1
2
3
I. PENDAHULUAN
4
Peristiwa penembakan misterius yang terjadi pada 1982 – 1985 yang mengakibatkan
5
terjadinya pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing), penyiksaan, dan
6
penghilangan orang secara paksa, dikategorikan sebagai bentuk-bentuk
7
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Peristiwa ini ditanggapi oleh Komnas
8
HAM dengan melaksanakan berbagai rangkaian kegiatan yaitu pengkajian yaitu
9
dengan membentuk Tim Pengkajian Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
10
Berat Oleh Soeharto, di mana salah satu isu yang dikaji adalah Peristiwa
11
Penembakan Misterius yang terjadi pada 1981 – 1985. Hasil kajian ini dibahas lebih
12
lanjut di dalam Sidang Paripurna Komnas HAM yang memutuskan membentuk Tim
13
Pendalaman Hasil Pengkajian tersebut. Pada 2008 Komnas HAM kembali
14
membahas hasil pengkajian dan pendalaman tim sebelumnya, dan memutuskan
15
untuk membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa
16
Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985.
17
18
Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Penembakan
19
Misterius Periode 1982 – 1985 terdiri dari Anggota dan Staf Komnas HAM serta
20
unsur dari masyarakat. Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat
21
Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 – 1985 bekerja sejak 1 Juli 2008
22
sampai dengan 31 Agustus 2011.
23
Dalam rangka proses penyelidikan, tim ad hoc telah menjalankan fungsi dan tugas
24
sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang
25
Nomor 26 Tahun 2000, antara lain pemanggilan dan pemeriksaan saksi sebanyak
26
115 (seratus lima belas) orang dengan rincian saksi 95 (sembilan puluh enam)
27
orang, saksi korban 14 (empat belas) orang, saksi aparat sipil 2 (dua) orang, saksi
28
purnawirwan TNI 2 (dua) orang, dan saksi purnawirawan Polri 2 (dua) orang. Selain
29
itu, tim ad hoc juga telah melakukan pemeriksaan di 10 (sepuluh) tempat dan
30
pengumpulan sejumlah dokumen.
31
Dalam menjalankan tugasnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang
1
Berat Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 - 1985 mengalami berbagai
2
hambatan, antara lain :
3
1. Penolakan Purnawirawan TNI memenuhi panggilan Komnas HAM sebagai saksi
4
untuk memberikan keterangan.
5
2. Penolakan Purnawirawan POLRI memenuhi panggilan Komnas HAM sebagai
6
saksi untuk memberikan keterangan.
7
3. Adanya tindakan intimidasi terhadap korban yang akan memberikan keterangan.
8
9
10
II. UNSUR - UNSUR PELANGGARAN HAM YANG BERAT KEJAHATAN
11
TERHADAP KEMANUSIAAN DAN UNSUR-UNSUR
12
PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO.
13
14
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
15
(HAM),mencantumkan dua jenis kejahatan yang digolongkan sebagai pelanggaran
16
hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
17
kemanusiaan. Pelaku dua model kejahatan ini bisa diadili oleh pengadilan HAM.
18
Pada bagian ini hanya akan diuraikan kejahatan yang memiliki relevansi dengan
19
penyelidikan yang dilakukan tim mengenai tindakan yang memiliki kaitan dengan
20
jenis kejahatan, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan.
21
22
Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal, di mana
23
setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara manapun, tanpa
24
memperdulikan tempat perbuatan dilakukan, maupun kewarganegaraan pelaku
25
ataupun korban. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan prinsip no safe haven (tidak
26
ada tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hostis
27
humanis generis (musuh seluruh umat manusia) ini. Perlu ditambahkan bahwa untuk
28
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak
29
dikenal adanya daluwarsa.
30
31
Perkembangan hukum internasional untuk memerangi kejahatan terhadap
32
kemanusiaan mencapai puncaknya ketika pada 17 Juli 1998, Konferensi Diplomatik
33
PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pidana Internasional
34
(Rome Statute on the Establishment of the International Criminal Court/ ICC), yang
35
akan mengadili pelaku kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian
36
komunitas internasional, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
37
perang dan kejahatan agresi.
38
39
Dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta yang merupakan
40
perjanjian multilateral, mengokohkan konsep tersebut menjadi suatu treaty norm
41
(norma yang didasarkan kepada suatu perjanjian internasional). Dari ketentuan
42
dalam Statuta tersebut dapat dilihat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak
43
saja terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada
44
masa damai. Sedangkan pihak yang bertangung jawab atas kejahatan tersebut tidak
45
terbatas kepada aparatur negara (state actor) saja, tetapi juga termasuk pihak yang
46
bukan dari unsur negara (non-state actors).
47
48
49
Unsur-unsur Umum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Pasal 9
Undang-50
Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia)
51
52
1. salah satu perbuatan
53
Setiap tindakan yang disebutkan dalam Pasal 9 merupakan kejahatan terhadap
1
kemanusiaan. Tidak ada syarat yang mengharuskan adanya lebih dari satu tindak
2
pidana yang dilakukan (misalnya: pembunuhan dan perkosaan), atau kombinasi dari
3
tindak pidana-tindak pidana itu.1
Syarat “meluas atau sistematis” ini adalah syarat yang fundamental untuk
15
membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan merupakan
16
kejahatan internasional. Kata “meluas” menunjuk pada “jumlah korban”,
4
5
6
2. yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
7
8
Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan. Misalnya, pembunuhan
9
besar-besaran terhadap penduduk sipil dapat dianggap sebagai serangan terhadap
10
seluruh populasi sipil.
11
12
3. meluas atau sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil
13
14
2 dan konsep
17
ini mencakup “massive, sering atau berulang-ulang, tindakannya dalam skala yang
18
besar, dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius.”3 Istilah “sistematis”
19
mencerminkan “suatu pola atau metode tertentu”4 yang diorganisir secara
20
menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap.5
Kata “yang diketahuinya” merupakan unsur mental (mens rea) dalam kejahatan ini.
40
Pelaku harus melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan pengetahuan
41
untuk melakukan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk
42
sipil. Hal ini tidak berarti bahwa dalam semua serangan harus selalu ada
43
pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan yang aktual atau konstrukstif.
44
Secara khusus, pelaku tidak perlu mengetahui bahwa tindakannya itu adalah
45
tindakan yang tidak manusiawi atau merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
46
Tindak pidana yang dilakukan tersebut juga tidak perlu disertai maksud diskriminatif
47
21
22
Kata-kata “meluas atau sistematis” tidak mensyaratkan bahwa setiap unsur
23
kejahatan yang dilakukan harus selalu meluas dan sistematis. Unsur meluas atau
24
sistematis tidak harus dibuktikan keduanya, kejahatan yang dilakukan dapat saja
25
merupakan bagian dari serangan yang meluas saja atau sistematis saja.
26
27
Hal yang juga sangat penting adalah menjabarkan kapan tindakan-tindakan pelaku
28
dapat dikatakan sebagai “bagian dari serangan meluas atau sistematis terhadap
29
penduduk sipil”. Untuk itu harus dibuktikan adanya keterkaitan yang cukup antara
30
tindakan pelaku dengan serangan yang terjadi.
31
32
Berdasarkan penjelasan Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, yang dimaksud dengan
33
“serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” adalah suatu
34
rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan
35
kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi.
36
37
4. yang diketahuinya
38
39
1
Misalnya dalam Keputusan kasus Akayesu (Prosecutor vs Akayesu, Case No. ICTR-96-4-T (Trial Chamber), September 2, 1998, para.676-678) menyebutkan bahwa “pelaku didakwa karena melakukan pemerkosaan saja”.
2
Tadic Judgment, ibid, para. 646 dan 648.
3
Prosecutor vs Akayesu, Case No. ICTR-96-4-T, Sept 2, 1998, para. 580.
4
Tadic Judgment, supra note 4, para. 648.
5
kecuali untuk tindak pidana persekusi dalam konteks kejahatan terhadap
1
kemanusiaan.
2
3
Unsur-unsur Tindak Pidana Dalam Tindak Pidana Yang Termasuk Dalam
4
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun
5
2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia)
6
7
Unsur-unsur umum yang harus dipenuhi dari kesemua unsur tentang cara-cara
8
dilakukannya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah:
9
1. Tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau
10
sistematik yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil.
11
2. Pelaku mengetahui bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari atau
12
memaksudkan tindakan itu untuk menjadi bagian dari serangan meluas atau
13
sistematik terhadap suatu kelompok penduduk sipil.
14
15
Berikut ini diuraikan mengenai unsur-unsur dari setiap perbuatan yang dikategorikan
16
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yang langsung digunakan untuk analisis
17
hukum pada peristiwa penembakan misterius periode 1982 – 1985, yaitu:
18
19
1. pembunuhan (Pasal 9 huruf a)
20
21
Berdasarkan penjelasan Pasal 9 (a) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, yang
22
dimaksud dengan “pembunuhan” adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 340
23
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pembunuhan ini selain harus dilakukan
24
dengan sengaja, juga harus dapat dibuktikan adanya rencana terlebih dahulu untuk
25
melakukan pembunuhan ini.
26
27
28
2. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
29
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
30
internasional (Pasal 9 huruf e)
31
32
Unsur-unsur kejahatan ini adalah:
33
1. Pelaku memenjarakan (imprisonment) satu orang atau lebih atau secara kejam
34
(severe) mencabut kebebasan fisik orang atau orang-orang tersebut.
35
2. Tingkat keseriusan tindakan tersebut termasuk dalam kategori tindakan
36
pelanggaran terhadap aturan-aturan fundamental dari hukum internasional.
37
3. Pelaku menyadari keadaan-keadaan faktual yang turut menentukan kadar
38
keseriusan tindakan tersebut.
39
40
Hukum dan standar internasional melarang perampasan kemerdekaan dan
41
perampasan fisik lain sebagai bagian dari hukum HAM baik dalam kerangka
42
kejahatan terhadap kemanusiaan atau sebagai pelanggaran terhadap
perjanjian-43
perjanjian internasional, standar HAM dan juga bagian dari aturan dalam hukum
44
humaniter. Konsep dari kesewenang-wenangan berdasarkan hukum internasional
45
mencakup pemenjaraan yang tidak sah dan pencabutan kebebasan yang
46
bertentangan baik dengan hukum internasional maupun dengan hukum nasional.
47
Kategori yang dapat menimbulkan tindakan penahanan sewenang-wenang adalah
48
ketika terhadap tahanan tersebut dilakukan penyiksaan, atau tindakan tidak
49
berperikemanusiaan lainnya.
50
51
52
3. penyiksaan (Pasal 9 huruf f)
53
54
1. Pelaku membuat seseorang atau orang-orang mengalami rasa sakit atau
1
penderitaan yang mendalam (severe) baik secara fisik maupun mental.
2
2. Orang atau orang-orang itu berada dalam tahanan atau berada di bawah kontrol
3
pelaku bersangkutan.
4
3. Rasa sakit atau penderitaan tersebut bukan akibat yang ditimbulkan dan tidak
5
inherent atau diakibatkan oleh penghukuman yang sah.
6
7
8
Hak untuk bebas dari penyiksaan juga telah dinyatakan oleh hampir seluruh aturan
9
instrumen HAM internasional sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
10
apapun.
11
12
Penjelasan Pasal 9 huruf f UU Nomor 26 Tahun 2000, menyebutkan bahwa yang
13
dimaksud dengan “penyiksaan” adalah dengan sengaja atau melawan hukum
14
menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental,
15
terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah pengawasan.
16
17
18
4. penghilangan orang secara paksa (Pasal 9 huruf i)
19
20
Unsur-unsur kejahatan ini adalah:
21
1. Pelaku:
22
(a) Menangkap (arrested), menahan (detained) atau menculik (abducted) satu
23
orang atau lebih; atau
24
(b) Menolak untuk mengakui penangkapan, penahanan atau penculikan, atau
25
menolak memberikan informasi menyangkut nasib atau keberadaan orang
26
atau orang-orang itu.
27
2. (a) Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut, diikuti atau disertai
28
dengan suatu penolakan untuk mengakui pencabutan kebebasan atau
29
menolak memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau
30
orang-orang itu; atau
31
(b) Penolakan semacam itu dilakukan atau disertai dengan dicabutnya
32
kebebasan yang dimaksud.
33
3. Pelakunya menyadari bahwa:
34
(a) Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut akan diikuti dengan
35
suatu rangkaian tindakan yang biasanya dilakukan dengan penolakan untuk
36
mengakui adanya pencabutan kebebasan semacam itu atau untuk
37
memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau
orang-38
orang itu;6
(b) Penolakan semacam itu dilakukan atau disertai dengan dicabutnya
40
kebebasan yang dimaksud.
41
atau
39
4. Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut dilakukan dengan, atau
42
melalui pengesahan, dukungan atau bantuan dari suatu negara atau organisasi
43
politik.
44
5. Penolakan untuk mengakui dicabutnya kebebasan tersebut atau untuk
45
memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang-orang itu
46
yang dilakukan dengan, atau melalui pengesahan, dukungan atau bantuan dari
47
suatu negara atau organisasi politik.
48
6. Pelaku bermaksud untuk menghilangkan perlindungan hukum orang atau
orang-49
orang itu untuk suatu jangka waktu lama yang tak tentu.
50
6
1
salah satu unsur terpenting dari penghilangan orang secara paksa adalah dicabutnya
2
kebebasan seseorang yang dilakukan dengan cara-cara penangkapan, penahanan
3
dan penculikan. Cara-cara tersebut setidak-tidaknya diangap telah cukup meliputi
4
berbagai cara pencabutan kebebasan seseorang. Namun cara-cara tersebut
5
memang harus dimaksudkan untuk mencabut hak korban untuk mendapatkan
6
perlindungan hukum.
7
8
9
Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 huruf I menyebutkan
10
bahwa yang dimaksud dengan penghilangan orang secara paksa” adalah
11
penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa,
12
dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh
13
penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk
14
memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan
15
maksud untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang
16
panjang.
17
18
19
Unsur-unsur Pertanggungjawaban Komando
20
21
Konsep pertanggungjawaban komandan/atasan berlaku bagi seorang atasan dalam
22
pengertian yang luas termasuk komandan militer, kepala negara dan pemerintahan,
23
menteri dan pimpinan perusahaan. Artinya, bentuk pertanggungjawaban ini tidak
24
terbatas pada tingkat atau jenjang tertentu, komandan atau atasan pada tingkat
25
tertinggi pun dapat dikenakan pertanggungjawaban ini apabila terbukti memenuhi
26
unsur-unsurnya.
27
28
Bentuk pertanggungjawaban komando ini berbeda dengan bentuk
29
pertanggungjawaban pidana secara individu yang dapat dikenakan kepada
30
komandan atau atasan (atau bahkan individu manapun) apabila ia ikut
31
merencanakan, menghasut, memerintahkan, melakukan, membantu dan turut serta
32
melakukan kejahatan. Apabila komandan melakukan salah satu dari tindakan di atas,
33
maka komandan telah melakukan tindakan penyertaan (joint criminal enterprise) dan
34
statusnya disamakan sebagai pelaku. Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No 26
35
tahun 2000 menyebutkan bahwa komandan bukan hanya dari militer, tetapi juga
36
berlaku bagi atasan non-militer.
37
38
39
Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Komando (Pasal 42 Undang-Undang Nomor
40
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia)
41
42
Pasal 42 ayat (1)
43
44
1. komandan militer atau orang-orang yang bertindak sebagai komandan
45
militer
46
47
a. komandan militer
48
49
50
Komandan militer adalah seorang anggota angkatan bersenjata yang ditugaskan
51
memimpin satu atau lebih satuan dalam angkatan bersenjata. Komandan memiliki
52
kewenangan untuk mengeluarkan perintah langsung kepada anak buahnya atau
53
kepada satuan bawahannya dan mengawasi pelaksanaan dari perintah tersebut.
54
hukum perang menunjukkan tidak adanya pembatasan tingkat pertanggungjawaban
1
komandan militer. Dengan demikian, pemahaman di lingkungan militer selama ini
2
mengenai adanya pembatasan tanggung jawab seorang komandan hanya dua
3
tingkat ke atas atau ke bawah (two step up two step down) tidak berdasar dan tidak
4
sesuai dengan yurisprudensi internasional maupun nasional.
5
6
b. orang-orang yang bertindak sebagai komandan militer
7
8
Orang-orang yang bertindak sebagai komandan militer adalah mereka yang bukan
9
anggota angkatan bersenjata suatu negara namun, karena kekuasaan dan
10
kewenangan de facto-nya yang begitu besar, ia mampu memerintahkan dan
11
mengendalikan pasukan angkatan bersenjatanya.
12
13
c. dapat dipertanggungjawabkan
14
15
Pasal 42 Undang-Undang ini menggunakan istilah ‘dapat’ dan menghilangkan kata
16
‘secara pidana’ sedangkan dalam teks asli Pasal 28 (a) Statuta Roma menggunakan
17
istilah ‘shall be criminally responsible’ yang padanan katanya adalah ‘harus
18
bertanggung jawab secara pidana’. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran ganda
19
bagi kalangan penegak hukum karena dapat diartikan bahwa seorang komandan
20
tidak ‘selalu harus’ dipertanggungjawabkan dan harus dipertanggungjawabkan
21
secara pidana atas tindakan bawahannya.
22
23
2. pasukan
24
25
Berdasarkan Pasal 43 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, pasukan
26
bersenjata dari suatu pihak peserta konflik terdiri dari semua pasukan angkatan
27
bersenjata, kelompok-kelompok, satuan-satuan, yang terorganisir yang berada di
28
bawah komando yang bertanggung jawab terhadap bawahannya, bahkan jika pihak
29
yang bersengketa mewakili suatu pemerintahan ataupun otoritas yang tidak diakui
30
oleh pihak lawan. Pasukan juga termasuk satuan polisi bersenjata dan satuan para
31
militer. Angkatan bersenjata seperti itu harus tunduk pada peraturan hukum disiplin
32
militer, yang sejalan dengan hukum humaniter internasional. Yang juga termasuk
33
dalam pasukan non-militer adalah gerakan bersenjata yaitu gerakan sekelompok
34
warga negara suatu negara yang bertindak melawan pemerintahan yang sah
35
dengan melakukan perlawanan bersenjata.
36
37
3. komando dan pengendalian yang efektif
38
39
Pasukan di bawah komando pengendalian yang bertanggungjawab adalah pasukan
40
yang berada di bawah komando baik dalam rantai komando secara de facto maupun
41
de jure di mana setiap komandannya berwenang untuk mengeluarkan perintah.
42
Perintah itu harus dijabarkan langsung atau melalui komandan yang langsung
43
berada di bawahnya.
44
45
Mengingat Pasal 42 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 adalah merupakan adopsi
46
dari Statuta Roma, maka sudah selayaknya apabila “pengendalian efektif” dalam
47
pasal ini diartikan sebagai adanya tindakan pengendalian yang nyata/benar atau
48
dengan kata lain merupakan pengendalian secara de facto (nyata).
49
50
4. kekuasaan dan pengendalian yang efektif
51
52
Dalam keadaan tertentu, seorang komandan dapat melaksanakan pengendalian
53
kepada satuannya yang tidak berada di bawah rantai komandonya yang langsung.
54
seorang komandan yang memiliki kewenangan sebagai komandan di daerah
1
pendudukan dapat memberikan perintah kepada semua satuan yang berada dalam
2
wilayah pendudukannya. Satuan-satuan seperti ini akan berada dalam kekuasaan
3
dan pegendalian efektif dari komandan apabila menyangkut kepentingan umum dan
4
keselamatan daerah pendudukan tersebut. Demikian pula ketika terjadi konflik
5
bersenjata internal atau ketegangan dan kerusuhan dalam negeri, penguasa teritorial
6
berwenang untuk melakukan pengendalian terhadap semua satuan yang berada di
7
wilayahnya.
8
9
10
5. Tidak melakukan tindakan pengendalian yang layak
11
12
Pengertian tindakan layak adalah tindakan berdasarkan kemampuan dalam
batas-13
batas kewenangan, kekuasaan, ketersediaan sarana dan kondisi yang
14
memungkinkan. Komandan tidak secara otomatis bertanggungjawab atas tindak
15
pidana yang dilakukan anak buahnya. Namun demikian, ia dapat diminta
16
pertanggungjawabannya apabila dalam situasi tertentu ia “seharusnya mengetahui”
17
bahwa satuannya sedang melakukan atau akan melakukan tindak pidana dan
18
komandan tidak melakukan tindakan yang layak untuk mencegah/menghentikan
19
tindak pidana tersebut walaupun pada saat dilakukannya tindak pidana komandan
20
tidak mengetahuinya. Komandan memiliki tugas untuk selalu mendapatkan informasi
21
yang relevan dan mengevaluasinya. Apabila komandan gagal untuk memperoleh
22
informasi atau secara sengaja mengabaikan informasi tersebut, maka syarat
23
komandan “seharusnya mengetahui” akan terpenuhi olehnya.
24
25
6. Unsur Mental dan Unsur Materiil dari Pertanggungjawaban bagi Komandan
26
Militer
27
a. Unsur mental (mens rea) : “mengetahui atau seharusnya mengetahui”
28
Beberapa hal/situasi dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan bahwa
29
komandan mengetahui atau tidak tentang tindak pidana yang dilakukan anak
30
buahnya, seperti: jumlah dari tindak pidana yang dilakukan;tipe-tipe tindak
31
pidana; lingkup tindak pidana; waktu ketika tindak pidana dilakukan; jumlah dan
32
tipe dari pasukan yang terlibat; logistik yang terlibat, jika ada; lokasi geografis dari
33
tindak pidana; tindak pidana yang meluas; waktu taktis operasi; modus operandi
34
dari tindak pidana yang serupa; perwira dan staff yang terlibat;, dan tempat
35
komandan berada pada saat tindak pidana dilakukan.
36
37
b. Unsur materiil (actus reus) : “tidak mengambil tindakan yang perlu dan
langkah-38
langkah yang layak berdasarkan kewenangannya”
39
Komandan dapat dikenakan pertanggungjawaban akibat kegagalannya untuk
40
mengambil tindakan dalam lingkup kewenangannya. Ukuran kemampuan
41
seorang komandan dalam melakukan pengendalian efektif, termasuk
42
kemampuan material komandan untuk mengendalikan anak buahnya, dapat
43
dijadikan pedoman bagi Pengadilan untuk menentukan apakah komandan telah
44
mengambil langkah-langkah yang perlu dan yang layak untuk mencegah,
45
menghentikan, atau menghukum anak buahnya yang melakukan tindak pidana.
46
Kemampuan material komandan semacam ini tidak dapat dilihat secara abstrak,
47
namun harus dilihat secara kasuistis dengan mempertimbangkan
keadaan-48
keadaan pada saat itu.
49
50
Komandan memiliki tugas untuk mengambil segala tindakan yang perlu dan yang
51
layak untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Jika tindak pidana telah terjadi,
52
komandan memiliki tanggung jawab untuk mengambil segala tindakan yang perlu
53
penyidikkan terhadap kejahatan tersebut dan untuk membawa pelaku yang
1
diduga melakukannya ke pengadilan.
2
3
4
7. Hubungan antara atasan dan bawahan
5
Esensi dari hubungan atasan dan bawahan ini adalah bahwa seorang atasan
6
memiliki kewenangan secara de jure atau de facto untuk melakukan pengendalian
7
terhadap tindakan bawahannya. Atasan harus memiliki kewenangan pengendalian
8
terhadap pekerjaan yang dilakukan bawahannya dan dapat memberikan perintah
9
kepada bawahannya.
10
11
a. atasan
12
Atasan adalah seseorang yang berhak memberikan perintah kepada bawahannya
13
dan mengawasi/mengendalikan pelaksanaan perintah tersebut.
14
15
b. bawahan
16
Setiap orang yang memiliki atasan yang dapat mengarahkan pekerjaannya dikatakan
17
sebagai seorang bawahan.
18
19
c. komando dan pengendalian yang efektif
20
Seorang atasan memiliki komando pengendalian yang efektif terhadap anak
21
buahnya untuk tujuan seperti yang tercantum di ayat (2) ketika ia memiliki
22
kewenangan secara de jure atau de facto untuk mengeluarkan petunjuk terhadap
23
anak buahnya untuk melaksanakan pekerjaan tertentu.
24
25
d. Gagal untuk melaksanakan pengendalian secara layak
26
27
(i) dengan sengaja mengabaikan informasi
28
Terdapat perbedaan dalam hal unsur mental (mens rea) yang diatur dalam
29
pasal 42 ayat (2) bagi komandan militer dan sipil. Dalam pasal 42 ayat (2)
30
unsur mental (mens rea) bagi atasan sipil adalah apabila ia “mengabaikan
31
informasi” bukan “mengetahui atau seharusnya mengetahui” seperti yang
32
berlaku bagi komandan militer. Struktur organisasi sipil memang tidak sama
33
dengan militer yang memiliki hierarki yang begitu teratur sehingga
34
memungkinkan komandan militer untuk dapat membangun sistem pelaporan
35
yang efektif yang menjadikan komandan militer harus selalu mengetahui apa
36
yang dilakukan anak buahnya.
37
38
(ii) Kegiatan-kegiatan yang berada dalam lingkup kewenangan dan
39
pengendalian atasan
40
Orang-orang yang masuk dalam kategori “pasukan” sebagaimana dimaksud
41
dalam definisi “pasukan” dalam ayat (1) yang berada di bawah sistem disiplin
42
internal militer dapat dianggap dia bertugas selama 24 jam. Sedangkan
43
bawahan yang bukan militer hanya bertanggung jawab secara efekif terhadap
44
atasannya selama menjalankan pekerjaan-pekerjaan/kegiatan yang
45
berhubungan dengan pekerjaannya itu.
46
47
(iii) Gagal untuk mengambil langkah-langkah yang perlu berdasarkan
48
kewenangan yang dimilikinya
49
Atasan harus memiliki kewenangan untuk mengeluarkan petunjuk/perintah
50
kepada bawahannya serta mengawasi pelaksanaan perintah tersebut agar
51
bawahan tidak melakukan pelanggaran atau menghentikan pelanggaran jika
52
terjadi. Atasan juga wajib melaporkan kepada atasan langsungnya atau
53
lembaga penegak hukum lain mengenai tindak pidana tersebut.
54
1
III. FAKTA PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS PERIODE 1982 – 1985
2
III.1. Penembakan Misterius di Yogyakarta Periode 1982–1985
3
4
III.1.1. Gambaran Peristiwa
5
6
Pada 6 April 1985 Komandan Distrik Militer 0734 Yogyakarta Letkol CZI M. Hasby
7
mengeluarkan imbauan kepada para pengusaha dan anggota masyarakat lainnya
8
agar tidak lagi memberikan setoran kepada pemeras dan penjahat melalui
tukang-9
tukang pungutnya. Selkain itu ia mengingatkan para “gali” agar segera menyerahkan
10
diri dalam waktu singkat sebelum kesabaran aparat negara mencapai batasnya. Bila
11
para gali tidak mau melaporkan diri ke pihak garnizun, maka aparat keamanan yang
12
akan menjemput. Ia menyatakan bahwa pihaknya memiliki nama-nama gali yang
13
telah disusun dalam suatu daftar hitam.7
Dengan resep tembak langsung, para gali di Yogyakarta berjatuhan satui persatu
16
mati. Sisanya kocar-kacir. Sejumlah tokoh preman ditemukan tewas, rata-rata
17
dengan luka tembak mematikan di kepala dan beberapa di bagian leher mereka.
18
Beberapa di antara mereka adalah tokoh gali yang terkenal di kalangan masyarakat
19
Yopgya. Sasaran pembasmian terhadap para gali bukan hanya menyasar kelompok
20
lapisan bawah saja.
14
15
8
Sebagian dari orang-orang yang dijemput pada akhirnya menjadi korban
44
penghilangan orang secara paksa di mana orang yang menjadi target dijemput orang
45
yang tidak dikenal dari rumah korban, dijemput atau dijebak oleh teman korban,
46
diminta memenuhi panggilan polisi untuk datang ke kantor polisi. Di antara para
47
21
22
Rumah Sakit Sarjito merupakan rumah sakit di Yogyakarta yang paling banyak
23
menangani jenasah korab penembakan misterius. Di antara puluhan jenasah
24
sebagian besar tak bisa diidentifikasi hingga dikuburkan dalam status sebagai “Mr.
25
X” atau orang tak dikenal. Sebagian lagi memang dikenali sebagai tokoh-tokoh galai
26
Yogyakarta.
27
28
Selain pembunuhan dan eksekusi di luar proses pengadilan sejumlah preman di
29
Yogyakarta juga mengalami proses penangkapan secara-semena-mena. Beberapa
30
diantara mereka pada 1982–1983 sejak Peristiwa Petrus terjadi memilih lari ke
31
Jakarta. Namun kemudian mereka kembali ke Yogyakarta karena Dandim 0734
32
bernama Muhammad Hasby menjamin mereka tidak menjadi korban.
33
34
Banyak di antara korban mati maupun survivor yang mengalami penyiksaan. Di
35
antara korban mati bisa dikenali adanya penyiksaan ini dari tanda-tanda yang
36
terdapat pada jenasah mereka. Perang terhadap para gali di Yogyakarta juga
37
menggunakan cara perampasan kemerdekaan. Secara umum, korban biasanya
38
dibawa oleh lebih dari 1 orang anggota ABRI yang kadang mengunakan seragam
39
loreng tanpa adanya surat penangkapan. Sebagian lagi dijemput oleh orang
40
bertopeng atau orang yang tak dikenali, baik oleh keluarga maupun masyarakat
41
sekitar. Sebagian dari korban ditemukan masyarakat dalam bentuk sebagai jenasah.
42
43
7
Kedaulatan Rakyat, 7 April 1983.
8
Lihat “Mengungkap Misteri Penembak Miasterius” dalam The World’s Most Shocking Covert
korban yang hilang adalah para resiodivis yang dijemput atau di’bon” dari penjara
1
atau lembaga pemasyarakatan.
2
3
Pangdam VII Diponogoro baru Mayjen TNI Soegiarto yang menggantikan Letjen TNI
4
Ismail, meneruskan kebijakan perang terhadap para gali.
5
6
Akibat dari tekanan ini banyak di antara preman yang memilih menyerahkan diri
7
kapeda aparat. Dandim 0734 Dan Garnisun Yogyakarta Letkol CZI M. Hasby, dalam
8
pertemuan dengan 300 warga Pembauran Darma Nusantara, menerangkan, jumlah
9
‘gali’ di Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah melapor diri sampai minggu terakhir
10
Mei 1983 tercatat 441 orang. Di antara yang melaporkan diri terdapat ‘gali’ yang
11
mempunyai pekerjaan tetap (pegawai negeri) dengan penghasilan rata-rata Rp.
12
50.000/bulan.9 M. Hasby juga menyatakan tekadnya untuk terus melanjutkan operasi
13
pemberantasan kejahatan di Yogyakarta.10
Sukses OPK di Yogyakarta, membuat petinggi ABRI menerapkannya ke
daerah-16
daerah lain di Indonesia. Penlaksusda Jawa Tengah dan DIY Letkol. TNI Antono
17
Margi menyatakan, bahwa pihak Laksusda tidak membedakan tindak-tindakan yang
18
diterapkan terhadap para pelaku kejahatan, entah itu di DIY, Semarang atau daerah
19
rawan lainnya. Hanya tindakan para penjahat di Yogyakarta sudah keterlaluan.
14
15
11
Isyarat bahwa kebijakan di DIY akan juga diterapkan ditempat lain di Jawa Tengah
22
muncul dari Panglima Kodam VII Diponogoro Mayjen Ismail. Ia menyatakan, “karena
23
tindakan para gali di Yogya sudah keterlaluan maka dilakukan gebrakan-gebrakan
24
atau shock terapi, sebagai operasi imbangan. Operasi imbangan oleh laksusda juga
25
sudah diterapkan di Semarang Selatan.”
20
21
12
31
32
33
26
27
III.1.2. Gambaran Organisasi Pelaksana
28
29
Bagan 3.4. Struktur Kodam VII/Diponegoro
30
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
9
Kompas, 28 Mei 1983.
10
Kompas, 16 Juni 83
11
Ibid.
12
Ibid.
Danrem 072 /
Pamungkas
Pangdam VII /
Diponegoro
Kasdam
Asisten V
Teritorial
Asisten IV
Logistik
Asisten III
Personil
Asisten II
Operasi
Asisten I
Intelijen
Keterangan bagan Kodam VII / Diponegoro periode 1982 – 1985 adalah:
1
∗ Pangdam VII / Diponegoro adalah Mayjen TNI Ismail dan digantikan oleh Mayjen
2
TNI Soegiarto
3
∗ Kasdam adalah Brigjen. T.B. Silalahi
4
∗ Asisten I Intelejen adalah ...(belum teridentifikasi)
5
∗ Asisten II Operasi adalah Kol. Ambar S.
6
∗ Asisten III Personil adalah ...(belum teridentifikasi)
7
∗ Asisten IV Logistik adalah Kol. Sumardi
8
∗ Asisten V teritorial adalah ...(belum teridentifikasi)
9
∗ Danrem 072/Pamungkas adalah Kol. CZI Siswadi
10
11
Bagan 3.5. Struktur Korem 072/Pamungkas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Keterangan bagan Korem 072 / Pamungkas periode 1982 – 1985 adalah:
19
∗ Danrem 072/Pamungkas adalah Kol. CZI Siswadi
20
∗ Kasrem adalah ...(belum teridentifikasi)
21
∗ Asisten I Intelejen adalah ...(belum teridentifikasi)
22
∗ Asisten II Operasi adalah ...(belum teridentifikasi)
23
∗ Asisten III Personil adalah ...(belum teridentifikasi)
24
∗ Asisten IV Logistik adalah ...(belum teridentifikasi)
25
∗ Asisten V teritorial adalah ...(belum teridentifikasi)
26
∗ Dandim 0734 Yogyakarta adalah Letkol CZI Muhammad Hasby
27
28
Kasrem
Asisten V
Teritorial
Asisten IV
Logistik
Asisten III
Personil
Asisten II
Operasi
Asisten I
Intelijen
Dandim 0734
Yogyakarta
Dandim
Bagan 3.6. Struktur Kodim 0734 Yogyakarta
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Keterangan bagan Korem 0734 Yogyakarta periode 1982–1985 adalah:
17
∗ Danrem 0734 Yogyakarta adalah Letkol CZI Muhammad Hasby
18
∗ Kasdim adalah ...(belum teridentifikasi)
19
∗ Asisten I Intelejen adalah ...(belum teridentifikasi)
20
∗ Asisten II Operasi adalah ...(belum teridentifikasi)
21
∗ Asisten III Personil adalah ...(belum teridentifikasi)
22
∗ Asisten IV Logistik adalah ...(belum teridentifikasi)
23
∗ Asisten V teritorial adalah ...(belum teridentifikasi)
24
∗ Danramil adalah ...(belum teridentifikasi)
25
26
27
III.2. Penembakan Misterius di Jawa Tengah Periode 1982–1985
28
29
III.2.1. Gambaran Umum Peristiwa Penembakan Misterius di Jawa Tengah
30
Periode 1982 – 1985
31
32
Kepala Staf Kodak IX/Jawa Tengah Brigadir Jendral Pol M. Satoto menerangkan
33
Operasi Cerah Yang dilancarkan polisi Kodak IX/Jawa Tengah dan seluruh
34
jajarannya awal Desember hingga Januari 1982, berhasil mengungkap kasus-kasus
35
kejahatan yang selama ini belum di ketahui polisi setempat. Mulai dari keterlibatan
36
oknum-oknum ABRI dengan peralatan senjatanya, adanya good father bagi kawanan
37
penjahat dan para penjahat yang terorganisir, semacam mafia semua tersingkap.
38
39
Berkat Operasi Cerah angka kejahatan terutama kejahatan dengan kekerasan,
40
secara drastis dapat menurun. Tetapi yang menjadi tantangan aparat Polri di sana
41
adalah penjahat yang berasal dari luar kota. Dari Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jaya
42
dan Sumatera Bagian Selatan.13
13
Atas pertanyaan pers, sejauh mana Operasi Cerah dapat menembus “gabungan anak liar” yang lebih dikenal dengan sebutan “ Gali-Gali” Jawa Tengah, dan cukup meresahkan penduduk itu, Kasdak belum dapat memberikan gambarannya. Dapat di maklumi gali-gali di Jawa Tengah ini, cukup ruwet dalam pemberantasnya karena mereka tersebar di seluruh kotanya. Tetapi Kodak Jawa Tengah tidak pesimis dalam memberantas segala kejahatan yang meresahkan masyarakat di sana. Jika masih ada yang belum berhasil di tembus Operasi Cerah I dan II untuk tahap selanjutnya kini kepolisian Kodak IX sedang mengadakan evaluasi untuk bahan Operasi selanjutnya. Lihat: Merdeka, 22 Januari 1982.
43
44
Kasdim
Asisten V
Teritorial
Asisten IV
Logistik
Asisten III
Personil
Asisten II
Operasi
Asisten I
Intelijen
Danramil
Danramil
Kadapol Metro Jaya Mayjen Pol Anton Soedjarwo saat sambutan pembukaan Rakor
1
kadapol VI sampai dengan XI di Ambarawa Jawa Tengah pada 9 September 1982,
2
mengatakan, “Dewasa ini timbul kecenderungan pergeseran sifat kejahatan ke arah
3
yang lebih sadis. Sadisisme tersebut di lakukan penjahat disamping untuk
4
menghilangkan jejak, juga untuk mempengaruhi psikologi dan moral masyarakat.
5
Kerja sama antar Kodak penting dalam usaha penanggulangan kejahatan karena
6
salah satu Kodak dapat dijadikan tempat pelarian para pelaku atau tempat pelempar
7
hasil-hasil kejahatan serta tempat merencanakan sebuah kegiatan. Dengan pola
8
kebersamaan usaha penanggulangan juga dapat mempersempit ruang gerak pelaku
9
kejahatan antar wilayah hukum.”
10
11
Kadapol IX/Jawa Tengah Mayjen Pol JFR Montolalu, menjelaskan sejak
12
dilaksanakannya Operasi “Cerah I” dan “Cerah II” angka kejahatan nampak menurun
13
cukup drastis. Sebagai contoh, pencurian kendaraan bermotor turun 10% bulan
14
Februari dibandingkan pada Januari.14 Bahwa untuk menanggulangi kejahatan di
15
daerah Kodak IX Jawa Tengah, sekarang sudah dilakukan Operasi “Cerah I, II, III”
16
berhasil meringkus 824 orang tersangka kejahatan, 21 orang mati tertembak dan 17
17
orang menderita luka2 berat.15
Kapolri, Jenderal Pol. Dr. Awalludin, menerangkan Polri sampai bulan September
20
melalui Operasi Sikat, Linggis, Pukat, Rajawali, Cerah dan Parkit di wilayah
21
Indonesia berhasil menangkap pelaku kejahatan sebanyak 1.946 orang. Sedangkan
22
barang bukti yang di sita berupa senjata tajam 1.376 buah senjata tajam, 146 pucuk
23
senjata api genggam, 26 senjata api bahu dan 7 pucuk pistol gas. Mengenai tingkat
24
kejahatan sampai 1 September 1982, menurut Kapolri tercatat 13.997 kasus di
25
antaranya 136 kali dilakukan dengan cara yang sadis sedangkan pembajakan di atas
26
bus tercatat 28 kali.
18
19
16
Tabulasi Angka Kejahatan Sepanjang 1980-1982
27
28
Tabel 3.2.
29
17 di Jawa Tengah
30
berdasarkan data Badan Pusat Statistik
31
Propinsi Dilaporkan Diselesaikan
1980 1981 1982 1980 1981 1982
Jawa Tengah 26.150 36.096 32.260 13.265 19.027 16.964
32
33
Pangdam VII Diponegoro, Mayjen TNI Ismail di dampingi Kepala Penerangan Kodak
34
VII, Letkol, Inf Antono Margi ketika menerima Pengurus PWI Cabang Yogyakarta
35
yang mengadakan audiensi ke Makodam VII Diponegoro pada 24 Januari 1983,
36
mengatakan kriminalitas akhir-akhir ini sudah tidak lagi semata-mata karena masalah
37
perut. Tetapi sudah mengarah ke demonstrasi keberingasan, ugal-ugalan dan
38
mengandung sistem nilai lain yang mungkin sudah bau-bau politis. Sistim nilai itu di
39
impor dari negara lain, karena kebudayaan Indonesia tidak mengenal itu.
40
41
14
Lihat: Kompas, 27 Maret 1982; Suara Karya, 29 Maret 1982; Merdeka, 29 Maret 1982. 15
Berita Buana, 14 September 1982.
16
Sinar Harapan, 3 Desember 1982.
17
Pada kesempatan tersebut, Pangdam VII Diponegoro menyatakan, “Kita yang
1
memberi rasa ayom kepada masyarakat terpanggil mencari modus lain yang
2
tersembunyi, guna menghadapi demonstrasi ugal-ugalan itu. Kalau terpaksa tembak
3
di tempat.”
4
5
Dukungan kepada kebijakan Operasi Clurit juga tergambar dari pernyataan Assisten
6
Operasi Jateng Kol Pol Drs. Darmawan, yang menyatakan bahwa selama Operasi
7
Clurit berlangsung di beberapa Korwil di Jateng berhasil di sita senjata tajam
8
sebanyak 438 berupa clurit, klewang, tombak, badik, golok dan trisula. Di Semarang
9
pelaku kejahatan yang sudah ditangkap sejumlah 14 orang dan 2 orang meningal
10
dunia, seorang karena di keroyok massa dikarawan jati dan seorang lagi meninggal
11
di RS Kardi.18
Pangdam VII Diponegoro, Mayjen TNI Soegiarto, mengatakan, Operasi
14
pemberantasan kejahatan yang dilakukan serentak di seluruh wilayah Jawa Tengah
15
dan DIY selama 3 minggu terakhir ini, akan terus dilanjutkan, sesuai dengan
16
ketentuan yang telah digariskan kepada aparat keamanan dan ketertiban selama ini.
17
Operasi pemberantasan kejahatan itu telah berhasil menangkap beberapa puluh
18
pelaku tindak kejahatan, diataranya belasan yang tertembak dan sebagian lain yang
19
menyerahkan diri.
12
13
19
Penjelasan datang dari Kasipendak IX/ Jateng Mayor Pol Drs R Haryono S. Ia
22
menjelaskan bahwa angka kejahatan di wilayah Kodak IX/Jateng dan DIY menurun
23
sekitar 10,57% bila di bandingkan pada 1981/1982. Secara terperinci di jelaskan,
24
untuk tindak kejahatan yang telah dilaporkan kepada Kodak IX pada 1981/1982
25
tercatat sebanyak 33.140 kasus. Dari jumlah tersebut yang berhasil di selesaikan
26
pengadilan sebanyak 17.154 kasus atau sekitar 51,76%. Pada 1982/983 hingga
27
Februari 1983 tercatat kasus kejahatan 29.636 kasus.
20
21
20
Hingga akhir April 1983 angka kriminalitas dinyatakan menurun 10,57% dibanding
30
dengan periode yang sama pada tahun yang sebelumnya.
28
29
21
Isyarat bahwa kebijakan di DIY akan juga diterapkan ditempat lain di Jawa Tengah
38
muncul dari Panglima Kodam VII Diponogoro Mayjen Ismail. Ia menyatakan, “karena
39
tindakan para gali di Yogya sudah keterlaluan maka dilakukan gebrakan-gebrakan
40
atau shock terapi, sebagai operasi imbangan. Operasi imbangan oleh laksusda juga
41
sudah diterapkan di Semarang Selatan.”
Sebanyak 306
31
bromocorah (gali) di Kabupaten Purworejo berikrar sanggup untuk tidak melakukan
32
perbuatan yang melanggar hukum. Ikrar tersebut di tuangkan dalam surat peryataan
33
yang dibuat dan dibacakan dalam pertemuan bupati dan Muspida setempat.
34
Bromocorah yang membuat peryataan tersebut berasal dari 15 kecamatan, dari 16
35
kecamatan sekabupaten.
36
37
22
Di Kudus Jawa Tengah, Kepala RSU Kudus Dr. Wiryono Ermawan, menerangkan,
44
bahwa pihaknya mencatat sudah ada dua orang yang mendaftarkan diri untuk
45
42
43
18
Suara Karya, 1 Februari 1983.
19
Kedaulatan Rakyat, 20 April 1983.
20
Ibid.
21
Kedaulatan Rakyat, 28 April 1983.
22
operasipenghilangan tatto. “Kira-kira 2 minggu lalu, tetapi sampai sekarang operasi
1
itu belum dilaksanakan,” ujarnya.23
Pemuda bertatto tampaknya memang mendapat perhatian khusus dari aparat
4
keamanan saat itu. Bahkan Danjend Akabri Letjen TNI Moergito, menegaskan
5
bahwa jangan berharap pemuda yang bertatto dapat diterima di Akabri, meskipun
6
syarat-syarat untuk masuk Akabri dipenuhi tetap tidak dapat diterima, karena dari
7
segi estetika badan bertatto tidak layak jadi perwira.”
2
3
24
Namun, dari berbagai pernyataan yang secara resmi dikeluarkan oleh aparat, bisa
10
dikatakan tak ada satu pun yang menjelaskan tentang jumlah korban yang mati
11
terbunuh. Tapi sebuah sumber mengatakan bahwa jumlah residivis yang menjadi
12
korban penembak misterius hingga akhir Juni 1983 sudah mencapai 543 orang.
13
Dimana Jawa Tengah ada urutan ketiga setelah Jakarta dan Jawa Barat, yaitu
14
berjumlah 80 orang.
8
9
25
Letkol Drs. Antono Margi, juga menerangkan di Jawa Tengah tidak ada
17
penembakan misterius yang dilakukan oleh suatu kesatuan baik dari ABRI jajaran
18
VII/ Laksusda maupun aparat kepolisian. “Tadinya pola pemberantasan di Jateng
19
dan DI Yogyakarta dilakukan dalam tiga tahap. Yakni tahap shock therapy,
20
pemanggilan dan pembinaan, ujarnya.
15
16
26
Namun dalam acara brieffing untuk seluruh aparat Pemda Pati Jawa Tengah, Ismail
23
menyangkal bahwa Petrus dilakukan oleh aparat. “Di Jawa Tengah tidak ada
24
penembak misterius. Saya tegaskan lagi, di Jawa tengah tidak ada penembak
25
misterius. Yang ada penjahat yang tewas karena melawan dan menantang petugas
26
keamanan,” ujarnya.
21
22
27
Komandan Korem 072/Pamungkas, Kol CZI Roni Sikap Sinuraya, membantah: Tidak
29
benar pemegang KTL/Kartu Tanda Lapor (cetak miring penulis) tidak diperbolehkan
30
meninggalkan rumah, dan tidak benar jika kedapatan tidak berada di rumah
31
sewaktu di datangi petugas bisa di tembak. Mereka boleh saja meninggalkan rumah
32
dalam batas-batas tertentu. Menurutnya terdapat sekitar 2.000 pemegang KTL,
33
semuanya masih di bawah pengawasan petugas keamanan.
27
28
28
23
Suara Merdeka, 28 Juli 1983.
24
Suara Merdeka, 2 Agustus 1983.
25
Merdeka, 26 Juli 1983.
26
Suara Medeka, 26 Juli 1983.
27
Suara Merdeka, 4 Agustus 1983. 28
Ditanya tentang merembetnya “petrus” (penembak misterius) ke Yogyakarta, dengan nada tinggi ia balik bertanya, “dari mana istilah itu, istilahnya sudah tidak benar,” sambil meminta para wartawan untuk ikut menberikan pengertian yang benar tentang sesuatu yang menyangkut Kamtibmas. Lihat: Kedaulatan Rakyat, 17 Januari 1984.
34
35
III.2.2. Fakta Peristiwa Penembakan Misterius 1982–1985 di Jawa Tengah
36
37
III.2.2.1. Bentuk-Bentuk Kejahatan Yang Terjadi Dalam Peristiwa Penembakan
38
Misterius 1982–1985 di Jawa Tengah
39
1. Pembunuhan
1
2
Korban jiwa dalam peristiwa Penembakan Misterius periode 1982 sampai dengan
3
1985 tidak dapat dinyatakan secara pasti, karena tidak ada penghitungan resmi dan
4
sah. Ada beragam penyebutan jumlah korban. Sementara itu fakta pembunuhan
5
yang terjadi dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan
6
1985 di Jawa Tengah dapat dijelaskan sebagai berikut:
7
8
a. Diambil oleh atau diduga oleh tentara atau polisi(terkadang dengan
9
menggunakan teman untuk menjemput korban)
10
b. Diambil atau dieksekusi oleh orang yang tidak dikenal
11
c. Diambil dari tempat umum
12
d. Tidak diketahui proses pembunuhannya
13
14
2. Perampasan kemerdekaan
15
16
Dari hasil penyelidikan Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai
17
dengan 1985 ini ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan
18
kemerdekaan secara sewenang-wenang. Bentuk lain dari perampasan ini adalah
19
penangkapan tidak disertai dengan surat perintah penangkapan dalam peristiwa
20
penembakan misterius periode 1982 sampai dengan 1985 dilaksanakan dengan
21
beberapa cara sebagai berikut:
22
23
a. Korban diambil dari tempat tinggalnya tanpa penjelasan apapun oleh orang
24
yang tidak jelas identitasnya (biasanya korban dibawa dengan mobil)
25
b. Korban diambil dari rumahnya oleh polisi tanpa alasan yang jelas
26
c. Korban diambil oleh tentara
27
d. Korban diambil dari tempat umum
28
e. Korban di ambil dari tempat ditahan
29
30
3. Penyiksaan
31
4. Penghilangan orang secara paksa
32
33
Pada peristiwa penembakan misterius periode 1982 sampai dengan 1985 di Jawa
34
Tengah ditemukan tindakan penghilangan orang secara paksa sebagaimana yang
35
diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut. Fakta-faktanya
36
sebagaimana dijelaskan berikut ini:
37
38
a.
Dijemput orang yang tidak dikenal dari rumah korban39
b.
Dijemput atau dijebak oleh teman korban40
c.
Diambil dari jalan/tempat umum oleh polisi41
d.
Diketahui memenuhi panggilan polisi untuk datang ke kantor polisi42
e.
Tidak diketahui proses penghilangannya43
44
III.2.2.2. Gambaran korban
45
46
Berdasarkan kesaksian di Jawa Tengah terdapat beberapa klasifikasi korban yakni;
47
pertama, korban merupakan preman-preman kelas teri atau mereka yang dianggap
48
melawan peraturan kekuasaan era pemerintahan Soeharto, yaitu dikenal sebagai
49
gali, bromocorah, tukang palak, tukang copet, atau para pemuda yang dianggap
50
preman. Kedua, residivis dan/atau mantan narapidana. Ketiga, orang yang diadukan
51
sebagai penjahat. Klasifikasi korban yang menjadi target dalam operasi ini adalah:
52
a. Dianggap sebagai pelaku kejahatan (preman, gali, buronan, bromocorah)
53
c. Orang yang diadukan sebagai penjahat
1
2
1. Latar Belakang Korban
3
4
Latar belakang para korban kurang lebih sama, yaitu orang-orang yang dianggap
5
sebagai penjahat, seperti bromocorah atau gali atau perampok atau preman. Selain
6
itu ada juga orang-orang yang dianggap sebagai residivis yaitu orang-orang yang
7
telah keluar masuk penjara karena melakukan kejahatan.
8
9
2. Jenis kelamin dan usia korban
10
11
Korban dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985
12
di Jawa Tengah dapat dipastikan berjenis kelamin laki-laki. Sementara usia para
13
korban beragam, namun apabila ditarik usia rata-rata maka usia rata-rata korban
14
adalah 23 tahun sampai dengan 52 tahun.
15
16
3. Jumlah korban
17
18
Tidak ditemukannya kepastian angka korban Penembakan Misterius periode 1982
19
sampai dengan 1985 di Jawa Tengah, menyebabkan angka korban yang mati juga
20
tidak dapat dipastikan dengan bukti atau data yang sah menurut hukum. Pada
21
minggu pertama Juli 1983, ada 17 mayat residivis ditemukan di Kab. Tegal. Sampai
22
pertengahan Juli 1983, sudah ada 20 mayat gali yang ditemukan di seputar Solo,
23
dimana 7 tewas dalam waktu 5 hari. Hasil pelaksanaan OPK di Solo (Daerah Kowil
24
95 Solo) ada sekitar 35 penjahat telah ditemukan tewas tertembak sampai dengan
25
Juli 1983. Sejak 10 Juli s.d. 15/16 Juli 1983, tercatat ada 7 orang penjahat kambuhan
26
tewas, dimana 5 orang tewas akibat terkena tembakan, dan 2 orang lainnya tewas
27
akibat luka jerat di leher.29
4. Sebaran geografis korban
30
28
29
Sebaran korban dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai
31
dengan 1985 di Jawa Tengah tidak hanya terjadi di satu lokasi wilayah saja, namun
32
terjadi hampir di seluruh Jawa Tengah. Wilayah sebaran yang dapat diidentifikasi
33
adalah Semarang, Magelang, Solo, Blora dan Cilacap.
34
35
III.2.2.3. Gambaran pelaku atau pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban
36
37
Bahwa berbagai institusi negara dalam berbagai tindak kejahatan dalam peristiwa
38
yang diduga terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah dari Militer, Kepolisian
39
dan pemerintah sipil. Bahwa dugaan keterlibatan institusi dapat dilihat dari kesiapan
40
sarana dan prasarana dan tindakan aparat negara di masing-masing institusi pada
41
kejahatan yang terjadi. Keterlibatan berbagai institusi tersebut dapat menunjukkan
42
adanya aspek kebijakan pemerintah atas terjadinya peristiwa Petrus. Kebijakan tidak
43
perlu diformulasikan dan secara normatif dapat disimpulkan di lapangan. Kebijakan
44
negara ini bisa pelaksanaannya melalui lembaga, personil, atau sumber-sumber
45
daya negara.
46
47
Bahwa institusi militer di Jawa Tengah yang terlibat atau setidak-tidaknya
48
mengetahui adalah Kodim Semarang, Kodim Cilacap, Kodim Salatiga, Koramil
49
Jebres Solo, Institusi Kepolisian yang terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui
50
adalah Polres Solo, Polres Magelang dan Polres Semarang.
51
52
29
Para pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban ini setidaknya mencakup
1
beberapa kategori yaitu; pertama, pelaku yang melakukan aktivitas kekerasan di
2
lapangan; kedua, para pelaku yang melakukan aktivitas pengendalian operasi
3
lapangan termasuk didalamnya aparat sipil dan para komandan militer dan
4
kepolisian; Ketiga, pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan termasuk
5
didalamnya pejabat tinggi militer, polisi ataupun aparat sipil yang secara aktif
6
maupun pasif terlibat atau mengetahui berbagai tindak kejahatan tersebut.
7
8
III.4. Bentuk-Bentuk Kejahatan Yang Terjadi Dalam Peristiwa Penembakan
9
Misterius 1982 – 1985
10
11
Peristiwa penembakan misterius atau yang disingkat dengan Petrus terjadi antara
12
1982 sampai dengan 1985. Pada masa itu masyarakat di berbagai daerah Indonesia,
13
terutama Jawa, ditemukan mayat bertato dengan luka tembak, atau jempol terikat.
14
Mayat-mayat ini ditemukan di berbagai tempat umum, misalnya pasar, sawah, jalan
15
raya, selokan, sungai, jurang, ataupun tepi pantai. Menurut sebuah berita, korban
16
mencapai angka 9.000 jiwa.30
Korban jiwa dalam peristiwa Penembakan Misterius periode 1982 sampai dengan
50
1985 tidak dapat dinyatakan secara pasti, karena tidak ada penghitungan resmi dan
51
sah. Ada beragam penyebutan jumlah korban, Menteri Luar Negeri Belanda pada
52
1984 – Hans van den Broek menyebutkan jumlah korban Penembakan Misterius
53
17
18
Semasa hidupnya, korban dianggap atau dinyatakan sebagai penjahat, para gali,
19
kaum kecu, preman, jagoan, bromocorah, dan tukang palak, yang dalam sejarah
20
memang selalu dipinggirkan, walau secara taktis juga sering dimanfaatkan. Pada
21
saat penembak misterius merajalela, terjadi pro kontra. Ada yang menyatakan
22
bahwa peristiwa tersebut merupakan peristiwa antar gank, atau tindakan
23
pengamanan ketertiban, atau shock therapy. Sementara yang kontra menyatakan
24
bahwa peristiwa tersebut merupakan hukuman tanpa pengadilan tersebut adalah
25
kesalahan serius.
26
27
Bentuk-bentuk kejahatan yang diduga terjadi atas diri korban adalah yang dijelaskan
28
di bawah ini.
29
30
III.4.1. Pembunuhan
31
Di dalam Peristiwa Penembakan Misterius periode 1982–1985 ini diduga telah terjadi
32
salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat yaitu pembunuhan. Bentuk ini diatur
33
dalam Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun
34
2000 tentang Pengadilan HAM.
35
36
37
Fakta-fakta di bawah ini memaparkan serangan yang terjadi pada periode 1982
38
sampai dengan 1985 terhadap penduduk sipil yang dinyatakan sebagai pengganggu
39
keamanan di Yogyakarta, Medan, Palembang, Solo, Mojokerto, Semarang,
40
Purwodadi, Malang, Cilacap, Magelang, dan Jakarta. Tindakan tersebut diduga
41
dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi sebagai aparat militer dan kepolisian
42
setempat, misalnya Garnisun Yogyakarta dan KODIM 0734/Yogyakarta, Laksus di
43
Medan, Polsek Ngampilan – DI Yogyakarta, Poltabes Semarang, CPM Palembang,
44
Polres Palembang, Koramil Jebres - Solo, Polsek Banjarsari, Polsek Muspiya -
45
Magelang, Polresta Magelang Utara, Polsek Jatiredjo - Mojokerto, Kodim 0833
46
Malang, POLDA Metro Jaya, dan ada beberapa lagi satuan kepolisian atau TNI lokal
47
lainnya.
48
49
30
adalah 3.000 orang, sementara Mulyana W. Kusumah – kriminolog menyebutkan
1
bahwa korbannya sebanyak 2.000 orang. Sementara itu ada sumber lain yang
2
memerinci korban Penembakan Misterius di Sumatera Utara sebanyak 300 orang,
3
Bandung sebanyak 120 orang, Jawa Tengah sebanyak 70 orang, Yogyakarta
4
sebanyak 60 orang, dan Jakarta sebanyak 55 orang. Kemudian Kopendak VIII
5
Langlangbuana (Jawa Barat) – Letkol. J.J. Manuraip pada 1989 menyatakan bahwa
6
korban penembakan ada 89 orang. Sementara itu fakta pembunuhan yang terjadi
7
dalam Peristiwa Penembakan Misterius Periode 1982 sampai dengan 1985 ini dapat
8
dijelaskan sebagai berikut:
9
10
1. Diambil oleh atau diduga oleh tentara atau polisi(terkadang dengan
11
menggunakan teman untuk menjemput korban)
12
Empat puluh empat orang saksi menyatakan antara lain bahwa korban
13
dijemput/diambil oleh orang berseragam loreng hijau dan atau orang dengan ciri
14
dan karakter yang patut diduga sebagai tentara atau polisi, sebagian korban
15
dijemput dari rumahnya dan sebagian yang lain diambil saat berada di jalan.
16
Orang yang menjemput/mengambil para korban itu ada yang menggunakan
17
topeng atau cadar untuk menutupi wajah dan identitasnya. Beberapa diantaranya
18
menggunakan kendaraan Toyota hardtop berwarna hitam. Didapatkan pula dari
19
keterangan para saksi, beberapa diantaranya mekakukan penjemputan atau
20
pengambilan para korban dengan membawa senjata api.
21
22
2. Diambil atau dieksekusi oleh orang yang tidak dikenal
23
Delapan orang saksi menyatakan bahwa korban diambil oleh orang yang tidak
24
mereka kenal sebelumnya dan kemudian ditemukan dalam keadaan sudah
25
menjadi mayat. Beberapa saksi yang merupakan keluarga korban menyatakan
26
bahwa mayat korban dimasukan ke dalam karung yang kemudian ditemukan di
27
pinggir jalan atau tempat-tempat tertentu, sementara saksi yang lain menyatakan
28
bahwa kematian korban dikabarkan oleh petugas kepolisian yang kemudian
29
meminta keluarga korban ke rumah sakit tertentu untuk melakukan identifikasi
30
terhadap jenazah yang ditemukan. Beberapa saksi menemukan korban dalam
31
keadaan telah dikuburkan.
32
33
3. Diambil dari tempat umum
34
Dua orang saksi menyatakan bahwa korban diambil dari tempat umum dengan
35
disaksikan oleh banyak orang. Ada yang diambil dari tempat bermain bilyard,
36
sementara saksi yang lain menyatakan bahwa korban diambil pada saat sedang
37
mengikuti arisan kusir andong yang disertai dengan permainan judi.
38
39
4. Tidak diketahui proses pembunuhannya
40
Proses pembunuhan korban Petrus seringkali tidak diketahui. Sebelas orang
41
saksi menyatakan bahwa telah melihat mayat korban Petrus dipinggir jalan atau
42
dipinggir sungai, namun tidak mengetahui bagaimana proses terbunuhnya para
43
korban Petrus. Sebagian mayat yang ditemukan itu dimasukkan di dalam karung
44
dengan jempol yang diikat seutas tali. Pada umumnya mayat yang ditemukan
45
tersebut terdapat luka tembak atau luka oleh senjata tajam. Seorang saksi
46
pendeta bahkan menyatakan telah menemukan mayat dalam karung yang
47
diletakkan di depan rumahnya. Sementara saksi lainnya menyatakan telah
48
menemukan kuburan 10 orang yang dimasukkan di dalam satu lubang di pinggir
49
pantai.
50
51
Seorang saksi petugas medik forensik menjelaskan bahwa sekitar 1982 sampai
52
dengan 1985 menjadi bagian dari pemeriksa mayat-mayat yang mempunyai luka
53
tembak yang mempunyai lebih dari 1 (satu) pola yaitu ada luka tembak di bagian