59
Lihat Kvo ka Trial Judgement, para 320.
Komandan Khusus KOPKAMTIB Daerah Staff Komando Daerah untuk Peran Non-Militer (SKARDA) Komandan Khusus
KOPKAMTIB Wilayah Staff Komando Wilayah untuk Peran Non-Militer (SKARWIL)
banyak orang dalam suatu tindakan, dapat dianggap sebagai dampak dari sebuah
1
joint criminal enterprise. Persyaratan dari eksistensi perencanaan tidaklah mutlak,
2
mengingat pada dasarnya terjadinya tindak pidana tersebut dilakukan di luar dari
3
lingkup perencanaan yang absolut sistematis.
4
5
6
Keikutsertaan tertuduh dalam persiapan termasuk keterlibatan sebagai pelaku
7
dalam salah satu tindak pidana sebagaimana diatur dalam statuta (the
8
participation of the accused in the common design involving the prepetration
9
of one of the crimes provided for in the Statute).
10
Sebagai persyaratan ketiga yaitu keikutsertaan, tidak diperlukan adanya keterlibatan
11
pelaku secara langsung dalam tindak pidana secara spesifik seperti pembunuhan,
12
pembasmian, penyiksaan, perkosaan dan lain-lain, tetapi bisa saja dalam bentuk
13
memberikan bantuan atau kontribusi untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan
14
rencana umum atau tujuan.
15
Untuk menentukan seseorang itu terlibat atau tidak, dapat dilihat dari indikator
16
berikut:
17
(i) Berpartisipasi secara langsung dalam tindak pidana yang telah disepakati
18
bersama (sebagai sesama pelaku dalam arti luas) seperti menjadi pelaku pembantu
19
untuk suatu tindak pidana.
20
(ii) Dalam suatu waktu hadir ketika suatu tindak pidana dilakukan, dan (dengan
21
sepengetahuan dirinya bahwa kejahatan tersebut sedang terjadi atau malahan
22
secara aktif melibatkan diri) dengan niat memberikan bantuan atau meminta kepada
23
pelaku yang lain dalam joint criminal enterprises untuk terlibat dalam tindak pidana60
(iii) Dengan bertindak dalam suatu sistem yang sudah maju, yang mana keterlibatan
26
dalam suatu tindak pidana akan berkaitan dengan posisi, kewenangan atau
27
fungsinya, yaitu dengan sepengetahuan dari sistem yang ada (seperti menjadi
28
pembantu pelaku).
24
(seperti pemberi bantuan dan sebagainya).
25
61
Berdasarkan hal tersebut, di dalam suatu tindak pidana yang melibatkan satu atau
30
lebih pelaku lainnya di dalam joint criminal enterprise, maka semua pelaku dalam
31
enterprise dapat dipersalahkan telah melakukan suatu tindak pidana tanpa melihat
32
posisi atau peran masing-masing pelaku.
29
6234
33
35
36
37
Unsur Mens Rea (Elemen Mental)
38
Dengan memperhatikan berbagai ketentuan yang mengatur mengenai teori joint
39
ciminal enterprise, dalam tahun 1999, ICTY dalam suatu putusannya telah
40
mengidentifikasi adanya perbedaan mens rea, tergantung pada tindak pidana yakni
41
(1) terlibat dalam suatu persetujuan, atau (2) dalam konteks konsentrasi dalam
42
sebuah kamp, atau (3) yang dapat diduga.
43
Dalam kategori pertama, ketika tiga orang berencana untuk membunuh
44
orang lain dan masing-masing mempunyai peran, terhadap para pelaku
45
yang terlibat dalam perencanaan, semua mempunyai tujuan yang sama
46
dalam suatu tindak pidana (meski faktualnya kemungkinan satu atau lebih
47
sebenarnya sebagai pelaku langsung).
48
Dalam kategori ke dua, disebut sebagai “kamp konsentrasi” kasus,
49
keperluan mens rea meliputi pengetahuan mengenai apa yang disebut
50
60
Kvoka Trial Chamber even one step further, saying that it is possible to “aid or abet a joint criminal enterprise, depending primarily on whether the level of participation rises to that of sharing the intent of the criminal enterprise, para. 249.
61Krnojelac Trial Judgement, para. 81. 62
tindakan secara sewenang-wenang dan mempunyai niat ikut dalam
1
perencanaan secara umum dalam tindakan secara sewenang-wenang.
2
Niat di sini sebagai sebuah unsur abstrak dapat dibuktikan baik secara
3
langsung atau dengan menilik keterlibatan pelaku karena
4
kewenangannya dalam kamp atau secara hirarki dalam organisasi.
5
Dalam kategori ke tiga, sebagai contoh dalam kategori Essen Lynching,
6
diterapkan dalam kasus di mana si pelaku mempunyai niat untuk
7
mengambil bagian terlibat dalam joint criminal enterprise walaupun
8
anggota kelompok yang lain yang terlibat dalam tindak pidana tersebut
9
tidak mengetahui tujuan dari dilakukannya tindak pidana tersebut.63
Tidak diharuskan semua anggota yang terlibat dalam joint criminal enterprise
15
mempunyai tujuan yang sama atau mengetahui bahwa mereka terlibat dalam tindak
16
pidana dalam joint criminal enterprise. Berdasarkan pemikiran tersebut, peran dari
17
masing-masing terdakwa atau tertuduh setidaknya tetap harus bisa dibedakan:
10
Berkenaan dengan pertanggungjawaban (misalnya terhadap kematian
11
korban yang dapat dituduhkan kepada pelaku yang lain), bagaimanapun
12
juga setiap orang dalam kelompok tersebut harus dapat memprediksikan
13
akibat dari tindakan tersebut.
14
64
Sebagai pelaku pembantu dalam joint criminal enterprise karena
19
mempunyai tujuan yang sama untuk melakukan tindak pidana dalam joint
20
criminal enterprise di mana mereka terlibat dalam tindak pidana tersebut
21
atau sebagai pelaku secara tidak langsung dalam tidak pidana dimaksud.
22
18
Sebagai pemberi bantuan dan persekongkolan dalam joint criminal
23
enterprise, di mana yang perlu ditilik adalah kesadaran mereka
24
bahwasanya mereka telah berkontribusi dalam bentuk memberikan
25
bantuan atau fasilitas untuk terlibat dalam suatu tindak pidana dalam joint
26
criminal enterprise. Terhadap pemberi bantuan dan orang yang
27
bersekongkol tidak diperlukan adanya keterlibatan dalam perencanaan
28
dari pelaku pembantu tersebut.65
Dalam tataran hukum nasional, khususnya yang mengatur mengenai Pelanggaran
30
Hak Asasi Manusia yang Berat, ketentuan mengenai joint criminal enterprise dapat
31
ditemukan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
32
Pengadilan HAM yang menyebutkan bahwa: “percobaan, permufakatan jahat, atau
33
pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
34
atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana
35
dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.”
36
Berdasarkan konstruksi tersebut, maka banyak pihak yang tidak memiliki komando
37
langsung secara hubungan atasan-bawahan pun bisa dikenai tuntutan yang sama
38
sejauh mereka bisa dibuktikan keterlibatannya di dalam berbagai upaya percobaan,
39
permufakatan jahat atau pembantuan dalam arti luas. Oleh karena itu, maka pihak-
40
pihak yang misalnya memanfaatkan isu Petrus untuk menghabisi orang yang tidak
41
disukainya dengan cara-cara yang berkesesuaian dengan pola Petrus atau
42
meminjam tangan aparat dengan mempergunakan isu preman atau tattoo, dapat
43
dikategorikan sebagai pelaku juga.
44
29
Pada dasarnya, segala bentuk pelanggaran berat Hak Asasi Manusia menuntut
45
adanya pertanggungjawaban Negara, baik untuk pencegahan meluas atau
46
berulangnya pelanggaran-pelanggaran serupa lainnya, maupun juga untuk
47
menuntaskan pengusutannya yang berupa tindakan kepada para pelanggarnya dan
48
setidaknya upaya pemulihan (dalam arti luas) bagi para korbannya. Hal ini
49
berdasarkan teori du contrat social yang diterima sebagai basis filosofis keberadaan
50
Negara modern yang mengisyaratkan bahwa sebagai konsekuensi diberikannya
51
63
Tadic, Appeal judgement, para 196-204.
64 Ibid.
65
kewenangan pengaturan kehidupan bermasyarakat kepada pemerintahannya,
1
memberikan juga pertanggungjawaban Negara untuk memperhatikan keamanan,
2
perlindungan dan jaminan hak-hak dari para warganya tersebut. Selain itu Negara
3
dalam konteks perlindungan Hak Asasi manusia yang diakui secara universal adalah
4
sebuah entitas yang diberikan tanggung jawab untuk menjamin terselenggaranya
5
penghormatan, pemenuhan dan perlindungan bagi keseluruhan warga yang ada di
6
wilayahnya. Konsepsi demikian menimbulkan konsekuensi yuridis lebih jauh yaitu
7
kewajiban untuk mengakui setiap hak yang melekat kepada diri setiap orang.
8
9
10
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
11
12
Kesimpulan
13
14
Tindak Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
15
Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan maka, ditemukan fakta dan bukti
16
yang memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam
17
Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985. Hal ini terlihat dari
18
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok orang yang diduga mempunyai
19
kekuasaan dan kewenangan yang diberikan oleh penguasa Orde Baru saat itu untuk
20
melaksanakan tindakan penembakan misterius dengan alasan demi menjaga
21
keamanan dan kesatuan negara Republik Indonesia, sehingga dianggap perlu dan
22
penting melakukan sejumlah tindakan pembersihan negara dari sekelompok orang
23
yang diduga telah dan/atau sering melakukan tindak pidana yang meresahkan
24
masyarakat. Namun tindakan pembersihan tersebut dilakukan tanpa melalui proses
25
hukum yang sah, sehingga tidak satupun eksekusi yang telah dilaksanakan (yang
26
mengakibatkan hilangnya nyawa atau cacat atau hilangnya orang) berdasarkan
27
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap atau putusan pengadilan
28
yang inkracht.
29
30
Tim menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi kejahatan
31
terhadap kemanusiaan dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 –
32
1985 tersebut, dengan terpenuhinya unsur-unsur umum yaitu telah terbukti adanya
33
serangan yang dilakukan sekelompok orang yang merupakan bagian dari aparat
34
keamanan negara (TNI dan Polisi) dengan melakukan penangkapan, penahanan,
35
bahkan kemudian korban yang merupakan penduduk sipil ditemukan mati atau
36
cacat, atau bahkan hilang. Peristiwa ini terjadi hampir di seluruh Jawa dan Sumatera,
37
yaitu tepatnya di Yogyakarta, Bantul, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Bogor,
38
Mojokerto, Jakarta, Palembang, dan Medan. Tim kemudian memfokuskan
39
penyelidikan Khusus di wilayah DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk lebih
40
mendalami mengenai peristiwa penembakan misterius di kedua wilayah tersebut,
41
dan menemukan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan, tim
42
menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi kejahatan terhadap
43
kemanusiaan dalam peristiwa penembakan misterius 1982 – 1985 di kedua wilayah
44
tersebut.
45
46
Tindakan kejahatan yang dilakukan adalah pembunuhan atas 83 jiwa, penyiksaaan
47
terhadap 14 orang, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lain secara
48
sewenang-wenang terhadap 68 orang, dan penghilangan orang secara paksa
49
sebanyak 23 orang.
50
51
Korban dalam peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 ini adalah
52
sekelompok warga sipil yang berada di wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta,
53
Bantul, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Bogor, Mojokerto, Jakarta, Palembang,
54
dan Medan). Korban ditengarai adalah orang yang bermasalah dengan hukum atau
55
dianggap meresahkan masyarakat lainnya, yaitu biasanya korban dianggap sebagai
1
gali/bromocorah/preman/pencopet/residivis atau pelaku tindak pidana lainnya.
2
Biasanya korban mempunyai ciri-ciri fisik yaitu memiliki atau pernah memiliki tato.
3
4
Di dalam peristiwa Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985, pelaku
5
diduga adalah:
6
1. TNI, yaitu Koramil, Kodim, dan Kodam/Laksusda
7
2. Polisi, yaitu Polsek, Polres, dan Polda
8
3. Garnizun yaitu gabungan TNI dan Polisi
9
4. Pejabat sipil yaitu Ketua RT, Ketua RW, Lurah
10
11
Pelaku bertindak dalam konteks melaksanakan perintah jabatan di bawah kordinasi
12
Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia di
13
bawah komando dan pengendalian Presiden Republik Indonesia.
14
15
Selain para pelaku yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan dalam
16
pemerintahan di atas, maka ditemukan bukti adanya pelaku individu dari kelompok di
17
atas yang bertindak secara aktif atau disebut sebagai operator.
18
19
Rekomendasi
20
Berdasarkan hasil penyelidikan dan analisis yang menghasilkan kesimpulan di atas,
21
maka Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat
22
Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 mengajukan rekomendasi
23
sebagai berikut:
24
1. Meminta Sidang Paripurna Komnas HAM untuk menerima dan menyetujui
25
laporan penyelidikan ini dan meneruskannya kepada instansi yang berwenang
26
untuk melakukan proses hukum selanjutnya;
27
2. Meminta Sidang Paripurna Komnas HAM untuk:
28
a. Meminta Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan
29
Komnas HAM atas peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985
30
dengan proses penyidikan sesuai dengan ketentuan KUHAP dan Undang-
31
Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
32
b. Menyampaikan hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa
33
Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 kepada Presiden Republik
34
Indonesia dan DPR Republik Indonesia agar mempercepat proses hukum
35
atas Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 dengan
36
memberlakukan azas retroaktif yang diatur Pasal 43 Undang-Undang No.
37
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
38
39
40
Jakarta, 31 Juni 201241
42
TIM AD HOC PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
43
YANG BERAT PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS PERIODE 1982 – 1985
44
KETUA,45
46
47
48
YOSEP ADI PRASETYO