• Tidak ada hasil yang ditemukan

d. Alat berkomunikasi dengan pelbagai etnis yang ada di Kalimantan Selatan,

JARINGAN ULAMA BANJAR

B. Syeikh Abdul Hamid Abulung (± 1735)

Dalam sejarah pemikiran keagamaan di Kalimantan Selatan pada abad XVIII terdapat tiga tokoh yang terkenal di masyarakat, yaitu Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdul Hamid, dan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari. Paham tasawuf wahdah al wujud di Kalimantan Selatan diperkenalkan melalui dua tokoh yang sangat berpengaruh, Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dan Syeikh Abdul Hamid Abulung.192

Pada masa pemerintahan Sultan Tahlilullah, Syeikh Abdul Hamid muda dan Muhammad Arsyad al-Banjari muda, keduanya sama diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut ilmu agama. Sepulang dari menuntut ilmu di tanah suci, Syeikh Abdul Hamid Abulung mengajarkan ilmu yang didapatkannya dari guru-guru beliau di tanah suci Mekah. Di antara ilmu-ilmu yang diajarkan oleh beliau adalah ilmu tasawwuf yang paling menonjol. Namun ilmu tasawuf yang diajarkannya kepada orang swam sangat berlainan dari pelajaran tasawwuf yang telah dikenal masyarakat selama ini. Beberapa ajaran yang diajarkan Datu Abulung dapat digambarkan sebagai berikut;

Tiada yang Maujud hanya Dia Tiada Maujud lainy-Nya Tiada aku melainkan Dia Dia adalah aku. Aku adalah Dia

Dalam pelajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit belum sampai kepada isi (hakikat). Pelajaran yang selama ini diyakini masyarakat umum adalah:

Tiada yang berhak dan patut disembah hanya Allah Allah adakah khaliq dan selain-Nya adalah makhluk Tiada sekutu bagi-Nya

Ajaran inilah yang dikatakan Datu Abulung hanya kulit, belum sampai kepada isi atau hakikat. Ajaran Datu Abulung itu merupakan hasil dari ajaran Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 H). Husein bin Mansur Al-Hallaj (858 H-922 H), yang

115 kemudian memasuki Indonesia melalui Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin di Sumatera dan Syeikh Siti Jenar di pulau Jawa.

Menurut cerita rakyat bahwa fatwa Syeikh Abdul Hamid sangat berbeda dari kebanyakan faham masyarakat pada waktu itu. Masyarakat yang menerima pernyataan Syeikh Abdul Hamid Abulung menjadi gempar pada waktu itu. Bahkan yang dikatakannya itu jadi bahan pembicaraan bagi masyarakat umum yang pada akhirnya sampailah berita itu ke telinga Sultan. Kemudian Datu Abulung dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perkataan/ajaran yang dibawanya.

Sebelum Datu Abulung hadir di hadapan Sultan, Sultan terlebih dahulu minta pendapat Syeikh Muhammad Arsyad tentang ajaran Datu Abulung itu. Setelah menelaah ajaran Syeikh Abdul Hamid, Syeikh Muhammad Arsyad mengambil kesimpulan bahwa ajaran yang disebarkan oleh Datu Abulung kepada orang awam itu bisa menyesatkan atau membawa kepada syirik dan merusak kehidupan beragama.

Adalah kewajiban ulama dan umara dalam melindungi keagamaan rakyat dari unsur-unsur yang membahayakan. Jika tidak dapat dengan jalan damai, maka lebih baik menyingkirkannya, sekalipun dengan kekerasan, karena hal itu merupakan sesuatu yang mungkar. Menolak mafsadah (keburukan) lebih didahulukan daripada mengambil manfaat. Melenyapkan seseorang untuk menyelamatkan orang banyak dibok hkan menurut hukum, malah terkadang wajib.

Berdasarkan keputusan Syeikh Muhammad Arsyad itulah Datu Abulung ditangkap dan dimasukkan ke dalam sebuah kurungan besi, kemudian direndam di sungai Martapura. Hal ini dilakukan Sultan Adam193 dalam kerangka menguji kebenaran keyakinan dan kebenaran perjalanan ilmu Syeikh Abdul Hamid Abulung. Di tengah perjalanan menuju istana ketika dia akan ditangkap dipasang perangkap yang apabila terpijak akan melesatlah sebilah tombak tajam yang akan menghujam ke tubuh orang yang menginjak perangkap tersebut. Saat itulah terbukti kebenaran ajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung. Ketika dia menginjak

193Berdasarkan wawancara dengan penjaga makam Syeikh Abdul Hamid pada tanggal 24 Juli 2004, di Desa Teluk Selong, Martapura, Kalimantan Selatan.

116 perangkap tersebut, tombak tajam tersebut memang melesat ke udara namun berhenti di udara kemudian jatuh ke tanah tepat di belakang tubuhnya.

Setelah ditangkap, Syeikh Abdul Hamid Abulung lalu dimasukkan ke dalam kurungan yang terbuat dari besi yang sangat berat, ukuran kurungan besi tersebut dibuat seukuran tubuhnya, hanya cukup untuk berdiri. Dengan kurungan itulah Syeikh Abdul Hamid Abulung ditenggelamkan ke dasar sungai bersama kurungan besi yang sangat berat tersebut.

Tanpa diketahui orang, suatu keajaiban terjadi. Apabila waktu subuh telah tiba kurungan besi yang sangat berat itu muncul di permukaan air sungai dan Syeikh Abdul Hamid Abulung melaksanakan kefardhuan shalat shubuh di atas air dan keluar dari kurungan besi. Setelah selesai melakukan ibadahnya masuk kembali ke dalam kurungan besi itu dan kurungan besi yang sangat berat perlahan tenggelam kembali ke dasar sungai. Demikian juga kurungan besi itu akan muncul ke permukaan air sungai apabila waktu shalat fardhu telah tiba dan apabila telah selesai melaksanakan kefardhuannya serta amal ibadah yang lainnya kurungan besi itu kembali tenggelam ke dasar sungai.

Diceritakan pula bahwa pada suatu malam menjelang waktu subuh sepuluh orang pencari ikan menjala di sekitar sungai tempat Syeikh Abdul Hamid Abulung ditenggelamkan. Sayup-sayup mereka mendengar suara azan. Perlahan-lahan mereka mendekati sumber suara azan tersebut, dari kejauhan mereka melihat keganjilan dan keanehan yang terjadi pada diri Syeikh Abdul Hamid Abulung. Sejak melihat keganjilan tersebut mereka mengangkatnya menjadi guru mereka. Dari tokoh ini mereka belajar berbagai ilmu pengetahuan agama Islam. Karena jumlah mereka sepuluh orang maka mereka dinamakan Orang Sepuluh. Selanjutnya setelah sekian lama belajar kepada Syeikh Abdul Hamid Abulung kesepuluh orang tersebut menjadi pengawal kerajaan Banjar.

Setelah direndam beberapa lama di air Datu Abulung tidak juga mati. Bahkan terjadi peristiwa ajaib, yaitu bila tiba waktu shalat, beliau keluar dari kurungan dan melakukan shalat di atas air. Peristiwa ini telah terjadi berulang-ulang, tanpa diketahui oleh Sultan. Karena direndam di air beliau tidak mati, maka Sultan memerintahkan algojo untuk memenggal kepala beliau. Di hadapan raja Datu

117 Abulung mengatakan bahwa beliau tidak dapat dibinasakan dengan alat apapun dan jika raja ingin membinasakannya haruslah dengan senjata yang berada di dinding rumah beliau dan menancapkannya di dalam daerah lingkaran yang tunjukkan di belikat beliau.

Singkat cerita, setelah Datu Abulung shalat dua raka’at senjata tersebut ditusukkan di tempat yang sudah ditunjukkan maka memancarlah darah segar dari situ. Namun yang sangat aneh dan mengagumkan adalah bahwa dari ceceran darah Datu Abulung tertulis kalimat:“Laa Ilaaha Mallah Muhammadur Rasulullah”. Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Rajiuun.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa penganut tasawuf sering diposisikan sebagai pihak “tertuduh”. Di Indonesia, belajar dari kasus Aceh, antara kubu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani (1630 M) dengan kubu Nurruddinal-Raniri, mempersentasikan terjadinya pertarungan antara kubu wujudiyah194 versus kubu tasawuf Sunni.195

Kasus yang sama terjadi juga di pulau Jawa. Di Jawa terjadi khususnya di wilayah Demak Jawa Tengah, paham wahdah al-wujud dilakukan oleh Syeikh Siti Jenar196, dan tasawuf Sunni dilakukan oleh Walisongo. Sebagaimana dalam kasus Aceh, penganut wahdah al-wujud di Jawa dituduh sebagai kafir dan penganutnya dihukum mati. Pelarangan dan hukuman mati terhadap penganut wahdah al-wujud di pulau Jawa ini tidak berarti bahwa paham tersebut sudah mati. Pada abad XIX, paham tersebut dihidupkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh Rangga Warsita

194Terminologi wujudiyah, sebutan bagi penganut paham wahdah al-wujud yang diperkenalkan

Ibnu ‘Arabi (560-638 H / l 165-1240M). Nurruddin al-Raniri lebih suka memakai term “wujudiyah”

untuk menyebut kubu Hamzah Fansuri dan para pengikutnya. Lihat Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syeikh Nurruddin al-Raniri, (Jakarta: Rajawali Press, 1983). DalamFat al-Mubin ‘ala Mulhidin, al-Raniri menuduh Hamzah Fansuri sebagai mulhid lagi zindiq.Lihat Tudjimah,Asrar al Ihsanfi Ma‘rifa al-Ruh wa al-Rahman, (Jakarta: 1961), hlm. 21

195J Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam, London, (Oxford: University Press, 1973), blur. 3. Menyebutkan bahwa tasawuf Sunni sebagai “ethical mysticism”ajaran tasawuf ini didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah Sebagaimana dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan

tabi’in.

196Pembahasan secara lengkap mengenai Syeikh Siti Jenar dapat dibaca dalam Abdul Munir Mulkhan, Syeikh Siti Jenar, Pergumulan Islam Jawa, (Yogyakarta: Bentang, 2000); Widji Saksono,

Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung: Mizan, 1995), him. 46

118 (1802 M-1873 M), dan dalam tradisi Jawa paham wahdah al-wujud populer dengan sebutan Manunggaling Kawula Gusti.197

Di Kalimantan Selatan kasus Syeikh Abdul Hamid yang dihukum bunuh karena dianggap oleh penguasa kerajaan/ kesultanan Banjar yakni masa Sultan Tamdjidillah (1734 M-l 759 M), sebagai penyebar ajaran yang menyesatkan. Atas fatwa Arsyad al-Banjari198 yang mengeluarkan fatwa hukum mati bagi Abdul Hamid. Menurut Karel A. Steenbrink terjadi perdebatan yang sangat sengit antara al-Banjari dan Haji Abdul Hamid. Mengenai peristiwa perdebatan tersebut, Steenbrink menginformasikan:

“Pada abad ke-19 di wilayah Kerajaan Banjar ada seorang bernama Haji Abdul Hamid yang mengajar tasawuf dengan isi antara lain: “Tiada maujud, melainkan Dia, tiada maujud yang lainnya. Tiada aku melainkan hanya Dia dan aku adalah Dia...”, tersiar pula, bahwa pelajaran orang selama ini hanyalah kulit, “syari’at”, belum sampai kepada isi, “hakikat”. Ketika Haji Abdul Hamid di panggil ke Sultan, ia menjawab: “Di sini tidak ada Haji Abdul Hamid. Yang ada Tuhan”. Ketika suruhan yang kedua memanggil, supaya bisa diperintah...” Akhirnya, atas

nasihat Syeikh Muhammad Arsyad, sultan mengambil keputusan untuk menghukum mati Haji Abdul Hamid. Makamnya sekarang masih ada, beberapa kilometer saja dari kampung Dalam Pagar.”

Informasi di atas mengindikasikan bahwa ajaran wahdah al-wujud senantiasa

dicurigai, karena berbeda dari “mainstream” keagamaan yang dibawakan para

ulama dan yang dilegalisasi oleh negara. Yang paling fundamental adalah kehadiran ajaran ini dianggap sebagai pengganggu hegemoni mainstream keagamaan yang

sudah “mapan”. Secara politis, kehadiran “wahdah al-wujud” merupakan

representasi perlawanan rakyat marginal, meminjam kata-kata Mohamad Sobary;

“perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni penguasa yang mendapat

“Lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wind Hidayat Jati, (Jakarta: UIP, 1988). Dan Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, (Yogyakarta: Bentang, 1996), h l m . 181-246.

198Lihat H. W. Muhd. Shagir Abdullah, Syeikh Muhammad Arsyad al- Banjari Matahari Islam,

(Pontianak: al-Fathanah, 1983), h l m . 25; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIIL: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 251-257.

119

dukungan dan legitimasi spiritual dari “dewan wali” sangat berpengaruh.”199 Di sini tampaknya kepentingan-kepentingan politik dan agama campur aduk menjadi satu dan sukar dipilah secara jelas. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit membedakan mana yang masuk dalam kepentingan politik. Namun yang Bering menjadi

“Korban” adalah kelompok-kelompok agama yang berada di luar “mainstream”.

Kritik Syeikh Abdul Hamid Abulung terhadap ajaran formal yang dianut elite politik dan ulama resmi kerajaan Banjar itu jelas terbaca dalam dialog antara Arsyad al-Banjari, Abdul Hamid dan elite politik dan ulama kerajaan Banjar ketika Abdul Hamid ditangkap dan menjalani hukuman mati.

Dalam dialog itu diceritakan bahwa sebelum Abdul Hamid menjalani hukuman ia menyampaikan tiga hal. Pertama, agar pejabat dan ulama Kerajaan Banjar berhenti melakukan penipuan, Kedua, agar mereka juga tidak merusak budaya dan peninggalan lama, Ketiga, ritual formal akan membuat orang menjadi mabuk do’a,

dan hanya ikut-ikutan menyembah Tuhan tetapi tidak mengenal siapa sesungguhnya Allah itu.

Syeikh Abdul Hamid adalah seorang tokoh dan ulama Banjar yang cukup kontroversial dalam percaturan kekuasaan di kerajaan Banjar, Syeikh Abdul Hamid adalah seorang yang kokoh dalam memegang prinsip ajaran yang diyakininya, khususnya dalam bidang tasawuf yang menjadi keahliannya. Ajaran tasawuf yang disebarkan dalam masyarakat Banjar adalah hampir sama dengan paham wahdatul wujud.

Paham ini secara sosiologis bagi masyarakat Banjar yang berada di daerah pedalaman bisa beradaptasi dengan situasi teologis yang lebih banyak dipengaruhi paham animisme. Apalagi jika dilihat secara geografis daerah penyebaran Islam dalam misi dakwahnya Syeikh Abdul Hamid banyak di daerah pedalaman, seperti daerah Kelua sebagai pusat dakwah Syeikh Abdul Hamid dan sekitar daerah Banua Lima.

199Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 95; Martin van Bruinessen, TarekatNaqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 202-205.

120 Secara pelan kondisi ini mempengaruhi situasi politik kerajaan yang membutuhkan suatu legitimasi masyarakat Banjar secara luas. Kekhawatiran para elite kerajaan Banjar terhadap situasi yang berkembang di masyarakat akan ajaran yang disebarkan oleh Syeikh Abdul Hamid Abulung yang tidak sesuai misi politik kerajaan Banjar memberikan dampak negatif terhadap stabilitas kerajaan di kemudian hari. Dengan demikian diperlukan tindakan pencegahan lebih awal agar situasi tersebut dapat dikendalikan. Hal ini dikarenakan kecenderungan sikap dan ajaran Syeikh Abdul Hamid Abulung yang lebih mengutamakan kesederhanaan dalam hidup sehari-hari daripada bangsawan kerajaan Banjar yang cenderung berperilaku hidup mewah, kelak akan menjadi bumerang dan persoalan sosial tersendiri.

Di sisi lain, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari juga berkepentingan agar pendekatan dan strategi dakwah yang dilaksanakannya melalui birokrasi kerajaan Banjar dapat berjalan dengan baik dan mulus. Situasi yang krusial ini tentunya menjadi penting untuk cepat diselesaikan. Namun akibat masing-masing pihak mempunyai prinsip yang tidak bisa dipertemukan, mengakibatkan korban di kalangan mereka yang tidak mempunyai kekuasaan politik.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Syeikh Abdul Hamid adalah ulama yang bebas tanpa keterkaitan dengan birokrasi kerajaan Banjar. Ajaran yang disebarkannya adalah bersifat sufistik, di mana sasaran dakwahnya adalah lebih pada masyarakat pedalaman yang relatif lebih bisa menerima dengan pendekatan seperti ini yang sekalipun secara politis berakibat tidak disenangi oleh pihak kerajaan Banjar.