• Tidak ada hasil yang ditemukan

d. Alat berkomunikasi dengan pelbagai etnis yang ada di Kalimantan Selatan,

ULAMA BANJAR DAN EKSISTENSINYA

C. Ulama dan Perhelatan Tradisi

Agama Islam berkembang dengan cepat setelah menjadi agama resmi kerajaan Banjar, yaitu sejak dinobatkannya Pangeran Samudra menjadi Sultan kerajaan Banjar dan bergelar Sultan Suriansyah. Perkembangan Islam semakin pesat di Kerajaan Banjar setelah Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari, dan Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari kembali dari Mekkah dengan membawa bekal pengetahuan agama Islam dengan membawa perubahan, baik dalam bidang pemerintahan kerajaan maupun dalam bidang pendidikan rakyat jelata.

Di bidang pemerintahan kerajaan dibentuk lembaga-lembaga Kadi dan Mufti, dan ditentukan pula persyaratan- persyaratan bagi seorang calon kepala wilayah. Seorang Kadi ialah seorang hakim tunggal yang memutuskan perkara berdasarkan hukum Islam dan berkedudukan pada beberapa tempat dalam wilayah kerajaan. Dalam memutuskan perkara seseorang, Kadi dibantu oleh para Penghulu yang tersebar di kampung-kampung. Untuk dapat diangkat menjadi Kadi maupun Penghulu diperlukan keahlian dalam hukum Islam, disamping pengetahuan ke-Islaman lainnya.

Tugas pokok seorang penghulu adalah dalam pelaksanaan kegiatan masyarakat sehari-hari, terutama yang menyangkut perkawinan dan kehidupan keluarga, sesuai yang dikehendaki oleh hukum Islam. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri sampai pengadilan, maka Penghulu dari desa istri dan Penghulu dari desa suami bertugas mendampingi kadi dalam proses pengadilan. Pengadilan ini akhirnya

80 dilembagakan oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi Kerapatan Kadi yang diiringi dengan beberapa perubahan.

Sebagai kepala seluruh para kadi yang tersebar di seluruh kerajaan, di Ibu kota kerajaan ditunjuk seorang Mufti. Mufti selain bertugas mengawasi pekerjaan Kadi juga bertugas sebagai Penasehat Sultan khususnya dalam masalah-masalah agama. Lembaga Mufti ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda ketika kerajaan Banjar dihapuskan. Sebagai kepala dari para Kadi menjelma menjadi Upperkadi, yang berkedudukan di Banjarmasin, dan belakangan dikenal sebagai Kadi Besar dan pengadilannya dinamakan Kerapatan Kadi Besar. Sebagai penasehat kepala pemerintahan, lembaga mufti ini diperluas sampai ke daerah- daerah, berkedudukan disamping tiap-tiap Landraad dan menjadi kepala dari seluruh penghulu-penghulu dalam wilayahnya sampai dihapuskan tidak lama menjelang Perang Dunia Kedua.

Penggunaan nama Kiai bagi jabatan kepala wilayah dalam lingkungan kerajaan sebenarnya sudah dimulai sejak penobatan Sultan Suriansyah. Nama jabatan ini dikenalkan oleh Khatib Dayan yang bertugas mendampingi Sultan yang berasal dari Jawa-Demak.

Pada dasarnya seorang kiai harus berpengetahuan yang cukup tentang hukum Islam dan cakap serta bijaksana dalam menjalankan pemerintahan. Persyaratan pengetahuan hukum Islam ini tentunya tidak mungkin dilaksanakan secara konsekuen pada permulaan pemerintahan Islam tersebut, tetapi dengan kedatangan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari persyaratan ini dipertegas. Sebelumnya, jabatan kepala wilayah banyak dipegang oleh orang-orang tertentu berdasarkan keturunan, sekarang terbuka kesempatan untuk menduduki jabatan tersebut bagi rakyat jelata yang memenuhi syarat pengetahuan. Penggunaan sebutan kiai sebagai nama jabatan kepala wilayah diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda hingga saat-saat terakhir tanpa mengaitkannya dengan syarat-syarat pengetahuan agama.

Dibentuknya lembaga Kadi, Penghulu, dan Mufti, dengan dipertegasnya syarat berpengetahuan hukum Islam bagi seorang kepala wilayah telah membuka kesempatan bagi kelompok agama. Sebelumnya dalam birokrasi kerajaan Banjar selama ini hanya terbatas pada kaum bangsawan dan keturunan tertentu dan

81 tertutup bagi kelompok agama. Kesempatan ini menjadi lebih terbuka lagi dengan dibukanya pengajian dan kegiatan keagamaan lainnya oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam berbagai bidang pengetahuan ke-Islaman yang dikuasainya.

Tidak lama setelah tiba di Martapura, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendirikan perkampungan di pinggiran Ibu kota kerajaan yang kemudian terkenal dengan nama kampung Dalam Pagar. Ia tinggal bersama istri dan anak-anak cucunya, di perbatasan yang merupakan hadiah dari Sultan. Ia juga mendirikan sebuah langgar tempat ia mengajarkan pengetahuan ke-Islaman.

Murid-muridnya berdatangan dari berbagai daerah, di kemudian hari banyak menghasilkan ulama-ulama yang tersebar ke seluruh pelosok Kalimantan. Murid-muridnya dalam periode pertama terdiri dari anak-cucunya sendiri dan keluarga Sultan. Ajarannya kepada anak-cucunya agar kawin di luar kampung halamannya telah membantu penyebaran murid-muridnya, yang kemudian meneruskan usaha gurunya dengan pengajian di tempat kediamannya masing-masing.

Banyak di antara murid-murid itu menjadi terkenal, sebagai Kadi, Penghulu, Mufti dan Kiai, atau sebagai pengajar(tuan guru) yaitu Khalifah yang ahli dalam tarekat dan mistik serta al‘alimu al‘allamah yang ahli dalam bidang-bidang pengetahuan ke-Islaman.

Pada masa Sultan Adam al-Wasik Billah (wafat 1857) diundangkan undang-undang Sultan Adam tahun 1835 M. yang mengatur pemerintahan kerajaan berdasarkan Islam. Undang-undang tersebut merupakan usaha mengkokohkan hukum Islam dalam kerajaan yang dirintis sejak kembalinya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari Mekkah. Selain menyebut beberapa materi hukum dan pernyataan tentang berlakunya ketentuan-ketentuan mazhab Syafi’i berkenaan dengan perkawinan dan kehidupan keluarga, undang-undang tersebut memuat pula perintah untuk membangun langgar (surau) pada tiap-tiap kampung untuk keperluan shalat beijamaah.

Sejak adanya perintah Syeikh Muhammmad Arsyad al-Banjari setiap kampung berusaha membangun langgar secara bergotong royong. Karena perkampungan penduduk umumnya dibangun memanjang sungai dan kemudian juga memanjang

82 tepi jalan raya, maka seringkali diperlukan lebih dari sebuah langgar untuk keperluan shalat berjamaah. Dengan dibangunnya langgar tersebut merupakan kenyataan bahwa sebuah langgar memerlukan seorang ulama yang bertugas menjadi imam dalam shalat berjamaah. Kebutuhan ini diisi oleh para ulama yang telah dididik di Dalam Pagar oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari atau para pewarisnya, ataupun di tempat-tempat lain oleh para ulama alumni Dalam Pagar. Para ulama yang ada pada setiap langgar, senantiasa mempergunakan sebagian waktunya untuk mengajarkan ilmunya kepada penduduk yang memerlukannya. Hubungan yang erat antara Ulama dan langgar ini pada akhirnya menjadi pola dalam pranata kehidupan suatu kampung atau anak kampung. Perkembangan selanjurnya. Di antara para ulama itu ada yang ditunjuk oleh Sultan untuk menjadi Penghulu, suatu kedudukan resmi yang lebih menambah wibawa ulama-ulama lain di desanya.

Selain wibawa yang dimilikinya, terdapat golongan agama di kalangan rakyat, ada juga yang tergabung dalam birokrasi pemerintahan sebagai Mufiti, Kadi atau Penghulu. Namun ulama yang berada di luar struktur birokrasi berjumlah lebih banyak yaitu para imam-imam di langgar-langgar atau masjid- masjid, khatib-khatib, guru-guru mengaji dan guru-guru tarekat, yang tersebar di seluruh desa. Di antara mereka yang tidak tergabung dalam birokrasi itu ada yang berhasil dalam produksi pertanian atau perdagangan, sehingga berhasil menjadi orang kaya, sehingga dengan demikian menambah prestise sosialnya.

Ketika kerajaan Banjar dihapuskan (1860 M), perubahan besar terjadi di tingkat pemerintahan pusat dan daerah, namun tidak pernah terjadi di tingkat pedesaan. Peranan Sultan dan keluarganya ditiadakan, demikian juga pejabat birokrasi di tingkat pusat, dan diganti dengan pejabat-pejabat baru. Hanya pejabat agama yang tetap dipertahankan, baik di ibu kota maupun daerah. Pejabat-pejabat birokrasi diganti dengan orang-orang yang dididik khusus untuk keperluan itu. Pada akhirnya dalam struktur sosial muncul kaum elit baru yang terdiri dari kepala-kepala distrik (kiai-kiai baru) dan pegawai negeri, yang terutama terpusat di daerah perkotaan. Elit baru ini diangkat oleh pemerintahan Hindia Belanda, akan tetapi realitasnya tidak dapat menggantikan fungsi elite lama yang telah hapus. Kenyataan

83 ini menambah besar pengaruh elit lama, khususnya elite keagamaan yang terutama berada di wilayah pedesaan.

Kaum agama ini, pada zaman kerajaan dan permulaan zaman pemerintahan Hindia Belanda, merupakan kaum intelektual di desanya, tempat kemana penduduk sekitarnya mengajukan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-sehari untuk meminta saran-saran, di samping belajar ilmu agama. Pengetahuan yang luas tentang ilmu falak membantunya untuk memperhitungkan kapan mulai hujan dan dengan demikian juga menentukan kapan usaha bertani dimulai.

Lazim juga penduduk meminta nasehat kaum agama bagaimana menolak hama padi, meminta do’a restu agar laris berdagang, agar selamat dalam perjalanan, supaya disegani orang di rantau, mencegah pencurian tanaman di kebunnya, menyembuhkan penyakit, dan sebagainya. Segala praktek keagamaan yang mereka lakukan dan ilmu-ilmu yang menyangkut hal-hal gaib, menyebabkan kaum agama itu sangat dihormati dan disegani oleh penduduk di sekitarnya. Anggapan akan kebesaran jiwa seorang ulama dan adanya anggapan tentang kedudukannya yang sangat dekat dengan Tuhan berpengaruh sampai seorang ulama tersebut meninggal. Cerita-cerita tentang perbuatannya pada masa hidupnya yang beredar dari mulut ke mulut menyerupai dongeng, dan dipercaya sebagai keistimewaan tertentu yang dimiliki. Kuburan mereka dikeramatkan, sebagai tempat untuk melepaskan nadzar, meminta berkat dan sebagainya. Masyarakat masih berasumsi bahwa hubungan dengan para ulama yang sarat akan keistimewaan masih dapat diteruskan meskipun orangnya sudah meninggal dunia.

Di samping kedudukan sosial seperti digambarkan di atas ini terdapat juga hubungan yang terangkum dalam bidang pemberdayaan ekonomi. Bersedekah, membayar zakat harta atau zakat fitrah dianggap lebih utama kepada seorang ulama daripada kepada golongan penerima zakat dan sedekah. Penghormatan yang berlebihan terhadap Ulama yang biasa disebut Tuan Guru itu cenderung kepada suatu kepercayaan terhadap fatwa ulama sebagai suatu kebenaran yang tidak boleh disangkal. Penghormatan yang seperti ini rupanya ada juga terhadap golongan penduduk bukan asli yang berasal dari Arab (golongan Sayyid) yang biasa disebut

84 dengan panggilan Habib. Konon perbuatan jahat yang dilakukan terhadap mereka mengakibatkan kutukan atau katulahan.

Orang Banjar juga percaya terhadap adanya makhluk-makhluk halus yang menghuni hutan-hutan yang jauh dari pemukiman atau rumah-rumah. Datu, sekarang ini dikatakan masih menghuni Hutan Biru; suatu hutan lebat terletak kira- kira di sebelah timur kampung Sungai Batang, dimana konon sering terlihat bekas telapak kaki manusia dan jarak langkahnya lima sampai enam kali langkah kaki manusia. Dari bekas kaki ada di kampung Melayu tidak jauh dari batas kampung Dalam Pagar, yaitu dekat kuburan di tepi sungai yang sering ditaburi bunga oleh orang-orang di atasnya.

Dengan demikian hubungan ulama dengan tradisi yang ada di kerajaan Banjar terletak pada elaborasi misi Ulama mensikapi fenomena yang berkembang dalam masyarakat. Dengan misi yang dimilikinya, para ulama Banjar berusaha beradaptasi dengan lingkungannya. Keseimbangan antara kehidupan agama dan tradisi menjadi ciri khas keberhasilan ulama Banjar dalam melakukan misi dakwahnya.

85

BAB VI