• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

A. Pandangan Beberapa Ahli Tafsir Terhadap Ayat 79 (al Israa‟)

1. Tafsir Surat al Israa‟ Ayat 79

ُّّبَرَّكَثَعْ بَ يّنَأّىَسَعَّكَّلًّةَلِفاَنِّوِبّْدَّجَهَ تَ فِّلْيَّللاَّنِمَو

ًّادوُمَّْمًَّّاماَقَمَّك

Artinya:

Dan pada sebagian malam bertahajudlah dengannya sebagai tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji (QS.al-Israa‟: 79).

a. Dalam Tafsir Ibnu Katsir

Dalam setiap ayat penulis menyajikan tiga ahli tafsir yaitu tafsir Ibnu Katsir, al Misbah dan al Maragi, dengan harapan agar diperoleh penjelasan yang komprehensif dan mendalam.

Dalam ayat ini Ibnu Katsir (2000:86) menjelaskan bahwa Rasulullah Saw memiliki beberapa kemuliaan yang tidak dimiliki atau disamai oleh seorang pun. Kemuliaan itu sebagai berikut. Dia adalah orang yang pertama kali tanah terbelah untuk beliau. Dia bangkit dan berkendaraan menuju mahsyar. Dia memiliki panji yang Adam dan orang-orang yang sesudahnya berada di bawah panjinya. Dia memiliki telaga yang paling banyak di kunjungi orang. Dia memiliki syafaat „udhma (besar) di sisi Allah yang

42

akan memutuskan hukum di antara makhluk. Pemberian itu terjadi setelah manusia meminta syafaat kepada Adam, kepada Nuh, kepada Ibrahim, kepada Musa, dan kemudian kepada Isa. Masing- masing dari kelima nabi ini berkata, Aku tidak berhak memberikan syafaat. Akhirnya, datanglah manusia kepada Muhammad Saw. Dia berkata, Akulah yang berhak memberikan syafaat. Karena itu, dia memberikan syafaat kepada beberapa kaum yang telah disuruh masuk ke dalam neraka. Kemudian mereka dikembalikan dari neraka. Dialah nabi yang pertama kali menjalankan hukum di antara umatnya, (di dunia) yang pertama kali melintasi shirath (jembatan) bersama umatnya, dan yang pertama kali memberikan syafaat di surga. Demikianlah ditegaskan di dalam Shahih Muslim. Dalam hadits dikatakan bahwa seluruh orang mukmin tidak dapat masuk surga kecuali dengan syafaat Nabi Saw. Beliaulah orang yang pertama kali masuk surga. Umatnya masuk surga sebelum umat lain. Beliau memberi syafaat kepada kaum yang amalnya tidak memadai untuk dapat masuk surga. Beliaulah pemilik wasilah, yaitu kedudukan tertinggi di surga yang tidak layak dimiliki kecuali oleh dia. Apabila Allah telah mengizinkannya untuk memberikan syafaat kepada orang-orang durhaka, maka para malaikat, para nabi, dan kaum mukminin pun dapat memberi syafaat. Sedangkan beliau sendiri memberi syafaat kepada makhluk yang jumlahnya hanya diketahui oleh Allah

43

Ta‟ala. Tidak ada seorang pun yang memberi syafaat seperti dia dan tidak ada pemberian syafaat yang setara dengan dia (Ar-Rifa‟i, 2000:86)

b. Dalam Tafsir Al Mishbah

Kata

(دّجته)

tahajjad terambil dari kata

(دوجى)

hujȗd yang berarti tidur. Kata tahajjad dipahami oleh al-Biqȃ‟i dalam arti tinggalkan tidur untuk melakukan salat. Salat ini juga dinamai Salat Lail/Salat Malam karena dilaksanakan di waktu malam yang sama dengan waktu tidur. Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti bangun dan sadar sesudah tidur. Tahajud kemudian menjadi nama salat tertentu karena yang melakukannya bangun dari tidurnya untuk melaksanakan salat. Salat ini terdiri dari dua sampai delapan rekaat.

Kata

(ىسع)

asȃ biasanya digunakan dalam arti harapan. Tetapi, tentu saja harapan tidak menyentuh Allah SWT. Karena harapan mengandung makna ketidakpastian, sedang tidak ada sesuatu yang tidak pasti bagi-Nya. Atas dasar itu, sementara ulama memahami kata tersebut dan semacamnya dalam arti harapan bagi mitra bicara. Dalam konteks ayat ini, Rasul Saw diprintahkan untuk melaksanakan tuntunan di atas disertai dengan harapan kiranya Allah menganugerahkan beliau maqȃman mahmȗdan. Ada

44

juga yang berpendapat bahwa kata

(ىسع) ‘

asȃ dalam al-Qur‟an, bila disertai dengan kata yang menunjuk Allah SWT sebagai pelakunya, harapan itu menjadi kepastian. Dan dengan demikian ayat ini menjanjikan Nabi Muhammad Saw, janji yang pasti bahwa Allah SWT akan menganugerahkan beliau maqȃm itu.

Kata

(ادوممَّّ اماقم)

maqȃman mahmȗdan dapat berarti kebangkitan yang terpuji, bisa juga di tempat yang terpuji. Ayat ini tidak menjelaskan apa sebab pujian dan siapa yang memuji. Ini berarti bahwa yang memujinya semua pihak, termasuk semua makhluk. Makhluk memuji karena mereka merasakan keindahan dan manfaat yang mereka peroleh bagi diri mereka. maqȃm terpuji itu adalah syafaat terbesar Nabi Muhammad Saw pada hari Kebangkitan.

Di Hari Kiamat nanti, setelah kebangkitan manusia dari kubur dan ketika mereka berada di Padang Mahsyar, sengatan panas matahari sangat perih dirasakan lebih-lebih bagi yang bergelimang dengan dosa. Keringat manusia bercucuran sesuai dengan dosa masing-masing, sampai-sampai ada di antara yang keringatnya hampir menenggelamkan badannya sendiri. Rasa takut menyelimuti jiwa setiap orang. Pada situasi yang sangat mencekam di padang Mahsyar itulah Allah SWT. Menunjukkan secara nyata betapa tinggi kedudukan Nabi Muhammad Saw.

45

Syafaat ini dinamai juga Syafaat terbesar. Dan inilah yang dimaksud dengan al-Maqȃm al-Mahmȗd/Kedudukan yang mulia yang dijanjikan dalam ayat di atas (Shihab, 2002:168). c. Dalam Tafsir Muyassar

Dalam tafsir Muyassar al-Israa‟ ayat 79 ini merupakan perintah kepada Nabi Saw. supaya melakukan salat malam, selain salat-salat yang telah difardukan. Sesungguhnya salat tahajud itu suatu kewajiban khusus untuk Nabi Muhammad Saw semata-mata, bukan untuk umatnya, sedang bagi umatmu mandub (sunnah). Lakukanlah apa yang aku perintahkan ini supaya Kami menempatkan kamu pada hari kiamat pada tempat yang kamu mendapat ujian dari seluruh makhluk maupun dari Penciptamu Yang Maha Suci dan Maha Luhur.

Rahasianya, karena seluruh pemberi petunjuk di muka bumi ini, yaitu para nabi, imam atau ulama dan siapa pun yang meneladani mereka, hati mereka takkan memancarkan sinar kecuali dengan menghadapkannya kepada Allah pada waktu- waktu salat. Kemudian, apabila mereka melakukan da‟wah kepada makhluk Allah lainnya, maka bersinarlah seluruh jiwa mereka yang jernih menyinari hamba-hamba Allah yang mereka seru, sehingga terang benderang jiwa mereka, lalu memenuhi seruan mereka. Dengan demikian, para penyeru itu mendapatkan kedudukan terpuji di kalangan hamba-hamba Allah lain, serta

46

pujian yang besar, yang patut mereka terima. Di samping hamba- hamba Allah itu merasakan kesenangan, kelezatan, kebahagiaan dan kerelaan dalam hati mereka, sehingga mereka memuji kedudukan para penyeru itu, di samping mendapatkan pujian dari orang-orang lain di sekelilingnya, sementara Allah dan para malaikat pun memuji mereka.

Tidak khayal, bahwa kedudukan sebagai pemberi petunjuk dan bimbingan terpuji ini, diikuti pula dengan kedudukan sebagai pemberi syafa‟at. Karena syafa‟at di akhirat memang tidak diberikan kecuali berdasarkan ukuran ilmu dan akhlak yang telah diterima oleh orang yang diberi syafa‟at itu ketika di dunia, dan terserah kepada Allah semata-mata pemberian syafa‟at itu, kepada siapa saja yang Dia kehendaki, baik berupa ampunan dosa maupun ditinggikannya derajad masing-masing orang („Aidh al-Qarni, 2007:113).

Dokumen terkait