• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan ketujuh adalah Turiya, atau status Kesadaran Supra. Inilah

Dalam dokumen Kidung Kelepasan Patanjali (Halaman 54-118)

Moksha itu adanya. Ini juga dikenal dengan sebutan status Turiyatita.

Disini tidak ada lagi bentuk-bentuk Sankalpa, bentuk-bentuk pemikiran akibat terjadinya pusaran kesadaran. Ketiga sifat-sifat dasar (guna), musnah disini. Tahapan ini melampaui jangkauan pikiran dan kata-kata. Kebebasan tanpa jasad (videhamukti) dicapai pada tahapan ini. Tetap tinggal di dalam kehadiran Sang Atma, tanpa keinginan, dan dengan pandangan setara bagi semuanya, sepenuhnya telah mengikis habis komplikasi-komplikasi atau pembeda-bedaan antara ‘Aku’ maupun ‘Dia’, eksistensi ataupun non-eksistensi, adalah

Sutra memang merupakan aphorisma pendek yang padat makna; oleh karenanyalah, untuk memahaminya dengan baik, perlu terjemahan dan ulasan (bhasya) seorang Guru yang benar-benar handal dan terpercaya.

Kias ‘tujuh-langkah’ dan deklarasi kebebasan dari lingkaran

Samsara, juga dapat kita temukan dalam Sutra Pitaka, yang

menggambarkan kelahiran Pangeran Siddhartha, yang nantinya dikenal sebagai Buddha Gotama —yang telah tercerahi dengan sempurna.

Bayi itu kemudian berdiri tegak dan berjalan ‘tujuh-langkah’ di atas ‘tujuh kuntum teratai’ ke arah Uttara.

Setelah berjalan ‘tujuh-langkah’ bayi itu mengucapkan kata-kata: “Akulah Pemimpin di dunia ini,

Akulah Tertua di dunia ini, Akulah Teragung di dunia ini, inilah kelahiran-Ku yang terakhir, tak akan ada tumimbal-lahir lagi.”

Teratai (padma) seringkali dipakai sebagai simbol kebijaksanaan (prajña) dalam ikonografi Hindu maupun Buddha. Para Buddha dan Boddhisattva umumnya digambarkan sebagai duduk atau berdiri di atas padma atau sekedar memegang sekuntum teratai; demikian pula para dewa tertentu dalam ajaran Hindu. Dan ‘senjata’ Hyang Siva adalah ‘Padma Anglayang’. Ketujuh Chakra, dalam Kundalini Yoga, juga seringkali disebut padma. Lagi-lagi kita menemukan kias ‘tujuh padma’ dalam Laya Yoga. Siva-pun dianggap berstana di Sahasrara Chakra—padma dengan

seribu kelopak.

Sesungguhnyalah, apa yang dipaparkan dalam Yoga Sutra ini, mengarahkan seorang yogi pada tujuh-langkah bijaksana, yang juga merupakan rambu-rambu pendakian spiritual-filosofis ini.

Jadi, dalam tiga sutra tadi tampak jelas keterkaitan yang tidak terpisahkan antara citta suddhi — jñana — viveka — prajña. Citta suddhi sendiri dimungkinkan bilamana manas telah dibebaskan dari pusaran atau modifikasinya. Dan citta vritti nirodha inilah yang menjadi kunci dari ajaran pembebasan Patanjali. Bagaimana langkah-langkah praktisnya dalam sadhana? Itulah yang disebutkan oleh Patanjali dengan delapan tahapan, yakni: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana dan Samãdhi.

D

ISIPLIN

M

ORAL DAN

J

URUS

A

MPUH

M

ENGATASI

I

NSTING

-

INSTING

D

ESTRUKTIF

Sepuluh Disiplin Moral Sang Yogi

Yama terdiri dari Ahimsa, Satya, Asteya, Brahmacarya, dan Aparigraha;

semuanya merupakan ‘sumpah-sumpah universal yang agung’.

Sementara itu, Sauca, Santosa, Tapa, Svadhyaya, Isvara

pranidhana adalah Niyama.

[YS II.30 - II.32]

Dalam sutra II.30 sampai II.32 belum dipaparkan makna praktis daripada

Yama dan Niyama ini, kecuali menyebutkan Yama sebagai

‘sumpah-sumpah (samaya) universal (sarvabhuma) yang agung’, oleh karena tidak dibatasi oleh golongan kelahiran (jati), ruang dimana mereka lahir dan hidup (desa) dan penjamanan (kala) serta merupakan mahavrata—praktek

brata yang agung. Paparan dari Yama disampaikan kemudian pada sutra

II.35 sampai dengan II.39, dilanjutkan dengan paparan Niyama pada sutra II.40 sampai dengan II.45.

Paparan dalam sutra-sutra ini, disampaikan justru sesudah pemaparan tentang viveka, tujuh langkah penyatuan yang merupakan kemampuan dasar dan rambu-rambu. Jelas ini bukan suatu kebetulan atau sekedar sebagai penunjang sistematika saja, mengingat Yama-Niyama merupakan

pondasi dari Yoga itu sendiri. Kokoh dan tegaknya mercusuar Yoga

dimungkinkan oleh kokohnya pondasi Yama-Niyama; demikian pula sebaliknya, melalui tahapan-tahapan pencapaian dalam Yoga,

Yama-Niyama semakin diperkokoh. Demi kokohnya, ia mesti senantiasa

diterapkan berdasarkan viveka, bukan atas dasar emosi atau rasa sentimental saja. Justru emosi dan rasa sentimental inilah yang memancing kemunculan dan menjadi tunggangan insting-insting destruktif dan ikut andil dalam mengotori citta, yang hendak dimurnikan kembali.

Pratipaksa Bhavana — Jurus Ampuh mengatasi Insting-insting Destruktif.

Guna mengatasi insting-insting yang destruktif sifatnya (vitarka), hadirkanlah sifat-sifat yang berlawanan dengannya (pratipaksa

bhavana).

Insting-insting destruktif merupakan pemikiran-pemikiran yang berdaya rusak tinggi (himsãdayah), apakah ia diperbuat, disebabkan oleh atau disetujui, maupun dimotivasi oleh keserakahan (lobha), kemurkaan (krodha), ataupun kebingungan karena mabuk (moha), apakah yang kwalitasnya halus (mrdu), menengah (madhya),

ataupun intens (adhi), semua mengakibatkan penderitaan dan semakin tebal dan berkepanjangannya kabut kebodohan.

Oleh karenanya, kembangkanlah sifat-sifat yang berlawanan (pratipaksa bhavana) ini.

[YS II.33 dan II.34]

Dalam dua sloka ini amat ditekankan pratipaksa bhavana—metode mengembangkan sifat-sifat atau kecenderungan yang berlawanan dengan insting-insting distruktif kita. Metode ini dikembangkan atas fakta bahwa ‘pikiran hanya dapat memegang satu objek saja, pada suatu saat yang sama’. Bentuk-bentuk pemikiran destrutif tidak punya kesempatan untuk mengisi pikiran, bilamana pikiran telah terisi oleh pemikiran-pemikiran konstruktif, yang menunjang pengembangan dan pemurniaan batin (citta-suddhi).

Agar secara instingtif tidak muncul pemikiran-pemikiran yang bersifat

himsa misalnya, maka hadirkan selalu yang berlawanan, yaitu ahimsa.

Demikianlah kurang lebih prinsip yang dianut oleh pratipaksa bhavana ini. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari, apakah ini memungkinkan? Umumnya tidak. Insting-insting destruktif—seperti lobha, krodha atau

dvesa dan moha—pada kebanyakan orang umumnya terlanjur telah

mengakar kuat, karena dibawa sejak beberapa kelahirannya yang lampau. Keserakahan (lobha) akan segera mengikuti bila sebentuk keinginan atau kegandrungan terpenuhi. Terpenuhinya satu keinginan atau kegandrungan, langsung lebih menguatkannya. Dan ini membangkitkan dorongan untuk terus-menerus memenuhinya lagi. Disinilah keserakahan menemukan pijakan kokoh dan lahan suburnya. Bagai benih yang disiram dan diberi ‘pupuk kenikmatan’ secukupnya, iapun tumbuh kian subur. Dalam proses itu, kemelekatan, kegandrungan dan kecenderungan untuk selalu memenuhinya, terbentuk dan menguat secara alami.

Bila itu telah terjadi, maka siapapun yang mengusik, apalagi menyerobot untuk ikut menikmatinya, membangkitkan ketidak-berkenanan, persaingan, kebencian (dvesa) hingga kemurkaan (krodha). Dalam bentuknya yang lebih halus, muncul kecemburuan, iri-dengki. Sesuai dengan dua sifat alami manusia—guna rajas dan tamas—ini bagaikan tak terhindari. Rangkaian proses di dalam inilah tanpa disadari, secara akumulatif, telah semakin mempertebal kabut kemabukan dan kebodohan, moha. Tentu, dalam kondisi batin demikian, seseorang tak akan segan-segan melakukan

himsa-karma. Ia yang telah terjebak dalam siklus iterasi yang terakumulasi ini,

akan semakin jauh dari kesadaran, apalagi pengetahuan luhur (jñana). Oleh karenanya, dukha-ajñana-ananta merupakan konsekuensi atau pahalanya yang paling logis.

Dari pengamatan yang jernih terhadap fenomena-fenomena empiris ini, serta mengingat sebagian besar manusia cenderung masih membawa insting-insting destruktif karena kuatnya pengaruh triguna, maka Yama dan

menghindari ketimbang mengobati’. Mungkin atas dasar pola pikir seperti

ini pula dua sloka ini diposisikan sebagai penyela, menyusul paparan rinci dari Yama-Niyama.

Atas pola pikir yang sama, maka amat dianjurkan untuk mengisi terlebih dahulu pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan batin, sehingga pemikiran-pemikiran destruktif tidak memperoleh kesempatan untuk menyusup. Pikiran yang terisi pemikiran-pemikiran konstruktif akan membentuk bentengnya sendiri secara alami. Bilamana ini dikuatkan, secara akumulatif, melalui pengulangan-pengulangan secara berkesinambungan, maka sattvam berkembang dengan subur, mendesak, hingga mendominasi

rajas dan tamas. Nah...kondisi batin yang jernih inilah yang dapat

diharapkan memberi dorongan kuat pada seorang penekun jalan spiritual di dalam meraih keberhasilannya.

 

M

AHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (1)

Dengan hadirnya kemantapan Ahimsa, rasa permusuhan tidak punya tempat berpijak (vairatyaga).

Dengan hadirnya kemantapan Satya, ketulusan di dalam menyerahkan kerja dan hasilnya dimungkinkan (phalasrayatvam). Dengan hadirnya kemantapan Asteya, semua ‘kekayaan’ mendekat dengan sendirinya bagi Sang Yogi.

Dengan hadirnya kemantapan Brahmacarya, semangat spiritual yang kuat (virya) diperoleh.

Dengan hadirnya kemantapan Aparigraha, muncullah pemahaman yang baik tentang proses kelahiran manusia (janma kathamta). [YS II.35 - II.39]

Hasil-hasil nyata berupa perkembangan sikap batin lewat pelaksanaan kelima sumpah batin yang diterapkan berupa disiplin mental atau moral-etik dipaparkan dalam kelima sutra ini. Ini semestinya lebih menyadarkan kita kalau Asana disini bukan semata-mata sebagai olah-tubuh ataupun

sikap-sikap tubuh tertentu saja, seperti yang umumnya kita pahami

sebelumnya. Ini akan kita bicarakan lebih lanjut pada ulasan terhadap sutra II.46 - II.48.

Di Indonesia, ia lebih dikenal dengan sebutan Panca Yama Brata, atau ada pula yang memberinya sebutan Panca Sila, yang bersama dengan Panca

Niyama Brata membentuk Dasasila. Tidak membunuh atau menyiksa

makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berjinah atau melakukan perbuatan

asusila, tidak berbohong atau berkata-kata tidak jujur, dan tidak

mabuk-mabukan atau menghindari yang memabukkan merupakan lima ajaran moral-etik buddhis, yang juga disebut Panca Sila.

Ajaran moral-etik adalah ajaran praktis, yang harus diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Mereka jelas bukan sekedar untuk dihafal. Seperti yang disebutkan dalam sutra II.30 dan II.31, Yama mesti diposisikan sebagai mahavrata —sumpah universal yang agung.

Ahimsa dipraktekkan dengan tiada menyakiti baik lewat pemikiran, ucapan,

maupun tindakan fisik. Banyak yang memandang Gandhi sebagai ‘Nabi Ahimsa’, mengingat perjuangan kemerdekaannya yang tanpa kekerasan fisik. Bahkan sebutan Mahatma —‘manusia yang berjiwa besar’— diberikan oleh Rabindranath Tagore, pemenang nobel sastra dan penggubah

“Gitanjali” yang termasyur itu, kepadanya.

Ahimsa bukan saja merupakan pengkondisi ketentraman hati dari setiap

pelakunya, namun ia secara aktif ikut menjaga kedamaian dunia. Pertanyaannya kini adalah: Bagaimana melatih Ahimsa atau penerapan

Berikut ini saya sertakan petunjuk-petunjuk dari Sri Swami Sivananda. Manakala pemikiran untuk membalas dendam dan kebencian muncul, cobalah mengendalikan tindakan dan ucapan Anda terlebih dahulu. Jangan sekali-kali ikuti godaan setan dengan mengucapkan kata-kata kasar. Jangan lemah! Janganlah mencoba menyakiti orang lain. Bila Anda berhasil mempraktekkannya dalam beberapa bulan, pemikiran-pemikiran negatif yang dimunculkan oleh kebencian, tak akan punya kesempatan untuk menampakkan dirinya ke luar, merekapun akan mati dengan sendirinya.

Awalnya memang amat sulit mengendalikan pemikiran-pemikiran serupa itu, tanpa upaya untuk mengendalikannya terlebih dahulu. Pertama-tama kendalikanlah jasmani Anda. Ketika seseorang memukulmu, berdiamlah. Tekan perasaanmu. Ikutilah perintah Jesus Kristus dalam ‘Kotbah di atas Bukit’-nya: “Bila seseorang menampar

sebelah pipimu, serahkanlah pipimu yang sebelah lagi. Bila seseorang mengambil jaketmu, berikanlah ia kemejamu juga”. Tentu

saja ini amat sulit pada awalnya. Kesan-kesan tua yang terlanjur tersimpan untuk membalas, seperti ‘sebuah gigi, bagi sebuah gigi’, ‘sebuah mata untuk sebuah mata’ dan ‘membayar dengan koin yang sama’, akan menekan Anda untuk berontak. Namun Anda mesti menunggu dahulu hati Anda mendingin. Refleksikanlah itu dan bermeditasilah terhadapnya.

Lakukanlah upaya mempertanyakannya atau upaya yang benar lainnya. Batin Anda akan menjadi kalem. Sang musuh yang tadinya mencak-mencakpun akan menjadi kalem, karena ia tak mendapat tantangan dari pihak Anda. Iapun akan tertegun dan mendingin, oleh karena Anda tetap tegar layaknya orang suci. Demikianlah, Andapun akan memperoleh kekuatan di dalam diri Anda. Jagalah prinsip itu. Cobalah selalu untuk melakukannya, walaupun awal-awalnya Anda gagal. Milikilah sikap yang jelas dan nyata dari citra Ahimsa serta manfaatnya yang pasti.

Nah...setelah berlatih mengendalikan tubuh Anda, kini latihlah ucapan. Ambil sebentuk kebulatan tekad, "Mulai saat ini saya tak akan mengucapkan kata-kata kasar kepada siapapun juga". Awalnya Anda bisa saja gagal beratus-ratus kali. Tak mengapa. Secara lambat namun pasti Anda akan memperoleh kekuatan itu. Periksalah impuls dari ucapan Anda. Latihlah Mouna (diam).

Praktekkanlah Kshama (memaafkan). Dan katakanlah pada diri Anda: “Ia masih berjiwa kekanak-kanakan. Ia lalai; itulah sebabnya ia melakukan itu. Biarlah saya memaafkannya kali ini. Manfaat apa yang saya peroleh dengan membalas tindakannya itu?” Hentikanlah kemelekatan pada ke-aku-an (Abhimana) perlahan-lahan.

Abhimana adalah akar dari semua penderitaan yang dialami

seksama bentuk-bentuk pemikiran —di benak Anda— yang bersifat menyakiti. Jangan sekali-kali berpikir untuk mencelakai orang lain. Diri-Jati menyelusupi semuanya. Semuanya adalah manifestasi dari Yang Esa. Dengan menyakiti yang lain, sesungguhnya Anda juga menyakiti Diri-Jati Anda. Dengan melayani orang lain, Anda juga melayani Diri-Jati Anda. Kasihilah semua. Layani semua. Jangan membenci siapapun. Janganlah menyakiti siapapun melalui pikiran, ucapan dan tindakan atau prilaku Anda. Cobalah selalu memandang bahwa Diri-Jati yang ada pada Anda juga ada pada semua orang. Inilah yang akan menghadirkan Ahimsa.

M

AHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (2)

Satya diterapkan melalui kejujuran dan senantiasa dalam jalur kebenaran.

Setiap manusia punya hati-nurani. Kita tak dapat membohonginya. Ia adalah saksi yang senantiasa hadir kemanapun kita melangkah. Kata hati-nurani inilah yang dapat dipegang kejujurannya. Namun berhati-hatilah! Ini seringkali amat mengelirukan, sehingga banyak orang menyangka kalau

kilasan emosi atau pemikiran sesaat sebagai kata hati-nurani. Ia jauh lebih

dalam daripada itu.

Kecuali Ahimsa yang telah dikenal luas, Satyagraha adalah ajaran dan apa yang juga diterapkan Gandhi. Ia berarti senantiasa bersemayam dalam kebenaran. Menurut Gandhi Satyagraha adalah: perwujudan baru dari

Sanatana Dharma (Ajaran Kebenaran Abadi), sama dengan kekuatan

kebenaran, kekuatan cinta-kasih dan kekuatan batin, dasar dari kehidupan bersama dalam masyarakat.

Asteya diterapkan dengan tidak melakukan pencurian. Ia bahkan diterapkan

sebagai tidak menginginkan milik orang lain, apalagi berupaya merebutnya dengan cara-cara curang, bujuk-rayu, tipu-muslihat, sampai-sampai melakukan pemaksaan fisik. Lebih jauh lagi, ia hendaklah dimaknai sebagai ajaran moral-etik yang mendukung kehidupan tapa, mengekang nafsu-keinginan.

Sri Sankarãcharya pernah berujar:

“Brahmacharya atau kesucian tanpa noda merupakan yang terbaik diantara semua upaya penebusan dosa; seorang Brahmacharin, yang suci tanpa noda, bukan lagi sosok manusia, namun sesungguhnya seorang dewa... Bagi pembujang yang menyimpan mani-nya melalui upaya besar ini, apakah yang tiada mampu ia capai di dunia ini? Menggunakan kekuatan yang terhimpun dalam mani, seseorang akan menjadi seperti Diriku.”

Brahmacarya juga diterapkan tidak sebatas hidup membujang atau tidak

melakukan jinah; akan tetapi dengan selalu mendambakan penyatuan dan berusaha untuk tetap melekat pada Brahman Yang Agung.

Dalam pengertian sempitnya, kehidupan membujang memang terbukti menunjukkan manfaat besar di dalam mendorong kemajuan spiritual, seperti yang dipaparkan oleh Sri Swami Sivananda dalam buku “Practice of

Brahmacharya”. Beliau sendiri juga menjalani hidup membujang. Namun

beliau juga mengatakan bahwa, dalam pengertian yang luas, ia berarti

pengendalian mutlak terhadap sensasi-sensasi indriawi.

Mahatma Gandhi dalam “The Gandhi Sutra” —yang disusun oleh Prof. D.S. Sarma— juga berpendapat sama tentang Brahmacarya. Kata Gandhi: “Menjalankan Brahmacarya menurut pernyataan orang-orang sangat sukar,

jika bukan mustahil. Jika kita coba menyelidiki apa sebabnya orang mengatakan demikian, maka akan ternyata bahwa mereka memberikan arti yang terlalu sempit pada istilah Brahmacarya ini. Mereka menyangka bahwa Brahmacarya hanyalah penahanan nafsu-birahi saja. Saya rasa pandangan ini kurang tepat. Brahmacarya berarti penguasaan seluruh indria. Orang yang berusaha menguasai hanya satu indria dan mengabaikan, membiarkan indria-indria yang lainnya, segera akan insyaf bahwa usahanya itu tidak ada gunanya samasekali....Brahmacarya berarti penuntun kelakukan kita dalam menemukan Brahman (Hakekat Kebenaran Sejati)”. Inilah yang melahirkan kekuatan semangat (virya) untuk berusaha terus-menerus. Ini terkait erat dengan Isvarapranidhana, berlindung dan menyerahkan-diri kepada Tuhan, salah-satu poin terpenting dalam Niyama

Brata.

Aparigraha diterapkan sebagai tidak-rakus, tidak berlebih-lebihan di dalam

menimbun harta-benda dan menikmati kemewahan duniawi. Ia merupakan lawan-tanding dari lobha, dalam penerapan metode pratipaksa bhavana. Ia juga berhubungan erat dengan Tapa. Sri Swami Sivananda mengingatkan bahwa, bila ingin sukses dalam Yoga, maka terapkanlah Tapa dan

Brahmacarya.

Jadi, tampak jelas bahwa dalam penerapannya, Yama tak dapat dipisahkan begitu saja dari Niyama —yang akan kita bicarakan belakangan. Keduanya setangkup, membentuk Dasasila, yang secara kondusif membentuk

sikap-batin luhur dan kejernihan hati, serta menjanjikan kemajuan pesat dan

keberhasilan dalam Yoga.

Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga) dan

ke-engganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain.

Dengan pemurnian mental (sattvasuddhi) muncul keriangan, daya konsentrasi, penaklukan indria, dan kesiapan untuk menerima pemahaman Sang Diri-Jati (jayãttma darsana).

Dari Santosa, kebahagiaan tertinggi (anuttama sukha) diperoleh. Kesempurnaan kinerja organ-organ indria datang bersamaan dengan hancurnya kekotoran batin melalui Tapa.

Melalui Svadhyaya dicapai penyatuan dengan Istadevata.

Pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek

Isvarapranidhana.

[YS II.40 - II.45]

Enam sloka inilah yang menguraikan (terutama) tentang keampuhan dari pelaksanaan kelima disiplin mental Niyama. Di Nusantara, pelaksanaan kelima disiplin mental atau ajaran moral-etik ini dikenal sebagai Panca

M

AHAVRATA — Sumpah Universal Nan Agung (3)

Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana telah dipaparkan terdahulu dalam kaitannya dengan Kriya Yoga [YS II.1 - II.2]. Sutra II.40, yang menyebutkan bahwa, Sauca membangkitkan kemuakan terhadap jasad (savãnga) dan keengganan untuk mengadakan hubungan fisik dengan jasad lain, bukan dimaksudkan sebagai anjuran untuk menarik diri dari masyakat atau pergaulan sosial. Salah-tanggap seperti ini sangat mungkin terjadi. Ia lebih diarahkan pada pengikisan raga-dvesa, nafsu dan rasa-kepemilikan dan kemelekatan. Jadi ia juga berkaitan erat dengan upaya mempertipis egoisme itu sendiri.

Sauca adalah kesucian lahir-batin. Dalam sutra II.41 tadi disebutkan pengembangan batin atau sikap-mental yang dicapai melalui Sauca sebagai:

Sattvasuddhi —kemurnian daya pemilah,

Saumanasya —keriangan hati,

Ekagrata —keterpusatan pikiran yang kokoh,

Indriajaya —penguasaan terhadap nafsu indriawi dengan baik, dan

Atmadarsana —visi Sang Diri-Jati atau Atman.

Santosa adalah kepuasan-batin. Kepuasan-batin, tidak berlandaskan pada pemenuhan atau memuasi dorongan indria. Kepuasan-batin tidak dicapai melalui penimbunan dan penguasaan materi, karena materi tidak akan pernah mampu memuaskan siapapun secara batiniah. Dicapainya Santosa membangkitkan kegairahan dan semangat baru dalam berbagai sendi kehidupan—fisikal, mental maupun spiritual.

Secara keseluruhan, Niyama kait-mengait satu dengan yang lainnya; yang satu mendukung dan menguatkan yang lainnya. Mungkin mengingat akan betapa fundamentalnya sikap-mental luhur bagi seorang siswa spiritual, Shrii Shrii Anandamurti —gurubesar dari Ananda Marga— juga menekankan penerapan 15 sila tambahan, disamping Yama-Niyama; masing-masing adalah:

Bersifat mengampuni, memaafkan.

Berjiwa besar.

Tyaga, siap mengorbankan segalanya yang besifat pribadi untuk kepentingan ideologi.

Mengendalikan diri sepenuhnya.

Berpenampilan manis dan murah senyum.

Memiliki keberanian-moral.

Dapat dijadikan panutan; dapat melakukannya sebelum menyuruh orang lain melakukan suatu kegiatan tertentu.

Membebaskan diri dari kebiasaan mencela, menyalahkan orang lain, ‘menusuk dari belakang’, serta berpandangan ‘kelompokisme’.

Dengan ketat melaksanakan Yama dan Niyama.

Apabila suatu kesalahan dilakukan tanpa disengaja—karena kurang berhati-hati—dan kemudian disadari, maka kesalahan itu segera harus diakui dan minta hukuman atasnya.

Meski ketika sedang berhadapan dengan seorang yang sangat kasarpun, harus membebaskan diri dari kebencian, kemarahan, dan kesombongan.

Bebaskan diri dari kebiasaan terlalu banyak bicara atau beromong-kosong.

Taat kepada disiplin yang sudah disusun dan disepakati.

Miliki rasa tanggungjawab.

Wrhaspati Tattwa —yang memuat wejangan-wejangan Hyang Siva kepada Bhagawan Wrhaspati, Guru para dewa—juga menyebutkan Dasasila tidak jauh berbedanya secara esensial dengan Yama-Niyama. Hyang Siva menegaskan kepada Wrhaspati: “Usahakanlah jiwa itu sebagai alat untuk melaksanakan Yoga-Samãdhi. Janganlah menunda-nunda, usahakanlah sadhana itu. Yang disebut sadhana adalah Yogamarga yang didasari Dasasila. Dasasila itu membangun Yoga....Dasasila merupakan penjaga Sang Yogiswara dalam Samãdhi-nya. Disitulah Sang Yogiswara akan menemukan pengetahuan tentang Kebebasan dari pengaruh Mayatattwa”. Setelah mengikuti paparan panjang-lebar dalam lingkup Yama-Niyama yang disajikan dalam banyak sutra oleh Patanjali, menyimaknya dengan seksama merenungkan arahnya, terlihat kalau sadhaka diarahkan untuk mengembangkan Catur Paramãrtha —empat sifat atau sikap-batin luhur keilahian. Walau paparan pengenalan pada ke-empat sikap-batin luhur keilahian tersebut hanya dipaparkan sepintas pada sutra I.32 sampai I.34, namun mereka disebut sebagai pendukung utama pemusnah derita (dukha). Penerapannya, mengkondisikan batin sedemikian rupa tenang,

mantap, penuh kegairahan serta mengeliminir halangan-halangan tak perlu di dalam melaksanakan sadhana demi sadhana.

Disadari bahwa, pelatihan tubuh dalam asana juga amat menunjang kesehatan sang sadhaka. Dalam perjalanan panjang, pendakian yang semakin curam dan licin yang dipenuhi onak dan kerikil-kerikil tajam, seorang pendaki butuh ketahanan fisik maupun mental yang prima. Ketahanan fisik mana pada gilirannya akan amat menunjang ketahanan mental-spiritual. Kondisi prima inilah yang hendak dimantapkan lagi dalam paparan sutra-sutra terkait dengan Asana dan Pranayama berikut.

Dalam dokumen Kidung Kelepasan Patanjali (Halaman 54-118)

Dokumen terkait