Jangan berkhayal bahwa Anda seorang Uttama Adhikari, dimana Anda cukup duduk bermeditasi dan langsung tercerap dalam Samãdhi. Anda akan mengalami kejatuhan yang mengenaskan. Setelah berlatih bertahun-tahun sekalipun Anda tidak akan memperoleh suatu kemajuan yang berarti, karena jauh di dalam lubuk-hatimu masih bersembunyi keinginan-keinginan dan
keserakahan, Vritti-vritti yang berada jauh dari jangkauan Anda.
Tekunlah! Lakukanlah analisis yang cermat terhadap hati dan pikiranmu. Walau Anda seorang penekun kelas wahid sekalipun, anggaplah diri hanya sebagai penekun kelas terendah dan latihlah selalu kedelapan tahapan
Sadhana, seperti yang diuraikan oleh Raja Yoga. Semakin banyak waktu
yang Anda habiskan pada dua langkah pertama, yakni Yama dan Niyama, semakin sedikit nantinya waktu yang akan Anda perlukan untuk mencapai kesempurnaan meditasi. Memang persiapan membutuhkan waktu cukup lama. Tapi jangan menunggu hingga sempurna dalam Yama dan Niyama, sebelum melangkah menuju Āsana, Pranayama dan meditasi.
Cobalah meraih kemantapan dalam Yama dan Niyama, dan pada saat yang bersamaan latihlah Āsana, Pranayama dan meditasi sebanyak Anda bisa. Dengan demikian keberhasilan akan lebih cepat tercapai. Andapun akan
lebih cepat tercerap ke dalam Nirvikalpa Samãdhi dan mencapai Kaivalya
Moksha. Bagaimana kondisi tertinggi tersebut?; tak seorangpun pernah
mengutarakannya, karena sesungguhnya terlampau terbatas kata-kata guna mengungkapkannya.
Berlatihlah dengan tekun, wahai penekun sejati, realisasikanlah Sang
Diri-Jati. Semoga engkau bersinar laksana seorang Yogi sempurna
dalam kehidupan ini!
Judul asli “RAJA YOGA”; diinterpretasikan dari edisi website The Divine Life Society yang telah di-update pada hari Minggu 14 Juli 1996.
BUTIR-BUTIRMUTIARA YOGA-SAMÃDHIYANGTERCECER.
”Batin yang tidak tercela, tidak lemah, tidak ada yang dikehendakinya, tidak ada yang diharapkannya, jernih tanpa noda, tidak dapat dihancurkan; Cetana seperti itu tanpa objek, tiada lagi ia merasakan
badan, bebas dari Catur Kalpana. Catur Kalpana adalah ‘tahu’, ‘diketahui’, ‘pengetahuan’ dan ‘mengetahui’. Semua itu tak adalagi bagi
Sang Yogiswara. Itulah yang disebut Samãdhiyoga. Ia juga adalah
Sadanggayoga, sebagai pengetahuan suci Sang Pandita, hingga
ditemukannya Sanghyang Wisesa. Sikap ke-yogiswara-an yang demikian itu, terjaga oleh Dasasila”.
Dasasila dan Cetana.
Dalam paragraf dari Wrhaspati Tattwa - 59 di atas, ada beberapa kata kunci yang menarik untuk disimak lebih dalam lagi, yakni: Cetana, Catur
Kalpana, Sadangga-Yoga dan Dasasila.
Dasasila adalah sepuluh sikap-mental luhur yang mendasari prilaku Sang
Yogiswara. Dasasila, juga disebut sebagai ‘Pembangun Yoga’. Dasasila merupakan dasar moralitas di dalam menjalani jalan spiritual. Penerapannya amat menentukan sempurnanya keberhasilan seorang
sadhaka. Sebutan lain —yang mungkin lebih akrab di Nusantara—adalah Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata, yang di dalam Yoga Sutra
disingkat Yama dan Niyama saja.
Cetana adalah ungkapan dalam bahasa Kawi, yang dalam bahasa
sanskertanya adalah Caitanya. Cetana berarti kesadaran spiritual tinggi yang dicapai oleh para Yogi Sempurna. Mendiang Shri Caitanya Prabhu misalnya, amat dipuja oleh sampradaya Hare Krishna, dapat kita ambil sebagai contoh dari penggunaan makna dari istilah Cetana ini.
Cetana adalah hakekat sejati, yang sesuai kesuciannya dengan dan dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga tingkatan kesucian: Paramasiwa Tattwa,
Sadasiwa Tattwa dan Siwa Tattwa. Kesuciannya ditentukan oleh
kuat-lemahnya pengaruh Maya. Paramasiwa Tattwa sepenuhnya bebas dari pengaruh Maya, Siwa Tattwa masih dipengaruhi Maya, sedangkan
Sadasiwa Tattwa berada di antara keduanya. Disini, Paramasiwa-lah
yang dipandang sebagai Nirguna Brahman, sedangkan Sadasiwa adalah
Saguna Brahman, bila mengikuti peristilahan Advaita Vedanta.
Serupa dengan paparan sloka Wrhaspati Tattwa tadi, Patanjali dalam Yoga Sutra memerinci hanya tiga saja; ini diungkapkan dalam sutra I.41: “Bila pusaran-pusaran (vritti) telah surut, maka batin menjadi jernih transparan bagai sebuah kristal, si pengamat (grahitr), proses mengamati (grahana) dan objek-objek yang diamati (grahya) mentransformasikan dirinya menjadi apa adanya (samãpatti).”
Ungkapan yang amat mirip dengan paradigma itu pernah saya dengar dari seorang Wiku, yang telah tiada kini, dengan ungkapan sebagai berikut:
"Manunggaling kang kinaweruhang, kang kinaweruhi, weruh lan kaweruhi". Bilamana kita terjemahkan secara bebas, kira-kira ia menjadi: "Bersatu-padunya antara yang mengetahui, yang diketahui, tahu dan pengetahuan itu sendiri". Mungkin, dengan amat susah beliau
mengungkapkan fenomena batiniah itu; namun itulah yang mampu terungkap melalui kata-kata.
Menyatupadukan Catur Kalpana berarti tercapainya Cetana. Inilah idealisasi Samãdhiyoga dalam Wrhaspati Tattwa. Dan demi pencapaian status Samãdhiyoga ini, dipaparkan enam langkah praktis yang disebut
Sadanggayoga: Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan
Samãdhi.
Sadanggayoga dalam Upanishad.
Beda dengan Ashtãnga Yoga-nya Patanjali, Sadanggayoga tidak lagi menyebut Yama, Niyama dan Āsana, namun langsung melangkah dari
Prãnãyama. Disini seolah-olah Yama, Niyama dan Āsana sudah dirangkum
dan inklusif di dalam Dasasila. Sebagai tambahan, disini diperkenalkan tahap Tarka yang tidak ditemukan di dalam Yoga Sutra. Bagaimana gerangan status batin yang disebutkan dengan Tarka ini?
Wrhaspati Tattwa menjelaskan bahwa Tarka itu bersih, jernih, damai bagaikan akasa; tapi tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan angkasa atau langit karena tanpa sabda —suara halus di dalam— sekalipun. Ia benar-benar jernih dalam kesunyian, tanpa bentuk-bentuk pemikiran dan persepsi apapun. Jelas ia bebas dari vicara maupun vikalpa. Penjelasan serupa juga dapat kita temukan dalam pustaka Tattwa Jñana —sebuah sastrãgama Nusantara lainnya. Bilamana Tarka ini yang mendahului Samãdhi, tentu
Samãdhiyoga yang dicapai adalah Nirvikalpa Samãdhi, menurut istilah
yang digunakan oleh Patanjali.
Sistem yogasadhana yang juga menggunakan istilah Tarka adalah yang dikemukakan di dalam Maitri Upanishad. Disana disebutkan: “Perintah untuk melaksanakan panunggalan ini adalah demikian; Prãnãyama,
Pratyãhãra, Dhãrana, Dhyãna, Tarka dan Samãdhi.” Maitri Upanishad
menyebut langkah-langkah yang sama dengan Sadanggayoga-nya Wrhaspati Tattwa. Sementara itu, di dalam sebuah ulasannya, Swami Satya Prakas Saraswati menginterpretasikan Tarka hanya sebagai kontemplasi
atau perenungan, yang secara mendasar berbeda dengan apa yang dipaparkan dengan jelas di dalam Wrhaspati Tattwa. Perenungan (vicara) masih menggunakan objek, baik berwujud maupun tanpa-wujud; atau, bila Rshi dalam Maitri Upanishad memang memaksudkannya demikian, maka
Samãdhi yang dimaksudkan disini masih merupakan Savikalpa Samãdhi,
menurut peristilahan Yoga Sutra.
Persepsi yang Bukan-Persepsi.
Bila kita cermati keempat aspek fungsional dari Catur Kalpana, kita dapat menangkap bahwa apa yang disebutkan sebagai Catur Kalpana adalah ‘proses dan unsur pencerapan’; mungkin istilah ini lebih akrab dengan telinga kita. Secara fungsional, semua itu dikerjakan oleh ‘persepsi’. Secara menyeluruh sloka tadi membicarakan hanya dua proponen batin tertinggi saja, yakni: kesadaran dan persepsi; dimana persepsi yang dimaksudkan disini bukanlah cerapan melalui organ-organ indriawi, seperti yang umumnya dikenal. Ia cerapan murni, tanpa penilaian, tanpa rasa suka atau tak-suka, tanpa pengharapan pun penolakan, tidak membenarkan pun menyalahkan atau bentuk-bentuk penghakiman lain layaknya yang dilakukan oleh campuran pikiran dan perasaan. Ia melampaui rasio dan emosi —yang kontroversinya malah menimbulkan konflik internal yang tiada henti. Ia tanpa dualitas. Ia juga kita kenal dengan sebutan intuisi.
Secara teknis, baik pikiran, apalagi perasaan atau emosi, tak lagi mengotori suasana batin Sang Yogiswara. Mereka secara praktis telah gugur, tertinggalkan dalam tataran yang lebih rendah, bersamaan dengan terlaluinya Prãnãyama, Pratyãhãra, Dhãrana dan Dhyãna. Hingga
Dhyãna, pikiran telah tersublimasikan dan bercahaya sebagai Buddhi,
sebagai kecerdasan kosmis, sebagai intuisi.
Fenomena ini amat berhampiran dengan fenomena-fenomena alami dalam suatu proses pendakian sebuah gunung. Awan, kabut dan mendung hanya masih berpengaruh hingga ketinggian tertentu saja. Selebihnya udara jernih, tenang; angin, awan, hujan, badai telah tertinggal di bawah. Bukan karena mereka ditenangkan atau kebetulan tak ada angin berhembus, namun semua itu hanya berlangsung pada tataran dengan ketinggian tertentu saja. Bila Anda pernah mendaki gunung di daerah tropis yang cukup tinggi — katakanlah 3000 meter ke atas— pada musim penghujan fenomena ini akan jelas teramati. Pada ketinggian tersebut matahari bersinar terang, langsung menyimari bumi tanpa halangan. Dari sana dapat dilihat dengan amat jelas betapa awan berarak searah dengan hembusan angin. Ada bagian bumi yang digelapi untuk beberapa saat, untuk kemudian terang kembali bersama dengan berlalunya awan di atasnya. Terang, gelap, terang, gelap....dan seterusnya; demikianlah kondisi dataran rendah yang masih berada di bawah awan.
Demikian pula halnya dengan pendakian spiritual. Pada ketinggian tertentu,
kekuatan Prakriti yang mengombang-ambingkan manusia dalam berbagai bentuk pemikiran dan perasaan. Manakala yang satu-satunya tertinggal adalah Sattvam, Buddhi-pun menjadi bercahaya. Citta atau kesadaran murni dengan leluasa menyinari batin Sang Yogi. Bagi yang telah terliputi
Buddhisattvam, pengaruh dunia sudah sedemikian tipis, walaupun secara
kasat-indria beliau masih tampak seperti biasa di dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.
Tanpa perumpamaan pendakian gunung tadi, mungkin agak sulit bagi kita untuk membayangkan dan mengungkapkan kondisi kesadaran yang terbebas samasekali dari persepsi, murni, jernih bak kristal dan damai itu, dengan kata-kata. Mungkin itulah sebabnya mengapa agak sulit bagi kita untuk menemukan paparan yang jelas tentangnya, baik secara lisan maupun tulisan. Ia jauh lebih mudah dirasakan lewat praktek langsung dalam
sadhana, daripada dibicarakan. Praktek langsung memberi pengalaman
langsung yang amat berharga. Yoga adalah praktek langsung, secara empiris, bukan sekedar himpunan berbagai konsepsi-konsepsi spiritual-filosofis saja. Menurut Tattwa Jñana, sesuai dengan kandungan Triguna-nya, makhluk hidup dapat dibedakan atas tiga kelompok besar, yakni: Buddhisattvam,
Buddhirajas dan Buddhitamas. Kandungan Triguna inilah yang
menentukan jasad apa yang dikenakannya kini dan nanti. Binatang dan tetumbuhan, Buddhi-nya tidak bercahaya akibat didominasi oleh gelapnya
Tamas.
Warisan Luhur yang sangat patut dibanggakan.
Kita sebetulnya telah diwarisi metode-metode luhur yang bermutu tinggi, yang tak kalah, bahkan siap bersanding dengan metode-metode yang datang belakangan, apakah itu dalam kemasan Yoga, maupun Meditasi. Bila kita pandai-pandai mengemas dan tak cepat berputus-asa di dalam menggali dan menggali serta menghimpun ceceran mutiara-mutiara Yoga-Samãdhi Nusantara, kitapun dapat menjadikannya ‘komuditas ekspor’. Yang pasti, kita tak mesti senantiasa jadi bulan-bulanan dan konsumen empuk bagi pemasaran komuditas spiritual impor. Pengaruh Sankhya, ternyata terasa amat kental, justru dalam ajaran Yoga Nusantara. Yoga telah dikembangkan jauh ke akarnya (Sankhya Darsana) oleh para Yogiswara Nusantara; dan atas fakta ini, kita boleh berbangga.
Harapan saya, semoga tulisan pendek ini berfungsi sebagai penggugah nurani kita. Penggugah, untuk mencintai kembali apa yang menjadi warisan kita semua tanpa kecuali. Keagungan Borobudur dan Prambanan, hanyalah kulit terluar dari budaya spiritual-religius Nusantara yang menyentak dan membeliakkan mata dunia. Isinya masih ada, masih tersimpan rapi di bumi Nusantara. Ia kini sedang menunggu untuk dijamah dan ditampilkan lagi oleh para pewarisnya. Mengakhiri tulisan ini saya sajikan sekelumit sloka dari pustaka kuno Tattwa Jñana berikut.
“Inilah tujuan Sanghyang Jñana Tattwa yang ditujukan pada Anda sekalian, yang menyebabkan kembali ke asal apabila Anda tahu dan dapat merasakan intisarinya. Memahami Sanghyang Jñana Tattwa dengan baik, dan dengan kesadaran melaksanakan Prayogasandhi di bawah penerangan
Samyagjñana, yang berdasarkan Tapa, Brata, Yoga dan Samãdhi,
merupakan obat dari Atma yang sengsara”. Denpasar, 7 Oktober 1999.