• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan Permen PU No. 20 Tahun 2011 Tentang Pedoman Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi

TABEL 3-8 KEPADATAN PENDUDUK MENURUT DESA TAHUN 2010

JUMLAH PENDUDUK PRESENTASE (%)

1 Labuhan Tangga Kecil 25.00 5,26 1.806 2,65

2 Labuhan Tangga Besar 36.00 7,57 2.301 3,38

3 Bagan Punak 45.00 9,47 5.879 8,63 4 Bagan Hulu 60.00 12,62 10.730 15,76 5 Bagan Timur 45.00 9,47 7.533 11,06 6 Bagan Kota 1.50 0,32 4.258 6,25 7 Bagan Barat 12.00 2,52 13.441 19,74 8 Bagan Jawa 16.00 3,37 6.394 9,39 9 Parit Aman 65.00 13,68 3.127 4,59 10 LabuhanTangga Baru 9.60 2,02 1.224 1,80

11 Bagan Punak Pesisir 28.00 5,89 3.191 4,69

12 Bagan Jawa Pesisir 8.00 1,68 2.167 3,18

13 Bagan Punak Meranti 36.00 7,57 1.750 2,57

14 Serusa 58.00 12,20 2.098 3,08

15 Labuhan Tangga Hilir 30.16 6,35 2.192 3,22

Jumlah 475.26 100 68.091 100

Sumber : Kecamatan Bangko Dalam Angka Tahun 2011

TABEL 3-8 KEPADATAN PENDUDUK MENURUT DESA TAHUN 2010

NO KECAMATAN/DESA LUAS (KM2) JUMLAH PENDUDUK KEPDATAN PENDUDUK (JIWA/KM2)

1 Labuhan Tangga Kecil 25.00 1.806 72,24

2 Labuhan Tangga Besar 36.00 2.301 63,92

3 Bagan Punak 45.00 5.879 130,64 4 Bagan Hulu 60.00 10.730 178,83 5 Bagan Timur 45.00 7.533 167,40 6 Bagan Kota 1.50 4.258 2.838,67 7 Bagan Barat 12.00 13.441 1.120,08 8 Bagan Jawa 16.00 6.394 399,63 9 Parit Aman 65.00 3.127 48,11 10 LabuhanTangga Baru 9.60 1.224 127,50

11 Bagan Punak Pesisir 28.00 3.191 113,96

12 Bagan Jawa Pesisir 8.00 2.167 270,88

13 Bagan Punak Meranti 36.00 1.750 48,61

14 Serusa 58.00 2.098 36,17

15 Labuhan Tangga Hilir 30.16 2.192 72,68

Jumlah 475.26 68.091 5.689

Sumber : Kecamatan Bangko Dalam Angka Tahun 2011

3.3 Aspek Sosial Perekonomian

Berdasarkan mata pencaharian penduduk di wilayah Kecamatan Bangko, dominasi penduduk bekeja pada sektor pertanian. Hal ini merupakan ciri dari daerah yang berbasis pertanian. Persebaran penduduk pada suatu wilayah biasanya terkonsentrasi pada lokasi-lokasi tertentu seperti pusat kegiatan perdagangan dan jasa, pusat pemerintahan, lokasi-lokasi industri, maupun perkebunan. Di Kecamatan Bangko sendiri khususnya Desa Labuhan Tangga Kecil, Labuhan Tangga Besar, Bagan Punak, Bagan Timur, Bagan Jawa, Labuhan Tangga Baru, Bagan Punak Meranti, dan Labuhan Tangga hilir dengan kegiatan utamanya pengembangan pertanian tanaman pangan dan perkebunan kelapa sawit berskala besar, mampu menarik tenaga kerja dalam kapasitas besar.

Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi di Kecamatan Bangko ini mengakibatkan pula perlunya lapangan usaha baru untuk menyerap tenaga produktif yang tersedia. Tingkat penawaran tenaga kerja yang ada saat ini belum diimbangi dengan kesempatan kerja yang cukup sehingga dikhawatirkan timbul pengangguran. Dimasa depan, diharapkan kesempatan kerja akan terbuka lebar seiring dengan berkembangnya Kecamatan Bangko dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang ada seperti sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertanian tanaman pangan.

Untuk saat ini, sektor industri paling banyak menyerap tenaga keja dibandingkan sektor lain dengan keberadaan 26 perusahaan industri besar dan sedang, dan industri perkayuan paling banyak menyerap tenaga kerja sebanyak 1.683 orang dalam satu tahun. Selain itu masih terdapat pula unit usaha seperti pembuatan kapal kayu, pembuatan terasi, dan pengolahan kayu yang menyerap tenaga kerja sebanyak 7.959 orang dengan 2.439 unit usahanya. Industri-industri yang ada tersebut sebagian besar berada di Kecamatan Bangko. Dengan berkembangnya potensi-potensi lain, tentu industri-industri tersebut akan tersebar diseluruh kecamatan yang ada, dan industri perkayuan dimasa depan bukan lagi menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, tetapi diperkirakan akan beralih ke sektor pertumbuhan baru.

3.3.1 Sosial - Budaya

A. Sejarah Budaya

Secara historis, Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian dari kebesaran kerajaan Melayu Riau, hingga Johor dan Pahang. Kebesaran kerajaan melayu ini, menyatukan geografis 3 (tiga) negara asia yaitu Indonesia (kepulauan Riau, pulau-pulau Natuna dan Anabas di Laut Cina Selatan), Singapura atau Tumasik, dan Malaysia (kerajaan Johor dan Pahang). Hingga tanggal 21 Maret 1717 Kabupaten Rokan Hilir merupakan bagian dari kesultanan Johor sebelum dikalahkan oleh Kerajaan Siak Sri Indrapura. Setelah perjanjian London tahun 1824 antara Inggris dan Belanda, yang membagi Riau dan Lingga di bawah kekuasaan Belanda, dan Pahang Johor dibawah kekuasaan lnggris, maka Kabupaten Rokan Hilir berada dibawah Kerajaan Riau. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah administrasi Kabupaten Rokan Hilir masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Tengah, kemudian dimekarkan menjadi wilayah Provinsi Riau. Hingga tahun 1999 (sebelum dikeluarkannya UU No. 53 tahun 1999), wilayah Kabupaten Rokan Hilir termasuk wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis.

Cikal bakal berdirinya wilayah Rokan Hilir sendiri diperkirakan mulai tumbuh dan mengalami perkembangan yang relatif cepat sejak berdirinya Kerajaan Rokan pada abad ke XIV dengan pusat kerajaan terdapat di Kota Lama. Nama Rokan sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu Rokana yang berarti rukun damai. Dari nama tersebut dapat dipastikan bahwa pada masa itu domain agama (Islam) sangat mempengaruhi berbagai aktivitas masyarakat diberbagai bidang termasuk dalam perkembangan kota yang dicirikan dengan pola arsitektural permukiman yang bertipikal Melayu. Berdasarkan silsilah dinyatakan bahwa Raja Rokan merupakan keturunan dari Sultan Sidi.

Pada masa tersebut pula terjadi pertentangan didalam masyarakat dalam masalah kepercayaan. Raja Rokan yang beragama Islam tentu menginginkan semua masyarakatnya menganut agama yang ia anut pula. Namun dalam kenyataannya banyak pula masyarakat yang masih teguh memegang kepercayaan lama yang masih bersifat animisme sehingga mereka kemudian menyingkir dan terasingkan, yang pada saat ini dikenal dengan Suku Bonai yang bermukim di sekitar Rokan Kiri. Pada saat itu, Tanah Putih, Kubu, dan Bangko masih berada

pada wilayah kewalian Sultan Siak. Pada masa pemerintahan Kesultanan Johor hingga pemerintahan Kesultanan Siak Indrapura, wilayah Kabupaten Rokan Hilir diperintah oleh 3 Datuk (setingkat tumenggung) yaitu Datuk Tanah Putih, Datuk Kubu dan Datuk Bangko. Penggunaan nama administrasi pemerintahan 3 (tiga) kedatukan ini, tetap dipertahankan dalam sistem pemerintahan hingga saat ini dalam bentuk wilayah kecamatan Tanah Putih, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Bangko.

Pada masa penjajahan Belanda akibat tekanan yang dilakukan, Kesultanan Siak merubah struktur pemerintahan yang ada pada awalnya terdiri dari 10 provinsi, dijadikan beberapa distrik dan onderdistrik berdasarkan perjanjian tahun 1916. Untuk Kabupaten Rokan Hilir sendiri terdapat distrik Bagan Siapiapi yang terbagi menjadi onderdistrik Tanah Putih berkedudukan di Tanah Putih, onderdistrik Bangko yang berkedudukan di Bagan Siapiapi, dan ondersdistrik Kubu yang berkedudukan di Teluk Merbau. Fungsi daripada distrik sendiri merupakan perwakilan pemerintahan Kesultanan Siak untuk menjalankan pemerintahan di wilayahnya. Sedangkan kesatuan hukum terkecil adalah kampung yang dikepalai oleh datuk penghulu. Dalam sejarah perkembangan Kota Bagan Siapiapi, pada tahun 1946 terjadi perang antara etnis Cina dengan masyarakat Melayu. Perang ini terkenal dengan ”Perang Bagan” salah satu pemimpin dalam perang ini yang terkenal yaitu Pimpinan Tarekat Naksyahbandiyah Darusssalam, Khalifah Usman yang merupakan salah satu murid Tuan Guru Abdul Wahab Rokan. Para pejuang Melayu yang gugur dalam perang ini dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Bagan Siapiapi.

Pelabuhan Bagan Siapiapi merupakan pelabuhan dengan kegiatan perdagangan yang sangat ramai. Kegiatan perdagangan ini, didukung oleh keberadaan etnis Cina yang merupakan pengungsi dari perang candu di daratan indocina yang telah menetap lama di Bagan Siapiapi. Kegiatan perdagangan ini, telah terjalin erat antara Kesultanan Siak, Johor, Sriwijaya, Pelalawan, Indragiri, Pagaruyung, Deli Serdang, Banten, dan Mataram. Komidi utama yang menjadi andalan perdagangan Bagan Siapiapi adalah ikan. Menurut laporan pemerintahan kolonial Belanda tahun 1878, produksi ikan di Bagan Siapiapi, Sinaboi dan Panipahan sebesar 30.000 ton/bulan. Usaha perdagangan ini dilakukan oleh masyarakat Cina dan Melayu.

B. Karakteristik Budaya Masyarakat Melayu Rokan Hilir

Orang Melayu di Riau berdasarkan sejarah terdiri dari 2 (dua) golongan, yaitu Proto Melayu (Melayu Tua) dan Melayu muda. Golongan Melayu Tua ini, kedatangannya diperkirakan sekitar 2500 Sebelum Masehi. Puak Melayu Tua, sering diartikan sebagai masyarakat terasing yaitu Puak Melayu Sakai, Bonai, Akit, Talang Mamak, suku asli (hutan) dan suku laut (Kuala). Suku Bonai masih memiliki pertalian dengan suku Sakai. Dalam perkembangannya, ke-6 (enam) puak Melayu Tua melakukan asimilasi (pernikahan) dengan puak Melayu muda disekitarnya yang telah mendapatkan pendidikan sehingga mulai berangsur makin maju. Jenis suku yang tinggal di Kabupaten Rokan Hilir ini antara lain Puak Sakai, Akit, Bonai dan suku asli. Dalam kehidupan tradisional mereka, sangat didominasi oleh adat dan tradisi yang dikawal dan dipayungi oleh lembaga adat. Adat yang mengatur pergaulan masyarakat diantaranya nikah/perkawinan, tindak kejahatan, warisan dan hutan tanah. Sedangkan tradisi meliputi berbagai upacara seperti kelahiran, nikah/perkawinan, kematian, turun ke laut, pindah rumah dan sebagainya. Pengamalan Islam yang mewarnai adat dan tradisi ini, sangat dirasakan khususnya pada Puak Sakai dan Bonai. Pengamalan agama Islam Puak Sakai terdiri dari batin delapan dan batin lima. Pengislaman ini dimulai dari tahun 1902 - 1948 dan Tarekat Naksyahbandiyah Darusslam dibawah pimpinan seorang khalifah Ali Ibrahim berasal dari Rantau Kopar yang merupakan murid Tuan Guru Abdul Wahab Rokan. Oleh masyarakat Sakai, khalifah Ali Ibrahim diberi gelar Lebai Kramat.

Kehidupan tradisional dari masing-masing suku yang ada di Kabupaten Rokan Hilir, tergambar pada mata pencarian dan keterikatan dengan alam sekitar (sungai, huran dan laut). Dalam perkembangannya dengan berubahnya hutan yang selama ini mereka anggap sebagai hutan ulayat menjadi HPH/HPHTI dan perkebunan besar, semakin menyulitkan kehidupan mereka. Adapun pola kehidupan dari masing-masing puak ini, diantaranya sebagai berikut :

1. Puak Melayu Sakai memiliki kebiasaan berburu dan mengambil hasil hutan. Disamping itu, dalam bertani menanam sejenis ubi kayu yang mengandung racun (ubi Mangalo) guna tidak diganggu hama babi hutan. Untuk mengolah ubi ini untuk menjadi makanan pokok, dengan cara direndam dalam air selama 3 - 5 hari, kemudian diparut menjadi tepung;

2. Puak Bonai memiliki kebiasaan berdagang;

3. Puak Melayu Akit dan suku asli memiliki kebiasaan mengolah sagu. Kehidupan mereka umumnya berkelompok dan berpindah-pindah. Pola berpindah ini sebagai akibat adanya kematian yang dianggap membawa kesialan.

Berdasarkan data dari Departemen Sosial Kabupaten Bengkalis, masih terdapat suku tradisional atau masyarakat terasing yang jumlahnya 100 KK yang telah dibina di Kecamatan Tanah Putih. Tindakan ini, membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah berupa penyediaan fasilitas untuk berinteraksi dan kemudian aksesibilitas tanpa mengakibatkan terjadinya penurunan atau degradasi sistem nilai dan budaya yang telah berlangsung lama. Kebiasaan pola bertani/berladang berpindah dengan cara membuka hutan yang ada, apabila tetap dipertahankan akan menimbulkan eksternalitas negatif bagi pola penggunaan lahan setempat. Guna menghindari budaya ladang berpindah ini, sekaligus menjaga komunitas agar tidak tersingkir, diperlukan penyuluhan, bimbingan sosial, maupun bantuan sosial baik oleh pemerintah daerah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada dalam bentuk meningkatkan penyuluhan ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada beserta taraf hidupnya sesuai program pemberdayaan masyarakat.

Pola kehidupan masyarakat umumnya yang tinggal di Kabupaten Rokan Hilir saat ini, merupakan hasil dari proses asimilasi dan akulturasi dari masyarakat suku Melayu sebagai suku asli dengan masyarakat pendatang yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa akibat program transmigrasi.

Kesenian dan kebudayaan yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir sangat dipengaruhi oleh agama Islam, karena pada awal berdirinya Kerajaaan Rokan sistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan Islam. Pada masa penjajahan Belanda, kesenian dan kebudayaan dari masyarakat mengalami stagnasi akibat berbagai tekanan yang dilakukan oleh pihak penjajah. Namun demikian, kebudayaan barat pun turut mempengaruhi kesenian rakyat seperti dalam hal musik yang mengiringi tari-tarian yang mempergunakan biola. Tari-tarian rakyat sendiri pada umumnya menggambarkan pola kehidupan dan aktivitas sehari-hari seperti tari-tarian yang menggambarkan nelayan mencari ikan, pergi ke ladang atau lukah gilo.

C. Pola Pemanfaatan Ruang Tradisional

Pemanfaatan ruang tradisional Kabupaten Rokan Hilir, sangat terikat dengan alam di sekitarnya. Hal ini tercermin dari mata pencaharian penduduk yang mayoritas berusaha di bidang pertanian dalam arti luas dan hasil kehutanan. Di setiap permukiman, terdapat lahan pekarangan yang dimanfaatkan untuk menanam buah-buhan dan kelapa. Lahan pekarangan ini, merupakan tanah warisan yang dimanfaatkan secara bersama-sama untuk membuat rumah dan menanam tanaman bagi kepentingan bersama.

Pola pemanfaatan ruang pada areal permukiman tradisional memiliki ciri sebagai berikut :

 Umumnya tumbuh di sekitar daerah aliran sungai, yang merupakan bagian/halaman

depan areal permukiman;

 Areal permukiman terdiri dari mesjid, surau, tanah lapang, kantor penghulu dan lahan pekarangan yang dimanfaatkan untuk tanaman holtikultura;

 Lahan yang terdapat antara badan sungai dan areal permukiman, dimanfaatkan untuk budidaya padi yang dilakukan setahun sekali (pola tanam ini dinamakan

Pemberoan). Penanaman setahun sekali, dilakukan karena faktor lingkungan alam

seperti banjir pada musim hujan;

 Bagian/halaman belakang dari areal permukiman berupa lahan usaha dengan jenis komoditi yang dikembangkan secara berlapis, seperti lapis pertama untuk komoditi padi (ladang/sawah) dan lapis kedua untuk perkebunan karet. Batas terluar dari lahan usaha ini berupa hutan atau disebut masyarakat sebagai rimba simpanan. Pada umumnya, masyarakat yang bekerja sebagai nelayan memiliki daerah tangkapan ikan masing-masing, baik sungai maupun pesisir. Pengusaha/pemilikan areal tangkapan ikan ini, diatur pelaksanaannya oleh adat dan dihormati oleh masyarakat tempatan. Pengaturan ini juga berlaku untuk areal pengembalaan.

3.3.2 Perekonomian

Secara umum, hal yang terpenting dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi adalah bagaimana suatu perencanaan diarahkan untuk dapat memberikan akselerasi atau percepatan

terhadap pertumbuhan masing-masing sektor ekonomi sehingga dapat meningkatkan pendapatan bagi setiap sektor yang terdapat dalam perekonomian tersebut.

Namun dalam perencanaan pembangunan ekonomi suatu wilayah, saat ini perhatian diberikan tidak hanya pada perekonomian wilayah tersebut namun perhatian yang mendalam perlu juga diberikan kepada pengembangan ekonomi dari wilayah-wilayah lain yang memiliki keterkaitan dengan wilayah tersebut dan juga mencakup luas wilayah geografis yang lebih luas. Hal ini sebagai dampak dari semakin terspesialisasinya kegiatan setiap sektor ekonomi di setiap wilayah. Seringkali keterkaitan antar wilayah justru menjadi pemicu bagi perkembangan secara positif bagi wilayah-wilayah yang terkait. Bahkan dengan semakin berkembangnya teknologi, khususnya teknologi informasi dewasa ini menjadikan kegiatan produksi yang lintas wilayah atau daerah semakin mudah dan efisien. Distribusi persentasi PDRB secara sektoral menunjukan peran masing-masing sektor dalam pembentukan PDRB secara keseluruhan. Semakin besar persentasi suatu sektor maka makin besar pula pengaruh sektor tersebut dalam pembangunan ekonomi suatu daerah.

Oleh karena itu dengan melihat perkembangan suatu sektor dalam kurun waktu tertentu akan kurang tepat tanpa memperhatikan peranan sektor tersebut dalam PDRB secara keseluruhan dengan kurun waktu yang sama. Jadi kontribusi ini dapat dianggap sebagai penimbang apabila kita ingin melihat perkembangan sektor dengan lebih teliti. Dalam arti lain jika peranan suatu sektor besar dan terjadi perubahan kecil saja dalam sektor tersebut, maka akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan ekonomi daerah tersebut. Sebaliknya jika peranan suatu sektor kecil dan terjadi perubahan baik kecil maupun besar dalam sektor tersebut, maka pengaruh yang diakibatkan kurang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah biasanya diukur dengan besar kecilnya angka Pendapatan Perkapita (Pendapatan Regional Perkapita) yang diperoleh dari pendapatan regional dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Pendapatan regional perkapita merupakan gambaran pendapatan yang diterima oleh masing-masing penduduk sebagai keikutsertaannya dalam proses produksi. Sedangkan PDRB perkapita merupakan gambaran nilai tambah yang bisa diciptakan oleh masing-masing penduduk akibat adanya aktivitas produksi

Untuk lebih jelasnya bisa melihat pada Tabel berikut. Perkembangan PDRB Kabupaten Rokan Hilir Berdasarkan Harga Berlaku dan Tabel berikut. Perkembangan PDRB Berdasarkan Harga Konstan.

Di Kecamatan Bangko PDRB nya Pertanian lahan pangan yang meliputi padi, palawija dan holtikultura, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, karet dan pinang. Perkembangan perekonomian wilayah Kabupaten Rokan Hilir secara langsung merupakan bagian dari perekonomian Provinsi Riau, sehingga sistem perekonomian di Kabupaten Rokan Hilir mempunyai kaitan sangat erat dengan sistem perekonomian di Provinsi Riau pada umumnya. Untuk itu perlu kiranya ditampilkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dan Pendapatan per kapita se-Provinsi Riau sebagai referensi untuk menganalisis kaitan perekonomian Kabupaten Rokan Hilir sebagai bagian dari perekonomian Provinsi Riau.