BAB I PENDAHULUAN
4.4. Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan Studi Tentang
4.4.2 Tahap Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat
Tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori / Kelurahan (BPN / K)
Pelaksanaan program pembangunan nagori memiliki peranan yang penting
untuk proses penumbuhan keberdayaan masyarakat nagori. Proses tersebut dapat
terutama masyarakat sebagai aktor utama. Akan tetapi ternyata tidak semua program
yang masuk ke nagori memiliki muatan proses belajar.
Masih ditemukan program pembangunan yang lebih bernuansa proyek.
Padahal di dalam proyek, hasillah (output) yang terpenting dibandingkan prosesnya.
Wacana tentang orientasi pembangunan sebagai proses belajar, terlihat dari beberapa
pernyataan masyarakat, sebagaimana diutarakan oleh salah seorang masyarakat,
yaitu:
...Tidak kita duga-duga tahu-tahu ada bantuan untuk perkerasan jalan atau pembatuan jalan, kami tidak tahu persisnya tentang program tersebut. Itu malahan kita mengucapkan terima-kasih.... Sebenarnya kami sendiri sudah mengetahui bagaimana namanya usulan ataupun perencanaan dalam musbang, dimana kami bermusyawarah menentukan pembangunan yang akan dilaksanakan di nagori kami. Tapi hanya sebatas itu saja. Kami tidak mengetahui persis kapan implementasinya akan berlangsung dan bagaimana teknis pelaksanaannya. (PS, 12 September 2007)
Informasi yang lain muncul dan patut dirujuk, tercermin dari keterangan
Camat sebagai berikut :
...Dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan nagori, kami ditingkat Kecamatan di dalam setiap kesempatan sosialisasi ke bawah, selalu menekankan pentingnya perspektif kepemilikan dan keterlibatan aktif masyarakat di dalam program yang digulirkan, sebab pengalaman selama ini, kegiatan membangun sangatlah gampang, namun belum tentu bermanfaat bagi masyarakat dan tidak akan bertahan lama, sebab masyarakat tidak merasa memiliki dan tidak merasa terlibat, sehingga mereka apatis, hal tersebut masih untung sebenarnya, bagaimana jadinya jika mereka merusaknya, kan.. susah. Kemudian berkenaan dengan BPN / K, sebenarnya tidak dikenal intervensi kecamatan, hanya saja kami mencoba memformulasikannya sedemikian rupa supaya masyarakat lebih berswadaya dan lebih berpartisipasi aktif, itulah yang menjadi syarat mutlak. Pola demikian pun juga sebenarnya untuk mencoba melakukan proses pembelajaran masyarakat, supaya jangan serba tergantung dan mencoba menghidupkan kembali semangat marharoan (gotong-royong). Dulu kok bisa
terjadi, masyarakat tidak tergantung dengan pemerintah, akan tetapi kami juga realistis, dinamika masyarakat juga sudah sedemikian maju, sehingga menjadi pertimbangan untuk perbaikan program yang lebih memberdayakan masyarakat dimasa yang akan datang, jadi di dalam kebijakan Pemkab Simalungun pun.. kedepan, senantiasa mendesain program yang bermuatan pemberdayaan masyarakat dan memperhatikan kehidupan sosial budaya dan ekonomi mereka, sebab bagaimanapun harta karun pemda terbesar berada di nagori sebenarnya. (REPS, 2 Oktober 2007)
Berdasarkan pemikiran Schumacher (1993:184) yang mengatakan bahwa
bantuan yang terbaik yang dapat diberikan kepada masyarakat adalah bantuan
intelektual yang berupa pemberian pengetahuan yang berguna. Untuk dapat
memahami suatu pengetahuan, diperlukan kerja keras dan pengorbanan. Sesuatu yang
sukar didapat, biasanya setelah didapat akan berusaha untuk tetap memilikinya dan
bahkan melestarikannya. Lain halnya bila bantuan diberikan dalam bentuk barang
atau sesuatu yang telah jadi, yang tanpa diusahakan maka jarang menjadi “milik
sendiri”.
Mencermati kegiatan pembangunan sarana dan prasarana transportasi
sebagaimana telah dianalisa sebelumnya, ada beberapa aspek yang memberikan ruang
bagi masyarakat untuk dapat mengerahkan segala sumber daya yang dimilikinya.
Pertama, meskipun bukan berupa uang yang dapat mereka sumbangkan, namun
dengan adanya kesempatan yang terbuka bagi masyarakat untuk berpartisipasi, berarti
ada penghargaan akan keberadaan sebagai warga masyarakat lengkap dengan
pengetahuan yang dimilikinya. Mereka dapat mempengaruhi jalannya kegiatan agar
sesuai dengan kebutuhannya, karena mereka juga nantinya yang akan memanfaatkan
Hal diatas sejalan dengan keterangan salah seorang masyarakat nagori Talun
Kondot tentang peranan mereka, sebagai berikut : ” kami sebagai warga masyarakat
tidak mengharapkan pemerintah dapat memenuhi semua kebutuhan kami. Namun bila
ada pembangunan kami akan senang sekali apabila kami sebagai masyarakat dapat
turut terlibat walaupun dalam hal yang kecil-kecil saja karena dari situ kami merasa
dihargai dan diakui keberadaannya.” (MH, 28 September 2007)
Kedua, informasi program yang transparan yang dimulai dari besarnya, siapa
yang harus dilibatkan dan bagaimana mekanisme kerjanya dalam setiap kesempatan
dan tempat pertemuan baik secara formal ataupun informal. Adanya transparansi ini
berarti masyarakat dapat segera memposisikan diri untuk berperan. Apa saja yang
dapat mereka lakukan supaya dapat memberikan manfaat yang lebih besar. Melalui
penyediaan informasi yang transparan sebagaimana dijelaskan oleh Korten
(1988:247), juga dapat dijadikan sebagai wahana proses belajar untuk meningkatkan
keberdayaan masyarakat.
Ketiga, terbukanya informasi mengenai program sejak adanya sosialisasi
berarti pula terbuka kesempatan bagi masyarakat untuk dapat melakukan
pengontrolan. Kontrol dimaksud bukan berarti untuk meng-counter pelaksanaan
program, akan tetapi sebagai salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat agar
pelaksanaan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya.
Begitu pula dengan hasil akhir yang dapat mencerminkan bahwa insiatif dan kreatif
social control di nagori tercermin dalam lembaga Maujana Nagori, namun sampai
sejauh mana mereka dapat merefleksikannya, tentu merupakan persoalan yang lain.
Keempat, berdampak langsung pada kebutuhan pokok masyarakat.
Sebagaimana terlihat pada pembangunan prasarana transportasi, jelas sangat
berpengaruh bagi mobilisasi produksi pertanian masyarakat. Adanya permasalahan-
permasalahan tersebut menunjukkan bahwa pembangunan prasarana tersebut sangat
berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Tinjauan demikianlah yang
menjadi entry point bagi masyarakat untuk berperan sesuai dengan kapasitas dan pada
gilirannya membuat mereka lebih berdaya.
Berdasarkan analisis diatas, dapat dikatakan bahwa pembangunan sebagai
upaya mengadakan perubahan agar tercipta masyarakat yang lebih berdaya
hendaknya dipahami sebagai suatu gerakan bersama dari masyarakat, sekaligus
sebagai proses yang memberdayakan masyarakat. Sebagai suatu gerakan bersama,
maka adanya intervensi sebagai salah satu aspek dalam pembangunan, berarti
memposisikan peranan pemerintah lebih pada penciptaan peluang, dimana akan
memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan diri sendiri, sebagimana
dinyatakan Korten (1988:378) tentang pembedaan peranan pemerintah, yaitu peran
pertama, yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan rakyat, dan peran kedua, yang
bertindak menciptakan keadaan yang memungkinkan rakyat dapat menjadi lebih
efektif dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dilihat dari substansinya,
Penempatan masyarakat sebagai aktor utama berarti melibatkan masyarakat
secara langsung, yang akan membawa tiga dampak penting, yaitu : 1) terhindar dari
peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan rakyat akan memperjelas apa yang
sebetulnya dikehendaki masyarakat, 2) memberi nilai tambah pada legitimasi
rumusan perencanaan yang sangat kuat, karena secara kuantitas semakin banyak
masyarakat yang terlibat akan lebih baik, terlepas dari segi kualitasnya dan 3)
meningkatkan kesadaran atas hak berpartisipasi dan adanya komitmen moral yang
tinggi terhadap nagori. Dengan demikian diharapkan berpengaruh signifikan terhadap
keterlibatan masyarakat sekaligus proses memberdayakannya.
Perwujudan proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat,
khususnya dalam aspek keterlibatan dalam perencanaan merupakan hal yang urgen,
karena itulah titik awal yang menentukan arah perjalanan program itu sendiri. Bukan
sekedar dilaksanakan dan lalu selesai, akan tetapi bagaimana dapat bermanfaat
optimal dan berkelanjutan. Manfaat akhir atau keluaran program adalah untuk
masyarakat, sehingga desain yang memuat aspek bottom-up planning harus
mendapatkan tempat yang penting. Dengan demikian keluaran program itu sesuai
(walaupun tidak seratus persen) dengan kebutuhan penerima manfaat yang
sesungguhnya yaitu masyarakat.
Sebenarnya pelaksanaan program BPN / K juga belum mampu melibatkan
masyarakat secara optimal dan obyektif. Tercermin dari sikap apriori serta masih
adanya stigma pelaksanaan bangdes dimasa lalu yang dianggap “jelek” dikalangan
...Untuk diketahui saja, masyarakat kecamatan ini jelas saja bersemangat karena mereka tahu dana ada dari atas, kalaupun mereka berpartisipasi, itupun hanya sebentar, seperti pernah ada kasus di nagori marjandi, masyarakat berhenti berpartisipasi dalam program BPN / K yang memperkeras jalan, karena ada hasutan semua dana sudah ditanggung dari atas dan masyarakat tinggal terima beres, jadi serba susah sih....padahal khan... tujuannya bagaimana masyarakat diberdayakan. (MG, 2 Nopember 2007)
Mencermati kondisi obyektif masyarakat yang berpotensi menghalangi
keterlibatannya dalam perencanaan pembangunan, dapat dianalisis dari dua hal, yaitu:
Pertama, adanya kenyataan dimana masyarakat lokal (nagori) telah sekian lama
hidup dibawah hegemoni birokrat yang berakibat munculnya kesadaran dan aspirasi
masyarakat, yang justru merupakan refleksi dari aspirasi birokrat. Terlihat bahwa
kondisi yang dihadapi masyarakat merupakan entry point bagi birokrat untuk
melaksanakan kegiatan yang pada akhirnya merefleksikan keinginan birokrat di
tingkat lokal, yang menjadi standar penilaian bagi birokrat tingkat atas.
Kedua, masyarakat telah kehilangan institusi dan kecerdasan lokal sebagai
akibat tekanan “terselubung” dari elit lokal. Situasi demikian membuat masyarakat
menjadi apatis dan tidak percaya terhadap kepemimpinan formal. Sebagaimana
terjadi dilapangan, sikap apatis dan kekurang percayaan tersebut berpengaruh
signifikan dalam perencanaan pembangunan desa, terbukti dari sikap apatis
masyarakat dalam pelaksaaan program BPN / K. Bagi masyarakat, yang terpenting
hasil kegiatan menyentuh kebutuhan mereka, tanpa mau tahu dengan “sepak terjang”
elit lokal (nagori) yang terpinggirkan akibat peralihan pengelolaan BPN / K dari
Masyarakat itu sendiri haruslah dilihat dari berbagai komponen dan strata
yang ada. Harus disadari bahwa banyak kesulitan yang akan ditemukan bila hendak
menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Namun dengan asumsi bahwa anggota
masyarakat yang paling rendah tingkat kehidupannya adalah yang paling
membutuhkan sentuhan program. Dengan demikian mereka inilah yang menjadi
prioritas agar dapat menerima lebih banyak manfaat program.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sudah barang tentu peranan para stakeholder
di tingkat lokal/nagori seperti LPMN dan Maujana Nagori, menjadi penting dalam
mengartikulasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Artikulasi tersebut harus
mencerminkan ruang yang luas untuk peranan masyarakat di dalam langkah-langkah
selanjutnya. Meskipun sudah terartikulasikan dalam LPMN atau Maujana Nagori,
namun peranan masyarakat tetap sangat penting, mereka tidak boleh menjadi sekedar
penonton. Efektifitas dan legitimasi lembaga tersebut sebenarnya justru sangat
dipengaruhi sejuh mana aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal terartikulasikan di
dalamnya dan proses tersebut sangatlah dinamis dan berkesinambungan.
Pranarka (1996:57) menyebutkan bahwa terdapat dua kecenderungan di dalam
pemberdayaan yaitu kecenderungan primer dan sekunder. Dalam konteks penelitian
ini kecenderungan sekunder lebih menonjol yang dicerminkan dari karakteristik
program pembangunan yang ada di Kecamatan Panombeian Panei. Hal ini tampak
dari terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk mengerahkan sumber daya yang
dalam mengembangkan kreatifitasnya dalam pembangunan, sebagaimana tercermin
dalam program BPN / K.
Program BPN / K bersifat stimulus serta mengandung konsekuensi yang tidak
mudah dilaksanakan, terutama pengerahan sumber daya yang ada dari masyarakat.
Umumnya banyak program yang mempunyai sifat yang sama dan implementasinya
masih terpengaruh pada struktur kekuasaan baik di tingkatan nagori atau di tingkatan
kecamatan. Sering terjadi proses awalnya masih berupa bottom-up planning, namun
harus diakui dalam kelanjutannya justru sering tergantung pada “pertimbangan lain”
yang berasal dari atas, sehingga mengalami pembiasan, dan akhirnya secara
terselubung justru berubah menjadi top-down planning, sebagaimana dinyatakan
Uphoff dalam Cernea (1998:500) sebagai suatu yang paradoks dalam mendorong
partisipasi melalui promosi pembangunan dari bawah (bottom-up planning), tetapi
justru sering pula membutuhkan upaya dari atas, sehingga memunculkan top down
planning.
Dalam konteks yang lebih luas untuk mencapai pemberdayaan masyarakat,
masyarakat harus dapat mandiri dan mampu mengelola sumber daya yang mereka
miliki. Untuk itu pemerintah harus mempunyai komitmen, bahwa masyarakatlah yang
menjadi aktor utama dalam pembangunan. Peranan yang dijalankannya harus sesuai
dengan misi pemberdayaan. Mereka harus memiliki sikap yang dilandasi pandangan
bahwa rakyat mampu memperbaiki kehidupannya asal diberi peluang untuk itu.
Peluang itu tidak saja sekedar pada pelaksanaan operasional di lapangan, tetapi yang
masyarakat secara utuh. Hal tersebut menyiratkan bahwa aspek bottom-up planning
hendaknya diberi porsi yang lebih besar.
Pembangunan nagori dalam rangka proses pemberdayaan masyarakat perlu
dilaksanakan sedini mungkin, karena terkait dengan berbagai permasalahan yang
dihadapi nagori sehingga penanganannya lebih cepat. Pembangunan yang
dilaksanakan tidak menimbulkan masalah baru ditengah masyarakat, sehingga proses
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan sejak awal pelaksanaan program
pembangunan dapat benar-benar terwujud. Hal diatas kurang sejalan dengan keadaan
dilapangan sebagaimana keterangan salah seorang masyarakat sebagai berikut :
”Memang sulit sekali meluangkan waktu untuk bergotrong royong. Padahal semua itu
dilaksanakan untuk kebutuhan masyarakat. Apalagi sebentar lagi akan jatuh musim
tanam. Wah...gak adalah waktu untuk itu. Waktu untuk ngurus ladang aja kalau bisa 1
hari 30 jam biar bisa selesai.” (KN, 10 Oktober 2007)
Dengan demikian sudah semestinya, pendekatan top-down planning dieliminir
kalau memang tidak dapat ditinggalkan 100 % dan diganti dengan bottom-up
planning. Hal tersebut terkait dengan konsep pembangunan yang berpusat pada
manusia (people centered development), sehingga masyarakatlah sebagai pelaku
utama dalam pembangunan, sedangkan peranan pemerintah lebih terbatas dan bersifat
memfasilitasi arah dan koordinasi pembangunan.
Berkaitan dengan pandangan tentang partisipasi masyarakat yang diharapkan
terwujud, maka peranan dan fungsi masing-masing stakeholder hendaknya
dari masyarakatlah sebenarnya banyak diperoleh pengetahuan yang membumi.
Sehingga dimasa mendatang tidak ada lagi program yang didesain, justru teralienasi
oleh karena masyarakat tidak memahami apalagi memanfaatkannya, atau masyarakat
itu sendiri yang merasa teralienasi. Perumusan program hendaknya
mengimplementasikan grounded theory dan pemahaman tentang manfaat yang
diinginkan pengguna sebenarnya yaitu masyarakat (intended uses in intended user).
Dalam juklak Pelaksanaan Program BPN / K dibagian penggunaan dana dan
pelaksanaan disebutkan bahwa penggunaan dana untuk pembelian bahan, alat dan
keperluan pelaksanaan BPN / K diatas Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 50.000.000,- adalah
penghunjukan langsung (PL) oleh Pangulu / Lurah kepada rekanan. Hal ini dapat
memberi peluang kepada para aparat desa untuk melakukan manipulasi dan kolusi
dengan pihak rekanan. Bahkan berdasarkan pengamatan penulis pelaksanaan program
BPN / K sebagian besar diambil alih oleh pihak ketiga baik pemborong maupun
pekerja harian, sehingga konsep pemberdayaan yang seyogianya untuk
memberdayakan segala potensi masyarakat tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut
sejalan dengan yang dikatakan oleh salah satu pangulu yaitu :
....kami sebagai pangulu sering merasa serba salah. Di satu pihak kami mengetahui betul tujuan dari program BPN / K adalah pemberdayaan masyarakat dengan aplikasi keikutsertaan masyarakat secara nyata dalam pembangunan. Namun kami juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika pelaksanaan BPN / K masyarakat cenderung apatis bila diajak gotong- royong. Mereka beralasan bekerja keladang, sehingga kamipun mengupah pekerja karena program harus cepat direalisasikan. (RS, 22 Oktober 2007)
Pernyataan diatas menunjukkan sikap masyarakat yang tidak mendukung
pelaksanaan pembangunan padahal disatu pihak mereka selain sebagai objek mereka
juga adalah subjek dalam pembangunan. Seperti yang dinyatakan oleh Camat sebagai
berikut:
...Visi utama dalam Program BPN / K adalah mendorong dan mengaktifkan peran serta masyarakat untuk menumbuhkan kreativitas dan aktivitas masyarakat. Apabila pelaksanaan dilapangan tidak sejalan dengan visi utama yang telah digariskan sebelumnya maka perlu dilakukan pembinaan secara mendalam dan terarah agar masyarakat mau terlibat secara sadar dalam pembangunan bukan hanya dalam program ini tetapi dalam setiap program pembangunan yang ada. (REPS, 17 Oktober 2007)
Berdasarkan penelitian tidak semua masyarakat bersikap apatis terhadap
Program BPN / K, namun ada hal lain yang membuat kondisi dilematis dalam
masyarakat seperti yang dikatakan salah seorang masyarakat yaitu : ” walaupun kami
tidak terlibat langsung dalam pembangunan seperti gotong royong bukan berarti kami
tidak mendukung program BPN / K. Tapi apa boleh buat....bila kami gotong royong
tanpa dibayar maka keluarga kami mau makan apa? Padahal kalau kami bekerja
diladang orang atau marombo, upah yang kami terima bisa mencapai Rp. 20.000,-
/hari.” (DP, 6 Nopember 2007)
Dalam proses implementasi aspek yang berperan adalah aspek budaya dan
ekonomi. Aspek budaya adalah usaha bagaimana setiap masyarakat dapat terlibat
langsung di dalam pelaksanaan program BPN / K dengan cara bergotong royong.
BPN / K berlangsung, masyarakat tidak terlibat. Justru yang berperan adalah pihak
ketiga (tukang/pekerja). Sebagaimana yang dikatakan oleh pangulu yaitu;
Ketika mulai dekat hari pelaksanaan Program BPN / K, saya selalu keliling kampung untuk mengingatkan masyarakat agar terlibat dalam gotong royong. Tunggu punya tunggu....masyarakat tidak ada yang datang. Saya sebagai pangulu tentu tidak mungkin memaksa masyarakat. Segala cara saya lakukan mulai dengan cara membujuk dan adat. Namun semua gagal. Saya juga sadar bahwa mereka juga perlu mencari nafkah. Sejak saat itu saya akhirnya mengupah tukang agar melaksanakan program yang telah kami rumuskan sebelumnya. Lagipula hal tersebut tidak bertentang dengan juklat Program BPN / K dari Kabupaten. Padahal kalau masyarakat yang bergotng royong, pasti pembangunan dapat lebih efisien. Kakau sudah begini saya gak mau terjepit ditengah-tengah. (KP, 29 Nopember 2007)
Implementasi Progam BPN / K telah memberikan banyak kegunanaan bagi
masyarakat baik di dalam bidang ekonomi. Kesejahteraan masyarakat menjadi lebih
baik, seperti dinyatakan salah seorang Maujana yaitu;
Pada tahun 2006 masyarakat menginginkan pembatuan jalan yang menghubungkan Talun kondot dengan Huta Banuh Raya. Hal tersebut memang sangat perlu karena mengingat sumber daya alam dari huta banuh raya sangat potensial. Sebelumnya masyarakat mengangkut sendiri hasil pertaniannya dengan menggunakan kereta kerbau dan bahkan dengan memikul. Namun sejak jalan sudah dibatui maka sering sekali pembeli datang langsung kehuta ini membeli hasil pertanian. Masyarakat pun menjadi lebih bersemangat bertani. Otomatis tingkat perekonomian mereka semakin baik. (MS, 14 Nopember 2007)