• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kidung Kelepasan Patanjali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kidung Kelepasan Patanjali"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

Kidung Kelepasan Patanjali

Daftar Isi.

PENGANTAR... i.

PENDAHULUAN... iii.

Samãdhi Pãda — Hakekat Penyatuan Agung.

Memasuki Yoga Sutra...1.

Kiat Mengatasi Modifikasi-modifikasi

Pikiran...4.

Samãdhi, Tahap Pencapaiannya dan

Keampuhan Isvarapranidhana...

6.

Isvara sebagai Guru Semesta dan Pranava

Japa...8.

Pelebur Penderitaan...11.

Sinar Kebijaksanaan lahir dari

Samãdhi...15.

Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek

Spiritual.

Kriya Yoga, Mengawali Pendakian

Spiritual... 18.

Hambatan Utama dan Kiat

Memusnahkannya...

22.

Musnahnya Identitas-diri dalam

Pencerahan...

25.

Delapan Langkah Pendakian dan Tujuh

Langkah Penyatuan...

27.

(2)

Disiplin Moral dan Jurus Ampuh Mengatasi

Insting Destruktif...

31.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung

(1)...

33.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung

(2)...

35.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung

(3)...

37.

Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap

Mental...

39.

Regulasi Nafas dan Pengendalian Daya

Vital...

41.

Terminal Pendakian...

44.

Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan

dan Kesempurnaan.

Paparan tentang Kekuatan dan

Kesempurnaan...

46.

Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan dan

Tiga Bentuk Transformasi Citta...

48.

Mengerti Suara, Maksud, Asal dan Kehidupan

Lampau Makhluk Hidup...

50.

Mengetahui tanda-tanda

Kematian...

52.

Kemampuan Intuitif dan Bahaya

Siddhi-siddhi...

54.

Posisi sentral Viveka dan Vairagya di dalam

Pemanfaatan Samyama...

56.

Tercapainya cita-cita Sang

Yogi...

59.

(3)

Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan

Sejati.

Menggapai Kebebasan Sejati...

61.

Evolusi Kosmis dan Tujuan...

63.

Yang Mengahalangi Pencerahan

Sempurna...

65.

Dharmamegha Samãdhi dan Sampainya di

Puncak...67.

PENUTUP ~ Jalan Kelepasan dan juga Jalan

Kesucian...69.

Appendiks:

Raja Yoga...72.

Butir-butir mutiara Yoga-Samãdhi yang

tercecer...81.

(4)

Kidung Kelepasan Patanjali

P

ENGANTAR

Hadirnya kitab kecil ini sebetulnya hanya dari kenekatan penulis, yang tidak menguasai bahasa Sanskerta, ibu bahasa-bahasa dunia itu. Kenekatan ini semakin menjadi-jadi tatkala penulis menyimak sebuah terjemahan lengkap Yoga Sutra Patanjali dalam bahasa Inggris pada sebuah website.

Sebelumnya terjemahan dan ulasan parsial seringkali penulis temukan, namun terjemahan lengkapnya ke dalam bahasa Inggris masih relatif jarang. Besar dugaan penulis bahwa dalam terjemahan itu, gaya bahasanya sengaja dibuat sesederhana mungkin; mungkin maksudnya agar mudah dimengerti dan tidak terkesan menakutkan. Dasar pemikiran yang amat mengena, mengingat belakangan kehausan generasi muda terhadap teks-teks kuno spiritual ke-timur-an semakin tampak marak di berbagai belahan dunia.

Terjemahan dan ulasannya dalam Indonesia dari bahasa Inggris memang sudah ada. Namun agaknya masih langka yang langsung diterjemahkan dari bahasa aslinya dan diulas oleh peminat dan penekun jalan spiritual Indonesia. Kebanyakan, bahkan mungkin semua, masih merupakan terjemahan atau ulasan 'second-handed'. Kenyataan ini semakin menyulut kenekatan penulis untuk mencobanya. 'Kenapa tidak saya coba saja?', pertanyaan inilah yang terlintas di benak penulis ketika memulainya.

Secara kebetulan, penulis mewarisi sebuah kitab Yoga Sutra Patanjali berbahasa 'melajoe' peninggalan orang tua kami. Ditambah dengan bacaan-bacaan lain—kecuali yang tercantum dalam daftar bacaan—yang kebanyakan terbitan The Divine Life Society, serta petunjuk-petunjuk dari mereka yang amat penulis hormati, maka dicobalah menyusun kitab kecil ini. Tanpa penguasaan yang baik atas bahasa Sanskerta, penulis berusaha menterjemahkannya secara bebas, sesuai kemampuan yang amat terbatas ini.

Dimaklumi bahwa Yoga Sutra adalah teks kuno yang amat dihormati oleh segenap Yogi paska Patanjali. Sebagai pokok Yoga Darsana, keagungannya

(5)

bahkan dapat didudukkan sejajar dengan Sruti, Bhagavad Gita dan

Upanisad-upanisad yang suci, yang disebut-sebut sebagai diwahyukan langsung maupun tak-langsung oleh Tuhan sendiri. Ulasan-ulasan terhadapnya selama ini, (mungkin) hanya diberikan oleh para Yogi besar, yang tak diragukan lagi pengetahuan, pengalaman dan kesucian batin beliau. Tak kurang Vedavyasa sendiri, menurunkan ulasan khusus beliau dalam Yogabhasya.

Dalam sebuah tulisan karyanya, Sri Swami Sivananda memperingatkan: “Sistem Yoga dari Patanjali tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Sebuah sutra berupa sebuah aphorisma pendek padat makna. Ia berupa ungkapan-ungkapan aphoristis. Ia mengandung kedalaman makna, serta signifikansi yang tersembunyi. Para Rshi di jaman dahulukala memiliki suatu tradisi dalam mengekspresikan ide-ide filosofis maupun realisasinya hanya dalam bentuk sutra-sutra saja. Adalah amat sulit untuk mengertikan maksud yang terkandung di dalam sutra-sutra tersebut tanpa bantuan komentar atau penjelasan seorang pembimbing atau Guru yang telah memahami Yoga dengan baik”.

Jadi, kembali harus penulis kemukakan bahwa memang semua ini hanyalah dari kenekatan, hasrat untuk berbuat dan minat yang besar terhadap kehidupan dan jalan spiritual. Amat banyak kekurangannya disana-sini. Semoga ia bermanfaat bagi sahabat peminat dan penekun yang bersungguh-sungguh dan lewat perantara tulisan ini, semoga Sang Maharshi berkenan memaparkannya secara langsung kepada pembaca sekalian.

Denpasar, 9 Nopember 2000.

(6)

PENDAHULUAN.

Yoga Sutra yang disusun oleh Maharshi Patanjali ini adalah teks klasik terbesar dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ia dinyana telah ditulis 2500 tahun lalu; jadi kurang lebih sejaman dengan Buddha Gotama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak kurang dari abad ke-2 SM. Di dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau penyatuan universal benar-benar pendek dan akurat; menegaskan secara lengkap, rinci dan akurat bagian-bagian yang esensial. Mengingat kepadatan dan kepekatan kandungan makna spiritual-filosofisnya, Yoga Sutra dianjurkan untuk dijelaskan dan di-interpretasikan oleh seorang Guru Yoga melalui komentar-komentar. Praktek Yoga dipandang sebagai pelengkap dari dan dalam satu kesatuan pandang dengan filsafat

Sankhya. Tujuan-pokoknya adalah merealisasikan kebebasan Jiva dari kungkungan Maya.

Ketidak-cukupan informasi tentang Yoga telah mengundang tak sedikit persepsi keliru di kalangan awam tentangnya. Yoga seringkali dikacaukan dengan Tapa, atau bahkan dengan sesuatu yang berbau klenik yang mendekati takhyul, atau memandangnya hanya dari sudut-pandang kegaiban-kegaiban dan kanuragan saja, telah menggugah penulis untuk menghadirkan buku ini di tengah-tengah kita semua.

Untuk ini, ada baiknya diketengahkan paparan Sri Swami Sivananda —pendiri The Divine Life Society—tentang Yoga.

Yoga bukanlah mengurung diri di dalam gua-gua, bukan pula berkelana di hutan-hutan lebat sekitar pegunungan Himalaya. Ia juga bukan hanya memakan jenis makanan yang berupa sayur-mayur dari pegunungan. Brahman bukanlah pengecut yang lari dari hiruk-pikuknya komunitas dan pemukiman manusia. Praktekkan sajalah Yoga di rumah Anda sendiri. Manakala hasrat untuk mempraktekkannya muncul, ini berarti bahwa kebebasan telah berada dalam jangkauan Anda, oleh karenanya manfaatkanlah peluang ini sebaik-baiknya...Menjalani kehidupan sebagai seorang Yogi, tidaklah mesti menelantarkan siapapun juga atau mengabaikan kewajiban-kewajiban melekat Anda. Ia bermakna merubah sikap hidup dari kebiasaan mengerjakan sesuatu yang sia-sia, menuju jalur yang secara pasti mengantarkan langsung kepada Tuhan. Ia dibarengi dengan perubahan prilaku dalam menjalani kehidupan serta metode-metodenya guna membebaskan diri Anda

(7)

dari berbagai belenggu dan kemelekatan. Kebenaran dan pengabaian keakuan, sebenarnya merupakan masalah sikap-batin”.

Sesuai sistematika dari teks aslinya, Kidung Kelepasan Patanjali

inipun disajikan dalam 4 bagian (pãda), masing-masing adalah: • Samãdhi Pãda.

• Sãdhana Pãda. • Vibhuti Pãda. • Kaivalya Pãda.

Samãdhi Pãda —Hakekat Penyatuan Agung.

Pãda yang tersusun dalam 51 sutra ini memaparkan tentang landasan spiritual-filosofis Yoga, hakekat dari penyatuan dan hakekat ketuhanan dalam Yoga. Dalam bagian ini akan banyak kita temukan paparan yang menyangkut intisari keimanan Hindu, yang juga berhampiran dengan Buddha, serta penerangan yang amat bersesuaian dengan Upanishad-upanishad dan Veda Sruti. Dari bagian ini pula, bila kita cermati, kesinambungan antara Sanhkya Darsana dan Vedanta terjembatani dengan Shastrãgama-shastrãgama lain. Pãda ini merupakan pembuka yang berisikan pembekalan dalam tahap persiapan, sebagai landasan pijak dan kerangka dasar seorang sadhaka, seorang penekun di jalan spiritual.

Samãdhi Pãda terutama menjelaskan beberapa jenis Samãdhi sesuai dengan tersisa atau tidaknya objek di dalam Samãdhi, yang dicapai bersama dengan terhentinya pusaran-pusaran pikiran. Kaivalya, yang merupakan isu sentral dari Yoga Sutra ini, hanya dicapai melalui Nirvikalpa atau Nirbija Samãdhi. Walaupun demikian, jenis pencapaian lain tetap merupakan pencapaian tinggi yang merupakan penghampiran pra yang tertinggi. Pembekalan mendasar, seperti ketidak-melekatan (vairagya) dan pembiasaan laku-spiritual (abhyasa) juga diberikan, sebelum seorang sadhaka benar-benar terjun dalam praktek kehidupan spiritual secara intens.

(8)

Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek Spiritual.

Pãda yang tersusun dari 55 sutra ini memberikan paparan praktis bagi seorang sadhaka. Disini mulai diperkenalkan Yama, Niyama, Pranayama dan Pratyahara, serta persiapan untuk memasuki tiga-serangkai Samyama —Dharana-Dhyana-Samadhi. Samyama baru dipaparkan secara panjang lebar pada Vibhuti Pãda. Metode pembebasan psikologis dan spiritual yang terdiri dari delapan tahapan ini, juga dikenal dengan Ashtanga Yoga.

Disini juga diingatkan akan bahaya dari siddhi bagi seorang sadhaka sejati. Secara keseluruhan prinsip-prinsip praktis dari

Yoga dapat ditemukan disini dalam paparan yang lugas. Sebagai paparan praktis, di dalam mengikuti Sãdhana Pãda ini kita juga acapkali seakan-akan sedikit ‘dipaksa’ untuk mengerti tentang sistem Yoga praktis tertentu, terutama Hatha Yoga dan Laya Yoga atau Kundalini Yoga.

Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan.

Disini dipaparkan tuntunan praktis yang lebih tinggi, terutama tentang tiga-serangkai Samyama, melalui mana kekuatan-kekuatan spiritual, kegaiban-kegaiban, hingga kesempurnaan Yoga bisa dicapai.

Bagi yang mempunyai naluri mistis yang kuat, bagian yang tersusun oleh 56 sutra ini, bisa merupakan bagian yang paling menarik. Disini juga disampaikan peringatan-peringatan untuk tidak melaksanaan

Yoga hanya demi perolehan kekuatan-kekuatan dan kegaiban-kegaiban itu, apalagi terikat padanya. Ini dapat dengan mudah menjatuhkan sang penekun.

Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan Sejati.

Di antara ke-empat Pãda, Kaivalya Pãda inilah yang tersingkat. Disini paparan terasa padat, yang utamanya difokuskan pada pencapaian Kaivalya dan tentang bagaimana seorang Yogi yang telah mencapai status itu. Disini Patanjali tak lupa menyelipkan lagi tatanan etika-moral luhur dari seorang Yogi Sempurna —yang

(9)

dalam ajaran Vedanta kita kenal sebagai Jivanmukta, ia yang telah terbebaskan dari siklus Samsara dan tak terlahirkan kembali di alam manapun —di antara 34 sutra pembentuknya.

Jadi, secara keseluruhan, ke-empat Pãda benar-benar membentuk satu kesatuan integral, yang kait-mengait satu sama lain, mengalir dan berlanjut, saling memperjelas dan mempertegas. Ini juga berarti meminta praktisi mempelajari Yoga Sutra —guna memperoleh pemahaman yang baik tentang praktek Yoga itu sendiri— secara berulang-ulang, bolak-balik ke depan dan kembali ke belakang. Ia memang merupakan manual-praktis yang tersaji dalam satu kesatuan bahasan komprehensif, menyeluruh dan terpadu. Guna menunjang bahasan-bahasan, dengan segala kerendahan hati, di akhir buku ini penyusun sajikan sebuah tulisan lepas sebagai appendiks.

Dalam kesempatan yang bersahaja ini, kiranya pada tempatnyalah kita bersyukur dan bersujud dengan penuh hormat kepada Maharshi Patanjali, atas kemurahan hati beliau yang tanpa pamerih telah menyusun sistematika praktis serta melahirkan satu aliran filsafat (darsana) agung yang tiada duanya, yang dapat mengantarkan manusia menuju Kebebasan Sejati.

(10)

MEMASUKI YOGA SUTRA

Konstelasi batin manusia dan Ideal Patanjali

Sekarang dijelaskan tentang Yoga.

Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha).

Dengan demikian citta —yang bertindak sebagai si pengamat— hanya bersandar pada kondisinya sendiri (svarupa) yang jernih; sedangkan, pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru mempersamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut.

[YS I.1 - I.4]

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.

Manusia, makhluk berakal-budi, teranugrahi manas dalam kelahirannya. Dari manas inilah lahir kata manussa atau manusya yang kemudian diadopsi menjadi manusia, dalam bahasa Indonesia dan human atau man dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaanya. Ia merupakan prabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya dengan makhluk bumi lainnya.

Upanishad menegaskan: “mana eva manushyãnam kãranam bandha mokshayoh —bagi manusia, manas-lah yang menyebabkan perbudakan maupun pencapaian Moksha.” Dalam hirarki Sankhya, manas menduduki posisi kunci di bawah keakuan, yang disini disebut asmita. Vedanta menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan atau buddhi berada pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan. Sedangkan citta —kesadaran atau batin jernih — berada di atas buddhi dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas dan tamas) —tiga kekuatan Prakriti —namun belum terpengaruhi olehnya. Citta turunan langsung dari Purusa —yang merupakan hakekat yang berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti — semesta material. Dari

(11)

Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut ‘tiga kekuatan Prakriti’.

Segera setelah citta terpengaruh oleh triguna dan didominasi oleh sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan menjadi buddhi, intelijensia. Dan bila citta dipengaruhi dan didominasi oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Relatif amat jarang buddhi ikut-campur dalam pemerintahan ini. Dalam melayani ahamkara, manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-ambing, menimbulkan berbagai bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan; inilah kondisinya dalam pusaran-pusaran batin itu.

Konyolnya adalah, dalam ketidak-tahuannya manusia justru mengidentifikasikan-dirinya sebagai pikiran dan perasaan atau vritti itu sendiri —vritti sarupya. Hanya manakala dominasi asmita terhadap pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvik yang kedewataan mulai menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, lewat mana Purusa memancarkan cahayanya di dalam batin manusia. Demikianlah ideal pemurnian citta Patanjali yang dipaparkan pada awal mokshashastra ini.

Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran

Modifikasi-modifikasi batin (vritti) ada lima jenis, ada yang menyedihkan dan ada yang tidak menyedihkan: penalaran (pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra) dan ingatan (smrti).

Praktek langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik.

[YS I.5 - I.7]

Pengetahuan luhur (jñana) yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih dahulu kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa) serta ingatan-ingatan (smrti) yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu pengetahuan yang sahih (vidya), yang dapat dipertanggung-jawabkan objektivitas dan kebenarannya. Ia tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan samasekali (avidya), apalagi jñana. Sutra-sutra ini

(12)

menekankan hal ini. Sementara jñana diperoleh lewat tiga rangkaian proses yang masing-masing daripadanya disebut pramana. Sebagai suatu rangkaian proses, yang satu dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna memperoleh jñana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktekkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar ataupun di dalam, melahirkan pengalaman. Melalui praktek yang sama secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman disini bisa berupa pengalaman fisik, non-fisik maupun meta-fisik. Endapan pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan (smrti), mereka serupa dengan kesan-kesan mental (samskara). Smrti semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang. Dari fenomena batiniah inilah terlahir laku Japa, pelafalan sebait mantra pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris inilah yang disebut pratyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata ‘praktek’ maupun ‘praktis’ yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.

Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-sumber yang otentik dan layak dipercaya maupun kitab-kitab yang terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara inilah yang disebut agama atau sabda pramana —perolehan pengetahuan melalui mendengarkan sabda-sabda suci para Guru-guru suci dan kitab-kitab suci. Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi, dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i) subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti) dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).

Kekeliruan (viparyaya) merupakan pengetahuan keliru (mithya-jñana), yang tidak tersusun dari realitas.

Pengetahuan yang dimunculkan oleh ‘citra kata-kata’, namun tanpa didukung objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi (vikalpa)

(13)

semata; modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) adalah tidur (nidra); dan kehadiran kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah ingatan (smrti) yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru itu.

[YS I.8 - I.11]

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan (panca viparyaya) dalam Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah: (i) Tamah, pikiran yang selalu ingin memperoleh kesenangan duniawi; (ii) Moha, keinginan untuk memperoleh delapan kemampuan adi-kodrati (asta aiswarya); (iii) Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala disamping asta aiswarya tadi; (iv) Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan —sebagai buah perbuatan— di kemudian hari; dan (v) Andhatamisra, menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan inilah yang berandil besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) —seperti yang disebutkan dalam sutra I.10—bukanlah tidur pulas tanpa mimpi —yang disebut sushupti. Dalam sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya, menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru, vitalitas dan kekuatan baru serta menjadikannya cukup prima untuk menghadapi ‘peperangan’ keesokan harinya. Demikian Sri Swami Sivananda menggambarkannya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya, bila diperoleh melalui pratyaksa, sabda atau agama, anumana serta upamana, yang bekerja sedemikian rupa saling menunjang dan menguatkan, sebelum menarik suatu kesimpulan akhir. Disinilah subjektivitas yang terbentuk oleh pengalaman pribadi yang terbatas, berupa: kekeliruan (viparyaya),

(14)

angan-angan atau imajinasi-imajinasi subjektif (vikalpa), serta kehadiran objek-objek indriawi yang menyesatkan (vishaya) maupun kelemahan dan keterbatasan ingatan (smrti) ditiadakan.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari mithya-jñana ini? Inilah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam sutra-sutra berikutnya.

(15)

MEMASUKI YOGA SUTRA

Konstelasi batin manusia dan Ideal Patanjali

Sekarang dijelaskan tentang Yoga.

Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha).

Dengan demikian citta —yang bertindak sebagai si pengamat— hanya bersandar pada kondisinya sendiri (svarupa) yang jernih; sedangkan, pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru mempersamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut.

[YS I.1 - I.4]

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.

Manusia, makhluk berakal-budi, teranugrahi manas dalam kelahirannya. Dari manas inilah lahir kata manussa atau manusya yang kemudian diadopsi menjadi manusia, dalam bahasa Indonesia dan human atau man dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaanya. Ia merupakan prabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya dengan makhluk bumi lainnya.

Upanishad menegaskan: “mana eva manushyãnam kãranam bandha mokshayoh —bagi manusia, manas-lah yang menyebabkan perbudakan maupun pencapaian Moksha.” Dalam hirarki Sankhya, manas menduduki posisi kunci di bawah keakuan, yang disini disebut asmita. Vedanta menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan atau buddhi berada pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan. Sedangkan citta —kesadaran atau batin jernih — berada di atas buddhi dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas dan tamas) —tiga kekuatan Prakriti —namun belum terpengaruhi olehnya. Citta turunan langsung dari Purusa —yang merupakan hakekat yang berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti — semesta material. Dari

(16)

Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut ‘tiga kekuatan Prakriti’.

Segera setelah citta terpengaruh oleh triguna dan didominasi oleh sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan menjadi buddhi, intelijensia. Dan bila citta dipengaruhi dan didominasi oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Relatif amat jarang buddhi ikut-campur dalam pemerintahan ini. Dalam melayani ahamkara, manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-ambing, menimbulkan berbagai bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan; inilah kondisinya dalam pusaran-pusaran batin itu.

Konyolnya adalah, dalam ketidak-tahuannya manusia justru mengidentifikasikan-dirinya sebagai pikiran dan perasaan atau vritti itu sendiri —vritti sarupya. Hanya manakala dominasi asmita terhadap pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvik yang kedewataan mulai menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, lewat mana Purusa memancarkan cahayanya di dalam batin manusia. Demikianlah ideal pemurnian citta Patanjali yang dipaparkan pada awal mokshashastra ini.

Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran

Modifikasi-modifikasi batin (vritti) ada lima jenis, ada yang menyedihkan dan ada yang tidak menyedihkan: penalaran (pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra) dan ingatan (smrti).

Praktek langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik.

[YS I.5 - I.7]

Pengetahuan luhur (jñana) yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih dahulu kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa) serta ingatan-ingatan (smrti) yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu pengetahuan yang sahih (vidya), yang dapat dipertanggung-jawabkan objektivitas dan kebenarannya. Ia tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan samasekali (avidya), apalagi jñana. Sutra-sutra ini

(17)

menekankan hal ini. Sementara jñana diperoleh lewat tiga rangkaian proses yang masing-masing daripadanya disebut pramana. Sebagai suatu rangkaian proses, yang satu dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna memperoleh jñana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktekkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar ataupun di dalam, melahirkan pengalaman. Melalui praktek yang sama secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman disini bisa berupa pengalaman fisik, non-fisik maupun meta-fisik. Endapan pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan (smrti), mereka serupa dengan kesan-kesan mental (samskara). Smrti semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang. Dari fenomena batiniah inilah terlahir laku Japa, pelafalan sebait mantra pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris inilah yang disebut pratyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata ‘praktek’ maupun ‘praktis’ yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.

Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-sumber yang otentik dan layak dipercaya maupun kitab-kitab yang terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara inilah yang disebut agama atau sabda pramana —perolehan pengetahuan melalui mendengarkan sabda-sabda suci para Guru-guru suci dan kitab-kitab suci. Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi, dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i) subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti) dan (iv) cara mengetahuinya (pramana).

Kekeliruan (viparyaya) merupakan pengetahuan keliru (mithya-jñana), yang tidak tersusun dari realitas.

Pengetahuan yang dimunculkan oleh ‘citra kata-kata’, namun tanpa didukung objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi (vikalpa)

(18)

semata; modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) adalah tidur (nidra); dan kehadiran kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah ingatan (smrti) yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru itu. [YS I.8 - I.11]

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan (panca viparyaya) dalam Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah: (i) Tamah, pikiran yang selalu ingin memperoleh kesenangan duniawi; (ii) Moha, keinginan untuk memperoleh delapan kemampuan adi-kodrati (asta aiswarya); (iii) Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala disamping asta aiswarya tadi; (iv) Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan —sebagai buah perbuatan— di kemudian hari; dan (v) Andhatamisra, menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan inilah yang berandil besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) —seperti yang disebutkan dalam sutra I.10—bukanlah tidur pulas tanpa mimpi —yang disebut sushupti. Dalam sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya, menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru, vitalitas dan kekuatan baru serta menjadikannya cukup prima untuk menghadapi ‘peperangan’ keesokan harinya. Demikian Sri Swami Sivananda menggambarkannya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif tanpa hadirnya keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya, bila diperoleh melalui pratyaksa, sabda atau agama, anumana serta upamana, yang bekerja sedemikian rupa saling menunjang dan menguatkan, sebelum menarik suatu kesimpulan akhir. Disinilah subjektivitas yang terbentuk oleh pengalaman pribadi yang terbatas, berupa: kekeliruan (viparyaya), angan-angan atau imajinasi-imajinasi subjektif (vikalpa), serta kehadiran

(19)

objek-objek indriawi yang menyesatkan (vishaya) maupun kelemahan dan keterbatasan ingatan (smrti) ditiadakan.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari mithya-jñana ini? Inilah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam sutra-sutra berikutnya.

(20)

KIAT MENGATASI MODIFIKASI-MODIFIKASI PIKIRAN

Melalui pembiasaan terus-menerus (abhyasa) dan tanpa keberpihakan dan keterikatan (vairagya) modifikasi-modifikasi pikiran dan perasaan (vritti) dihapuskan (nirodhah).

Abhyasa adalah usaha terus-menerus pada jalan spiritual hingga menjadi suatu kebiasaan.

Perhatian yang konstan dalam jangka waktu lama, dengan teguh dan tanpa jeda memantapkannya.

Pandangan hidup yang bebas dari nafsu keinginan dan kecintaan pada pengalaman-pengalaman indriawi berikut objek-objeknya, serta tanpa keberpihakan dan keterikatan lagi padanya adalah vairagya.

Vairagya yang tertinggi dicapai tatkala munculnya kekuatan Purusa untuk menghentikan pengaruh guna, walaupun berupa keinginan yang sekecil apapun.

[YS I.12 - I.16]

Paparan serupa ini ternyata kita temukan pula dalam Bhagavad Gita VI.35:

"Tidak diragukan lagi, oh...Mahabahu, pikiran memang sulit dikendalikan, namun ia dapat dikuasai melalui pembiasaan-diri (abhyasena), ketidak-terikatan (vairagyena) pun dapat dicapai melaluinya."

Abhyasa saling menguatkan dengan vairagya. Abhyasa dicapai melalui kesinambungan pelaksanaan sadhana; sesungguhnya antara sadhana dan abhyasa nyaris tiada beda. Mungkin dapat dikatakan bahwa abhyasa adalah suatu kebiasaan dalam menjalankan sadhana-sadhana bagi seorang sadhaka. Sudah barang tentu membiasakan sesuatu —apalagi sesuatu yang baik dan bernilai spiritual— tidaklah mudah dan dapat diraih dalam waktu singkat.

Dalam konteks ini, abhyasa ditujukan untuk mengendalikan dan meredam semua vritti. Menurut Sri Swami Sivananda, mengarahkan kembali pikiran kepada asalnya —Hrdaya Guha—dan menjadikannya tercerap dalam

Atman adalah abhyasa; demikian pula mengarahkan pikiran ke dalam untuk menghancurkan kecenderungannya mengarah ke luar. Hanya melalui abhyasa saja, samskara-samskara dapat dibakar hangus.

(21)

Wrhaspati Tattwa melukiskan yang telah meraih vairagya bagaikan raja yang kuat, yang telah menikmati kemenangan dalam peperangan. Semua kesenangan duniawi —lewat munculnya kegandrungan terhadapnya— tak lagi mengikatnya karena ia tak menginginkan lagi semua itu.

Menurut Sri Swami Sivananda ada empat tingkatan vairagya:

(1) Yatamana:- Ini dicirikan dengan adanya upaya untuk tidak membiarkan pikiran berlari menuju ladang sensualitas;

(2) Vyatireka :- Pada tingkat ini beberapa objek bisa saja menarik Anda namun Anda berhasrat kuat untuk memotong kelekatan dan ketertarikan Anda itu, dan sadar akan tingkatan vairagya terhadap objek-objek yang berbeda-beda;

(3) Ekéndriya:- Sensasi-sensasi masih ada yang berdiri tegak maupun yang telah tunduk, akan tetapi pikiran masih memiliki raga atau dvesha, suka atau tak-suka pada objek-objek. Hanya sebatas pikiran saja; atau dengan lain kata, hanya pikiran saja satu-satunya sensasi yang berfungsi secara terpisah;

(4) Vasirara:- Pada tingkat vairagya tertinggi ini, objek-objek tidak lagi menggoda. Mereka tidak lagi menimbulkan ketertarikan samasekali. Sensasi tenang dengan sempurna. Pikiranpun terbebas dari suka-tak-suka. Andapun memperoleh kemenangan dan tanpa ketergantungan lagi. Tanpa vairagya tiada kemajuan spiritual yang dimungkinkan.

(22)

SAMÃDHI, TAHAP PENCAPAIANNYA DAN KEAMPUHAN ISVARAPRANIDHANA.

Samprajñãta dan Asamprajñãta Samãdhi.

Penalaran yang tajam (vitarka), penyelidikan melalui perenungan mendalam (vicara), dan kebahagiaan (ananda) yang penuh kewaspadaan sebagai akibat dari penyatuan semesta dengan Sang Diri, merupakan kondisi batin ketika tercapainya Samprajñãta Samãdhi.

[YS I.17.]

Dalam Samprajñãta Samãdhi, batin masih dicirikan dengan kehadiran empat kondisi yang mendahuluinya—yakni: vitarka, vicara, ananda dan identifikasi-diri sebagai asmita. Asmita atau keakuan merupakan pijakan yang hendak dilebur dalam kesadaran kosmis melalui penalaran di dalam, penyelidikan atau perenungan mendalam. Manakala penyatuan atau peleburan itu tercapai, maka tercapai pulalah anandam, kebahagiaan sejati. Inilah yang disebut dengan Samprajñãta Samãdhi.

Disini, anandam sebagai pencapaian tertingginya, dinikmati oleh ‘sang aku semu’. Disini hadir; “Aku menikmati kebahagiaan tertinggi.” Aku masih eksis dan bertindak sebagai si penikmat. Sementara, ia sendiri justru merupakan salah-satu kléša—bahkan yang paling hakiki—untuk dilebur. Hadirnya aku sebagai si penikmat, yang mengidentifikasikan dirinya pada kebahagiaan itu, juga merupakan pertanda bahwa pusaran-pusaran pikiran (vritti) masih aktif. (Mungkin) Inilah sebabnya mengapa pencapaian Samãdhi ini bukanlah yang tertinggi menurut idealisasi Patanjali.

Pemusnahan sisa-sisa kesan mental (samskara) yang masih mengisi pikiran, melalui vairagya dan abhyasa, mengkondisikan terjadi penyatuan sempurna dalam eksistensi yang tiada terbedakan, tanpa wujud, yang juga berarti musnahnya pengaruh Prakriti (prakritilaya), disamping kuatnya iman (sraddha), semangat dan kegigihan (virya), daya ingat yang kuat (smrti), dan bersinarnya kebijaksanaan (prajña).

(23)

Asamprajñãta Samãdhi, merupakan pencapaian tertinggi, dipersamakan dengan Nirbija atau Nirvikalpa Samãdhi oleh Swami Satya Prakãs Saraswati. Samãdhi ini terutama dicirikan dengan musnahnya pengaruh kekuatan Prakriti yang berupa Triguna itu. Dan itu tak serta-merta dimungkinkan, terjadi. Patanjali masih menyebut-nyebut beberapa pencapaian dan kondisi batiniah ‘yang mendahuluinya’ dalam tiga sutra tadi.

Pencapaian-pencapaian mendahului dimaksud adalah: vairagya, abhyasa, smrti dan prajña. Dan kondisi batiniah yang dimaksud adalah: sraddha dan virya. Smrti dimasukkan sebagai pencapaian sebelumnya atau mendahului karena ia terbentuk sebagai hasil positif dari proses pembiasaan dan mungkin ini telah dilakukan sejak kehidupan-kehidupan lampau sang penekun. Keyakinan yang teguh merupakan kondisi batin yang bisa diperoleh dalam kehidupan ini ataupun yang lampau, namun masih terus dirasakan atau terpakai; demikian juga halnya dengan semangat yang kuat yang menyertainya.

Hampir tak mungkin tumbuh suatu semangat yang kuat, tanpa teguhnya iman. Satu keyakinan mendasar dari seorang sadhaka adalah akan adanya

Isvara (Tuhan), oleh karenanyalah Isvarapranidhana disebut-sebut sejak awal.

Pencapaian secara bertahap dan keampuhan Isvarapranidhana.

Bagi mereka yang melakukannya dengan intens, penuh semangat-spiritual (virya), kemajuan pesat dan keberhasilan dalam Samãdhi segera dicapai.

Pencapaian keberhasilan terbaik dimungkinkan melalui praktek bertahap, dari rendah, menengah hingga intens, yang selalu disertai dengan penyerahan-diri sepenuhnya kepada Tuhan (Isvarapranidhana).

[YS I.21 - I.23.]

Memang dalam banyak hal kesabaran memegang peranan penting bagi keberhasilan dalam bidang apapun, terlebih lagi dalam Samãdhi. Sabar disini tidak dimaksudkan sebagai lamban dan menunda-nunda latihan, dengan mengatakan dalam hati: “Ah....saya harus sabar...toh masih banyak waktu untuk itu”. Tidak demikian maksudnya. Kesabaran disini lebih diarahkan pada ketidak-cerobohan, tidak terburu-nafsu tanpa persiapan

(24)

yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Mereka yang memilih jalan Yoga, diharapkan telah berkepribadian matang dengan tekad yang kuat, sadar sepenuhnya bahwa umur tak dapat kita tentukan. Jadi, sesungguhnya kita tidak tahu persis, berapa lama waktu yang tersedia bagi kita dalam kelahiran ini dan kapan kita dapat merampungkan persiapan dan latihan tersebut hingga benar-benar menjadikannya sebagai suatu kebiasaan hidup spiritual, dan berhasil. Namun, secara jujur, sekurang-kurangnya kita tahu persis kekurangan-kekurangan kita. Ini akan amat membantu dalam menentukan sikap, kapan diperlukan peningkatan intensitas dan kapan perlu diperlambat, dan sebagainya.

Seperti juga Isvara, Isvarapranidhana diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Patanjali. Ia belum muncul dalam Sankhya. Isvarapranidhana disebut-sebut berperan besar dalam keberhasilan dalam Samãdhi. Penyerahan-diri pada Isvara (Tuhan), bukanlah dimaksudkan sebagai penyerahan pasif, namun sebaliknya aktif. Kita tak dapat hanya menunggu dan menunggu, serta memohon dilimpahi rakhmat atau anugrahnya, dengan dalih bersabar. Bukan demikian maksudnya. Apa yang dapat saya lakukan untuk menyenangkan beliau, dan bagaimana saya sebaiknya melaksanakannya? Pertanyaan-pertanyaan proaktif ke dalam (vicara) inilah yang akan amat membantu penyerahan-diri seutuhnya.

(25)

ISVARASEBAGAI GURU SEMESTA DAN PRANAVA JAPA.

Isvara adalah Purusa Istimewa (purusa visesa Isvarah), tak tersentuh oleh kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša), perbuatan-perbuatan (karma) dan kesan serta hasil dari perbuatan-perbuatan itu.

Tiada terbatas adanya benih kemaha-tahuan (sarvajña bija) pada-Nya.

Beliau adalah Guru dari para Guru sejak jaman purba (purva), yang ada di luar jangkauan waktu.

[YS I.24 - I.26]

Dalam tiga sutra ini juga ter-refleksikan dengan amat jelas dan tajam, bagaimana Patanjali memandang Isvara. Sejauh kita masih berkutat dengan berbagai kléša dan karma, vasana, dan phala-nya, serta beraneka samskara, maka Isvara digambarkan seperti dalam sutra I.24 diatas oleh Patanjali. Penggambaran itu bukanlah dimaksudkan sebagai penggambaran absolut, dimana hanya itulah sifat-sifat Tuhan dalam konsep ketuhanannya, namun lebih secara kontekstual dalam jalan pensucian atau pemurnian batin manusia.

Dalam ajaran Buddha, yang disebut lima kekotoran batin yang mengakibatkan penderitaan (kléša) adalah:

• Kesenangan pada kenikmatan pemuasan nafsu indriawi

(kamachanda);

• Itikad jahat atau dendam pada orang lain (vyapada); • Kemalasan, keenganan dan kelesuan (stayana-middha);

• Kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran (auddhatya-kaukrtya);

dan

• Keragu-raguan (vicikitsa).

Sementara menurut Patanjali, Panca kléša adalah:

• Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya), • Egoisme (asmita),

• Kelekatan atau kecintaan ragawi (raga), • Kebencian (dvesa), dan

(26)

• Kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut

mati (abhiniwesa).

Walaupun ada perbedaan item-item yang dipandang sebagai kléša dalam kedua ajaran ini, namun bagi penekun jalan spiritual semua kekotoran ini penting untuk dienyahkan. Memang tidak semua orang terlahir dengan membawa semua kekotoran-kekotoran ini; ada yang hanya tiga, dua atau satu saja yang kuat. Akan tetapi ini tetap mesti diwaspadai. Patanjali memperkenalkan metode ampuh untuk mengentaskannya, yang disebut Pratipaksa Bhavana atau melalui penerapan sat sampat, seperti yang akan dipaparkan pada pembahasan sutra IV.29 - IV.34 nanti.

Secara kontekstual pula, Isvara diposisikan sebagai Guru; Guru spiritual bagi semua Guru dan penekun jalan spiritual, Guru Yoga bagi semua Guru dan penekun Yoga, dahulu, kini dan nanti. Akan tetapi kita tidak diharapkan untuk beranggapan: “Ah...saya hanya akan ber-Guru pada

Isvara saja. Saya tak perlu ber-Guru pada yang lainnya, apakah itu Dewa apalagi manusia.” Jangan berpandangan demikian. Belum banyak di antara penekun yang berkualifikasi setinggi itu. Para penekun masih butuh Guru kasat-indria, Guru yang masih berjasad sebagai anutan. Akan tetapi, bukan pula sebaliknya memandang: “Kita tak mungkin ber-Guru pada

Isvara. Kita harus ber-Guru hanya pada manusia yang masih hidup.” Tidak demikian adanya. Dua kutub pandang dalam ber-Guru ini memang jamak kita temui. Ini menunjukkan hadirnya pandangan keliru yang menyesatkan, untuk disadari dan dientaskan, bersamaan dengan berjalannya latihan.

Manifestasi simbol-Nya adalah suku kata tunggal Pranava (OM). Pelafalan Pranava berulang-ulang secara konstan (japa), dengan penuh penjiwaan dan pemahaman akan maknanya, mengantarkan pada pencapaian tujuan (artha bhavanam).

Dengan mempraktekkannya lahir kesadaran kosmis (cetanãdhigamo) dan hambatan-hambatanpun sirna.

[YS I.27 - I.29]

Sebetulnya ketiga sutra ini secara fundamental masih terkait langsung dengan Isvarapranidhana. Pelafalan berulang-ulang secara konstan Nama Tuhan, adalah perwujudan cinta dan bhakti kepada-Nya. Dan Pranava Japa ini dengan tegas disebutkan sebagai membawa keberhasilan dalam Yoga. Pelafalan secara konstan dalam ber-japa, sebetulnya juga

(27)

merupakan suatu proses pembiasaan, membentuk suatu kebiasaan dalam prilaku spiritual. Inilah salah-satu praktek langsung dari Abhyasa. Jelas ia tidak dicapai serta-merta; ia merupakan suatu proses, bukan pencapaian; disini pula dituntut kesabaran dalam melalui pentahapannya. Agaknya perlu juga dicatat kalau dalam Yoga Sutra ini Patanjali hanya sekali menyertakan kata 'japa' ini. Hanya pada sutra I.28 ini saja; dan hanya dikaitkan dengan Pranava OM. Disini pulalah Patanjali memperkenalkan Japa Yoga kepada kita.

Anjuran untuk melafalkan Pranava OM tentu kita temukan dalam banyak Upanishad-Upanishad, diantaranya Mundaka Upanishad. Upanishad ini menganjurkan: “Bermeditasilah atas OM sebagai Atman. Semoga engkau berhasil menyeberang jauh dari kegelapan.” Mandhukya Upanishad juga menegaskan bahwa, apa saja yang merupakan keadaan masa silam, sekarang dan yang akan datang, semuanya adalah Pranava OM. Dan apa saja yang ada diluar waktu —lampau, sekarang, dan akan datang— itu hanyalah Pranava OM. Semuanya sesungguhnya Brahman (Tuhan). Sedangkan Bhagavad Gita menyebutkan Pranavah sarva vedasu —Aku adalah Pranava dalam seluruh Veda.

Setiap mantra umat Hindu diawali dengan melafalkan Nama-Nya. Semua Upanishad memuji OM. Pada jaman Upanishad lambang Nama-Nya—OM

—sangat dimuliakan. Kata OM sendiri merupakan hasil penyandian antara tiga aksara suci A - U - M yang masing-masing mewakili tiga aspek keagungan Tuhan sebagai Mahapencipta (A), Mahapengatur dan Mahapemelihara (U) dan Mahapelebur, pengembali ke asalnya (M). Senantiasa melafalkan Nama-Nya, sebagai praktek langsung dari

Isvarapranidhana, mengikat pikiran liar, dan mententramkannya dalam Tuhan. Inilah prinsip yang mendasari dan dianut oleh Japa Yoga.

Dalam sadhana, Pranava Japa dilaksanakan dalam hati (manasu japa) menyertai Pranayama. A(ng) dilafalkan dalam hati saat menarik nafas;

U(ng) saat menahan nafas dan M(ang) saat menghembuskan nafas. Dengan demikian terjadi kombinasi yang solid antara Pranava dan Pranayama. Mengenai praktek Japa dalam Pranayama ini akan kita bicarakan lagi pada Sadhana Pãda, saat membahas Pranayama.

Cetana adhigama merupakan istilah bentukan Patanjali yang menarik untuk dibahas. Cetana yang disebut juga sebagai Kesadaran Kosmis,

(28)

dalam Wrhaspati Tattwa didefinisikan sebagai: bersifat mengetahui, tak terkena lupa, senantiasa tenang dan tetap serta tak terhalang. Sebaliknya Acetana disebut sebagai: tanpa pengetahuan, seperti moha (kebingungan atau kemabukan). Pertemuan antara Cetana dan Acetana inilah yang melahirkan: Pradhana, Triguna, Buddhi, Ahamkara, Panca Buddhindriya, Panca Karméndriya, Panca Tanmatra, dan Panca Mahabhuta. Dalam pustaka Nusantara Kuno ini, Cetana dirinci ke dalam

Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa.

Sebagai kitab Tattwa ajaran hakekat ketuhanan yang dapat disejajarkan dengan Upanishad-Upanishad, disini Isvara juga dipaparkan dengan rincian sifat-sifat:

• Aprameyam —Tidak terpikirkan, karena kejadian-Nya tidak

berawal, tidak berakhir dan tidak terbatas;

• Anirdesyam —Tidak terperintahkan, karena keadaan-Nya tanpa

aktivitas.

• Anaupamyam —Tidak tertandingi, tidak dapat diperbandingkan,

karena keadaan-Nya tidak ada yang menyamai;

• Anamayam —Tidak terkena penyakit, karena tidak ternodai;

• Dhruvam —Berkeadaan sadar, tanpa gerak, tenang, senantiasa

tetap selamanya;

• Avyayam —Tiada kurang, karena beliau sempurna.

Disebutkan pula bahwa dalam perjadiannya Beliau adalah Raja, Jiwa yang tidak terjiwai, Jiwa dari semua jiwa. Satu hal yang dapat kita pahami disini bahwa, konsep ketuhanan yang dianut oleh Patanjali tidaklah berbeda dengan konsep yang dianut di dalam Wrhaspati Tattwa —suatu karya sastragama asli Nusantara yang tidak diketahui oleh siapa dan kapan disusunnya.

(29)

P

ELEBUR

D

ERITA

.

Penyemaian Sifat-sifat Luhur Kedewataan sebagai Pelebur Derita.

Penyakit, kemalasan, keragu-raguan, sikap apatis, kelesuan, keserakahan pada kenikmatan indriawi, salah persepsi, kurang dan lemahnya konsentrasi, dan perhatian yang tidak stabil,

semuanya merupakan bentuk-bentuk viksepa yang merusak citta. Demikian pula kesedihan, kekhawatiran, keputusasaan, dan nafas yang tak teratur merupakan gejala-gejala yang menyertai viksepa. Untuk mengatasi semua itu, praktekkanlah meditasi pada satu objek (eka tattvãbhyasa).

[YS I.30 - I.32]

Paparan sutra-sutra ini dimulai dengan bentuk-bentuk derita yang umum dialami. Semuanya mencirikan terjadinya penyesatan oleh gejolak pikiran atau viksepa. Pikiran yang bergejolak tidak mudah untuk dipersatukan, apalagi bentuk-bentuk pikiran yang destruktif. Gejolak ini tentu menghambat sang sadhaka dalam melaksanakan sadhana. Oleh karenanya, dalam praktek dianjurkan untuk menenangkannya terlebih dahulu melalui meditasi hanya pada satu objek, eka tattvãbhyasa.

Meditasi hanya pada satu objek saja melahirkan kewaspadaan menyeluruh dan tajamnya konsentrasi. Memperhatikan masuk-keluarnya nafas dan menjadikan nafas sebagai objek meditasi misalnya, dapat menghadirkan ketenangan. Pada bab berikutnya, Sãdhana Pãda, Patanjali akan menguraikan tahapan-tahapan bagaimana itu dilakukan.

Ada tiga kelompok besar bentuk derita atau penyakit manusia menurut ajaran Sankhya, yakni: derita jasmani (adhibhautika), derita mental (adhidaivika), dan derita rokhani (adhyatmika). Semuanya ini merupakan penyakit-penyakit mendasar manusia. Oleh karenanya mereka harus disembuhkan terlebih dahulu oleh seorang penekun jalan spiritual ini. Derita jasmani (adhibhautika) adalah penyakit yang paling tampak di permukaan, yang paling kasat-indria. Ia dapat disembuhkan lewat bantuan luar maupun secara mandiri. Ini relatif mudah ditangani dan disembuhkan. Umumnya, penyebab utamanya adalah lemahnya daya-vital (prana) dan gangguan mental. Penyakit mental (adhidaivika), apalagi penyakit rokhani (adhyatmika), jauh lebih sulit menanganinya. Mereka

(30)

erat kaitannya dengan bekas-bekas perbuatan di masa-masa kelahiran yang lampau (sancita-karmavasana). Sadripu atau enam musuh dan Saptatimira atau tujuh kegelapan merupakan bentuk-bentuk pokok dari ‘penyakit karma’ ini. Nah...untuk inilah Yoga menjadi sedemikian pentingnya. Guna tidak menimbun benih-benih penyakit lebih banyak lagi, Patanjali menganjurkan:

Semaikanlah rasa persahabatan dan rasa welas-asih universal (maitri), rasa belas-kasihan pada sesama makhluk hidup (karuna), simpati yang setara baik pada yang sedang bersuka-cita apalagi pada yang sedang berduka-cita, pada yang bernilai maupun yang tak-bernilai (mudhita), serta pupuklah keseimbangan-batin (upeksha); dengan itu terjernihkanlah kesadaran (citta prasadanam) dan keseimbangan daya-vital-pun terjaga.

[YS I.33 - I.34]

Maitri, karuna, mudhita dan upeksha disebut Catur Paramãrtha. Mereka merupakan sifat-sifat atau sikap-batin luhur keilahian, yang bahkan disebut sebagai Istana Ilahi atau Brahma Vihara dalam ajaran Buddha. Disebutkannya lagi secara khusus maitri ini oleh Patanjali dalam sutra III.24, menyiratkan betapa beliau memandang pentingnya sikap-batin luhur keilahian ini bagi para penekun, demi keberhasilannya.

Pikiran dan perasaan pada dasarnya tidak dapat memegang atau terisi oleh lebih dari satu objek dalam satu satuan waktu tertentu. Bilamana manas telah terisi oleh salah-satu daripadanya, tentu ia tak mungkin lagi di-isi dengan objek lainnya. Inilah prinsip yang dianut dalam ekatattvaabhyasa. Oleh karenanya, guna penyembuhan derita-derita itu, Patanjali menganjurkan untuk mengisinya dengan—setidak-tidaknya— salah-satu dari Catur Paramãrtha ini.

Sayangnya, pikiran yang tidak terlatih amat sulit memegang satu objek saja, pada saat yang bersamaan dalam jangka waktu tertentu. Ia cepat sekali meloncat dan berpindah-pindah dari satu objek ke objek lainnya. Karenanya ia sering di-ibaratkan sebagai se-ekor kera. Dengan membiasakan menyatukan semua tattva serta penerapan empat sikap-batin luhur keilahian tadi, hanya Purusa-lah yang masih tegak berdiri dan memancarkan Cahaya Agung-Nya. Bagaimana rinciannya? Inilah yang dipaparkan sepanjang Yoga Sutra ini.

(31)

Tekad yang teguh memancarkan kembali Cahaya Transenden.

Dengan meneguhkan tekad terhadap rongrongan godaan kenikmatan indria didalam kehidupan duniawi (pravrittir), pikiran diperhalus dan dimantapkan, sehingga bebas dari duka-cita, dengan demikian Cahaya Transenden di dalampun bersinar, dan kegandrungan pada pahala yang bersifat jasmaniahpun sirna (vita raga visayam), sehingga semakin jernilah citta.

Pengetahuan luhurpun dimungkinkan dari mimpi-mimpi spiritual (svapana), tidur (nidra), serta meditasi pada objek pilihan yang disenangi. Demikianlah, Sang Yogi yang mantap batinnya, pengetahuannya meluas dari atom yang paling halus (parama anu) hingga yang tidak-terbatas besarnya (parama mahatattva).

[YS I.35 - I.40]

Keteguhan terhadap prinsip-prinsip kehidupan spiritual, memberi kekuatan pada seorang Yogi untuk menolak, tak tergoyahkan oleh godaan-godaan dari kenikmatan indria. Disinilah penerapan vairagya —seperti yang telah dipaparkan dari sutra I.12 sampai dengan sutra I.16— menunjukkan manfaat langsungnya. Menjalani kehidupan spiritual yang holistik, membutuhkan keteguhan serupa ini sebagai soko-gurunya.

Amatan yang seksama, jernih, disertai kemantapan pikiran, dengan tanpa terikat pada objek-objek terhalus sekalipun, membangkitkan Kecerahan Spiritual bersamaan dengan munculnya Cahaya Transenden dalam batin Sang Yogi. Ada yang memandang fenomena ini sebagai terbitnya sifat sattvika, bebas dari rajas dan tamas, yang amat kondusif bagi pengembangan spiritualitas.

Ketidak-gandrungan pada pahala yang bersifat jasmaniah (vita raga) — yang merupakan kerja dari rajas dan tamas—juga menunjukkan semakin matangnya vairagya. Dengan demikian Cahaya Transenden yang tadinya suram, gelap, terselubungi oleh pekatnya kabut rajas dan tamas, kini bersinar kembali.

Cahaya Transenden dimaksud, besar kemungkinan merupakan istilah Patanjali dalam melukiskan pancaran kecemerlangan buddhi, yang seringkali juga disebut sebagai Intelijensia Kosmis. Ia hanya muncul pada seorang Yogi sebagai hasil dari keteguhan dan disiplin dalam melaksanakan sadhana-sadhana, dan tidak pada awam. Segera setelah

(32)

manas hanya dipengaruhi dan didominasi oleh sattvoguna, maka ia tersublimasi menjadi buddhi. Ia lebih mendekati pengertian intuisi, dalam peristilahan umum. Wrhaspati Tattwa menyebutkan, apabila sattvika citta itu terpancar, menyebabkan Atma mencapai Moksha, karena Atma menjadi suci murni.

Svapana, yang disebut dalam sutra I.38 bukanlah mimpi biasa yang dipenuhi dengan kesan-kesan mental dari si pemimpi, yang sering disebut ‘bunga tidur’. Mimpi-mimpi serupa itu hanya mengantarkan si pemimpi ke alam mimpi —yang menurut penjelasan Wrhaspati Tattwa—serba kabur dan tidak jelas. Bukan ini yang dimaksudkan disini; yang dimaksud disini adalah ‘mimpi spiritual’.

Manakala pikiran hanya memegang satu objek saja (ekatattva) sebagai bahan perenungannya, maka ketika ‘badan di-istirahatkan’, bahan perenungan itu terpantul dalam format ‘mimpi spiritual’. ‘Badan di-istirahatkan’ dengan penuh kesadaran bahwasanya ia memang butuh istirahat, dan bukan karena badan merajuk atau bahkan memerintahkan untuk beristirahat, seperti yang umumnya terjadi pada awam. Ini merupakan dua paradigma yang amat jauh bedanya secara spiritual. Badan kasar ini cenderung malas dan enggan diajak mengerjakan sesuatu yang tampak sulit, menguras tenaga dan melelahkan. Padanya melekat kuat sifat tamas. Dialah perwujudan dari sifat tamas itu. Inilah yang ditundukkan terlebih dahulu oleh seorang sadhaka sejati, melalui tapa dalam Kriya Yoga, seperti yang akan dipaparkan nanti pada sutra II.1 dan II.2.

‘Mimpi spiritual’ menghasilkan inspirasi-inspirasi spiritual yang mendekatkan seorang sadhaka pada pengetahuan luhur nan sejati (jñana) itu. Jadi bila pikiran telah dijernihkan dan viksepa tak lagi mengganggu, maka buddhi dengan sendirinya bercahaya cemerlang; bahkan mimpi sekalipun, memberi pengetahuan luhur bagi Sang Yogi.

Demikian pula halnya dengan tidur pulas, lepas, tanpa mimpi samasekali, merupakan bentuk Samãdhi yang alamiah, tanpa dibuat-buat, tanpa diupayakan dan dikondisikan sebelumnya. Sushuptapada adalah alam tidur nyenyak, sepi tanpa kesadaran, yang tak terpikirkan kondisinya. Kondisi batiniah ini disebut Sushupti, apabila diupayakan lewat Yoga. Inilah pesan yang disampaikan dalam sutra tadi.

(33)

Wrhaspatti Tattwa-31 menyebutkan, orang yang telah mencapai vairagya, melihat alam prakrti musnah (prakrto linah); bagai nyenyaknya tidur tanpa mimpi, demikian kebahagiaan yang diperolehnya. Para vairagi adalah mereka yang vairagya-nya telah sempurna. Kalaupun bisa, tidur seperti ini amat jarang terjadi bagi mereka yang aktif dalam kehidupan duniawi; yang umumnya dialami adalah tidur dan bermimpi, namun setelah terjaga kembali lupa akan apa yang dimimpikannya.

Samãpatti dalam Savitarkã Samãdhi hingga Nirvitarkã Samãdhi.

Bila pusaran-pusaran batin telah surut, maka batin menjadi jernih transparan bagai kristal, si pengamat (grahitr), proses mengamati (grahana) dan objek-objek yang diamati (grahya) mentransformasikan diri ‘seperti apa adanya’ (samãpatti).

Disanalah pengetahuan biasa maupun pengetahuan sejati (jñana) serta-merta tersusun; apa yang didengar dan diamati lewat indria menjadi penuh makna; ini menyatakan terjadinya transformasi batiniah, inilah Savitarkã Samãdhi.

[YS I.41 dan I.42]

Istilah samãpatti memperoleh perhatian khusus dari Swami Satya Prakas dalam “Patanjali Raja Yoga”-nya. Menurut beliau samãpatti adalah hasil penyamaan, dimana penyamaan tersebut harus terwujud antara ‘yang mengetahui’, ‘yang diketahui’ dan ‘pengetahuan’ itu sendiri. Bila telah terwujud penyamaan di antara ketiganya, tercapailah Samãdhi tertinggi. Serupa dengan itu, seorang Yogi —yang penulis kenal dengan baik— menyatakan: “Samãdhi tercapai bilamana ‘yang mengetahui’, ‘yang diketahui’, ‘tahu’ ‘ dan ‘pengetahuan’ itu lebur dalam satu kesatuan yang utuh.” Hanya ada sedikit perbedaan disini, yakni dimasukkannya kondisi ‘tahu’ oleh beliau. Kondisi ‘tahu’, dalam hal ini mencerminkan hadirnya kesadaran penuh dan perhatian murni dalam proses tersebut. Dan ini tampaknya bagi Sang Yogi merupakan faktor penting dalam proses.

Dalam kitab “Samma Samãdhi” —yang bersumber pada kitab “Visuddhi Magga” (Jalan Pensucian Batin)— Sri Mahavirotavaro Mahathera menggunakan istilah samãpatti berpadanan dengan kesuksesan, keberhasilan atau pencapaian. Dalam kitab ini, samãpatti juga dipadankan dengan dhyana, keberhasilan bertahap atau keberhasilan dalam tahapan tertentu.

(34)

Sementara itu, mendiang Sri Swami Krishnananda mempersamakan samãpatti dengan Samãdhi. Beliau mengandaikan sebagai bergabungnya air sungai di samudra luas. Di samudra, mana air sungai dan mana air laut, sudah tak terbedakan lagi. Mereka telah bersatu untuk membentuk samudra itu sendiri. Dari semua itu, bagi kita yang perlu diperhatikan adalah teknis pencapaiannya, yang oleh Patanjali ditegaskan sebagai surutnya vritti.

(35)

SINAR KEBIJAKSANAAN LAHIR DARI SAMÃDHI.

Ingatan termurnikan (smrti parisuddha), dengan demikian ia kosong (sunya), kembali seperti keadaan sediakalanya, objek bersinar—menjelaskan dirinya sendiri—dengan sendirinya (nirbhasa) merupakan pencapaian transformasi batiniah tanpa penalaran —Nirvitarka Samãdhi. Melalui proses yang sama serta melalui pembeda (savicara) dan tanpa objek perenungan (nirvicara), pemikiran-pemikiran halus terjelaskan. Alam pemikiran-pemikiran halus berakhir dengan sifat yang tak-terdefinisikan (nirvicara). Semua ini hanyalah meditasi dengan benih—Sabija Samãdhi.

[YS. I.43 dan I.46]

Pemikiran-pemikiran halus disini dimaksudkan sebagai gagasan-gagasan yang bersifat abstrak (arupam). Bahkan gagasan yang mengawali kegiatan Samãdhi inipun musnah; namun ini disebut sebagai baru pencapaian Sabija Samãdhi, karena masih diawali dengan benih (bija) yang berupa gagasan-gagasan abstrak tadi.

Berbeda halnya bila ingatan termurnikan (smrti parisuddha) yang tak lagi menyimpan, sehingga tidak lagi memunculkan ingatan-ingatan yang menggoda dari pengalaman-pengalaman duniawi. Inilah yang pencapaiannya disebut Nirvitarka Samãdhi. Ini erat kaitannya dengan vairagya, dan kemahiran yang diperoleh dari pembiasaan praktek spiritual berikut segala disiplin batiniah yang menyertainya (abhyasa).

Disebutkan bahwa ia sunya, sunyi, kosong, lenggang, lapang dalam kejernihan dan kedamaian. Kondisi yang serupa ini disebut Tarka —yang mengandung makna yang sama dengan Nirvitarka—di dalam Wrhaspati Tattwa dan Maitri Upanishad. Wrhaspati Tattwa menggambarkannya layaknya seperti kejernihan akasa. Apabila Patanjali menggunakan nirbhasa, maka Wrhaspati Tattwa menggunakan istilah-istilah nis-sabdam, nirupeksam, nirakalpam dan santa, untuk melukiskan apa yang disebutnya sebagai Tarka Samãdhi.

Swami Satya Prakãs Saraswati menganggap Nirvicãra samprajñãta Samãdhi sebagai yang tertinggi dibandingkan dengan delapan jenis Samãdhi lainnya —yaitu: Savitarka, Nirvitarka, Savicãra, Nirvicãra, Sãnanda, Nirananda, Sasmitã, Nirasmitã Samãdhi— karena ia mengantar

(36)

kepada kebijaksanaan transenden (tatra prajña), yakni suatu kesadaran atau kebijaksanaan khusus, seperti yang akan dipaparkan lagi pada sutra I.48 berikut.

Melampaui pengetahuan yang diperoleh dari mempelajari Kitab-kitab Suci.

Pada pencapaian kemurnian dan kemahiran nirvicãra, Sang Yogi teranugrahi kejernihan spiritual (adhiyatma prasadah).

Disana kebijaksanaan khusus (tatra prajña) menjadi identik dengan Kebenaran Sejati itu sendiri.

Apa yang diperoleh melalui pembelajaran kitab-kitab suci (srutãnumana), esensinya berbeda dan tidak dapat dibandingkan dengan Kebenaran Sejati ini.

[YS I.47 - I.49]

Nirvicãra Samãdhi menyajikan kejernihan spiritual. Penyakit atau kekotoran batin (adhyatmika) terobati, dan Atman-pun kembali memancarkan sinar-sucinya. Walaupun ia belum merupakan pencapaian tertinggi bagi Sang Yogi, kejernihan spiritual ini sudah menghadirkan ketajaman intuisi untuk bisa melihat Kebenaran seperti apa adanya. Dapat melihat Kebenaran seperti apa adanya, oleh Patanjali disebut sebagai Kebijaksanaan khusus (tatra prajña); oleh karena ia dicapai melalui pengalaman spiritual-metafisis langsung.

Vicãra disini adalah perenungan suci. Perenungan yang mempertanyakan tentang kebenaran hakiki, tentang kesujatian, langsung kepada sumbernya (Isvara), tanpa perantara lagi. Manakala si perenung, yang direnungkan dan proses perenungan itu sendiri telah lebur menyatu, maka Samãdhi dicapai. Tiada lagi aktivitas merenung itu, atau tercapai kondisi nirvicãra, tanpa perenungan lagi. Tentu yang diperoleh lewat Samãdhi memiliki esensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hanya perolehan dari mempelajari kitab-kitab suci manapun. Apa yang diperoleh melalui mempelajari kitab-kitab suci barulah sebatas pengetahuan (vidya); seperti Brahma-vidya, misalnya. Ia belum dapat dikategorikan sebagai jñana, apalagi prajña.

Bukan maksudnya untuk mengecilkan arti dari pembelajaran kitab-kitab suci disini. Itu penting; bahkan Patanjali menempatkannya sebagai pendahuluan untuk bisa benar-benar memasuki yogasadhana. Untuk layak

(37)

dikategorikan sebagai Kriya Yoga, Svadhyaya masih mesti ditemani oleh Tapa dan Isvarapranidhana. Mereka dilaksanakan guna mengkondisikan batin sedemikian rupa, hingga bersih dari kléša atau berbagai jenis kekotorannya.

Pada dasarnya, wahyu suci (sruti) hanya diturunkan kepada ia yang berbatin suci dan melalui Samãdhi—penyatuan luhur dengan-Nya melalui upaya spiritual (sadhana) langsung. Batin yang belum tersucikan, belumlah layak untuk menerima pengetahuan suci ini; dimana ini amat logis adanya. Kita tak mungkin berharap dapat meminum nektar yang murni dari gelas yang kotor. Pengetahuan suci diturunkan oleh Yang Mahasuci lewat penyatuan luhur dengan-Nya, bukan lewat ritual atau cara-cara lainnya. Sementara itu, himpunan dari pengetahuan suci membentuk Kebijaksanaan (prajña). Inilah yang tampaknya hendak ditegaskan oleh Patanjali dalam sutra-sutra tadi.

Antara Sabija dan Nirbija Samãdhi.

Kesan-kesan mental (samskãra) luhur yang terbit atau diperoleh dari Sabija Samãdhi menahan semua impresi lain.

Pengendalian dan pemusnahan (nirodha), bahkan pada pengendali dan pemusnah itu sekalipun, dicapai hanya melalui Samãdhi tanpa benih —Nirbija Samãdhi.

[YS I.50 - I.51]

Dalam sutra-sutra ini Patanjali menunjukkan betapa tingginya idealisasi Samãdhi, ke arah mana kita diarahkan lewat Yoga Sutra ini. Jñana yang diperoleh lewat Sabija Samãdhi sesungguhnya merupakan kesan juga. Bedanya hanya pada kadar keluhuran dan kemurniannya. Citta yang benar-benar jernih dan sesuai dengan svarupa-nya adalah tanpa kesan— yang sehalus apapun—lagi. Kesinilah kita digiring oleh Patanjali. Sedikit saja sisa kesan, kendati yang haluspun, masih berpotensi menggiring pada

Samsara, yang juga berarti kegagalan dalam mencapai Kaivalyam.

Sementara ini memang banyaknya istilah-istilah maupun sebutan yang digunakan, yang tentu maksudnya memperjelas deskripsinya, namun disadari malahan bisa mengundang kebingungan. Kebingungan oleh peristilahan hanya terjadi bila kita belum terjun dan mengalaminya sendiri, mengingat menguraikan kondisi batin tidaklah mudah. Namun demi memperlancar proses pembelajaran, dan terutama untuk

(38)

mengantisipasinya, Swãmi Satya Prakãs Saraswati membantu kita dengan memberi patokan berikut:

• Samprajñãta = sabija = savikalpa (kondisi supra-sadar rendahan) • Asamprajñãta = nirbija = nirvikalpa (kondisi supra-sadar

transenden).

Sementara Sri Swami Sivananda memberi petunjuk bahwa, dalam Savikalpa Samãdhi masih terdapat dualisme gagasan, yang baru sepenuhnya musnah dalam Nirvikalpa Samãdhi. Inilah yang sempurna, yang dituju oleh seorang Raja Yogi.

Sesungguhnya, paparan sutra I.46 hingga I.50, serta paparan dalam sutra-sutra sebelumnya, telah cukup memberi kejelasan tentang apa yang disebut oleh Patanjali sebagai pencapaian panunggalan dengan benih, Sabija Samãdhi. Meditasi dengan objek tertentu, baik yang berwujud maupun tidak, seperti bentuk-bentuk perenungan misalnya, diawali dengan benih dan oleh karenanya meninggalkan benih juga. Ini dicirikan oleh masih tertinggalnya impresi-impresi halus pada batin Sang Yogi. Impresi-impresi halus—sehalus apapun itu adanya—tetap merupakan benih yang akan menggiring pada kelahiran berikutnya di suatu alam kehidupan tertentu, bilamana Sang Yogi mandek dan berpuas-hati hanya sampai disitu saja.

Sebaliknya, Nirbija Samãdhi hanya dicapai bila tanpa lantaran dan tanpa menyisakan benih sehalus apapun lagi; bahkan, ‘pengendali dan pemusnah’-nyapun termusnahkan (pralina) dalam tataran batiniah Sang Yogi. Dengan tercapai ini, tiada benih lagi yang mengharuskan kelahiran di alam atau dalam jasad apapun. Inilah pencapaian sempurna, idealisasi Patanjali. Inilah akhir dari Samsara. Ini amat mirip dengan konsepsi Nirvana, dalam ajaran Buddha.

Referensi

Dokumen terkait

Tahap berikutnya adalah pengembangan (develop) yang terdiri dari pengujian tahap pertama meliputi validasi dari ahli media dan ahli materi, pengujian tahap

Kemudian tahap berikutnya merupakan tahap pengembangan pada tahapan ini produk berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) pada subtema keberagaman budaya bangsaku yang telah

Sumber : produk penelitian.. Tahap berikutnya ialah tahap pengembangan dimana pada tahap ini desain produk yang sudah dikembangkan akan melalui beberapa tahapan yakni sebagai berikut

Berdasarkan tahapan perkembangan Erikson, adanya kekuatan dan kelemahan karakter yang dominan saling mempengaruhi dari tahap satu kepada tahap berikutnya. Seseorang dapat

Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra dijelaskan bahwa kedua klaster itu menempati dua bukit yaitu bukit Gunung Sembung ditempati oleh makam- makam keluarga Kesultanan Cirebon

Tahapan penelitian pada Gambar 4 dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Tahap pertama merupakan tahapan dimana peneliti melakukan identifikasi masalah pada penelitian

Hasil Penelitian Untuk melaporkan hasil penelitian dibagi menjadi tahapan-tahapan yang telah dilaksanakan yaitu tahap pertama tentang keberfungsian webquest, tahap kedua pengembangan

Pemikiran M.Amin Aziz dalam Pembangunan Bank Syari’ah di Indonesia dilakukan dengan 3 tahapan, Tahap pertama yaitu persiapan pembentukan, Tahapan kedua yaitu Tahap Pembentukan, Tahapan