• Tidak ada hasil yang ditemukan

58 Tadic, Appeal Judgement, para 227.

Dalam dokumen 553556 Ringkasan eksekutif Petrus (New) (Halaman 44-48)

59

Lihat Kvo ka Trial Judgement, para 320.

Komandan Khusus KOPKAMTIB Daerah Staff Komando Daerah untuk Peran Non-Militer (SKARDA) Komandan Khusus

KOPKAMTIB Wilayah Staff Komando Wilayah untuk Peran Non-Militer (SKARWIL)

banyak orang dalam suatu tindakan, dapat dianggap sebagai dampak dari sebuah

1

joint criminal enterprise. Persyaratan dari eksistensi perencanaan tidaklah mutlak,

2

mengingat pada dasarnya terjadinya tindak pidana tersebut dilakukan di luar dari

3

lingkup perencanaan yang absolut sistematis.

4

5

6

Keikutsertaan tertuduh dalam persiapan termasuk keterlibatan sebagai pelaku

7

dalam salah satu tindak pidana sebagaimana diatur dalam statuta (the

8

participation of the accused in the common design involving the prepetration

9

of one of the crimes provided for in the Statute).

10

Sebagai persyaratan ketiga yaitu keikutsertaan, tidak diperlukan adanya keterlibatan

11

pelaku secara langsung dalam tindak pidana secara spesifik seperti pembunuhan,

12

pembasmian, penyiksaan, perkosaan dan lain-lain, tetapi bisa saja dalam bentuk

13

memberikan bantuan atau kontribusi untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan

14

rencana umum atau tujuan.

15

Untuk menentukan seseorang itu terlibat atau tidak, dapat dilihat dari indikator

16

berikut:

17

(i) Berpartisipasi secara langsung dalam tindak pidana yang telah disepakati

18

bersama (sebagai sesama pelaku dalam arti luas) seperti menjadi pelaku pembantu

19

untuk suatu tindak pidana.

20

(ii) Dalam suatu waktu hadir ketika suatu tindak pidana dilakukan, dan (dengan

21

sepengetahuan dirinya bahwa kejahatan tersebut sedang terjadi atau malahan

22

secara aktif melibatkan diri) dengan niat memberikan bantuan atau meminta kepada

23

pelaku yang lain dalam joint criminal enterprises untuk terlibat dalam tindak pidana60

(iii) Dengan bertindak dalam suatu sistem yang sudah maju, yang mana keterlibatan

26

dalam suatu tindak pidana akan berkaitan dengan posisi, kewenangan atau

27

fungsinya, yaitu dengan sepengetahuan dari sistem yang ada (seperti menjadi

28

pembantu pelaku).

24

(seperti pemberi bantuan dan sebagainya).

25

61

Berdasarkan hal tersebut, di dalam suatu tindak pidana yang melibatkan satu atau

30

lebih pelaku lainnya di dalam joint criminal enterprise, maka semua pelaku dalam

31

enterprise dapat dipersalahkan telah melakukan suatu tindak pidana tanpa melihat

32

posisi atau peran masing-masing pelaku.

29

62

34

33

35

36

37

Unsur Mens Rea (Elemen Mental)

38

Dengan memperhatikan berbagai ketentuan yang mengatur mengenai teori joint

39

ciminal enterprise, dalam tahun 1999, ICTY dalam suatu putusannya telah

40

mengidentifikasi adanya perbedaan mens rea, tergantung pada tindak pidana yakni

41

(1) terlibat dalam suatu persetujuan, atau (2) dalam konteks konsentrasi dalam

42

sebuah kamp, atau (3) yang dapat diduga.

43

 Dalam kategori pertama, ketika tiga orang berencana untuk membunuh

44

orang lain dan masing-masing mempunyai peran, terhadap para pelaku

45

yang terlibat dalam perencanaan, semua mempunyai tujuan yang sama

46

dalam suatu tindak pidana (meski faktualnya kemungkinan satu atau lebih

47

sebenarnya sebagai pelaku langsung).

48

 Dalam kategori ke dua, disebut sebagai “kamp konsentrasi” kasus,

49

keperluan mens rea meliputi pengetahuan mengenai apa yang disebut

50

60

Kvoka Trial Chamber even one step further, saying that it is possible to “aid or abet a joint criminal enterprise, depending primarily on whether the level of participation rises to that of sharing the intent of the criminal enterprise, para. 249.

61Krnojelac Trial Judgement, para. 81. 62

tindakan secara sewenang-wenang dan mempunyai niat ikut dalam

1

perencanaan secara umum dalam tindakan secara sewenang-wenang.

2

Niat di sini sebagai sebuah unsur abstrak dapat dibuktikan baik secara

3

langsung atau dengan menilik keterlibatan pelaku karena

4

kewenangannya dalam kamp atau secara hirarki dalam organisasi.

5

 Dalam kategori ke tiga, sebagai contoh dalam kategori Essen Lynching,

6

diterapkan dalam kasus di mana si pelaku mempunyai niat untuk

7

mengambil bagian terlibat dalam joint criminal enterprise walaupun

8

anggota kelompok yang lain yang terlibat dalam tindak pidana tersebut

9

tidak mengetahui tujuan dari dilakukannya tindak pidana tersebut.63

Tidak diharuskan semua anggota yang terlibat dalam joint criminal enterprise

15

mempunyai tujuan yang sama atau mengetahui bahwa mereka terlibat dalam tindak

16

pidana dalam joint criminal enterprise. Berdasarkan pemikiran tersebut, peran dari

17

masing-masing terdakwa atau tertuduh setidaknya tetap harus bisa dibedakan:

10

Berkenaan dengan pertanggungjawaban (misalnya terhadap kematian

11

korban yang dapat dituduhkan kepada pelaku yang lain), bagaimanapun

12

juga setiap orang dalam kelompok tersebut harus dapat memprediksikan

13

akibat dari tindakan tersebut.

14

64

Sebagai pelaku pembantu dalam joint criminal enterprise karena

19

mempunyai tujuan yang sama untuk melakukan tindak pidana dalam joint

20

criminal enterprise di mana mereka terlibat dalam tindak pidana tersebut

21

atau sebagai pelaku secara tidak langsung dalam tidak pidana dimaksud.

22

18

Sebagai pemberi bantuan dan persekongkolan dalam joint criminal

23

enterprise, di mana yang perlu ditilik adalah kesadaran mereka

24

bahwasanya mereka telah berkontribusi dalam bentuk memberikan

25

bantuan atau fasilitas untuk terlibat dalam suatu tindak pidana dalam joint

26

criminal enterprise. Terhadap pemberi bantuan dan orang yang

27

bersekongkol tidak diperlukan adanya keterlibatan dalam perencanaan

28

dari pelaku pembantu tersebut.65

Dalam tataran hukum nasional, khususnya yang mengatur mengenai Pelanggaran

30

Hak Asasi Manusia yang Berat, ketentuan mengenai joint criminal enterprise dapat

31

ditemukan dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang

32

Pengadilan HAM yang menyebutkan bahwa: “percobaan, permufakatan jahat, atau

33

pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8

34

atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana

35

dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.”

36

Berdasarkan konstruksi tersebut, maka banyak pihak yang tidak memiliki komando

37

langsung secara hubungan atasan-bawahan pun bisa dikenai tuntutan yang sama

38

sejauh mereka bisa dibuktikan keterlibatannya di dalam berbagai upaya percobaan,

39

permufakatan jahat atau pembantuan dalam arti luas. Oleh karena itu, maka pihak-

40

pihak yang misalnya memanfaatkan isu Petrus untuk menghabisi orang yang tidak

41

disukainya dengan cara-cara yang berkesesuaian dengan pola Petrus atau

42

meminjam tangan aparat dengan mempergunakan isu preman atau tattoo, dapat

43

dikategorikan sebagai pelaku juga.

44

29

Pada dasarnya, segala bentuk pelanggaran berat Hak Asasi Manusia menuntut

45

adanya pertanggungjawaban Negara, baik untuk pencegahan meluas atau

46

berulangnya pelanggaran-pelanggaran serupa lainnya, maupun juga untuk

47

menuntaskan pengusutannya yang berupa tindakan kepada para pelanggarnya dan

48

setidaknya upaya pemulihan (dalam arti luas) bagi para korbannya. Hal ini

49

berdasarkan teori du contrat social yang diterima sebagai basis filosofis keberadaan

50

Negara modern yang mengisyaratkan bahwa sebagai konsekuensi diberikannya

51

63

Tadic, Appeal judgement, para 196-204.

64 Ibid.

65

kewenangan pengaturan kehidupan bermasyarakat kepada pemerintahannya,

1

memberikan juga pertanggungjawaban Negara untuk memperhatikan keamanan,

2

perlindungan dan jaminan hak-hak dari para warganya tersebut. Selain itu Negara

3

dalam konteks perlindungan Hak Asasi manusia yang diakui secara universal adalah

4

sebuah entitas yang diberikan tanggung jawab untuk menjamin terselenggaranya

5

penghormatan, pemenuhan dan perlindungan bagi keseluruhan warga yang ada di

6

wilayahnya. Konsepsi demikian menimbulkan konsekuensi yuridis lebih jauh yaitu

7

kewajiban untuk mengakui setiap hak yang melekat kepada diri setiap orang.

8

9

10

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

11

12

Kesimpulan

13

14

Tindak Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

15

Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan maka, ditemukan fakta dan bukti

16

yang memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam

17

Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985. Hal ini terlihat dari

18

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok orang yang diduga mempunyai

19

kekuasaan dan kewenangan yang diberikan oleh penguasa Orde Baru saat itu untuk

20

melaksanakan tindakan penembakan misterius dengan alasan demi menjaga

21

keamanan dan kesatuan negara Republik Indonesia, sehingga dianggap perlu dan

22

penting melakukan sejumlah tindakan pembersihan negara dari sekelompok orang

23

yang diduga telah dan/atau sering melakukan tindak pidana yang meresahkan

24

masyarakat. Namun tindakan pembersihan tersebut dilakukan tanpa melalui proses

25

hukum yang sah, sehingga tidak satupun eksekusi yang telah dilaksanakan (yang

26

mengakibatkan hilangnya nyawa atau cacat atau hilangnya orang) berdasarkan

27

putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap atau putusan pengadilan

28

yang inkracht.

29

30

Tim menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi kejahatan

31

terhadap kemanusiaan dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 –

32

1985 tersebut, dengan terpenuhinya unsur-unsur umum yaitu telah terbukti adanya

33

serangan yang dilakukan sekelompok orang yang merupakan bagian dari aparat

34

keamanan negara (TNI dan Polisi) dengan melakukan penangkapan, penahanan,

35

bahkan kemudian korban yang merupakan penduduk sipil ditemukan mati atau

36

cacat, atau bahkan hilang. Peristiwa ini terjadi hampir di seluruh Jawa dan Sumatera,

37

yaitu tepatnya di Yogyakarta, Bantul, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Bogor,

38

Mojokerto, Jakarta, Palembang, dan Medan. Tim kemudian memfokuskan

39

penyelidikan Khusus di wilayah DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk lebih

40

mendalami mengenai peristiwa penembakan misterius di kedua wilayah tersebut,

41

dan menemukan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan, tim

42

menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa telah terjadi kejahatan terhadap

43

kemanusiaan dalam peristiwa penembakan misterius 1982 – 1985 di kedua wilayah

44

tersebut.

45

46

Tindakan kejahatan yang dilakukan adalah pembunuhan atas 83 jiwa, penyiksaaan

47

terhadap 14 orang, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lain secara

48

sewenang-wenang terhadap 68 orang, dan penghilangan orang secara paksa

49

sebanyak 23 orang.

50

51

Korban dalam peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 ini adalah

52

sekelompok warga sipil yang berada di wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta,

53

Bantul, Solo, Semarang, Magelang, Malang, Bogor, Mojokerto, Jakarta, Palembang,

54

dan Medan). Korban ditengarai adalah orang yang bermasalah dengan hukum atau

55

dianggap meresahkan masyarakat lainnya, yaitu biasanya korban dianggap sebagai

1

gali/bromocorah/preman/pencopet/residivis atau pelaku tindak pidana lainnya.

2

Biasanya korban mempunyai ciri-ciri fisik yaitu memiliki atau pernah memiliki tato.

3

4

Di dalam peristiwa Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985, pelaku

5

diduga adalah:

6

1. TNI, yaitu Koramil, Kodim, dan Kodam/Laksusda

7

2. Polisi, yaitu Polsek, Polres, dan Polda

8

3. Garnizun yaitu gabungan TNI dan Polisi

9

4. Pejabat sipil yaitu Ketua RT, Ketua RW, Lurah

10

11

Pelaku bertindak dalam konteks melaksanakan perintah jabatan di bawah kordinasi

12

Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Republik Indonesia di

13

bawah komando dan pengendalian Presiden Republik Indonesia.

14

15

Selain para pelaku yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan dalam

16

pemerintahan di atas, maka ditemukan bukti adanya pelaku individu dari kelompok di

17

atas yang bertindak secara aktif atau disebut sebagai operator.

18

19

Rekomendasi

20

Berdasarkan hasil penyelidikan dan analisis yang menghasilkan kesimpulan di atas,

21

maka Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

22

Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 mengajukan rekomendasi

23

sebagai berikut:

24

1. Meminta Sidang Paripurna Komnas HAM untuk menerima dan menyetujui

25

laporan penyelidikan ini dan meneruskannya kepada instansi yang berwenang

26

untuk melakukan proses hukum selanjutnya;

27

2. Meminta Sidang Paripurna Komnas HAM untuk:

28

a. Meminta Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan

29

Komnas HAM atas peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985

30

dengan proses penyidikan sesuai dengan ketentuan KUHAP dan Undang-

31

Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

32

b. Menyampaikan hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa

33

Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 kepada Presiden Republik

34

Indonesia dan DPR Republik Indonesia agar mempercepat proses hukum

35

atas Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 dengan

36

memberlakukan azas retroaktif yang diatur Pasal 43 Undang-Undang No.

37

26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

38

39

40

Jakarta, 31 Juni 2012

41

42

TIM AD HOC PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

43

YANG BERAT PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS PERIODE 1982 – 1985

44

KETUA,

45

46

47

48

YOSEP ADI PRASETYO

49

Dalam dokumen 553556 Ringkasan eksekutif Petrus (New) (Halaman 44-48)

Dokumen terkait