adalah sebagaimana yang terdapat pada Buku Kedua yang mengatur
tentang prinsip-prinsip hukumjaminan, lembaga-lembaga jaminan (Gadai dan
Hipotek) dan pada Buku Ketiga yang mengatur tentang penanggungan utang. untuk mengantisipasi
apabila sewaktu-waktu debitur tidak melunasi ataupun tidak mampu melunasi
hutangnya.Dari pengertian-pengertiandi atas tersebut, maka dapat dikatakan
bahawa jaminan merupakan salah satu cara untuk mengurangi risiko apabila
debitur tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan tersebut merupakan second way
out apabila nasabah tidak memenuhi kewajibannya dengan cara menjual jaminan
tersebut untuk memenuhi kewajibannya.
48
(1) Kedudukan Harta Pihak Peminjam
Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh
ketentuanketentuan KUHPerdata sebagai berikut.
47
Gatot Supramono, Perbankan dan masalah kredit suatu tinjauan yuridis,(Jakarta, Djambatan, 1995), hal. 34
48
Pasal 1131 KUHPerdata mengatur tentang kedudukan harta pihak
peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya
merupakan jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 KUHPerdata
menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak
peminjam. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan salah satu
ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang
kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan
utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata pihak pemberi
pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari
semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih akan
dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak
untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh
pihak peminjam di kemudian hari. Dalam praktik seharihari yang dapat
disebut sebagai harta yang akan ada di kemudian hari adalah misalnya
berupa warisan, penghasilan, gaji, atau tagihan yang akan diterima pihak
peminjam. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata sering pula dicantumkan
sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan.Ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata yang dicantumkan sebagai klausul dalam
perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian disebut sebagai
isi yang naturalia. Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi yang
isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak
menjadi masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti
demikian sudah diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku. Dengan
memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata bila
dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik
ketentuan tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam perjanjian
pinjaman uang, termasuk dalam perjanjian kredit.
(2) Kedudukan Pihak Pemberi Pinjaman
Bagaimana kedudukan pihak pemberi piinjaman terhadap harta pihak
peminjam dapat diperhatikan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata dapat disimpulkan
bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua
golongan, yaitu :
(a)Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang
masing-masing; dan
(b)Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi
pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.
Pasal 1132 KUHPerdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam
menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil
penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu
menurut besarkecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara
pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk
kreditur dan pihak peminjam disebut nasabah debitur atau debitur. Pihak
pemberipinjaman yang mempunyai kedudukan didahulukan lazim
disebut sebagai kreditur preferen dan pihak pemberi pinjaman yang
mempunyai hak berimbang disebut sebagai kreditur konkuren. Mengenai
alasan yang sah untuk didahulukan sebagaimana yang tercantum pada
bagian akhir ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata adalah berdasarkan
ketentuan dari peraturan perundangundangan, antara lain berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal 1133 KUHPerdata, yaitu dalam hal
jaminan utang diikat melalui gadai atau hipotek.
(3) Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak
pemberi pinjaman.
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek
jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan
yang demikian diatur oleh Pasal 1154 KUHPerdata tentang Gadai, Pasal
1178 KUHPerdata tentang Hipotek. Larangan bagi pihak pemberi
pinjaman untuk memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang
sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga
jaminan tersebut tentunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam
dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan
melebihi besarnya nilai utang yang dijamin. Pihak pemberi pinjaman
yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang
serta-merta menjadipemilik objek jaminan utang bila pihak peminjam
dapat mencegah tindakan sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman
yang akan merugikan pihak peminjam.
Demikian secara umum beberapa ketentuan hukum jaminan yang
berkaitan dengan prinsip-prinsip hukum jaminan dalam lingkup hukum positif di
Indonesia, lembaga jaminan dan penanggungan utang sebagaimana yang
tercantum dalam KUHP, Buku Kedua dan Buku Ketiga.
2. Jenis-Jenis Jaminan
Menurut hukum perdata, jaminan dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu:
a. Jaminan perorangan
“Jaminan perorangan adalah selalu suatu perjanjian antara seorang
berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya
kewajiban-kewajiban si berutang (debitur)”. Dalam jaminan perorangan selalu
dimaksudkan bahwa untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur, yang
dijaminkan pemenuhannya seluruhnya sampai suatu bagian (jumlah) tertantu,
harta benda penanggungan (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan
- ketentuan perihal pelaksanaan (eksekusi) putusan-putusan pengadilan.
Pasal jaminan perorangan adalah suatu perjanjian ketiga yang
menyanggupi pihak berutang atau kreditur bahwa ia menanggung pembayaran
suatu utang bila yang berutang tidak menepati kewajibannya (Pasal 1820
KUHPer). Dalam hal ini dapat menjamin pembayaran sepenuhnya atau suatu
jumlah tertentu.
1) Si debitur ditagih terlebih dahulu, bila ada kekurangan barulah
kekurangan tersebut ditagih kepadanya (Pasal 1831 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata)
2) Jika ada penjamin lainnya, utang tersebut dipecah-pecah atau dibagi-bagi
diantara para penjamin (Pasal 1837 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata).49
Di dalam praktek lazim diperjanjikan bahwa penjamin menanggungkan
kedua Hak tersebut sehingga bila debitur cidera janji, maka kreditur dapat
langsung menuntut penjamin untuk pelunasan utang seluruhnya. Jika seorang
penjamin membayar utang debitur maka :
a) Dapat menuntut kembali dari debitur atas pembayaran utang sepenuhnya
yang terdiri dari utang pokok, berupa uang dan biaya-biaya.
b) Dapat dengan sendirinya mengambil alih segala hak-hak dari kreditur
terhadap debitur, seperti gadai dan hipotik.
b. Jaminan kebendaan
Jaminan kebendaan ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak
mendahulu di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan
mengikuti benda-benda yang bersangkutan
Dalam Pasal 1131 KUHPer yang menyatakan bahwa : ”Segala kebendaan
debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan”. Jaminan yang bersifat hak kebendaan ialah ”suatu hak
49
yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan
terhadap tiap orang”.
Hak jaminan materiil atau kebendaan adalah hak yang memberikan kepada
seorang kreditur kedudukan yang lebih baik, karena :
1) Kreditur didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan
atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok
benda tertentu milik debitur;
2) Ada benda tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur atau
terikat kepada hak kreditur, yang berharga bagi debitur dan dapat
memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitur untuk memenuhi
kewajibannya dengan baik terhadap kreditur. Dalam hal ini terhadap
tekanan psikologis kepada debitur untuk melunasi utang-utangnya
karena benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan
barang yang berharga baginya.
Menurut J. Satrio dalam bukunya yang berjudul “Hukum Jaminan,
Hak-Hak Jaminan Kebendaan” disebutkan bahwa hak jaminan kebendaan memiliki
kekhasan, yaitu:
a) Mempunyai hubungan langsung dengan atau atas benda tertentu milik
debitur;
b) Dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada siapa saja;
c) Mempunyai sifat droit de suite, artinya hak tersebut mengikuti
d) Yang lebih tua mempunyai kedudukan lebih tinggi; Dapat
dipindahtangankan atau dialihkan kepada orang lain.50
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan kebendaan bergerak dan
jaminan kebendaan tidak bergerak. Untuk kebendaan bergerak, dapat dibebankan
dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia sebagai jaminan utang, sementara
untuk kebendaan tidak bergerak, dapat dibebankan dengan hipotek dan hak
tanggungan sebagai jaminan utang.
3) Asas-Asas Hukum Jaminan
Menurut H. Salim HS, terdapat 5 (lima) asas-asas hukum jaminan, yaitu:
a. Asas Publicitet,
yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia, dan
hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak
ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan
pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan
di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan
di depan pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar;
b. Asas Specialitet,
50
yaitu bahwa hak tanggungan, hak fidusia, dan hipotek hanya dapat
dibebankan atas barang-barang yang sudah terdaftar atas nama orang
tertentu;
c. Asas tak dapat dibagi-bagi,
yaitu asas yang dapat dibaginya hutang tidak dapat mengakibatkan dapat
dibaginya hak tanggungan, hak fidusia, hipotek, dan hak gadai walaupun
telah dilakukan pembayaran sebagian;
d. Asas inbezittstelling,
yaitu barang jaminan (gadai) berada pada penerima gadai;
e. Asas horizontal,
yaitu bangunan dan tanah bukan merupakan satu kesatuan. Hal ini dapat
dilihat dalam penggunaan hak pakai, baik tanah Negara maupun tanah
hak milik. Bangunannya milik dari yang bersangkutan atau pemberi
tanggungan, tetapi tanahnya milik orang lain, berdasarkan hak pakai.51
B.Tinjauan Umum Tentang Hak Tangungan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan
Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
selanjutnya disebut UUPA maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum
tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah baru yang diberi nama hak tanggungan,
sebagai pengganti lembaga hipotik dengan hak milik, hak guna usaha dan hak
guna bangunan. Munculnya istilah hak tanggungan itu lebih jelas setelah
51
UUPAtentang hak tanggungan telah diundangkan pada tanggal 9 April 1996 yang
berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang tersebut. Menurut Kamus Bahasa
Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barangyang dijadikan jaminan.
Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima.52
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (droit de preference) atau
mendahulu kepada pemegangnya. Apabila debitur cidera janji, kreditur
pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum
tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-Pasal 1 ayat (1) UUPA menjelaskan bahwa Hak Tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain.
Dalam penjelasan umum UUPA butir 6 dinyatakan bahwa hak tanggungan
yang diatur dalam Undang-Undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan yang
dibebankan pada hak atas tanah. Namun pada kenyataannya seringkali terdapat
benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap
merupakan satu kesatuan dengan tanah yangdijadikan jaminan tersebut.
Penjelasan Umum UUHT angka 3 menyebutkan Hak Tanggungan sebagai
lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, mengandung ciri-ciri :
52
undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada
krediturkreditur yang lain". Hak mendahulu dimaksudkan adalah
bahwakreditur pemegang hak tanggungan didahulukan dalam mengambil
pelunasan atas hasil penjualan eksekusi objek Hak Tanggungan.
b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun objek
itu berada (droit de suite). Pasal 7 UUHT menyebutkan bahwa hak
tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek
tersebut berada. Hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga
(dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja
mengikuti orang yang mempunyainya.
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan
Umum UUHT angka 3 huruf c.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur cidera janji
menurut Pasal 6 UUHT, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut. Sedangkan Pasal 14 UUHT menegaskan bahwa
Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang
tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hypotheek sepanjang
mengenai hak atas tanah.53
2. Asas-Asas Hak Tangungan
Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga Hak Jaminan Atas Tanah
untuk pelunasan utang tertentu mempunyai beberapa asas, yaitu sebagai berikut:
a. Droit De Preference
adalah hak kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk menjual lelang
harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan dan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, jika
debitur cidera janji. Dalam pengambilan pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak
mendahulu daripada kreditur yang lain.
b. Droit De suite.
Hak Tanggungan tetap membebani objek Hak Tanggungan di tangan
siapapun benda tersebut berada. Ketentuan ini berarti bahwa kreditur
pemegang Hak Tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut,
biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain. Dua kedudukan
istimewa yang ada pada pemegang Hak Tanggungan tersebut mengatasi
dua kelemahan perlindungan yang diberikan secara umum kepada
kreditur oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut bila hasil
penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi piutang
semua kreditur maka tiap kreditur hanya memperoleh pembayaran
53
sebagian, seimbang dengan jumlah piutangnya masing-masing. Kalau
harta kekayaan tersebut berpindah kepada pihak lain, sehingga harta
bukan lagi kepunyaannya maka harta tersebut bukan lagi merupakan
jaminan pelunasan piutangnya. 54
c. Tidak dapat dibagi-bagi.
Dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT menyatakan Hak Tanggungan membebani
objek-objek tersebut secara utuh, jika kreditnya dilunasi secara
anggsuran, Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap membebani setiap
objek untuk sisa utang yang belum dilunasi.Sifat tidak dapat dibagi-bagi
dapat disimpangi, yaitu apabila Hak Tanggungan dibebankan pada rumah
susun atau beberapa hak atas tanah dengan syarat harus diperjanjikan
secara tegas dalam Akta Pemberian Hak tanggugan yang bersangkutan,
bahwa pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara
angsuran yang besarnya sama dengan nilai Hak Milik atas satuan rumah
susun yang merupakan bagian rumah susun yang dijaminkan atau nilai
masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian objek Hak
Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut,
dengan ketentuan bahwa kemudian Hak Tanggungan itu hanya
membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang
yang belum dilunasi. 55
d. Asas pemisahan horizontal.
54
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2008), hal. 54
55
Pembebanan Hak Tanggungan atas sebidang tanah tidak dengan
sendirinya meliputi bangunan, tanaman dan hasil karya yang dibangun
diatasnya. Pembebanan jaminan atas tanah tanpa diikuti dengan
bangunan, tanaman dan hasil karya yang dibangun diatasnya berarti Hak
Tanggungan hanya membebani tanah saja. Jika pembebanan Hak
Tanggungan meliputi tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya
yang dibangun diatasnya harus ditegaskan dalam akta. Walaupun pemilik
bangunan, tanaman dan hasil karya yang dibangun diatasnya bukan
pemilik tanah akan tetapi dimungkinkan untuk dapat menjaminkannya
dalam rangka memperoleh kredit yang diminta pemilik tanah.56
e. Accessoir.
Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi dan hapusnya Hak Tanggungan
ditentukan oleh adanya peralihan dan hapusnya piutang yang dijamin.
Tanpa adanya piutang tertentu yang secara tegas dijamin pelunasannya
tidak akan ada Hak Tanggungan. Asas spesialitas. Dalam akta
pembebanan Hak Tanggungan selain nama, identitas dan domisili
kreditur dan debitur wajib disebut juga secara jelas dan pasti piutang
yang mana yang dijaminkan beserta jumlahnya atau nilai tanggungannya.
Juga diuraikan secara jelas dan pasti mengenai benda-benda yang
ditunjuk menjadi objek Hak Tanggungan.
f. Asas publisitas.
56
Agar adanya Hak Tanggungan tersebut, siapa kreditur pemegangnya,
piutang yang mana dan berapa jumlahnya yang dijamin serta
benda-benda yang mana yang dijadikan jaminan, dengan mudah dapat diketahui
pihak yang berkepentingan, wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan
setempat, dengan dibukukan dalam Buku Tanah Hak Tanggungan dan
disalin catatan tersebut pada sertifikatnya.57
3. Subjek dan Objek Hak Tanggungan
Subjek Hak Tangungan adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang
hak tanggungan. Pasal 8 disebutkan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang
atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan.
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak
tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan diharuskan
ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak
tanggungan, Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat
didaftarkannya hak tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tesebut dengan sendirinya harus
ada pada waktu pemberi hak tanggungan di hadapan PPAT sedangkan kepastian
adanya kewenangan tersebut mengenai tanah harus dibuktikan dengan sertipikat
hak atas tanah yang bersangkutan. Pada saat didaftar itulah hak tanggungan yang
diberikan lahir.
57
Pada waktu hak tanggungan diberikan dihadapan PPAT kewenangan tersebut
tidak wajib harus dibuktikan dengan sertipikat. Kalau dilakukan dengan alat-alat
pembuktian lain, untuk dapat memberi keyakinan pada PPAT mengenai
kewenangan pemberi hak tanggungan yang bersangkutan. Dalam penjelasan Pasal
10 menunjuk pada bukti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, girik bukan merupakan surat tanda bukti pemilikan. Tetapi bisa
digunakan sebagai tambahan petunjukmengenai kemungkinan bahwa wajib pajak
sebagai tambahan petunjuk mengenai kemungkinan bahwa wajib pajak adalah
pemilik tanah yang bersangkutan.58
a. Hak Milik.
Berdasarkan Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUHT yang mengatur
mengenai objek hak tanggungan yaitu :
b. Hak Guna Usaha.
c. Hak Guna Bangunan.
d. Hak Pakai, baik hak atas tanah negara.
e. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
Dari kelima hak atas tanah tersebut, maka yang memerlukan penjelasan
lebih lanjut adalah mengenai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan
hak pakai, sedangkan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
yang telah cukup jelas. Keempat hak atas tanah tersebut disajikan berikut ini :
1) Hak Milik
58
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan
dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan
kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan tidak mengganggu hak orang lain.
2) Hak Guna Usaha
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara, meliputi
bidang pertanian, peternakan, pekerbunan, perikanan.luas minimum lima
hektar untuk perorangan dan luas maksimum 25 hektar untuk badan
usaha. Luas maksimum ditetapkan oleh menteri negara agraria.
3) Hak Guna Bangunan
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri selama jangka waktu tertentu.
4) Hak Pakai, baik hak atas tanah negara.
Hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang member wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat.
5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
Hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dinyatakan
dengan tugas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah
yang bersangkutan.
4.Proses Pembebanan Hak Tanggungan
Proses pembebanan Hak Tanggungan menurut Penjelasan Umum angka 7
a. tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian
Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya
disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang
dijamin;
b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
PPAT/Pembuat Pejabat Akta Tanah adalah sebagai pejabat umum yang
diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta
pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan. PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja. Ia hanya berwenang
membuat akta mengenai tanah yang ada di wilayah daerah kerjanya, kecualidalam
hal-hal khusus dengan ijin Kepala Kantor BPN Wilayah Propinsi. Akta yang
dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik.
Pasal 11 ayat (1) UUHT menyebutkan bahwa Akta Pemberian Hak
Tanggungan wajib mencantumkan :
1) Nama dan identitas pemegang dan pemberi hak tanggungan. Apabila Hak
Tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain
daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah
pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut;
2) Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di
dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili
pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
3) Penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). Penunjukan
utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf
ini meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan;
4) Nilai tanggungan;
5) Uraian yang jelas mengenai objek hak tanggungan. Uraian yang jelas
mengenai objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini
meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan
atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian
mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan luas tanahnya.
Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh
PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila objek
hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum
dilakukan pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan
pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam pemberian hak tanggungan
di hadapan PPAT, wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dan penerima hak
tanggungan dan disaksikan oleh dua orang saksi.59
59
Menurut Pasal 13 UUHT, Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
penandatanganan APHT, PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan
dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.Dengan pengiriman
oleh PPAT berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke
Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan
membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak
atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut
pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Mengenai tanggal buku-buku hak tanggungan adalah tanggal hari ke tujuh
setelah penerimaan secara lengkap suratsurat yang diperlukan bagi
pendaftarannya dan jika hari ke tujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang
bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Kepastian tanggal buku-tanah
itu dimaksudkan agar pembuatan buku-tanah Hak Tanggungan tidak berlarut-larut
sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi
kepastian hukum. Dengan adanya hari tanggal buku-tanah hak tanggungan, maka
hak tanggungan itu lahir, asas publisitas terpenuhi dengan dibuatnya buku-tanah
hak tanggungan dan hak tanggungan mengikat kepada pihak ketiga.
Menurut Pasal 14 ayat (1) UUHT. sebagai tanda bukti telah adanya hak
tanggungan, kepada pemegang hak tanggungan akan diberikan Sertipikat Hak
Tanggungan merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan, maka sertipikat
tersebut membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada.
Mengenai bentuk Sertipikat Hak Tanggungan, diatur lebih lanjut dalam
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan,
dan Sertipikat (seharusnya ditulis Sertipikat), bahwa Sertipikat Hak Tanggungan
itu terdiri atas salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dan dijahit menjadi satu dalam sampul dokumen
dengan bentuk sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996.
5.Lahir dan Berakhirnya Hak Tangungan
Menurut Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Hak Tangungan, terhadap
pembebanan Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selain
itu di dalam Pasal 13 ayat 5 jo Pasal 4 Undang-Undang Hak Tangungan tersebut
lahir pada hari dan tanggal buku tanah Hak Tanggungan lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya. Dengan demikian, Hak Tanggungan itu lahir dan
baru mengikat setelah dilakukan pendaftran, karena jika tidak dilakukan
pendaftaran itu pembebanan Hak Tanggungan tersebut tidak diketahui oleh umum
dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.60
60
Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT, berakhirnya atau hapusnya Hak
Tanggungan karena hal-hal sebagai berikut:61
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan (konsekuensi
sifat accessoir-nya)
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
Menurut Pasal 22 ayat (1) UUHT, setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor
Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas
tanah dan sertipikatnya. Permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dengan melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi
catatan oleh kreditur bahwa pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu lunas.
Apabila karena suatu hal sertipikat Hak Tanggungan dapat diganti dengan
pernyataan tertulis dari kreditur bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena
piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas (Pasal
22 ayat (4) UUHT). Apabila kreditur tidak bersedia memberikan pernyataan
sebagaimana dimaksud, maka pihak yang berkepentingan dapat meminta turut
campurnya pengadilan dengan cara mengajukan permohonan perintah pencoretan
tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
Hak Tangggungan didaftar (Pasal 22 ayat (5) UUHT). 62
61
Ibid.
62
Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang
dijadikan jaminan tidak menyebabkan hapusnyapiutang yang dijamin. Piutang
kreditur tetap ada tetapi tidak lagi mendapat jaminan secara preferen. Dalam hal
hak atas tanah berakhir jangka waktunya dan diperpanjang berdasarkan
permohonan yang diajukan sebelum berakhir jangka waktu tersebut, maka Hak
Tanggungan tetap melekat kecuali ada pembaharuan hak atas tanah menjadi baru
maka Hak Tanggungan semula membebani menjadi hapus sehingga harus
dilakukan pembebanan Hak Tanggungan baru. Dalam hal perpanjangan maupun
pembaharuan hak atas tanah dibutuhkan surat persetujuan kreditur selaku
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH TERHADAP PELAKSANAAN EKSEKUSI PERJANJIAN KREDIT DENGAN
JAMINAN HAK TANGGUNGAN DI BANK SUMUT
A.Prosedur Penjaminan berupa Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit di PT.Bank SUMUT Cabang Sukaramai
Proses Penjaminan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap
kegiatan, yaitu tahap Pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan kedua, tahap Pendaftaran Hak
Tanggungan, yang dilakukan di kantor Pertanahan. Tahap Pemberian Hak
Tanggungan diawali atau didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminanpelunasan utang tertentu. Janji untuk memberikan
Hak Tanggungan tersebut dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Tahapan ini dapat disimpulkan dari
ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang
dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian
utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang
menimbulkan utang tersebut.”
Dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui, bahwa
pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan terlebih dahulu dan janji yang
terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ini berarti setiap janji untuk
memberikan Hak Tanggungan terlebih dahulu dituangkan dalam perjanjian utang
piutangnya. Dengan kata lain sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat
dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan “janji” Pemberian Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berhubung sifat Hak
Tanggungan sebagai perjanjian accessoir. Menurut penjelasan atas Pasal 10 ayat
(1) UUHT, pemberiah Hak Tanggungan tersebut karenanya haruslah merupakan
perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin
pelunasannya. Implementasi dari ketentuan Pasal 10 UUHT tersebut dalam
praktek perbankan seperti pengikatan kredit di PT Bank SUMUT dapat dilihat
dari isi Prosedur perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang senantiasa
mencantumkan klasula tentang agunan, salah satu point penting yang diatur dalam
klausul ini adalah guna menjamin pembayaran utang debitur kepada bank dengan
semestinya, baik pinjaman pokok, bunga, denda, dan biaya-biaya lainnya, maka
debitur menyerakan agunan berupa tanah dan bangunan, tanaman dan hasil karya
yang ada di atasnya yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah tersebut dan
merupakan milik pemegang hak atas tanah, dan atas penyerahan tersebut akan
dibuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan atau Hak Tanggungan.63
Ditentukan dalam penjelasan atas Pasal 10 ayat (1) UUHT, yakni
perjanjian yang menimbulkan hubungan utang piutang ini dapat dibuat dengan
akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, bergantung pada
63
ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Ini berarti, bahwa
hubungan kedua utang piutang tersebut harus dibuat secara tertulis, tidak harus
dengan akta otentik atau akta notarial, bisa saja dibuat secara di bawah tangan,
seperti yang dipraktekkan di Kantor Bank Sumut Cabang Sukaramai Medan,
asalkan hal itu dilakukan sesuai ketentuan hukum yang mengatur materi
perjanjiannya, sepanjang materi perjanjiannya tidak diharuskan dituangkan ke
dalam akta otentik, maka materi perjanjian yang menimbulkan hubungan utang
piutang tersebut dapat dituangkan ataudibuat dengan akta dibawah tangan. Di
Kantor Bank Sumut Medan, kredit dengan plafon Rp. 50.000.000., (limapuluh
juta rupiah) perjanjian kreditnya dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan saja.64
Pada saat bank mendeteksi adanya gejala kredit bermasalah, kejujuran dan
watak kooperatif debitur mempunyai peranan yang menentukanagar supaya
mereka dapat menangani kredit tersebut secara cepat dan tepat. Untuk itu watak
merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan
atau menetapkan untuk memberikan kredit. Berikut beberapa kriteria yang
menjadi pertimbangan Bank Sumut dalam memberikan kredit yaitu :65
1) Karakter atau watak peminjam sangat mempengaruhi pengembalian
kredit. Seringkali terjadi tunggakan atau kemacetan kredit bukan
disebabkan kegagalan usaha tetapi dari watak orang tersebut. Disamping
itu beberapa watak debitur atau calon debitur yang dapat dijadikan
pedoman yang positif bagi bank dalam menilai permohonan kredit antara
64
Hasil Wawancara dengan Bapak Zulkifli Pulungan Selaku Kepala Divisi Hak Tanggungan PT.Bank SUMUT Cabang Sukaramai Medan
65
lain adalah belajar dari pengusaha lain; selalu menepati janji;
mendahulukan kepentingan perusahaan dari pada kepentingan pribadi;
berorientasi ke masa depan; kreatif; tanggap. Hemat, dan senang ilmu.
2) Kapasitas, Dapat diartikan dengan kemampuan, kesanggupan, yaitu
kemampuan calon debitur dalam mengembangkan dan mengendalikan
usahanya serta kesanggupannya dalam menggunakan fasilitas kredit yang
diberikan oleh bank.
3. Collateral atau jaminan atas setiap kredit Jaminan kredit adalah sumber
dana debitur untuk melunasi kredit. Apabila debitur tidak mampu
menyediakan dana untuk membayar bunga atau melunasi kredit dari hasil
usahanya sehingga kredit yang diberikan berkembang menjadi kredit
macet, maka kreditur dapat menjual barang jaminan.
4. Condition of economy and sector of business atau kondisi ekonomi
Apapun jenis dan bentuk fasilitas produksi yang dimiliki oleh debitur,
account officer harus meneliti kondisi ekonomi calon debitur, oleh
karenanya kondisi ekonomi yang menyangkut atau mempengaruhi atau
mendorong calon debitur perlu mendapat sorotan. Karena mungkin sekali
terdapat kondisi atau situasi yang memberikan dampak positif atau
negatif terhadap usaha calon debitur. Untuk itu mengenai aspek kondisi
ekonomi pemohon kredit yang dianalisa meliputi jenis usaha; bentuk
usaha atau group usaha lainnya; dan besarnya permohonan yang
5. Capital atau modal calon debitur Untuk memperoleh kredit calon debitur
harus memiliki modal terlebih dahulu. Jumlah dan struktur modal calon
debitur harus dapat diteliti untuk mengetahui tingkat rasio dan
solvabilitasnya, karena permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu
debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan
bayar kredit. Jadi, masalah likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan
usaha menjadi penting artinya dalam usaha untuk memperoleh kredit
yang diinginkan.
B.Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan bagi debitur dalam perjanjian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan di PT.Bank SUMUT Cabang Sukaramai
Pengertian eksekusi dalam perkara perdata tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Untuk itu pengertian eksekusi harus dicari di luar peraturan
perundang-undangan yang ada. Pengertian eksekusi menurut beberapa sarjana
hukum belum ada kesamaan pandangan. Pengertian eksekusi menurut R. Subekti
dikatakan bahwa “eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa
pihak yang dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela sehingga
putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum. Sejalan
dengan pendapat tersebut adalah pendapat Sudikno Mertokusumo yang
menyatakan “Pelaksanaan putusan/eksekusi ialah realisasi dari kewajiban pihak
yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan
Dalam membicarakan masalah eksekusi tentunya tidak terlepas dari
pengertian eksekusi itu sendiri, oleh karena itu ada beberapa pendapat ahli hukum
dari beberapa literature seperti terurai di bawah ini :
1. sesuai pendapat dari Ridwan Sahrani, bahwa eksekusi/pelaksanaan
putusan pengadilan tidak lain adalah realisasi dari pada apa yang
merupakan kewajiban dari pihak yang di kalahkan untuk memenuhi suatu
prestasi yang merupakan hak dari pihak yang di menangkan, sebagai
mana tercantum dalam putusan pengadilan.
2. Pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa pelaksanaan putusan hakim atau
eksekkusi pada hakikatnya adalah realisasi dari pada kewajiban dari
pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam
putusan tersebut.
3. Pendapat M. Yahya Harahap, bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum
yang di lakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu
perkara oleh karena itu eksekusi tidak lain dari pada tindakan yang
berkesinambungan dan keseluruhan proses hukum perdata. Jadi eksekusi
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata
tertib berita acara yang terkandung dalam HIR atau RBG.
4. Pendapat Soepomo, bahwa hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-
syarat yang di pakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang
berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila yang kalah
tidak bersedia dengan suka rela memenuhi putusan yang telah di tentukan
Dari beberapa definisi di atas jelaslah bahwa eksekusi merupakan upaya
pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam
perkara di pengadilan dengan melalui kekuasaan pengadilan sedangkan hukum
eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan hakim.
Namun yang dimaksud dengan eksekusi dalam hubungannya dengan Hak
Tanggungan tidaklah termasuk dalam pengertian apa yang dinamakan eksekusi
riil, karena eksekusi riil hanya di lakukan setelah adanya pelelangan. Eksekusi
dalam hubungannya dengan Hak Tanggungan bukanlah merupakan eksekusi riil
akan tetapi yang berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang objek Hak
Tanggungan yang kemudian hasil perolehannya dari penjualan objek
HakTanggungan tersebut dibayarkan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan,
apabila ada sisanya di kembalikan kepada debitur.66
Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan berbunyi “Apabila debitur
cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual
objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Pasal 14 ayat (2)
Undang-undang Hak Tanggungan menyatakan dengan tegas bahwa “Sertifikat
hak tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA’.
Pengaturan eksekusi jaminan dalam bentuk hak tanggungan, diatur dalam
Pasal 6 dan Pasal 14 ayat (2) j.o. Pasal 20 ayat (1) a Undang-undang Hak
Tanggungan.
66
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan,
Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu:
a. Pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan.
b. Eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat pada Sertifikat Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
UUHT; Irah-irah (kepala putusan) yang dicantumkan pada sertifikat Hak
Tanggungan memuat kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” dimaksudkan untuk menegaskan
adanya kekuatan eksekutorial pada sertifikat Hak Tanggungan, sehingga
apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga Parate Executie
sesuai dengan Hukum Acara Perdata, atau
c. Eksekusi di bawah tangan, yaitu penjualan objek Hak Tanggungan yang
dilakukan oleh Pemberi Hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan
dengan Pemegang Hak Tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh
harga yang tertinggi.
Adapun dalam ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan
dikemukakan tiga jenis eksekusi Hak Tanggungan yaitu:
1) Apabila debitur cidera janji, maka kreditur berdasarkan hak pemegang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UndangUndang Hak Tanggungan,
objek Hak Tanggungan dijual melalui pelangan umum;
2) Apabila debitur cidera janji, berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat
dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (2) UUHT dijual melalui pelelangan umum;
3) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan
objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan
demikian akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan harga
tertinggi
Proses Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh PT.Bank Sumut
Medan dapat dilakukan apabila si Debitur telah macet dalam membayar kredit
selama 6 (enam) bulan yang dimana kemudian PT.Bank Sumut selaku Kreditur
dapat langsung melakukan lelang setelah jatuh tempo tanpa diketahui oleh pihak
Debitur agar Hutang dari si Debitur dapat bisa langsung lunas. PT. Bank Sumut
langsung melakukan eksekusi karena langsung menggangap pihak Debitur sudah
tidak mampu lagi melakukan pembayaran kredit.67
Pada asasnya, pelaksanaan eksekusi harus melalui penjualan di muka
umum atau melalui lelang (pasal 1 ayat (1) UUHT). Dasar pikirannya adalah
diperkirakan, bahwa melalui suatu penjualan lelang terbuka, dapat di harapkan
akan diperoleh harga yang wajar atau paling tidak mendekati wajar, karena dalam
suatu lelang tawaran yang rendah bisa di harapkan akan memancing peserta lelang
lain untuk mencoba mendapatkan benda lelang dengan menambah tawaran. Hal
67
ini merupakan salah satu wujud bagi perlindungan undang-undang kepada
pemberi jaminan.
Proses Eksekusi yang dilakukan oleh PT.Bank Sumut dalam
mengeksekusi Hak Tanggungan adalah melalui lembaga KPKNL (Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). Dari hasil penjualan objek hak
tanggungan tersebut, PT. Bank Sumut selaku Kreditur berhak mengambil
pelunasan piutangnya.Dalam hasil penjualan itu lebih besar dari pada piutang
tersebut yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak
pemberi hak tanggungan.68
Dalam pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan
kewenangan kepada pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cidera janji.
Pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih
dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan
Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi Hak Tanggungan
yang di jadikan jaminan tersebut.
Eksekusi Hak Tanggungan harus melalui pelelangan umum. Agar
pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), maka Undang-
Undang Hak Tanggungan mengharuskan agar penjualan itu dilakukan melalui
pelelangan umum menurut tata cara yang di tentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sesuai yang di tentukan oleh pasal 20 ayat (1) UUHT.
68
Pemegang Hak Tanggungan Pertama tersebut cukup mengajukan
permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL) dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan yang telah di jadikan
jaminan oleh debitur. Oleh karena kewenangan pemegang Hak Tanggungan
pertama tersebut merupakan kewenangan yang di berikan oleh undang-undang
(kewenangan tersebut dipunyai demi hukum).
Pasal 1 Huruf 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 /Pmk.06/2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang j.o. Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 106/Pmk.06/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
KeuanganNomor 93/Pmk.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang,
menyatakan bahwa Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, yang
selanjutnya disebut KPKNL adalah instansi vertical Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara yang berada dibawah dan bertanggungjawab lansung kepada kepala kantor
wilayah.
Wewenang KPKNL diatur dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 8 (1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93 /PMK.06/2010.
Pasal 1 angka 15
Pejabat Lelang Kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang
Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela.
Pasal 8 ayat (1) dan (2)
1) Pejabat Lelang terdiri dari: a Pejabat Lelang Kelas I dan b. Pejabat Lelang
2) Pejabat Lelang Kelas I berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis
lelang atas permohonan Penjual/Pemilik Barang.
Berdasarkan kedua Pasal tersebut maka wewenang KPKNL adalah
melaksanakan lelang, baik Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan
Lelang Noneksekusi Sukarela, untuk semua jenis lelang atas permohonan
Penjual/Pemilik Barang Tugas dan fungsi KPKNL diatur sesuai dengan Pasal 30
dan Pasal 31 PMK No.135/PMK.01/2006 tanggal 22 Desember 2006.
Tugas KPKNL adalah melaksanakan pelayanan di bidang kekayaan
negara, penilaian, piutang negara, dan lelang. Dan untuk melaksanakan tugas
tersebut, KPKNL menyelenggarakan fungsi: inventarisasi, pengadministrasian,
pendayagunaan, pengamanan kekayaan Negara; registrasi, verifikasi dan analisa
pertimbangan permohonan pengalihan serta penghapusan kekayaan Negara;
registrasi penerimaan berkas, penetapan, penagihan, pengelolaan barang jaminan,
eksekusi, pemeriksaan harta kekayaan milik penanggung hutang/penjamin hutang;
penyiapan bahan pertimbangan atas permohonan keringanan jangka waktu
dan/atau jumlah hutang, usul pencegahan dan penyanderaan penanggung hutang
dan/atau penjamin hutang, serta penyiapan data usul penghapusan piutang negara;
pelaksanaan pelayanan penilaian; pelaksanaan pelayanan lelang; penyajian
informasi di bidang kekayaan Negara, penilaian, piutang Negara dan lelang;
pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang negara serta pemeriksaan
kemampuan penanggung hutang atau penjamin hutang dan eksekusi barang
jaminan; pelaksanaan pemeriksaan barang jaminan milik penanggung hutang atau
Lelang; inventarisasi, pengamanan dan pendayagunaan barang jaminan;
pelaksanaan pemberian pertimbangan dan bantuan hukum pengurusan piutang
negara dan lelang; verifikasi dan pembukuan penerimaan pembayaran piutang
negara dan hasil lelang; pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang.
Perwujudkan pertanggungjawaban atas penyelenggaraan tugas dan fungsi
KPKNL dansebagai pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 maka
disusun laporan akuntabilitas kinerja KPKNL untuk setiap tahun anggaran.
Dengan tersusunnya laporan akuntabilitas KPKNL diharapkan para pelaksana
tugas KPKNL dapat semakin terdorong dan termotivasi untuk meningkatkan
kinerja dengan demikian sasaran dan tujuan sebagaimana digariskan dalam visi
dan misi dapat tercapai. Selain itu, diharapkan pula berbagai kegiatan yang telah
dilaksanakan akan dapat dievaluasi, sehingga untuk pelaksanaan selanjutnya dapat
berjalan dengan lebih baik lagi.
C.Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi perjanjian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan di PT.Bank Sumut Cabang Sukaramai
Perlindungan hukum menurut Satjipto Rahajo, adalah untuk melindungi
kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. 69
69
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum , Cet. V (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 53
Sedangkan
perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon ada dua bentuk perlindungan
diberi kesempatan mengajukan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah
mendapat bentuk yangdefinitif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa. Kedua, perlindungan hukum represif yang bertujuan menyelesaikan
sengketa.70
Lembaga perbankan adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan
masyarakat, hal ini dikarenakan bank sangat membutuhkan masyarakat dalam
melakukan kegiatan usahanya. Guna tetap mempertahankan kepercayaan
masyarakat terhadap bank maka pemerintah harus melindungi masyarakat dari
tindakan lembaga ataupun oknum pegawai bank yang tidak bertanggung jawab.
Perlindungan terhadap nasabah dalam bidang pelayanan perbankan merupakan
suatu ketentuan yang tidak boleh diabaikan begitu saja, dikarenakan nasabah
merupakan unsur yang sangat berperan sekali dalam dunia perbankan, dalam ari
kata mati hidupnya perbankan bersandarkan pada kepercayaan dari pihak
masyarakat/nasabah. Dalam rangka pemberdayaan nasabah jasa perbankan, maka
Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang bertanggung jawab sebagai pelaksana
otoritas moneter sangat diharapkan sekali mempunyai kepeduliannya.
Denganberlakunya PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Dalam proses pemberian kredit yang dilakukan oleh pihak bank selaku
kreditur kepada debitur, kemungkinan terjadi resiko seperti kemacetan dalam
pelunasan hutang oleh debitur sangatlah besar. Sehingga diperlukan jaminan
kebendaan yang dipersyaratkan oleh bank kepada debitur guna menjamin
pelunasan kredit tersebut. Jaminan yang paling banyak digunakan adalah hak atas
tanah, karena nilai atau harganya yang cenderung meningkat.
70
Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah memberikan konsekuensi logis
terhadap pelayanan jasa perbankan yang ada. Oleh karena itu, pelaku usaha jasa
perbankan dituntut untuk :71
1. Memberikan pelayanan terbaik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan jasa yang diberikannya.
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
4. Menjamin kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan standar
perbankan yang sudan berlaku.
Dalam pelaksanaan perjanjian tidak tertutup kemungkinan terjadinya
pengingkaran perjanjian, yang lazimnya dalam bahasa hukum dikenal dengan
istilah wanprestasi diartikan sebagai kelalaian debitur untuk memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.72
Akibat hukum bagi pihak yang melakukan wanprestasi dapat berupa
gugatan oleh pihak yang dirugikan.Akan tetapi perlu diingat bahwa wanprestasi
tidak terjadi serta merta pada saat debitur lalai memenuhi kewajibannya.Hal
tersebut baru dianggap terjadi, apabila sudah ada teguran berupa somasi
pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada debitur.Tenggang waktu tersebut
berkaitan dengan asas itikad baik yang tertulis dalam pasal 1338 ayat (3) yang
2017 72
berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Ada empat
akibat apabila terjadi wanprestasi
a. Perikatan tetap ada
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (pasal 1243 KUH
perdata)
c. Beban risiko beralihuntuk kerugian debitur jika halangan itu timbul
setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan
besar dari pehak kreditur, oleh karena itu debitur tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perikatan timbal balikkreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberi kontra prestasi dengan
menggunakan pasal 1266 KUH perdata.
Disamping debitur harus menanggung hal tersebut diatas, maka yang dapat
dilakukan kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima
kemungkinan sebagai berikut (pasal 1276 KUH perdata)
1) Memenuhi/ melaksanakan perjanjian
2) Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi
3) Membayar ganti rugi
4) Membatalkan perjanjian, dan
5) Membatalkan perjanjian disertai ganti rugi.
Namun selain hal diatas perlu juga diingat mengenai ketentuan pasal 1266
persetujuan yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalannya harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus
dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya perjanjian
dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dimintakan dalam perjanjian,
hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan atas permintaan sitergugat
memberikan jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, namun
jangka waktu tidak boleh lebih dari satu bulan.”
Ketentuan dari pasal diatas berkaitan dengan perlindungan konsumen, oleh
karena itu dapat dilihat bahwa pembatalan perjanjian tidak boleh dibatalkan secara
sepihak, namun dimintakan pembatalan kepengadilan.Dengan demikian kita harus
menggugat untuk wanprestasi atau ingkar janji. Jadi,mencantumkan diperjanjian
sangatlah penting. Pasal 1234 KUHPerdata mengisyaratkan bahwa objek
perjanjian adalah pemenuhan prestasi berupa :73
a) Menyerahkan sesuatu
b) Melakukan sesuatu
c) Tidak melakukan sesuatu
Mekanisme yang digunakan dalam rangka perlindungan nasabah oleh
Bank Indonesia adalah sebagai berikut :
(1)Memperketat perizinan bank. Memperketat pemberian izin untuk suatu
pendirian bank baru adalah salah satu cara agar bank tersebut kuat dan
73
berkualitas sehingga dapat memberikan keamanan bagi nasabahnya.
Undang-Undang Perbankan menetapkan persyaratan yang harus dipenuhi
apabila suatu bank akan didirikan berupa persyaratan sebagai berikut :
(a) Susunan Organisasi
(b) Permodalan
(c) Kepemilikan
(d) Keahlian di bidang perbankan
(e) Kelayakan rencana kerja
(2)Memperketat pengaturan di bidang perbankan Pengaturan ini meliput i
ketentuan mengenai permodalan, manajemen, kualitas aktiva produktif,
likuiditas, rentabilitas dan lain-lainnya. Ketentuan pengaturan tersebut
baik secara langsung maupun tak langsung bertujuan melindungi pihak
nasabah.
(3)Memperketat pengawasan bank Dalam rangka meminimalkan resiko
yang ada dalam bisnis bank, maka pihak otoritas, khususnya Bank
Indonesia harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan tehadap
bank-bank yang ada baik terhadap bank-bank pemerintah maupun
terhadap bank swasta.
Hubungan hukum yang terjadi antara nasabah dengan bank dapat terwujud
dari suatu perjanjian (dalam hal perjanjian kredit). Pada pelaksanaanya PT.Bank
Sumut dalam melepaskan kreditnya lebih sering menggunakan perjanjian kredit
notariil, yaitu yang hanya boleh dibuat atau dihadapan notaris disamping itu ada
tersebut biasanya sudah berupa perjanjian baku yang dibuat dalam bentuk
formulir.Dalam perjanjian kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan dimana semua
isinya harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak,
walaupun salah satu pihak dalam hal ini pihak PT.Bank Sumut yang posisinya
lebih kuat daripada nasabah kredit. Bila dalam isi perjanjian kredit tersebut
semakin banyak mencantumkan klausula yangmembebankan/memberatkan
nasabah kredit maka kepentingan pihak Bank akan semakin terlindungi.74
Dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada PT. Bank Sumut Cabang
Sukaramai Medan, upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi nasabah dari
klausula baku dalam perjanjian kredit tersebut antara lain:75
(a)Perlindungan pada saat pembuatan dan perumusan Perjanjian Kredit
dengan Jaminan Hak Tanggungan oleh PT.Bank Sumut dalam
perumusan perjanjian kredit harus berdasar pada peraturan yang ada dan
tetap memperhatikan kepentingan nasabah yaitu adanya jaminan
kepastian hukum untuk memberi perlindungan nasabah. Isi dan bentuk
surat perjanjian diatur dalam SK Dir No. 27/162/KEP/DIR dan Surat
Edaran BI No. 27/7/UPPB tanggal 13 Maret 1995 tentang Kewajiban
Penyusunan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank. PT.Bank Sumut
sendiri.Setiap perjanjian yang berbentuk perjanjian standart didukung
oleh peraturan standart (General Condition), yaitu dengan
mencantumkan klausula yang mengandung perlindungan bagi pihak yang
74
Hasil Wawancara dengan Bapak Zulkifli Pulungan Selaku Kepala Divisi Hak Tanggungan PT.Bank SUMUT Cabang Sukaramai Medan
75
lemah. Perlindungan terhadap nasabah ini harus tercantum di dalam
rumusan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak, karena pada
hakekatnya adanya perjanjian standart tersebut adalah demi tercapainya
pemenuhan perjanjian sebagaimana disepakati oleh kedua belah pihak,
yaitu Bank dan nasabah kredit.
(b)Perlindungan terhadap Isi Perjanjian Kredit harus ditandatangani oleh
nasabah kredit dari PT.Bank Sumut. Perjanjian ini sudah disediakan oleh
pihak bank dan sudah tercetak dalam bentuk-bentuk formulir tertentu,
yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para
pihak hanya mengisikan data-data informatif saja dengan sedikit atau
tanpa perubahan klausula-klausulanya.
(c)Perlindungan dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit.
Dalam pelaksanaan perjanjian kredit antara nasabah dan PT.Bank Sumut
tak jarang sering timbul permasalahan yang dapat menghambat
pelaksanaan perjanjian kredit itu sendiri. Oleh karena itu PT.Bank Sumut
menyedikan kotak saran dan jika timbul permasalahan yang komplek
maka PT.Bank Sumut melaksanakan kebijakanyang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia yaitu PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah. PT.Bank Sumut berupaya untuk menyelesaikan
masalah sesuai dengan PBI No. 7/7/PBI/2005 yaitu apabila pengaduan
lisan harus diselesaikan dalam 2 (dua) hari kerja dan pengaduan tertulis
bank wajib menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari
umum pemberian kredit PT.Bank Sumut dijelaskan bahwa langkah
pertama yanmg dilakukan bila terjadi perselisihan dalam perjanjian yang
kredit antara PT.Bank Sumut dan nasabahnya adalah diselesaikan secara
musyawarah dan mufakat. Ini menunjukan adanya upaya penyelesaian
secara baik untuk melindungi kepentingan kedua belah pihak dalam
pelaksanaan perjanjian kredit tersebut. Selain itu ketentuan-ketentuan
dalam peraturan umum pemberian kredit tetap berlaku untuk segala
macam perjanjian kredit dengan ketentuan bahwa jika dalam suatu
perjanjian kredit terdapat ketentuan yang menyimpang dari peraturan
umum pemberian kredit ini, maka ketentuan-ketentuan itulah yang
berlaku. Jadi terdapat kejelasan peraturan yang digunakan dalam
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan
1. Prosedur Penjaminan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap
kegiatan, yaitu tahap Pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan kedua, tahap Pendaftaran Hak
Tanggungan, yang dilakukan di kantor Pertanahan. Tahap Pemberian Hak
Tanggungan diawali atau didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminanpelunasan utang tertentu. Janji untuk memberikan
Hak Tanggungan tersebut dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
2. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan oleh PT.Bank Sumut
Medan dapat dilakukan apabila si Debitur telah macet dalam membayar kredit
selama 6 (enam) bulan yang dimana kemudian PT.Bank Sumut selaku Kreditur
dapat langsung melakukan lelang setelah jatuh tempo tanpa diketahui oleh
pihak Debitur agar Hutang dari si Debitur dapat bisa langsung lunas. PT. Bank
Sumut langsung melakukan eksekusi karena langsung menggangap pihak
Debitur sudah tidak mampu lagi melakukan pembayaran kredit.
3. Dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada PT. Bank Sumut Cabang Sukaramai
Medan, upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi nasabah dari klausula