• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Dakwah

2. Tahapan Dakwah

Tahapan atau fase dalam dakwah ada tiga, yaitu: a. Mafhum Da’wah (seruan atau ajakan)

Seruan dan ajakan seperti ini memiliki dasar dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.28 Firman Allah SWT:

“Siapakah yang lebih baik perkataanya dari pada orang yang

menyeru kepada Allah, mengerjakan amalan saleh, dan berkata:

‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’ dan

tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya

Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat: 33-36).

28 Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim,(Jakarta: Gema Insani, 2004), h 30.

20

Ayat diatas mengisyaratkan akan seruan dalam dakwah fardiyah mengenai berapa hal: Dakwah Illallah (dakwah ke jalan Allah) seruan atau ajakan untuk menaati-Nya dan menaati Rasulnya dengan melaksanakan semua ajaran yang dibawanya sebagai sistem dan undang-undang serta pedoman dalam kehidupan. Dakwah Illalah memuat semua ucapan dan perkataan yang baik: tentang tauhid, keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir serta qadha dan qadar. Dakwah Illalah dalam pengertian seperti ini adalah perkataan yang sangat baik

yang diucapkan oleh juru dakwah. Karena da’i tidak mengatakan sesuatu kecuali

tentang ajaran Nabi Muhammad SAW. Dalam melakukan dakwah harus memiliki sifat-sifat khusus dan sikap hidup yang sesuai dengan tugasnya. Dari ayat diatas, didalamnya memuat asas dan rukun dakwah yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Seorang Da’i harus melakukan amal saleh, Artinya, ia harus melaksanakan seluruh kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar, selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan nafilah (sunnah) dan menjauhi

perbuatan-perbuatan yang hina dan dosa kecil. Kedua, Seorang Da’i harus menyatakan secara terus terang bahwa dia seorang muslim. Hal itu harus dinyatakan dengan perkataan dan

perbuatannya. Ketiga, Seorang Da’i harus bersikap sabar, mempergauli penerima

dakwah dengan baik dan tabah.

b. Mafhum Haraki (gerakan)

Dakwah dalam mafhum haraki atau tahap haraki (gerakan) ialah menjalin hubungan dengan masyarakat umum, kemudia memilih salah seorang dari mereka

21

layak menerima kebaikan disebabkan keterkaitan dan komitmennya terhadap manhaj dan adab Islam.29

Islam memberikan kebebasan kepada juru dakwah untuk bergaul dengan masyarakat umum untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan menjadikan pergaulan tersebut sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat yang digunakannya untuk mengajak mereka ke jalan kebenaran, kebaikan dan petunjuk.30 Pengertian haraki

(gerakan) dalam dakwah ini adalah, Seorang Da’i harus mengarahkan keinginan penerima dakwah dengan baik, Seorang Da’i harus memperhatikan kepentingan kaum

muslimin dengan menyingkirkan gangguan dari mereka dan mengusahakan kemaslahatan untuk mereka, memberi nasihat dan pertolongan kepada setiap muslim, mencintai dan menampakkan cintanya kepada al-mad’uw, dan bergaul dengan penerima dakwah secara bijak dan bertukar pikiran dengan cara yang baik. Semua ini ada didalam firman Allah SWT:

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran

yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang

mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Dari ayat diatas ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pedoman

seorang Da’i dalam membina hubungan dengan al-mad’uw yaitu, Dakwah harus ditujukan kepada jalan Allah, bukan kepada jalan hidup yang lain. Tidak diperkenankan menyerukan dakwahnya dengan tujuan agar mengikuti sang pemimpin, orang yang

berjasa atau mengikuti pribadi Da’i itu sendiri. Dakwah seperti ini menghubungkan

penerima dakwah dengan Allah, tauhid, aqidah, dan mabda’ (prinsip hidup), bukan dengan sang tokoh atau sang pemimpin. Karena aqidah bersifat kekal, sedangkan tokoh

29 Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h 34.

22

dan pemimpin masyarakat bersifat fana. Dakwah harus dilakukan dengan bijak, yang dimaksud ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya (proporsional).31 Dalam bergaul dengan al-mad’uw sang Da’i harus melihat dan mempertimbangkan kondisi penerima

dakwah, seperti kondisi kebudayaan dan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian,

Da’i tidak boleh memberikan beban kepada penerima dakwah dengan tugas yang tidak

mampu dilakukannya. Da’i harus bergaul dengan penerima dakwah secara lemah

lembut dan bijak. Dakwah harus dilakukan dengan nasihat atau pengajaran yang baik. Nasihat yang dapat masuk ke dalam hati. Hal ini hanya akan tercapai jika dilakukan dengan lemah lembut, tanpa kekerasan dan tanpa mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya. Dakwah dapat menggunakan metode diskusi atau tukar pikiran dengan cara yang paling baik, yang dapat membawa kepada pencapaian kebenaran. Tukar pikiran dengan cara yang baik dalam pengertian tidak boleh memaksakan kehendak kepada al-mad’uw yang berbeda pendapat dengan Da’i. Tidak boleh membebaninya

diluar kemampuannya dan tidak boleh mencaci pendapat atau pemikirannya meskipun lamban dalam menerima kebenaran. Dan Da’i harus memahami dan menyadari

keadaan al-mad’uw serta bersabar dalam menghadapinya. Tidak boleh berputus asa dan harus berlapang dada.32

c. Mafhum Tanzhimi (pengorganisasian)

Pengorganisasian yang dilaksanakan da’i dalam dakwah meliputi tiga hal: pengarahan (taujih), penugasan (tauzhif) dan penggolongan (tashnif). Pengarahan (taujih) bimbingan yang diberikan da’i kepada al maduw dalam rangka berdakwah ke jalan Allah untuk membantu memahami keadaan dirinya, memahami persoalan dan

31Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h. 42.

23

hambatan-hambatan yang dihadapinya.33 Menunjukkannya dengan cara yang halus tentang kemampuan dan kelebihan yang dia miliki. Dan juga membantunya agar penerima dakwah bisa dengan baik mengenal lingkungan, baik yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, kebudayaan dan ekonomi. Sehingga al mad’uw dapat melaksanakan tugas-tugasnya sesuai kondisi yang diketahuinya. Dengan demikian, ia tidak akan membebani dirinya di luar batas kemampuannya dan tidak pula meninggalkan amalan yang sebenarnya mampu dilaksanakannya.

Dalam pengarahan ini da’i harus membantu al mad’uw dalam memecahkan kesulitahan-kesulitan yang dihadapinya, agar ia bertambah percaya diri dan kemampuannya sehingga tidak selalu menjadi beban dan menggantungkan diri pada

da’i dalam setiap urusan. Pengarahan dari seorang da’i kepada al mad’uw ialah mencurahkan seluruh kemampuannya agar penerima dakwah dapat mengatakan kesulitan-kesulitannya ketika melaksanakan tugas, dapat melaksakan amalan secara kontinu dan tidak berbalik haluan.34

Sementara itu di dalam penugasan (tauzhif) seorang da’i harus cermat dalam

memilih tugas yang akan diberikan kepada al mad’uw sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.35 Hal ini karena dakwah bertujuan agar penerima dakwah dapat melakukan amalan yang sesuai dan tidak memberatinya. Dan dilihat dari segi lain, penerima dakwah dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Penerima dakwah dalam dakwah harus aktif melaksanakan amaliah demi Islam hingga ia memiliki andil dalam menolak mafsadah dan menarik mashalahah.

33 Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h.48.

34 Prof. Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Metode Membentuk Pribadi Muslim, h.49.

24

Penggolongan (tashnif) mengelompokkan sesuatu agar mudah membedakan antara satu yang lainnya. Tashnif mengelompokkan kekuatan dan kemampuan penerima dakwah agar dapat diketahui kemampuannya. Hal ini memudahkan pemberian latihan dan pembinaan untuk mencapai derajat yang lebih baik dalam menunaikan tugas-tugasnya.36 Dalam dakwah, juru dakwah harus mengklarifikasikan penerima dakwah berdasarkan pola fikir dan kebudayaan mereka agar ia mengetahui

bekal pemikiran dan kebudayaan apa yang sesuai dengan mereka. Da’i harus

mengelompokkan al mad’uw berdasarkan segi rohaniah. Hal ini untuk mengetahui ibadah dan riyadhah ruhiyah (latihan rohaniah) yang sesuai dengan al mad’uw agar jiwanya menjadi bersih dan hubungannnya kepada Allah semakin dekat hingga ia akan selalu menghadap kepada-Nya dan merasa tenang dengannya.

Pengelompokkan penerima dakwah juga berdasarkan segi kepribadiaannya agar

da’i mengetahui cara menempatkan penerima dakwah dalam lingkungan pergaulan dan

mengetahui amalan serta pengetahuan apa yang sesuai. Pengelompokkan selanjutnya ditinjau dari segi sosial kemasyarakatan untuk mengetahui sampai seberapa kemampuannya berperan dalam amal sosial, sampai seberapa kemauannya menolong dan mencintai orang lain.37 Taujih, tauzhif dan tashnif merupakan unsur-unsur pengorganisasian dakwah yang menyempurnakan tugas dan pekerjaan seorang da’i.

3) Ruang Lingkup Mualaf

Dokumen terkait