• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN MENURUT KETENTUAN HUKUM DI

C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

umumnya (gewonte) dan kebiasaan yang diatur dalam Pasal 1347 KUHPerdata

meupakan kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazom berlaku

digolongan tertentu (bestending gebruikelijk beding)22

Ketentuan mengenai pengaturan asas kepatutan dapat ditemukan di dalam

Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi

perjanjian, dimana asas ini ditekankan pada ukuran mengenai isi dalam perjanjian.

Dalam terapan praktis, asas kepatutan ini selalu dibandingkan dengna kesafaran

hukum masyarakat. Asas kepatutan ini harus dipertahankan, karena melalui asas

ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam

masyarakat

.

11. Asas Kepatutan

23

C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian .

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran kepatutan dalam

masyarakat, pedoman utamanya adalah rasa keadilan dalam masyarakat.

Suatu perjanjian agar dapat mengikat dan tidak menemui hambatan-hambatan

dalam pelaksanaannya harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Di

dalam Pasal 1320 KUHPerdata, disebutkan adanya empat syarat yang harus

dipenuhi agar suatu perjanjian sah, yaitu :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

22Ibid. Hlm. 113

23

2. cakap untuk membuat suatu perjanjian;

3. mengenai suatu hal tertentu;

4. suatu sebab yang halal24

Keempat unsur tersebut selanjutnya dakam doktrin ilmu hukum yang

berkembang digolongkan ke dalam : .

- unsur subjektif, yaitu dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak)

yang mengadakan perjanjian.

- Unsur objektif, yaitu unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung

dengan objek perjanjian25

Apabila salah satu unsur syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya

dapat dibatalkan, dan apabila salah satu unsur syarat objketif tidak terpenuhi maka

perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian dapat dikatakan sah jika telah

memenuhi semua ketentuan yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.

Untuk lebih jelas lagi, maka syarat-syarat tersebut akan diuraikan satu persatu

sebagai berikut :

.

a. Syarat Subjektif

Syarat subjektif dalam perjanjian yang terdapat dalam dua macam keadaan yakni :

a.1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Dengan sepakat yang dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian telah berspekat, setuju, seiya-sekata mengenai pokok-pokok dari

perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang lain, juga telah

24

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan ke-dua puluh lima. Pradyanya Paramitha. Jakarta. 1992. Hlm. 339

25 Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004. Hlm. 93

dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara

timbal balik. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-syarat

perjanjian.

Sepakat secara harfiah adalah persetujuan dari pihak-pihak yang mengadakan

perjanjian tersebut. Sehingga secara langsung dapat juga berarti bahwa

persetujuan itu sendiri lahir karena pihak merasa dapat menarik manfaatnya atau

memperoleh nilai tambah.

Pengertian dari segi juridisnya adalah kebebasan para pihak untuk memberikan

persetujuan. Secara mendalam dapat dikatakan, walaupun secara formal telah

dapat dibuktikan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan terlebih dahulu adanya

kata sepakat. Akan tetapi apabila dalam pelaksanaan suatu perjanjian berdasarkan

gugatan salah satu pihak yang ada dalam perjanjian tersebut ataupun pihak lain

yang merasa berkepentingan dengan adanya perjanjian tersebut, ternyata setelah

diadakan penelitian dapat diketahui bahwa kata sepakat itu lahir karena adanya

penipuan atau adanya berbagai cara yang terselubung maupun merupakan hasil

dari bentuk kekerasan atau paksaan, yang direkayasa sehingga tidak berbentuk

nyata.

Dengan diberlakukakannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti

bahwa para pihak pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Atau dengan

kata lain, para pihak dalam sautu perjanjian harus mempunyai kemauanyang

bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan ini

dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam, tetapi maksudnya meyetujui

Dalam hal ini A. Qirom S. Meila berpendapat bahwa kata sepakat mungkin

pula diberikan karena penipuan, paksaan, atau kekerasan. Dalam keadaan inipun

mungkin diadakan pembatalan oleh pengadilan atau tuntutan dari orang-orang

yang berkepentingan26

Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan

keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk

membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu itu

bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Menurut

Yurisprudensi, tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan .

Dari Pasal 1321 KUHPerdata dapat ditarik sebuah kesimpulan yang dimaksud

dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (pschis), jadi bukan

paksaan fisik. Misalnya, salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti

terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Dimana yang diancamkan itu harus suatu

perbuatan terlarang. Apabila ancaman tersebut merupakan tindakan yang

dibenarkan peraturan perundang-undangan, seperti ancaman akan digugat didepan

hukum, maka tidak dapat dikatakan suatu paksaan.

Kekhilafan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari

apa yang diperjanjikan atau sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi

objek perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian

tersebut. Kekhilafan haruslah sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak

khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.

26 A. Qirom. S. Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan. Liberty. Yogyakarta. 1985. Hlm. 10

mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaaian kebohongan

atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat27

Dari sudut pandang keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu

perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian dan nantinya akan terikat oleh .

Dalam ketentuan Pasal 1449 KUHPerdata menyatakan bahwa

“Perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan paksaan, kesilapan atau penipuan, menerbitkan hak

tuntutan untuk membatalkannya”.

Dengan demikian, maka ketidakbebasan seseorang dalam memberikan

perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak bebas

dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya.

Pembatalan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan.

a.2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Pihak yang membuat suatu perjanjian harus cakap menuru hukum. Pada

asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya,

adalah cakap menurut hukum dan dapat membuat perjanjian.

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian merupakan hal yang penting bagi

para pihak, sebab perjanjian menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan benda

kepada orang lain dan kewajiban untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Inilah

yang dikenal sebagai prestasi dalam perjanjian. Oleh karena itu, orang-orang yang

mengadakan perjanjian harus cakap, sebab perjanjian itu nantinya akan mengikat

para pihak sehingga harus mempunyai kesadaran tanggung jawab yang

dibebankan kepadanya.

27

perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menyadari benar tanggung

jawab yang diterima akibat dari perjanjian tersebut. Sedangkan dari ketertiban

umum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian mempertaruhkan

kekayaannya, maka orang tersebut haruslah orang yang sungguh-sungguh berhak

bebas berbuat dengan harta kekayaannya.

Dalam ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata “ Tiap orang berwenang untuk

membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Pada

dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap

menurut hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan

terjadinya perjanjian, kecuali terhadap orang-orang yang oleh undang-undang

dipandang tidak cakap untuk melakukan perbuatan tersebut. Bila ketentuan

tersebut tidak dipenuhi oleh para pihak maka dengan sendirinya perjanjian

tersebut tidak mungkin ada.

Ketentuan tersebut masih pula dibatasi oleh Pasal 1330 KUHPerdata yang

mengatur bahwa mereka tidak termasuk dalam golongan orang-orang sakit

ingatan, bukan termasuk orang yang bersifat pemboros dan ditetapkan oleh hakim

berada di bawah pengampuan ataupun perempuan bersuami. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata tersebut, dapat ditentukan orang-orang yang

tidak cakap untuk membuat perjanjian yaitu orang yang belum dewasa, mereka

yang ditaruh dibawah pengampuan, dan orang-orang perempuan, dalam hal-hal

yang ditetapkan oleh undang-undang telah melarang membuat

Batasan tentang usia dewasa memang terdapat perbedaan dalam beberapa

peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 330 KUHPerdata, seseorang telah

dikatakn dewasa apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah menikah.

Apabila belum memenuhi syarat tersebut, mereka masih dianggap belum dewasa

dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya atau kuratornya bagi mereka

yang berada dibawa pengampuan. Akan tetapi bukan tidak mungkin terjadi suatu

perjanjian yang dibuat oleh orang yang berusia dibawah usia 21 tahun dan tetap

diakui keabsahannya. Pada kenyataannya hal ini tidak begitu diperhatikan oleh

para pihak ataupun para penegak hukum.

Meskipun demikian, ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut tidak selalu

menjadi pedoman,karena ada beberapa pendapat sarjana yang berbeda tentang

batasan kedewasaan yang ditentukan KUHPerdata tersebut. Berkenaan dengan

hal ini, Imam Sudiyat mengatakan bahwa kedewasaan seseorang menurut Hukum

Adat dan Hukum Islam adalah seorang itu sudah akil baligh, yang sudah biasa

mencapai umur 15 tahun atau lebih mencapai perampungan status mandiri, lagi

pula sudah berumah tangga28

“Dalam sistem hukum perdata barat hanya mereka yang telah berada di bawah pengampuan saja yang dianggap tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Sedangkan orang-orang yang kurang sehat atau tidak sehat akal pikirannya yang tidak berada di bawah pengampuan

.

Selain orang-orang yang belum dewasa dianggap tidak cakap dalam berbuat,

demikian juga halnya dengan orang-orang yang berada di bawah pengampuan.

Dalam hubungan ini Syahrani berpendapat :

28

tidak demikian, perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidaklah hanya didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata. Tetapi perbuatan hukum itu tidak dapat dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlakukan untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata”.29

b. Syarat Objektif

Kecakapan seorang perempuan dalam membuat suatuperjanjian dijelaskan

oleh Pasal 108 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perempuan yang bersuami

yang akan membuat perjanjian memerlukan bantuan dan izin dari suaminya itu.

Perempuan yang telah menikah dianggap tidak cakap membuat perjanjian

sehingga harus mendapat bantuan dan izin suaminya.

Mengenai hal tersebut, perempuan yang telah menikah atau telah memiliki

suami sejak dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3

tahun 1963 yang menganjurkan kepada para hakim untuk tidak berpedoman

beberpa pasal dalam KUHPerdata karena tidak sesuai lagi dengan kepribadian

bangsa Indonesia.

Syarat objektif dalam perjanjian yang terdapat dalam dua macam keadaan yakni :

b.1. Mengenai suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang

harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian. Prestasi harus

tertentu atau setidak-tidaknya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus

cukup jelas, ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh itdak disebutkan asal dapat

dihitung atau ditetapkan. Syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat

29

ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban para pihak

apabila timbuk perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Hal ini merupakan isi

daripada Pasal 1333 KUHPerdata.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah walaupun bentuk fisik objek

perjanjian tidak kelihatan secara langsung, namun para pihak disyaratkan telah

mengetahui apa yang menjadi standarnya. Apabila perjanjian mengenai barang

maka barang tersebut haruslah barang-barang yang ada dalam perdagangan. Akan

tetapi, ukuran yang ada dalam dunia perdagangan sekarang ini telah berkembang

sedemikian rupa dan sangat bergantung pada kalangan yang

memperdagangkannya

Dengan kata lain, bahwa suatu perjanjian haruslah memiliki objek tertentu

sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda

yang sekarang ada dan nanti akan ada. Objek perjanjian tidak harus semula

individual tertentu, tetapi cukup kalau pada saat perjanjian ditutup jenisnya

tertentu30

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337

KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “suatu perjanjian tanpa

sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang,

tidaklah mempunyai kekuatan”. KUHPerdata tidak memberi pengertian maupun . Dengan demikian batasan suatu hal tertentu telah berubah yaitu asal

saja bukan sesuatu yang secara nyata dilarang dalam undang-undang, kepatuhan

atau pun kebiasaan untuk diperdagangkan.

b.2. Suatu sebab yang halal

30

definis dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja

dijelaskan pada Pasal 1335 KUHPerdata bahwa yang disebut sebab yang halal

adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab palsu dan bukan sebab yang terlarang.

Dalam uraian mengenai asas kebebasan berkontrak telah disinggung bahwa

pada dasarnya, hukum tidak memperhatikan apa yang ada dalam benak ataupun

hati seseorang. Hukum hanya memperhatikan apa yang tertulis, yang pada

pokoknya menjadi perikatan yang wajib dilaksanakan oleh debitor dalam

perjanjian tersebut. Oleh karena itu, maka selanjutnya dalam isi rumusan Pasal

1336 KUHPerdata menyatakan “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tapi ada sebab

lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah”.

Dari ketentuan pasal tersebut jelas dapat dilihat bahwa memang benar pada

dasarnya undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi

alasan atau dasar dibentuknya perjanjiaan tertentu, yang diantara para pihak

mungkin saja perjanjian yang dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak antara

kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang

mengadakan perjanjian,yang diperhatikan atau yang diawasi oleh undang-undang

ialah isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah

dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban

umum dan kesusilaan atau tidak.

Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab atau causa yang tidak halal ialah

bahwa perjanjianitu batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk

Dokumen terkait