• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN…

2.2 Tahap Tengah

Tahap tengah pada novel TTM karya PW merupakan tahap pertikaian yang menampilkan konflik yang semakin meningkat ketika konflik tersebut merupakan perkembangan masalah yang sudah dimunculkan pada tahap awal.

Konflik tersebut dapat berupa konflik internal yang terjadi dalam diri seorang tokoh maupun konflik eksternal yang terjadi antartokoh cerita. Dalam tahap ini klimaks ditampilkan ketika konflik utama telah mencapai intensitas tertinggi.

Ketika keluarga Sunatha hendak makan malam terdengar bunyi kentongan tanda untuk masyarakat desa segera berkumpul untuk rapat. Mendengar bunyi kentongan tersebut, Subali acuh saja. Ia malah sibuk membaca buku pemberian dari David. Melihat kelakuan suaminya ini, ibu Sunatha yang sedang sakit merasa resah karena sudah beberapa kali Subali tidak hadir dalam rapat desa, maka ia menyuruh Sunithi untuk mengingatkan bapaknya. Karena kelakuannya ini, Subali menjadi perbincangan masyarakat desa. Pelukisan kejadian itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(12) ”Suruh bapakmu pergi, nanti orang kampung marah. Sudah beberapa kali ini dia tidak datang ke desa!” Sunithi mendekati bapaknya. “Meme bilang Bapak harus pergi ke desa, nanti kena marah.” Subali diam saja. Terus membaca. Sunithi menghidangkan makanan. (hlm.59).

Weda merupakan pacar Sunithi. Ia bertamu sekaligus mengajak Subali untuk menghadiri rapat desa. Sunithi mencari alasan dengan mengatakan bahwa bapaknya sakit. Weda tidak percaya begitu saja. Ia mengingatkan bahwa Subali sudah sering tidak datang ke rapat desa dan bisa dikeluarkan dari krama desa. Hal ini terdapat dalam penggalan berikut.

(13) “Kok, saban ada kerepotan desa, terus sakit. Nyoman, ini penting. Bapak harus datang. Nanti dia dikeluarkan dari krama-desa. (hlm.62)

Weda melihat ada sesuatu yang janggal semenjak David akrab dengan keluarga Sunatha dan kedekatannya dengan Sunithi, pacarnya. Hal ini membuat Weda cemburu dan jengkel ketika ia mendapati fakta bahwa Subali tidak sakit. Weda merasa telah dibohongi, dan hal ini membuat ia marah. Kejadian itu dilukiskan dalam kutipan berikut.

(14) Sunithi mengikuti. David memegang pundaknya dan membisikkan sesuatu sambil masuk. Weda melihat semuanya itu dengan cemburu sekali. Matanya melotot. Dia menunggu beberapa saat. Masih terdengar David berbisik-bisik dengan Sunithi. Weda mencoba mengintip. Tapi pikirannya sudah tak karuan. Ia hanya melihat bayangan Sunithi dan David berdekatan. Juga dilihatnya Subali tidak sakit. Dia mengepalkan tangannya. (hlm. 63-64).

Sementara itu di balai desa, rapat mulai berlangsung. Rapat itu membahas tentang keadaan desa. Ngurah tampil memberikan gagasan-gagasannya dalam mengembangkan desa. Ia juga membicarakan kehadiran David di desa itu yang menurutnya bisa membawa dampak tidak baik. Warga desa diharapkan tidak begitu saja mengikuti semua ideologi kebarat-baratan dengan menghadirkan contoh Subali yang begitu dekat dengan David. Hal ini dapat disimak dalam kutipan berikut.

(15) ”Tunggu! Saya tidak bermaksud menghasut Saudara untuk membenci orang asing. Banyak di antara mereka yang pintar dan bermaksud baik. Hanya kadangkala kita salah menerima ajaran-ajarannya itu. Jadi saya harapkan Saudara-saudara jangan begitu saja menerima pikiran-pikiran orang lain, tapi harus dicernakan. Sekarang saya dengar misalnya bapak Subali tidak pernah datang kalau ada kerepotan desa.” (hlm. 66).

Pidato Ngurah itu membuat beberapa warga desa berpikir dan mereka teringat Subali yang tidak pernah datang ketika ada kerepotan desa. Warga desa satu per satu menceritakan kekecewaannya terhadap Subali yang tidak datang atau

membantu ketika mereka tertimpa masalah. Warga desa semakin seru memperbincangkan Subali dan mereka mengusulkan agar Subali dikeluarkan saja dari krama-desa. Peristiwa itu digambarkan dalam kutipan berikut.

(16) ”Keluarkan saja dia dari krama-desa, Pak!” kata seseorang. Bagus Cupak berdiri lagi. ” Kalau dia tidak mau lagi ikut kerepotan desa, dia juga tidak boleh mempergunakan jalan desa, pancuran desa, pura desa, dan kuburan desa. (hlm.67)

Ketika membicarakan Subali, Weda ditanyai Ngurah karena ia dekat dengan keluarga Subali. Karena merasa masih kesal dengan David, Weda menceritakan semuanya. Ia bercerita bahwa Subali pura-pura sakit dan besok akan pergi ke Denpasar dengan David. Karena kecemburuannya kepada David, ia menambah-nambahi ceritanya. Warga desa menjadi ramai dan rapat menjadi kacau. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

(17) Weda bercerita panjang lebar. Kebenciannya pada David membuat ia sedikit menambah-nambah. Orang-orang jadi marah. Tapi mereka bukannya marah pada David, akan tetapi lebih berang pada Subali.

Besok paginya ketika warga desa bergotong royong memugar pura, Subali malah nampak berkemas. Ia akan pergi ke Denpasar padahal istrinya baru sakit dan desa sedang ada kerepotan. Ketika sampai di jalan besar, Subali mengajak David untuk memutar jalan supaya tidak melewati pura. Sebenarnya Subali merasa segan dan malu bertemu dengan warga desa karena tidak ikut dalam kerepotan desa tetapi David tetap memaksanya untuk melewati pura. David memberi uang kepada Subali guna diserahkan kepada kepala desa sebagai pengganti ketidakhadirannya dalam gotong royong. Perbuatan Subali ini membuat warga desa geram. Peristiwa itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

(18) “Maaf sekali ini saya tidak bisa ikut bekerja. Ada keperluan di Denpasar, saya sakit saya harus berobat ke sana. Ini saya membayar uang ganti diri saya bekerja.” Ia mengulurkan segenggam uang yang tadi disisipkan oleh David. (hlm.77)

Perbuatan Subali membuat kaget kepala desa dan warganya. Mereka tidak menyangka Subali akan melakukan hal itu. Kepala desa merasa sangat tersinggung sekali begitu pula para warganya dan mereka memutuskan mengeluarkan Subali dari krama-desa.

(19) ”Begini, katakan kepada bapak kalau nanti pulang, sudahlah, ia tidak usah lagi ikut kerja di pura. Kalau memang selalu repot kami juga tidak memaksa. Tapi tentunya demikian juga sebaliknya nanti. Jelasnya, kami memutuskan untuk mengeluarkan bapak dari ikatan krama-desa. (hlm.85).

Karena nila setitik rusaklah susu sebelanga. Mungkin peribahasa ini cocok untuk menggambarkan kehidupan keluarga Sunatha karena perbuatan bapaknya, Subali. Keluarga ini mulai diteror oleh warga desa yang marah atas kelakuan Subali tempo hari. Di kala malam hari mereka mulai melempari rumah keluarga tersebut dengan batu. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut.

(20) Ibunya terjaga karena kegaduhan itu dengan gemetar. Sunithi cepat memeluknya. Lemparan batu itu semakin gencar. Terdengar suara memaki-maki dari luar. Ibunya menjerit-jerit. Sunithi cepat berusaha menenangkannya. Ia berlari dan mengunci semua pintu. Kemudian ia mengambil kapak yang kebetulan dijumpainya di bawah kolong, lalu bersiap-siap. (hlm 83).

Sementara itu hubungan antara Utari dengan Ngurah semakin mesra saja. Sepertinya mereka saling jatuh cinta, tapi Ngurah masih bimbang karena posisi Utari masih istri Sunatha. Ia tidak mau merebut Utari begitu saja dari tangan Sunatha. Selain itu muncul pertanyaan dalam hati Ngurah, apakah Utari

benar-benar mencintainya atau hanya menginginkan hartanya. Kegelisahan Ngurah digambarkan dalam kutipan berikut.

(21) Ini membuat Ngurah memeras kepalanya. Ia bukan orang yang curang. Artinya ia tetap menghargai Sunatha sebagai suami Utari. Tetapi apakah penghargaan semacam itu harus mengorbankan kesempatan yang tak akan pernah didapatnya. ...terutama yang dipikirkannya adalah adakah Utari benar-benar mencintainya. Atau hanya sekedar tertarik pada kekayaan. (hlm. 97-98)

Sunithi merasa tidak sanggup menghadapi sanksi sosial yang dialami oleh keluarganya. Ia mengirim surat kepada Sunatha supaya segera pulang untuk menyelesaikan keadaan ini. Selain itu, sakit ibu Sunatha semakin parah dan bapaknya, Subali, sepulang dari Denpasar semakin menjadi aneh. Tidak ada lagi orang yang menghiraukan keluarga mereka. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

(22) Selain tetangga-tetangga dan saudara-saudara yang masih dekat, tak ada lagi yang mau berhubungan dengan kami. Saya selalu disindir-sindir sehingga saya tidak kuat kalau keluar rumah. Saya hanya keluar rumah kalau hendak mandi, itu pun malam hari. ...Semua orang tidak ada yang ngomong dengan saya, bahkan saya tidak dihiraukan. Mereka menyindir-nyindir saya. Saya tidak kuat, saya harap beli cepat-cepat pulang untuk menyelesaikan keadaan ini. (hlm.130).

Sunatha semakin cemas ketika menerima surat-surat dari Sunithi yang semakin lama semakin mengerikan. Ia was-was dengan keadaan Sunithi karena isi suratnya kadangkala ngawur, kosong, dan kadang meluap-luap. Melihat keadaan ini, akhirnya Sunatha memutuskan untuk kembali ke Bali. Sosoknya sangat dibutuhkan dalam keluarganya untuk mengatasi masalah yang terjadi. Peristiwa itu terdapat dalam penggalan berikut.

(23) Sunatha hanya berusaha mengumpulkan uang lebih banyak. Walaupun ia sangat sulit. Ia sadar bagaimanapun, nanti ia akan memerlukan uang. Apalagi ia telah diharapkan begitu lama sebagai juru selamat. (hlm.149)

Dokumen terkait