• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian

8 Penyakit kulit dan jaringan subkutan 20 452

4.6. Tabulasi Silang

4.6.1. Tabulasi Silang Antara Pengetahuan dan Tindakan Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.

Hasil tabulasi Silang Antara Pengetahuan dan Tindakan Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut ini:

Tabel 4.12. Tabulasi Silang Antara Pengetahuan dan Tindakan Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.

No Pengetahuan Tindakan Pencegahan Penderita TB Paru Positif Cukup % Kurang % Jumlah %

1. Baik 2 5,6 34 94,4 36 100

70

Berdasarkan tabel 4.12. diketahui bahwa dari 36 responden yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 2 orang (5,6%) yang memiliki tindakan cukup. Dari 22 responden dengan pengetahuan cukup tidak ada (0,0%) yang memiliki Tindakan cukup.

4.6.2. Tabulasi Silang Antara Sikap dan Tindakan Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.

Hasil tabulasi silang antara sikap dan tindakan penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.dapat dilihat pada table 4.13 berikut ini:

Tabel 4.13. Tabulasi Silang Antara Sikap dan Tindakan Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012.

No. Sikap Tindakan Pencegahan Penderita TB Paru Positif Cukup % Buruk % Jumlah %

1. Baik 2 3,7 52 96,3 54 100

2. Cukup 0 0 4 100 4 100

Berdasarkan tabel 4.13. diketahui bahwa dari 54 responden yang memiliki sikap baik sebanyak 2 orang (3,7%) yang memiliki tindakan cukup. Dari 4 responden dengan sikap cukup tidak ada (0,0%) yang memiliki tindakan cukup.

71

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Responden

5.1.1. Gambaran Karakteristik Umur Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012

Berdasarkan tabel 4.5. tentang karakteristik responden diperoleh bahwa responden terbanyak berusia >30 tahun sebanyak 40 orang. Menurut Notoatmodjo (2003), makin tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun.

Penelitian Heryanto, (2001) di Kabupaten Bandung menemukan Karakteristik kasus kematian penderita TB paru hampir tersebar pada semua kelompok umur, paling banyak pada kelompok usia 20-49 tahun (58,3%) yang merupakan usia produktif dan usia angkatan kerja. Proporsi menurut jenis kelamin, laki-laki (54,5%) dan perempuan (45,5%). Sebagian besar tidak bekerja (34,9%) dan berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD) sebesar 62,9% .

Sedangkan hasil penelitian Hiswani (2010), penyakit TB-Paru paling sering ditemuka n pada usia muda atau usia produktif (15-50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.

72

Menurut Sarwono (2004) masa dewasa digolongkan pada umur dimulai dari 21 tahun dimana secara harfiah, dewasa berarti tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran sempurna. Masa dewasa adalah masa dimana seseorang mampu menyelesaikan pertumbuhan dan menerima kedudukan yang sama dalam masyarakat atau orang dewasa lainnya. Dari penelitian diatas menemukan seluruh responden berada pada usia dewasa yaitu di atas umur 21 tahun, dengan demikian gambaran dari penelitian diatas karateristik umur responden sesuai, bahwa responden paling banyak diatas umur 30 tahun yang menderita TB Paru Positif. Dari uraian ini maka dapat kita simpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya.

5.1.2. Gambaran Karakteristik Jenis Kelamin Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012

Jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki. Hasil penelitian Hiswani (2010), Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum laki-laki lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB Paru.

73

Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat TB Paru sesudah bersalin. Sementara di Afrika dan India tampaknya menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Pada wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai 60 tahun (Putra, 2011).

Penelitian Heryanto, (2001) di Kabupaten Bandung menemukan Karakteristik kasus kematian penderita TB paru yaitu Proporsi menurut jenis kelamin, laki-laki (54,5%) dan perempuan (45,5%).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chandra di RSUP Manado menemukan bahwa pada laki-laki mendapatkan TB Paru Pada kasus kontak 0,36 kali pada perempuan. Menurut Ismen MD (2000) dalam Chandra, dkk (2004) bahwa penelitian di negara maju didapatkan laki-laki memiliki resiko tertular akibat kontak lebih besar dari pada perempuan. Sebaliknya di negara berkembang diperkirakan sama, bahkan perempuan sedikit lebih banyak karena berbagai alasan sosial budaya. Peran perempuan di sini cukup penting, karena selain merawat penderita TB Paru di rumah, suka melakukan aktivitas rumah tangga untuk anak, suami dan anggota keluarga lain sehingga penularan dapat dengan mudah dan cepat menular ke anggota keluarga lain (Chandra, 2004).

Dari penelitian diatas dapat disimpulkan laki-laki lebih banyak mendapatkan TB Paru. Ini sesuai dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa gambaran jenis kelamin laki-laki lebih besar mendapatkan TB Paru positif dibandingkan dengan

74

perempuan. Pada pria prevalensi TB Paru cukup tinggi akibat dari konsumsi rokok yang cukup tinggi.

5.1.3. Gambaran Karakteristik Pendidikan Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012

Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin tinggi pula kesadarannya tentang hak yang dimilikinya, kondisi ini akan meningkatkan tuntutan terhadap hak untuk memperoleh informasi, hak untuk menolak/menerima pengobatan yang ditawarkan (Notoatmodjo, 2007). Menurut Kuntjoroningrat (1997) Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah seseorang tersebut menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan itu menuntun manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.

Tingkat pendidikan responden terbanyak adalah tamat SMA, Pendidikan dapat mempengaruhi daya intelektual seseorang dalam memutuskan suatu hal. Pendidikan responden yang kurang menyebabkan daya intelektualnya juga masih terbatas sehingga perilakunya sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya ataupun perilaku kerabat lainnya atau orang yang mereka tuakan. Pendidikan seseorang dikategorikan kurang bilamana ia hanya memperoleh ijazah hingga SMP atau pendidikan setara lainnya kebawah, dimana pendidikan ini hanya mencukupi

75

pendidikan dasar 9 tahun. Sementara pendidikan baru diajarkan secara lebih mendetail di jenjang pendidikan SMA ke atas (Depdiknas, 2007).

Menurut pendapat Azwar (2009) bahwa pemanfaatan seseorang terhadap sarana pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan sosial budaya. Bila tingkat pendidikan dan sosial budaya baik, maka secara relatif pemanfaatan pelayanan kesehatan akan tinggi. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Lukito (2003), dimana pemanfaatan masyarakat terhadap berbagai fasilitas pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin mudah seseorang untuk memahami sebuah perubahan dan manfaat sebuah perubahan, khususnya bidang kesehatan.

Pendidikan formal merupakan pendidikan terencana, terorganisir dan dilaksanakan di dalam kelas. Melalui proses ini sesorang belajar memperoleh pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai yang menghantarkan orang yang belajar tersebut kearah kedewasaan dalam bertindak. Dapat diartikan bahwa pendidikan formal merupakan sarana yang dapat mengubah pola pikir, sikap dan tindakan seseorang kearah kualitas pribadi yang lebih baik, dengan tingkat pendidikan formal yang semakin tinggi akan membantu seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman serta nilai-nilai yang akan membantu seserang berpikir rasional (Notoatmodjo, 2003).

Penelitian Heryanto, (2001) di Kabupaten Bandung menemukan Karakteristik kasus penderita TB paru hampir semua dengan berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD) sebesar 62,9% .

76

Dari gambaran karateristik tingkat pendidikan dalam penelitian diatas bahwa yang mendapatkan TB Paru lebih banyak pada tingkat pendidikan SMA. Jadi dapat diasumsikan ini sesuai dengan penelitian diatas bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi intelektual untuk merubah pola pikir penderita TB Paru yang berdampak pada kedewasaan dan kesadaran untuk mengutamakan dalam bertindak pentingnya sehat bagi dirinya dan keluarga.

5.1.4. Gambaran Karakteristik Pekerjaan Penderita TB Paru Positif Dalam Upaya Pencegahan Penularan Tuberkulosis Pada Keluarga Di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2012

Pekerjaan responden terbanyak adalah tidak bekerja. Pekerjaan merupakan suatu kegiatan aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pekerjaan berpengaruh terhadap kemampuan membayar (ability to pay) khususnya terhadap belanja kesehatan. Pekerjaan berkaitan juga degan sumber pembiayaan pada saat sakit. Responden yang bekerja mempunyai kematangan secara finansial dibandingkan yang tidak bekerja, maka akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan lebih mudah (Notoatmodjo, 2007).

Penelitian Heryanto, (2001) di Kabupaten Bandung menemukan Karakteristik kasus kematian penderita TB paru hampir tersebar pada semua kelompok umur, paling banyak pada kelompok usia 20-49 tahun (58,3%) yang merupakan usia produktif dan usia angkatan kerja. Proporsi menurut jenis kelamin, laki-laki (54,5%) dan perempuan (45,5%). Sebagian besar tidak bekerja (34,9%) dan berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD) sebesar 62,9% .

77

Dalam hasil penelitian diatas menunjukkan kesesuaian bahwa penderita tidak bekerja lebih banyak mendapatkan TB Paru.