• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. FORMATIO (PEMBINAAN) PARA NOVIS BERDASARKAN

A. Pandangan Umum tentang Formatio

4. Tahap-tahap Formatio pada Umumnya

Pembinaan religius dalam setiap kongregasi pada umumnya dilaksanakan melalui tahap-tahap formatio berdasarkan konstitusi dari masing-masing tarekat. Berdasarkan situasi dan perkembangan zaman, kebanyakan kesulitan yang dihadapi dalam pembinaan para novis dewasa ini biasanya disebabkan oleh kenyataan bahwa ketika mereka diterima mereka tidak memiliki kematangan yang diperlukan. Memang tidak dituntut bahwa seorang calon harus mampu secara langsung memikul semua kewajiban hidup religius namun dia harus dipandang mampu melakukannya tahap demi tahap. Inilah tujuan tahap-tahap persiapan untuk novisiat, apapun nama yang diberikan kepadanya, nama postulat atau pra-novisiat, adalah sepenuhnya menjadi hak lembaga yang bersangkutan untuk menentukan cara yang dilaksanakannya (PPDLR, art. 42 ).

Mardi Prasetyo (1992: 42-62) menjelaskan pentingnya proses pembinaan mengingat demi pertumbuhan dan perkembangan hidup para calon religius. Menurutnya setiap calon perlu mengenali pertumbuhan pribadinya melalui proses

pembinaan sesuai tahap-tahap pembinaan yang harus dijalani sehingga setiap tahapan yang dilalui dalam seluruh proses pembinaan mampu membentuk disposisi masing-masing dari yang kurang dewasa menuju kedisposisi yang semakin dewasa. Mengingat pentingnya proses pembinaan yang lebih intensif, maka proses pembinaan dapat dilaksanakan melalui beberapa tahap berdasarkan kekhasan dari masing-masing kongregasi. Dalam KHK, kan. 660 dikatakan bahwa pembinaan yang dilakukan hendaknya bersifat sistematis, disesuaikan dengan daya tangkap calon, baik spiritual, apostolis, maupun doktrinal sekaligus praktis. Menurut Mardi Prasetyo (2001a: 78) pembinaan bagi para calon religius memiliki beberapa tahap yang perlu dilalui selama dalam proses pembinaan antara lain masa pra-novisiat (postulat), masa novisiat, masa yuniorat, masa pembinaan terus menerus(On Going Formation) dan pembinaan integral.

a. Masa Pra-novisiat

Mardi Prasetyo (2001a: 78) mendefinisikan masa pra-novisiat atau disebut juga dengan masa postulat merupakan masa persiapan dengan jangka waktu sesuai kebutuhan, dengan tujuan agar tidak hanya dimungkinkan penilaian sikap dan panggilan tetapi juga bukti hidup rohani. Salah satu dokumen Gereja mendefinisikan bahwa masa postulat merupakan masa dimana seorang calon tidak dituntut memiliki kematangan religius namun dipandang mampu melakukannya tahap demi tahap dan tidak seorang pun diterima tanpa persiapan yang memadahi (KHK, kan. 597). Penekanan utama dalam masa postulat ini adalah apakah calon memenuhi prasyarat kedewasaan afektif dan manusiawi yang memungkinkan calon mampu menyangga tugas hidup religius, dan apakah calon mempunyai

kemampuan untuk semakin bertumbuh dalam kedewasaan yang lebih lengkap. Untuk itu pada tahap persiapan ini para calon perlu dibantu dalam mematangkan keputusannya untuk menjadi religius. Selain itu mereka juga perlu ditolong dalam upaya melengkapi pengetahuannya tentang agama.

b. Masa Novisiat

Hidup dalam sebuah lembaga hidup bakti dimulai di novisiat selama dua tahun. Tahun pertama disebut tahun kanonik, sedangkan tahun kedua disebut tahun eksperimen, tujuannya ialah agar para novis lebih memahami panggilan Ilahi, khususnya yang khas dari lembaga yang bersangkutan, mengalami cara hidup tarekat, mengenal spiritualitas, kharisma dan identitas tarekat serta membentuk budi dan hati dengan semangatnya, agar terbuktilah niat serta kecakapannya (PPDLR, art. 45). Pada tahap ini para novis dibimbing untuk mengembangkan keutamaan-keutamaan manusiawi dan kristiani dengan doa dan ingkar diri dan masuk dalam jalan kesempurnaan dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci, merayakan ibadat dalam liturgi, mempelajari cara menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah dan manusia melalui ketiga nasehat injil (KHK, kan. 652).

c. Masa Yuniorat

Profesi pertama meresmikan suatu tahap pembinaan yang baru, yang memperoleh keuntungan dari dinamisme dan stabilitas yang berasal dari profesi. Mereka yang menjalani masa yuniorat adalah yang sudah mengikrarkan kaul sementara dalam biara, mereka itu biasa disebut yunior. Lamanya masa yuniorat

berlangsung antara 3 (tiga) sampai 9 (sembilan) tahun (KHK, kan. 657-658). Masa yuniorat bercirikan keterlibatan dalam karya perutusan supaya dapat menghayati hidup khas lembaga secara lebih penuh dan dapat melaksanakan perutusan secara lebih baik. Masa yuniorat berarti masa pembentukan kualitas diri atas dasar kualitas tarekat yaitu beriman kepada Tuhan untuk menjadi hamba Tuhan yang sederhana, taat, dan siap sedia membawa terang seperti Keluarga Kudus Nasaret. Untuk dapat mencapai kualitas diri yang lebih maka diperlukan suatu latihan dan pengalaman kesatuan dengan Tuhan dan dengan segala tuntutan yang bersifat professional maupun dalam kenyataan penghayatan hidup panggilan untuk mengabdi Tuhan dan sesama sekaligus menghayati hidup sebagai anggota tarekat melalui tugas perutusan (Tim Formator, 2001: 11).

d. Pembinaan Terus menerus (On-Going Formation)

Pembinaan terus menerus merupakan suatu proses pembaharuan yang menyeluruh mencakup semua segi kehidupan religius dan seluruh lembaga itu sendiri. Pembinaan ini biasa disebut dengan istilah On-Going Formation yang diperuntukan bagi mereka yang sudah mengikrarkan kaul kekal. Menurut Mardi Prasetyo (2001b: 55 ) penekanan pembinaan pada masa ini adalah:

“usaha untuk terus menerus membaharui diri sesuai dengan tuntutan zaman dan tuntutan spiritualitas, dengan konsekuensi tidak mau mandeg dalam pembaharuan, terus menerus memperkembangkan kemampuan dan keterampilannya dalam membatinkan nilai-nilai religius, dan mewujudkan cita-cita tarekat, mewujudkan pengabdiannya sebagai ungkapan iman bersama sesuai dengan karisma tarekat, kemudian terus berusaha memberi bentuk kesaksian hidup bakti dalam Gereja dan masyarakat sesuai dengan tempat dan kemampuannya”.

dengan sendirinya, melainkan melalui tahap-tahap pembinaan yang telah direncanakan. Maka pada tahap On Going Formation para religius akan memperoleh pengenalan yang mendalam akan Kristus, supaya sebagai religius semakin terbuka dan berani untuk mempercayakan diri dan hidupnya dalam pengabdian kepada Kristus.

e. Pembinaan Integral

Gaudium et Spes art. 61 menjelaskan konteks pembinaan manusia kristiani yang integral, penting juga dengan memanfaatkan ilmu-ilmu manusia terlebih sosiologi dan psikologi dalam kerjasama interdisipliner untuk semakin membangun hidup iman. Demikian pula dalam GS, art. 62 secara tegas juga dinyatakan “dalam reksa pastoral hendaknya jangan hanya asas-asas teologi, melainkan juga dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan profan terutama sosiologi dan psikologi yang digunakan untuk dapat menghantar umat beriman kepada kehidupan iman yang lebih murni dan dewasa.”

Pembinaan integral bertujuan mendampingi pendewasaan pribadi yang mencakup kedewasaan manusiawi dan kristiani agar semakin mampu menghayati apa yang mau diwartakan dan melaksanakan apa yang dipelajari. Menjadi religius yang baik diperlukan pembinaan yang integral dan kepribadian yang seimbang serta terbuka melalui 4 (empat) aspek pembinaan sebagaimana dirumuskan dalam pedoman pembinaan bagi para novis (Tim Formator, 2001: 53-54).

Pertama, pembentukan manusiawi yang mencakup kedewasaan pribadi terutama kedewasaan emosional yang diandaikan demi pertumbuhan dan penghayatan hidup religius.

Kedua, pembentukan manusia kristiani: mencakup kedewasaan hidup beriman yang mampu melihat yang ilahi dalam hidup manusiawi dalam rangka penghayatan hidup religius yang terfokus pada inti jiwa KKS.

Ketiga, pembentukan intelektual: mencakup kedewasaan pengembangan daya intelektual, pembangunan cara berpikir yang mendukung hidup rohani, hidup berkomunitas dan hidup tanggungjawab akan tugas/karya/studi demi perkembangan kongregasi.

Keempat, pembentukan apostolik: mencakup kedewasaan pribadi berjiwa sebagai hamba yang sederhana, taat dan siap sedia melayani, peka terhadap masalah-masalah aktual dalam masyarakat, terutama keluarga.

Berdasarkan empat aspek pembentukan tersebut, pembinaan integral akan dapat terwujud melalui langkah-langkah pembatinan nilai-nilai dan melalui pembentukan kualitas-kualitas manusiawi, kristiani, religius dan tarekat hidup bakti secara bijak dan memungkinkan para calon dan religius memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri.

B.Formatio (Pembinaan) menurut Konstitusi Kongregasi Suster Dina

Dokumen terkait