• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kidung Kelepasan Patanjali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kidung Kelepasan Patanjali"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

   

Kidung Kelepasan

Patanjali

     

(2)

Daftar Isi.

PENGANTAR... i.

PENDAHULUAN... iii.

Samãdhi Pãda — Hakekat Penyatuan Agung. Memasuki Yoga Sutra...1.

Kiat Mengatasi Modifikasi-modifikasi Pikiran...4.

Samãdhi, Tahap Pencapaiannya dan Keampuhan Isvarapranidhana... 6.

Isvara sebagai Guru Semesta dan Pranava Japa...8.

Pelebur Penderitaan...11.

Sinar Kebijaksanaan lahir dari Samãdhi...15.

Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek Spiritual. Kriya Yoga, Mengawali Pendakian Spiritual... 18.

Hambatan Utama dan Kiat Memusnahkannya... 22.

Musnahnya Identitas-diri dalam Pencerahan... 25.

Delapan Langkah Pendakian dan Tujuh Langkah Penyatuan...27.

Disiplin Moral dan Jurus Ampuh Mengatasi Insting Destruktif...31.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung (1)...33.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung (2)... 35.

Mahavrata — Sumpah Universal Nan Agung (3)...37.

Pelatihan Tubuh dan Pembentukan Sikap Mental... 39.

Regulasi Nafas dan Pengendalian Daya Vital... 41.

Terminal Pendakian...44.

Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan. Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan... 46.

Memanifestasikan Cahaya Kebijaksanaan dan Tiga Bentuk Transformasi Citta...48.

Mengerti Suara, Maksud, Asal dan Kehidupan Lampau Makhluk Hidup...50.

Mengetahui tanda-tanda Kematian...52.

Kemampuan Intuitif dan Bahaya Siddhi-siddhi...54.

Posisi sentral Viveka dan Vairagya di dalam Pemanfaatan Samyama... 56.

Tercapainya cita-cita Sang Yogi...59.

Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan Sejati. Menggapai Kebebasan Sejati... 61.

Evolusi Kosmis dan Tujuan...63.

Yang Mengahalangi Pencerahan Sempurna...65.

Dharmamegha Samãdhi dan Sampainya di Puncak...67.

PENUTUP ~ Jalan Kelepasan dan juga Jalan Kesucian...69.

Appendiks: • Raja Yoga...72.

• Butir-butir mutiara Yoga-Samãdhi yang tercecer...81.  

   

(3)

PENGANTAR

Hadirnya kitab kecil ini sebetulnya hanya dari kenekatan penulis, yang tidak menguasai bahasa Sanskerta, ibu bahasa-bahasa dunia itu. Kenekatan ini semakin menjadi-jadi tatkala penulis menyimak sebuah terjemahan lengkap Yoga Sutra Patanjali dalam bahasa Inggris pada sebuah website. Sebelumnya terjemahan dan ulasan parsial seringkali penulis temukan, namun

terjemahan lengkapnya ke dalam bahasa Inggris masih relatif jarang. Besar dugaan penulis bahwa dalam terjemahan itu, gaya bahasanya sengaja dibuat sesederhana mungkin; mungkin maksudnya agar mudah dimengerti dan tidak terkesan menakutkan. Dasar pemikiran yang amat mengena, mengingat belakangan kehausan generasi muda terhadap teks-teks kuno spiritual ke-timur-an semakin tampak marak di berbagai belahan dunia.

Terjemahan dan ulasannya dalam Indonesia dari bahasa Inggris memang sudah ada. Namun agaknya masih langka yang langsung diterjemahkan dari bahasa aslinya dan diulas oleh peminat dan penekun jalan spiritual Indonesia. Kebanyakan, bahkan mungkin semua, masih merupakan terjemahan atau ulasan 'second-handed'. Kenyataan ini semakin menyulut kenekatan penulis untuk mencobanya. 'Kenapa tidak saya coba saja?', pertanyaan inilah yang terlintas di benak penulis ketika memulainya.

Secara kebetulan, penulis mewarisi sebuah kitab Yoga Sutra Patanjali berbahasa 'melajoe' peninggalan orang tua kami. Ditambah dengan bacaan-bacaan lain—kecuali yang tercantum dalam daftar bacaan—yang kebanyakan terbitan The Divine Life Society, serta petunjuk-petunjuk dari mereka yang amat penulis hormati, maka dicobalah menyusun kitab kecil ini. Tanpa penguasaan yang baik atas bahasa Sanskerta, penulis berusaha menterjemahkannya secara bebas, sesuai kemampuan yang amat terbatas ini.

Dimaklumi bahwa Yoga Sutra adalah teks kuno yang amat dihormati oleh segenap Yogi paska Patanjali. Sebagai pokok Yoga Darsana, keagungannya bahkan dapat didudukkan sejajar dengan Sruti, Bhagavad Gita dan Upanisad-upanisad yang suci, yang disebut-sebut sebagai diwahyukan langsung maupun tak-langsung oleh Tuhan sendiri. Ulasan-ulasan terhadapnya selama ini, (mungkin) hanya diberikan oleh para Yogi besar, yang tak diragukan lagi pengetahuan, pengalaman dan kesucian batin beliau. Tak kurang Vedavyasa sendiri, menurunkan ulasan khusus beliau dalam Yogabhasya.

Dalam sebuah tulisan karyanya, Sri Swami Sivananda memperingatkan: “Sistem Yoga dari Patanjali tertuang dalam bentuk sutra-sutra. Sebuah sutra berupa sebuah aphorisma pendek padat makna. Ia berupa ungkapan-ungkapan aphoristis. Ia mengandung kedalaman makna, serta signifikansi yang tersembunyi. Para Rshi di jaman dahulukala memiliki suatu tradisi dalam mengekspresikan ide-ide filosofis maupun realisasinya hanya dalam bentuk sutra-sutra saja. Adalah amat sulit untuk mengertikan maksud yang terkandung di dalam sutra-sutra tersebut tanpa bantuan komentar atau penjelasan seorang pembimbing atau Guru yang telah memahami Yoga dengan baik”.

Jadi, kembali harus penulis kemukakan bahwa memang semua ini hanyalah dari kenekatan, hasrat untuk berbuat dan minat yang besar terhadap kehidupan dan jalan spiritual. Amat banyak kekurangannya disana-sini. Semoga ia bermanfaat bagi sahabat peminat dan penekun yang

(4)

bersungguh-sungguh dan lewat perantara tulisan ini, semoga Sang Maharshi berkenan memaparkannya secara langsung kepada pembaca sekalian.

Denpasar, 9 Nopember 2000.

(5)

PENDAHULUAN.

Yoga Sutra yang disusun oleh Maharshi Patanjali ini adalah teks klasik terbesar dan terutama dalam aliran filsafat Yoga India. Ia dinyana telah ditulis 2500 tahun lalu; jadi kurang lebih

sejaman dengan Buddha Gotama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa teks ini telah disusun tak kurang dari abad ke-2 SM. Di dalamnya, sutra-sutra tentang Yoga atau penyatuan universal benar-benar pendek dan akurat; menegaskan secara lengkap, rinci dan akurat bagian-bagian yang esensial. Mengingat kepadatan dan kepekatan kandungan makna spiritual-filosofisnya, Yoga Sutra dianjurkan untuk dijelaskan dan di-interpretasikan oleh seorang Guru Yoga melalui komentar-komentar. Praktek Yoga dipandang sebagai pelengkap dari dan dalam satu kesatuan pandang dengan filsafat Sankhya. Tujuan-pokoknya adalah merealisasikan kebebasan Jiva dari kungkungan Maya.

Ketidak-cukupan informasi tentang Yoga telah mengundang tak sedikit persepsi keliru di kalangan awam tentangnya. Yoga seringkali dikacaukan dengan Tapa, atau bahkan dengan sesuatu yang berbau klenik yang mendekati takhyul, atau memandangnya hanya dari sudut-pandang kegaiban-kegaiban dan kanuragan saja, telah menggugah penulis untuk menghadirkan buku ini di tengah-tengah kita semua.

Untuk ini, ada baiknya diketengahkan paparan Sri Swami Sivananda—pendiri The Divine Life Society—tentang Yoga.

“Yoga bukanlah mengurung diri di dalam gua-gua, bukan pula berkelana di hutan-hutan lebat sekitar pegunungan Himalaya. Ia juga bukan hanya memakan jenis makanan yang berupa sayur-mayur dari pegunungan. Brahman bukanlah pengecut yang lari dari hiruk-pikuknya komunitas dan pemukiman manusia. Praktekkan sajalah Yoga di rumah Anda sendiri. Manakala hasrat untuk mempraktekkannya muncul, ini berarti bahwa kebebasan telah berada dalam jangkauan Anda, oleh karenanya manfaatkanlah peluang ini sebaik-baiknya...Menjalani kehidupan sebagai seorang Yogi, tidaklah mesti menelantarkan siapapun juga atau mengabaikan

kewajiban-kewajiban melekat Anda. Ia bermakna merubah sikap hidup dari kebiasaan mengerjakan sesuatu yang sia-sia, menuju jalur yang secara pasti mengantarkan langsung kepada Tuhan. Ia dibarengi dengan perubahan prilaku dalam menjalani kehidupan serta metode-metodenya guna

membebaskan diri Anda dari berbagai belenggu dan kemelekatan. Kebenaran dan pengabaian keakuan, sebenarnya merupakan masalah sikap-batin”.

Sesuai sistematika dari teks aslinya, Kidung Kelepasan Patanjali inipun disajikan dalam 4 bagian (pãda), masing-masing adalah:

Samãdhi Pãda. • Sãdhana Pãda. • Vibhuti Pãda. • Kaivalya Pãda. •

Samãdhi Pãda —Hakekat Penyatuan Agung.

Pãda yang tersusun dalam 51 sutra ini memaparkan tentang landasan spiritual-filosofis Yoga, hakekat dari penyatuan dan hakekat ketuhanan dalam Yoga. Dalam bagian ini akan banyak kita temukan paparan yang menyangkut intisari keimanan Hindu, yang juga berhampiran dengan Buddha, serta penerangan yang amat bersesuaian dengan Upanishad-upanishad dan Veda Sruti.

(6)

Dari bagian ini pula, bila kita cermati, kesinambungan antara Sanhkya Darsana dan Vedanta terjembatani dengan Shastrãgama-shastrãgama lain. Pãda ini merupakan pembuka yang berisikan pembekalan dalam tahap persiapan, sebagai landasan pijak dan kerangka dasar seorang sadhaka, seorang penekun di jalan spiritual.

Samãdhi Pãda terutama menjelaskan beberapa jenis Samãdhi sesuai dengan tersisa atau tidaknya objek di dalam Samãdhi, yang dicapai bersama dengan terhentinya pusaran-pusaran pikiran. Kaivalya, yang merupakan isu sentral dari Yoga Sutra ini, hanya dicapai melalui Nirvikalpa atau Nirbija Samãdhi. Walaupun demikian, jenis pencapaian lain tetap merupakan pencapaian tinggi yang merupakan penghampiran pra yang tertinggi. Pembekalan mendasar, seperti ketidak-melekatan (vairagya) dan pembiasaan laku-spiritual (abhyasa) juga diberikan, sebelum seorang sadhaka benar-benar terjun dalam praktek kehidupan spiritual secara intens.

Sãdhana Pãda — Paparan Praktis Praktek Spiritual.

Pãda yang tersusun dari 55 sutra ini memberikan paparan praktis bagi seorang sadhaka. Disini mulai diperkenalkan Yama, Niyama, Pranayama dan Pratyahara, serta persiapan untuk

memasuki tiga-serangkai Samyama —Dharana-Dhyana-Samadhi. Samyama baru dipaparkan secara panjang lebar pada Vibhuti Pãda. Metode pembebasan psikologis dan spiritual yang terdiri dari delapan tahapan ini, juga dikenal dengan Ashtanga Yoga.

Disini juga diingatkan akan bahaya dari siddhi bagi seorang sadhaka sejati. Secara keseluruhan prinsip-prinsip praktis dari Yoga dapat ditemukan disini dalam paparan yang lugas. Sebagai paparan praktis, di dalam mengikuti Sãdhana Pãda ini kita juga acapkali seakan-akan sedikit ‘dipaksa’ untuk mengerti tentang sistem Yoga praktis tertentu, terutama Hatha Yoga dan Laya Yoga atau Kundalini Yoga.

Vibhuti Pãda — Paparan tentang Kekuatan dan Kesempurnaan.

Disini dipaparkan tuntunan praktis yang lebih tinggi, terutama tentang tiga-serangkai Samyama, melalui mana kekuatan-kekuatan spiritual, kegaiban-kegaiban, hingga kesempurnaan Yoga bisa dicapai.

Bagi yang mempunyai naluri mistis yang kuat, bagian yang tersusun oleh 56 sutra ini, bisa merupakan bagian yang paling menarik. Disini juga disampaikan peringatan-peringatan untuk tidak melaksanaan Yoga hanya demi perolehan kekuatan-kekuatan dan kegaiban-kegaiban itu, apalagi terikat padanya. Ini dapat dengan mudah menjatuhkan sang penekun.

Kaivalya Pãda — Menggapai Kebebasan Sejati.

Di antara ke-empat Pãda, Kaivalya Pãda inilah yang tersingkat. Disini paparan terasa padat, yang utamanya difokuskan pada pencapaian Kaivalya dan tentang bagaimana seorang Yogi yang telah mencapai status itu. Disini Patanjali tak lupa menyelipkan lagi tatanan etika-moral luhur dari seorang Yogi Sempurna —yang dalam ajaran Vedanta kita kenal sebagai Jivanmukta, ia yang telah terbebaskan dari siklus Samsara dan tak terlahirkan kembali di alam manapun —di antara 34 sutra pembentuknya.

(7)

Jadi, secara keseluruhan, ke-empat Pãda benar-benar membentuk satu kesatuan integral, yang kait-mengait satu sama lain, mengalir dan berlanjut, saling memperjelas dan mempertegas. Ini juga berarti meminta praktisi mempelajari Yoga Sutra —guna memperoleh pemahaman yang baik tentang praktek Yoga itu sendiri— secara berulang-ulang, bolak-balik ke depan dan kembali ke belakang. Ia memang merupakan manual-praktis yang tersaji dalam satu kesatuan bahasan komprehensif, menyeluruh dan terpadu. Guna menunjang bahasan-bahasan, dengan segala kerendahan hati, di akhir buku ini penyusun sajikan sebuah tulisan lepas sebagai appendiks. Dalam kesempatan yang bersahaja ini, kiranya pada tempatnyalah kita bersyukur dan bersujud dengan penuh hormat kepada Maharshi Patanjali, atas kemurahan hati beliau yang tanpa pamerih telah menyusun sistematika praktis serta melahirkan satu aliran filsafat (darsana) agung yang tiada duanya, yang dapat mengantarkan manusia menuju Kebebasan Sejati.

(8)

Memasuki Yoga Sutra-Konstelasi Batin

Sekarang dijelaskan tentang Yoga. Yoga adalah penghentian pusaran-pusaran batin yang menghalangi pancaran cahaya kesadaran (citta vritti nirodha). Dengan demikian citta —yang bertindak sebagai si pengamat— hanya bersandar pada kondisinya sendiri (svarupa) yang jernih; sedangkan, pada waktu-waktu lainnya, si pengamat umumnya justru mempersamakan dirinya dengan pusaran-pusaran tersebut.

[YS I.1 - I.4]

Yoga Sutra dibuka oleh Patanjali dengan empat aphorisma pendek nan padat makna ini. Dari sutra I.1 hingga I.4 ini, kita diperkenalkan pada Yoga, kondisi umum pikiran manusia dan apa yang dapat diperbuat untuk itu. Sangat mendasar penjelasan dalam empat sutra ini.

Manusia, makhluk berakal-budi, teranugrahi manas dalam kelahirannya. Dari manas inilah lahir kata manussa atau manusya yang kemudian diadopsi menjadi manusia, dalam bahasa Indonesia dan human atau man dalam bahasa Inggris. Jadi, bagi keberadaan manusia, manas menduduki posisi sentral yang merupakan esensi dari keberadaanya. Ia merupakan prabot ampuh manusia untuk bertahan hidup, yang membedakannya dengan makhluk bumi lainnya.

Upanishad menegaskan: “mana eva manushyãnam kãranam bandha mokshayoh —bagi manusia, manas-lah yang menyebabkan perbudakan maupun pencapaian Moksha.” Dalam hirarki

Sankhya, manas menduduki posisi kunci di bawah keakuan, yang disini disebut asmita. Vedanta menyebutnya ahamkara. Intelek, nalar, kecerdasan atau buddhi berada pada tataran yang lebih tinggi dari pikiran, dan sejajar dengan keakuan. Sedangkan citta —kesadaran atau batin jernih — berada di atas buddhi dan asmita. Citta masih terbilang sejajar dengan triguna (sattvam, rajas dan tamas) —tiga kekuatan Prakriti —namun belum terpengaruhi olehnya. Citta turunan langsung dari Purusa —yang merupakan hakekat yang berlawanan dengan Pradhana atau Prakriti — semesta material. Dari Pradhana inilah triguna berasal. Oleh karenanya, triguna juga disebut ‘tiga kekuatan Prakriti’.

Segera setelah citta terpengaruh oleh triguna dan didominasi oleh sattvam, maka ia tidak lagi sebagai kesadaran yang jernih, melainkan menjadi buddhi, intelijensia. Dan bila citta dipengaruhi dan didominasi oleh rajas dan tamas, maka terlahirlah asmita atau ahamkara. Ahamkara inilah yang membawahi dan menggerakkan manas. Relatif amat jarang buddhi ikut-campur dalam pemerintahan ini. Dalam melayani ahamkara, manas menjadi sibuk, bergolak, berpusar, berubah-ubah, terombang-ambing, menimbulkan berbagai bentuk-bentuk pemikiran dan perasaan; inilah kondisinya dalam pusaran-pusaran batin itu.

Konyolnya adalah, dalam ketidak-tahuannya manusia justru mengidentifikasikan-dirinya sebagai pikiran dan perasaan atau vritti itu sendiri —vritti sarupya. Hanya manakala dominasi asmita terhadap pikiran dapat direbut oleh buddhi, kondisi atau sifat sattvik yang kedewataan mulai menyinarinya. Buddhi mendekati kondisi citta, sehingga jauh lebih mudah menerima pancaran kesadaran murni, lewat mana Purusa memancarkan cahayanya di dalam batin manusia.

Demikianlah ideal pemurnian citta Patanjali yang dipaparkan pada awal mokshashastra ini. Lima Jenis Modifikasi Batin dan Tiga Proses Penalaran

(9)

Modifikasi-modifikasi batin (vritti) ada lima jenis, ada yang menyedihkan dan ada yang tidak menyedihkan: penalaran (pramana), kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa), tidur (nidra) dan ingatan (smrti).

Praktek langsung (pratyaksa), penyimpulan (anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik.

[YS I.5 - I.7]

Pengetahuan luhur (jñana) yang diperoleh tanpa mengabaikan terlebih dahulu kekeliruan (viparyaya), imajinasi (vikalpa) serta ingatan-ingatan (smrti) yang samar dan terbatas, tidak layak dipercaya sebagai suatu pengetahuan yang sahih (vidya), yang dapat dipertanggung-jawabkan objektivitas dan kebenarannya. Ia tidak dapat dianggap sebagai pengetahuan samasekali (avidya), apalagi jñana. Sutra-sutra ini menekankan hal ini. Sementara jñana diperoleh lewat tiga rangkaian proses yang masing-masing daripadanya disebut pramana. Sebagai suatu rangkaian proses, yang satu dilanjutkan dan dilengkapi oleh yang berikutnya, demikian seterusnya. Dalam mengamati, mencermati guna memperoleh jñana, tri pramana adalah jalannya.

Mempraktekkan langsung dengan cermat fenomena-fenomena di luar ataupun di dalam,

melahirkan pengalaman. Melalui praktek yang sama secara berulang-ulang, banyak pengalaman yang diperoleh. Pengalaman disini bisa berupa pengalaman fisik, non-fisik maupun meta-fisik. Endapan pengalaman-pengalaman inilah yang tersimpan sebagai bagian dari ingatan (smrti), mereka serupa dengan kesan-kesan mental (samskara). Smrti semakin kuat bila pengalaman yang sama dialami secara berulang-ulang. Dari fenomena batiniah inilah terlahir laku Japa, pelafalan sebait mantra pendek secara berulang-ulang. Semua proses empiris inilah yang disebut pratyaksa pramana. Besar kemungkinannya kalau kata ‘praktek’ maupun ‘praktis’ yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata pratyaksa ini.

Pengetahuan juga bisa diperoleh dari mendengar penjelasan sumber-sumber yang otentik dan layak dipercaya maupun kitab-kitab yang terpercaya. Pengetahuan yang diperoleh dengan cara inilah yang disebut agama atau sabda pramana —perolehan pengetahuan melalui mendengarkan sabda-sabda suci para Guru-guru suci dan kitab-kitab suci.

Namun, walaupun tak ada Guru suci atau kitab suci yang didengar atau dibaca, melalui pengalaman empiris (pratyaksa), analogi, perumpamaan ataupun “modelling test” (upamana) serta membandingkannya dengan pengalaman-pengalaman sejenis lainnya serta kemampuan analisa pribadi, dapat pula ditarik suatu kesimpulan yang terpercaya. Proses penyimpulan inilah yang disebut anumana. Kehadiran upamanapramana menjadikannya Catur Pramana, seperti yang diajukan oleh Rshi Gautama dalam Nyaya Darsana-nya. Menurut beliau, ada 4 aspek substantif yang mengkondisikan atau terkandung dalam proses penalaran, yakni: (i) subjek (pramata), (ii) objek (prameya), (iii) kondisi hasil amatan (pramiti) dan (iv) cara mengetahuinya (pramana). Kekeliruan (viparyaya) merupakan pengetahuan keliru (mithya-jñana), yang tidak tersusun dari realitas.

Pengetahuan yang dimunculkan oleh ‘citra kata-kata’, namun tanpa didukung objektivitas adalah angan-angan atau imajinasi (vikalpa) semata; modifikasi-modifikasi batin yang terjadi tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) adalah tidur (nidra); dan kehadiran kembali objek sensasi yang pernah dialami dalam pikiran adalah ingatan (smrti) yang terbatas, merupakan pengetahuan yang keliru itu.

(10)

Disebutkan adanya lima pemicu kekeliruan (panca viparyaya) dalam Wrhaspati Tattwa; masing-masing adalah: (i) Tamah, pikiran yang selalu ingin memperoleh kesenangan duniawi; (ii) Moha, keinginan untuk memperoleh delapan kemampuan adi-kodrati (asta aiswarya); (iii) Mahamoha, keinginan untuk mendapatkan kesenangan niskala disamping asta aiswarya tadi; (iv) Tamisra, berharap untuk memperoleh kesenangan —sebagai buah perbuatan— di kemudian hari; dan (v) Andhatamisra, menangisi milik yang telah hilang. Kelima kekeliruan inilah yang berandil besar dalam kesengsaraan manusia.

Nidra, tanpa hadirnya keterjagaan penuh (jagra) —seperti yang disebutkan dalam sutra I.10— bukanlah tidur pulas tanpa mimpi —yang disebut sushupti. Dalam sushupti, Ibunda Semesta, Rajesvari, membawa jiva kembali kepada-Nya; memeluknya dalam dekapan kasih-Nya, menyusuinya lagi dengan segarnya kedamaian, gairah baru, vitalitas dan kekuatan baru serta menjadikannya cukup prima untuk menghadapi ‘peperangan’ keesokan harinya. Demikian Sri Swami Sivananda menggambarkannya.

Jelas bahwa sushupti bukan suatu keadaan tidak aktif atau reposisi pasif tanpa hadirnya

keterjagaan (jagra) sama sekali, seperti halnya Nidra. Ia memiliki signifikansi spiritual-filosofis yang mendalam. Kaum Vedantin mempelajari kondisi ini dengan sangat hati-hati dan mendalam. Sushupti memberi petunjuk yang jelas kepada para filsuf non-dualis untuk menelusuri, meneliti, serta menemukan ‘sang saksi bisu’ yang tersembunyi.

Pengetahuan akan lebih lengkap dan terpercaya, bila diperoleh melalui pratyaksa, sabda atau agama, anumana serta upamana, yang bekerja sedemikian rupa saling menunjang dan

menguatkan, sebelum menarik suatu kesimpulan akhir. Disinilah subjektivitas yang terbentuk oleh pengalaman pribadi yang terbatas, berupa: kekeliruan (viparyaya), angan-angan atau imajinasi-imajinasi subjektif (vikalpa), serta kehadiran objek-objek indriawi yang menyesatkan (vishaya) maupun kelemahan dan keterbatasan ingatan (smrti) ditiadakan.

Pertanyaannya kini adalah, bagaimana menyingkirkan modifikasi-modifikasi pikiran yang menyesatkan, yang menjadi biang dari mithya-jñana ini? Inilah yang dipaparkan secara panjang lebar dalam sutra-sutra berikutnya.

(11)

Kiat Mengatasi Modifikasi-modifikasi Pikiran

Melalui pembiasaan terus-menerus (abhyasa) dan tanpa keberpihakan dan keterikatan (vairagya) modifikasi-modifikasi pikiran dan perasaan (vritti) dihapuskan (nirodhah).

Abhyasa adalah usaha terus-menerus pada jalan spiritual hingga menjadi suatu kebiasaan. Perhatian yang konstan dalam jangka waktu lama, dengan teguh dan tanpa jeda

memantapkannya.

Pandangan hidup yang bebas dari nafsu keinginan dan kecintaan pada pengalaman-pengalaman indriawi berikut objek-objeknya, serta tanpa keberpihakan dan keterikatan lagi padanya adalah vairagya.

Vairagya yang tertinggi dicapai tatkala munculnya kekuatan Purusa untuk menghentikan pengaruh guna, walaupun berupa keinginan yang sekecil apapun.

[YS I.12 - I.16]

Paparan serupa ini ternyata kita temukan pula dalam Bhagavad Gita VI.35:

"Tidak diragukan lagi, oh...Mahabahu, pikiran memang sulit dikendalikan, namun ia dapat dikuasai melalui pembiasaan-diri (abhyasena), ketidak-terikatan (vairagyena) pun dapat dicapai melaluinya."

Abhyasa saling menguatkan dengan vairagya. Abhyasa dicapai melalui kesinambungan pelaksanaan sadhana; sesungguhnya antara sadhana dan abhyasa nyaris tiada beda. Mungkin dapat dikatakan bahwa abhyasa adalah suatu kebiasaan dalam menjalankan sadhana-sadhana bagi seorang sadhaka. Sudah barang tentu membiasakan sesuatu —apalagi sesuatu yang baik dan bernilai spiritual— tidaklah mudah dan dapat diraih dalam waktu singkat.

Dalam konteks ini, abhyasa ditujukan untuk mengendalikan dan meredam semua vritti. Menurut Sri Swami Sivananda, mengarahkan kembali pikiran kepada asalnya —Hrdaya Guha—dan menjadikannya tercerap dalam Atman adalah abhyasa; demikian pula mengarahkan pikiran ke dalam untuk menghancurkan kecenderungannya mengarah ke luar. Hanya melalui abhyasa saja, samskara-samskara dapat dibakar hangus.

Wrhaspati Tattwa melukiskan yang telah meraih vairagya bagaikan raja yang kuat, yang telah menikmati kemenangan dalam peperangan. Semua kesenangan duniawi —lewat munculnya kegandrungan terhadapnya— tak lagi mengikatnya karena ia tak menginginkan lagi semua itu. Menurut Sri Swami Sivananda ada empat tingkatan vairagya:

(1) Yatamana:- Ini dicirikan dengan adanya upaya untuk tidak membiarkan pikiran berlari menuju ladang sensualitas;

(2) Vyatireka :- Pada tingkat ini beberapa objek bisa saja menarik Anda namun Anda berhasrat kuat untuk memotong kelekatan dan ketertarikan Anda itu, dan sadar akan tingkatan vairagya terhadap objek-objek yang berbeda-beda;

(3) Ekéndriya:- Sensasi-sensasi masih ada yang berdiri tegak maupun yang telah tunduk, akan tetapi pikiran masih memiliki raga atau dvesha, suka atau tak-suka pada objek-objek. Hanya sebatas pikiran saja; atau dengan lain kata, hanya pikiran saja satu-satunya sensasi yang berfungsi secara terpisah;

(12)

lagi menimbulkan ketertarikan samasekali. Sensasi tenang dengan sempurna. Pikiranpun terbebas dari suka-tak-suka. Andapun memperoleh kemenangan dan tanpa ketergantungan lagi. Tanpa vairagya tiada kemajuan spiritual yang dimungkinkan.

(13)

Samadhi, Pencapaiannya dan Keampuhan Isvarapranidhana Samprajñãta dan Asamprajñãta Samãdhi.

Penalaran yang tajam (vitarka), penyelidikan melalui perenungan mendalam (vicara), dan kebahagiaan (ananda) yang penuh kewaspadaan sebagai akibat dari penyatuan semesta dengan Sang Diri, merupakan kondisi batin ketika tercapainya Samprajñãta Samãdhi.

[YS I.17.]

Dalam Samprajñãta Samãdhi, batin masih dicirikan dengan kehadiran empat kondisi yang mendahuluinya—yakni: vitarka, vicara, ananda dan identifikasi-diri sebagai asmita. Asmita atau keakuan merupakan pijakan yang hendak dilebur dalam kesadaran kosmis melalui penalaran di dalam, penyelidikan atau perenungan mendalam. Manakala penyatuan atau peleburan itu tercapai, maka tercapai pulalah anandam, kebahagiaan sejati. Inilah yang disebut dengan Samprajñãta Samãdhi.

Disini, anandam sebagai pencapaian tertingginya, dinikmati oleh ‘sang aku semu’. Disini hadir; “Aku menikmati kebahagiaan tertinggi.” Aku masih eksis dan bertindak sebagai si penikmat. Sementara, ia sendiri justru merupakan salah-satu kléša—bahkan yang paling hakiki—untuk dilebur. Hadirnya aku sebagai si penikmat, yang mengidentifikasikan dirinya pada kebahagiaan itu, juga merupakan pertanda bahwa pusaran-pusaran pikiran (vritti) masih aktif. (Mungkin) Inilah sebabnya mengapa pencapaian Samãdhi ini bukanlah yang tertinggi menurut idealisasi Patanjali.

Pemusnahan sisa-sisa kesan mental (samskara) yang masih mengisi pikiran, melalui vairagya dan abhyasa, mengkondisikan terjadi penyatuan sempurna dalam eksistensi yang tiada terbedakan, tanpa wujud, yang juga berarti musnahnya pengaruh Prakriti (prakritilaya), disamping kuatnya iman (sraddha), semangat dan kegigihan (virya), daya ingat yang kuat (smrti), dan bersinarnya kebijaksanaan (prajña).

[YS I.18 - I.20.]

Asamprajñãta Samãdhi, merupakan pencapaian tertinggi, dipersamakan dengan Nirbija atau Nirvikalpa Samãdhi oleh Swami Satya Prakãs Saraswati. Samãdhi ini terutama dicirikan dengan musnahnya pengaruh kekuatan Prakriti yang berupa Triguna itu. Dan itu tak serta-merta

dimungkinkan, terjadi. Patanjali masih menyebut-nyebut beberapa pencapaian dan kondisi batiniah ‘yang mendahuluinya’ dalam tiga sutra tadi.

Pencapaian-pencapaian mendahului dimaksud adalah: vairagya, abhyasa, smrti dan prajña. Dan kondisi batiniah yang dimaksud adalah: sraddha dan virya. Smrti dimasukkan sebagai

pencapaian sebelumnya atau mendahului karena ia terbentuk sebagai hasil positif dari proses pembiasaan dan mungkin ini telah dilakukan sejak kehidupan-kehidupan lampau sang penekun. Keyakinan yang teguh merupakan kondisi batin yang bisa diperoleh dalam kehidupan ini ataupun yang lampau, namun masih terus dirasakan atau terpakai; demikian juga halnya dengan semangat yang kuat yang menyertainya.

Hampir tak mungkin tumbuh suatu semangat yang kuat, tanpa teguhnya iman. Satu keyakinan mendasar dari seorang sadhaka adalah akan adanya Isvara (Tuhan), oleh karenanyalah

Isvarapranidhana disebut-sebut sejak awal.

Pencapaian secara bertahap dan keampuhan Isvarapranidhana.

(14)

Bagi mereka yang melakukannya dengan intens, penuh semangat-spiritual (virya), kemajuan pesat dan keberhasilan dalam Samãdhi segera dicapai.

Pencapaian keberhasilan terbaik dimungkinkan melalui praktek bertahap, dari rendah, menengah hingga intens, yang selalu disertai dengan penyerahan-diri sepenuhnya kepada Tuhan

(Isvarapranidhana). [YS I.21 - I.23.]

Memang dalam banyak hal kesabaran memegang peranan penting bagi keberhasilan dalam bidang apapun, terlebih lagi dalam Samãdhi. Sabar disini tidak dimaksudkan sebagai lamban dan menunda-nunda latihan, dengan mengatakan dalam hati: “Ah....saya harus sabar...toh masih banyak waktu untuk itu”. Tidak demikian maksudnya. Kesabaran disini lebih diarahkan pada ketidak-cerobohan, tidak terburu-nafsu tanpa persiapan yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Mereka yang memilih jalan Yoga, diharapkan telah berkepribadian matang dengan tekad yang kuat, sadar sepenuhnya bahwa umur tak dapat kita tentukan. Jadi, sesungguhnya kita tidak tahu persis, berapa lama waktu yang tersedia bagi kita dalam kelahiran ini dan kapan kita dapat merampungkan persiapan dan latihan tersebut hingga benar-benar menjadikannya sebagai suatu kebiasaan hidup spiritual, dan berhasil. Namun, secara jujur, sekurang-kurangnya kita tahu persis kekurangan-kekurangan kita. Ini akan amat membantu dalam menentukan sikap, kapan

diperlukan peningkatan intensitas dan kapan perlu diperlambat, dan sebagainya.

Seperti juga Isvara, Isvarapranidhana diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Patanjali. Ia belum muncul dalam Sankhya. Isvarapranidhana disebut-sebut berperan besar dalam

keberhasilan dalam Samãdhi. Penyerahan-diri pada Isvara (Tuhan), bukanlah dimaksudkan sebagai penyerahan pasif, namun sebaliknya aktif. Kita tak dapat hanya menunggu dan

menunggu, serta memohon dilimpahi rakhmat atau anugrahnya, dengan dalih bersabar. Bukan demikian maksudnya. Apa yang dapat saya lakukan untuk menyenangkan beliau, dan bagaimana saya sebaiknya melaksanakannya? Pertanyaan-pertanyaan proaktif ke dalam (vicara) inilah yang akan amat membantu penyerahan-diri seutuhnya.

(15)

Isvara sebagai Guru Semesta dan Pranava Japa

ISvara adalah Purusha Istimewa (purusha visesa isvarah), tak tersentuh oleh kekotoran-batin yang mengakibatkan penderitaan (klésa), perbuatan-perbuatan (karma) dan kesan-kesan mental maupun hasil dari perbuatan. Tiada terbatas adanya benih kemahatahuan (sarvajña bija) pada-Nya. Beliau adalah Guru dari para Guru di jaman purba (purva), yang ada di luar jangkauan waktu. [YS I.24 - I.26]

Dalam tiga sutra tadi, juga ter-refleksikan dengan amat jelas dan tajam, bagaimana Patanjali memandang Isvara. Sejauh kita masih berkutat dengan berbagai klésa dan karma, vasana, dan phala-nya, serta beraneka Renungan samskara, maka Isvara digambarkan seperti dalam sutra I.24 ini.

Penggambaran itu bukanlah dimaksudkan sebagai penggambaran absolut, dimana hanya itulah sifat-sifat-Nya dalam konsep ketuhanannya, namun lebih diorientasikan pada konteks jalan pensucian atau pemurnian batin ini.

Dalam ajaran Buddha, juga disebutkan lima kekotoran-batin yang mengakibatkan penderitaan (klésa) yaitu:

· Kesenangan pada kenikmatan pemuasan nafsu indriyawi (kamachanda); · Itikad jahat atau dendam pada orang lain (vyapada);

· Kemalasan, keengganan dan kelesuan (stayana-middha);

· Kegelisahan, kecemasan dan kekha-watiran (auddhatya-kaukrtya); dan · Keragu-raguan (vicikitsa).

Sementara Panca klésa-nya Patanjali adalah: · Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya), · Egoisme (asmita),

· Kelekatan atau kecintaan ragawi (raga), · Kebencian (dvesa), dan

· Kecintaan yang amat sangat pada kehidupan berjasad ini sehingga amat takut mati (abhinivesa); seperti diuraikan dalam sutra II.3 mendatang.

Walaupun ada perbedaan item-item yang diberi sebutan klésa dalam kedua ajaran ini, namun bagi penekun jalan spiritual, kelima kekotoran ini penting untuk dienyahkan. Memang tidak semua orang terlahir dengan membawa kelima kekotoran ini dalam kadar yang sama; mungkin ada yang hanya tiga, dua atau satu saja dan dalam kadar tertentu. Selalu ada kekhususan

tergantung karma-vasana masing-masing. Namun semuanya tetap mesti diwaspadai. Untuk ini, Patanjali memperkenalkan metode ampuh untuk mengentaskannya, seperti yang akan dipaparkan nanti pada pembahasan sutra

IV.29 - IV.34.

(16)

penekun jalan spiritual, Guru Yoga bagi semua penekun Yoga, dahulu, kini dan nanti. Akan tetapi kita tidak diharapkan untuk memandang dengan: “Ah...saya hanya akan ber-Guru langsung pada Isvara saja. Saya tak perlu ber-Guru pada yang lainnya, apakah itu Dewa, apalagi manusia.” Bukan, bukan demikian maksudnya. Belum banyak diantara penekun yang berkualifikasi

setinggi itu.

Para penekun (sadhaka) masih butuh Guru hidup yang kasat indriya, sebagai panutan. Akan tetapi, tidak pula dianjurkan sebaliknya memandang:

“Kita tak mungkin ber-Guru pada Isvara. Itu tidak mungkin. Kita harus ber-Guru hanya pada manusia yang masih hidup.” Dua kutub pandang dalam ber-Guru ini memang jamak kita temui di sekitar kita. Ini menunjukkan kelemahan yang perlu disadari dan dientaskan, bersamaan dengan perjalanan latihan kita. Manifestasi simbol-Nya adalah suku kata tunggal Pranava (OM). Pelafalan secara konstan (japa) Pranava, dengan penuh perasaan dan pemahaman akan

maknanya, menghantarkan pada pencapaian tujuan pengembangan batin (artha bhavanam). Dengan mempraktekkannya lahir kesadaran kosmis (cetanãdhigamo) dan

hambatan-hambatanpun sirna. [YS I.27 - I.29]

Secara substansial, ketiga sutra ini masih terkait dengan Isvarapranidhana. Pelafalan secara konstan Nama Tuhan, adalah perwujudan cinta dan bhakti kita kepada-Nya, di mana Pranava Japa ini bisa mengantarkan pada keberhasilan. Pelafalan secara konstan dengan ber-japa, juga sebentuk proses pembiasaan. Inilah salah-satu praktek langsung dari Abhyasa. Jelas kalau abhyasa merupakan suatu proses, bukan pencapaian, di mana dituntut kesabaran dalam melalui pentahapannya. Walau di sini Patanjali hanya menyertakan satu kata ‘japa’, yakni hanya pada sutra I.28 ini saja -di mana itupun hanya dikaitkan dengan Pranava OM- namun ini juga merupakan sebentuk upaya memperkenalkan Japa Yoga, yang akan kita temukan juga pada Bhagavad Gita dan kitab-kitab Yoga sastra lainnya.

Anjuran ini juga kita temukan di dalam beberapa Upanishad. Mundaka Upanishad misalnya, menganjurkan: “Bermeditasilah atas OM sebagai Atman. Semoga dikau berhasil menyeberang jauh dari kegelapan.” Mãndúkya Upanishad juga menegaskan bahwa, ‘apa saja yang merupakan keadaan masa silam, sekarang dan yang akan datang, semuanya adalah Pranava OM’ Dan apa saja yang ada di luar waktu -lampau, sekarang, dan akan datang- itu hanyalah Pranava OM. Semuanya sesungguhnya Brahman (Tuhan)’.

Sedangkan Bhagavad Gita menyebutkan bahwa, “pranavah sarva vedasu” - “Aku adalah Pranava dalam semua Veda”.

Setiap mantra umat Hindu diawali dengan melafalkan Nama-Nya. Semua Upanishad memuji OM, di mana pada jaman Upanishad lambang Nama-Nya sangat dimuliakan. Kata OM sendiri merupakan hasil penyandian antara tiga aksara suci ‘A - U - M’, yang masing-masing mewakili tiga aspek Keagungan-Nya,yakni sebagai Mahapencipta (A), Mahapengatur dan

Mahapemelihara (U) serta Mahapelebur, Pengembali ke asal (M). Senantiasa melafalkan Nama-Nya,sebagai praktek langsung dari Isvarapranidhana, mengikat pikiran liar, dan

(17)

Pranava Japa umumnya dilaksanakan dalam hati (manasu japa) menyertai Pranayama. A(ng) dilafalkan dalam hati saat menarik nafas; U(ng) saat menahan nafas dan M(ang) saat

menghembuskan nafas. Dengan demikian terjadi kombinasi solid yang saling menguatkan antara Pranava dan Pranayama.

Praktek Japa dalam Pranayama ini akan kita bicarakan lagi pada Sadhana Pãda, saat membahas Pranayama.

Cetana-adhigama merupakan istilah bentukan Patanjali yang tak kurang menariknya untuk dicermati. Cetana yang juga disebut sebagai Kesadaran Kosmis, di dalam Wrhaspati Tattwa ia didefinisikan sebagai: bersifat mengetahui, tak terkena lupa, senantiasa tenang dan stabil serta tak terhalangi. Sebaliknya Acetana disebut sebagai: tanpa pengetahuan, seperti moha

(kebingung-an). Pertemuan antara Cetana dan Acetana inilah yang melahirkan: Triguna, Buddhi, Ahamkara, Panca Buddhindriya), Panca Karmendriya, Panca Tanmatra, dan Panca Mahabhuta. Dalam pustaka nusantara kuno ini, Cetana dirinci lebih jauh lagi ke dalam Paramasiwa, Sadasiwa dan Siwa.

Sebagai kitab Tattwa -ajaran hakekat ketuhanan yang dapat disejajarkan dengan Upanishad-Upanishad, Wrhaspati Tattwa juga memerinci sifat-sifat Isvara sebagai berikut:

· Aprameyam -Tidak terpikirkan, karena kejadian-Nya tidak berawal, tidak berakhir dan tiada terbatas;

· Anirdesyam -Tidak terperintahkan, karena keadaan-Nya tanpa aktivitas.

· Anaupamyam -Tidak tertandingi, tidak terumpamakan, karena keadaan-Nya tidak ada yang menyamai;

· Anamayam -Tidak terkena penyakit, karena tidak ternodai;

· Dhruvam -Berkeadaan sadar, tanpa gerak, tenang, senantiasa ajeg selamanya; · Avyayam -Tiada kurang suatu apapun, karena sempurna dalam Diri-Nya Sendiri.

Disebutkan pula bahwa, dalam perjadiannya Beliau adalah Raja, Jiva yang tiada terjiwai. Satu hal penting yang dapat kita lihat di sini adalah, konsep ketuhanan yang dianut oleh Patanjali ternyata tidak berbeda dengan konsep yang dianut oleh Wrhaspati Tattwa, sebagai sastrãgama Nusantara; walaupun tidak diketahui oleh siapa dan kapan ia disusun.

(18)

Kriya Yoga, Mengawali Pendakian Spiritual

KRIYA YOGA, MENGAWALI PENDAKIAN SPIRITUAL. Memasuki Sãdhana Pãda, berarti memasuki paparan spiritual praktis dalam rangka mencapai Samãdhi, dalam berbagai kategori, seperti yang dipaparkan dalam Samãdhi Pãda sebelumnya. Dalam Samãdhi Pãda kita telah disajikan idealisasi-idealisasi terpenting dari Yoga untuk dicapai; dan kini, Patanjali mulai memaparkan bagaimana mencapai semua itu.

Sãdhana Pãda, sebagai paparan praktis praktek spiritual, dibuka oleh Patanjali dengan Kriya Yoga melalui dua sutra berikut.

Hidup sederhana dengan penuh kedisiplinan (tapa), mempelajari ajaran-ajaran suci secara mandiri (svadhyaya), dan penyerahan diri, kerja dan hasil kerja dalam pengabdian kepada-Nya (Isvarapranidhana) guna meraih penunggalan, disebut Kriya Yoga.

Ini dilaksanakan guna melenyapkan kléša dan mencapai Samãdhi. [YS II.1 dan II.2]

Tapa, Svadhyaya dan Isvarapranidhana merupakan tiga sadhana utama dari Kriya Yoga. Swami Satya Prakas Saraswati menyebutnya sebagai ‘Yoga Pendahuluan’. Kenapa disebut

'Pendahuluan'?

Ketiga sadhana utama yang termaktub dalam Niyama hanyalah tiga dari lima disiplin mental Niyama. Seperti dimaklumi —dan akan dijelaskan pada sutra-sutra berikutnya—Niyama merupakan tahapan kedua dalam delapan tahap Yoga-nya Patanjali, dan hanya diperuntukkan sebagai pembentuk sikap batin yang merupakan landasan moral dari seorang Raja Yogi. Bila hanya tiga dari disiplin moral-spiritual (brata) saja sudah layak memperoleh sebutan Kriya Yoga, dapat dibayangkan betapa tingginya ajaran Ashtanga Yoga yang dipersembahkan Patanjali kepada umat manusia ini.

Kriya Yoga diperuntukkan guna melenyapkan kléša atau kekotoran batin, yang merupakan hambatan-hambatan utama dalam praktek Yoga. Batin yang telah lenyap kekotorannya menjadi suci atau murni (sauca). Sementara itu sauca sendiri juga merupakan salah-satu disiplin dalam Niyama. Ada kepaduan langkah pengembangan batin yang menyeluruh, hanya dalam praktek Niyama saja. Kendati disebut sebagai ‘pendahuluan’ itu sudah dikategorikan sebagai Yoga. Di Barat, Kriya Yoga ini dipopulerkan oleh Sri Paramahamsa Yogananda. Mengenai kléša akan dibicarakan pada sutra II.3 sampai dengan II.9.

Menurut Shrii Shrii Anandamurti, Tapa diterapkan dengan menahan kesulitan-kesulitan fisik maupun mental demi kebahagiaan orang atau makhluk lain dan melakukan pengabdian tanpa pamerih. Dikatakan juga bahwa Tapa, sebagai pengabdian tanpa pamerih sendiri, ada empat jenis ragamnya, yakni:

• Bhuta Yajña —pengabdian untuk kepentingan alam ciptaan. • Pitra Yajña —pengabdian kepada nenek-moyang atau leluhur. • Adhyatma Yajña —pengabdian lewat jalan spiritual.

• Nr Yajña atau Manusa Yajña —pengabdian untuk kepentingan sesama manusia.

Jadi Yajña, persembahan suci yang tulus ikhlas ini, juga dimaknai sebagai pelaksanaan Tapa oleh guru besar pendiri Ananda Marga itu. Pandangan ini ternyata sejalan dengan wejangan Sri

(19)

Krishna dalam Bhagavad Gita IV.28: “Ada yang beryajña dengan harta-benda miliknya (drawya yajña), beryajña dengan Tapa (tapa yajña), beryajña dengan Yoga (yoga yajña) dan yang lainnya ada pula yang beryajña dengan Svadhyaya (svadhyaya yajña), serta dengan Jñana (jñana yajña); demikianlah mereka yang taat melaksanakan disiplin hidup kerokhanian (vrata).” Dua sutra pembukaan tadi ternyata memperoleh dukungan kuat dari Bhagavad Gita; bentuk-bentuk persembahan dalam Isvarapranidhana-pun dipaparkan, sebagai praktek langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Bhagavan Sathya Narayana, dalam “Jñana Vahini”, membedakan Tapa atas 3 hal, yakni: Tapa Mental, Tapa Fisik dan Tapa Pembicaraan. Pembagian dan penjelasannya tentang ketiga hal yang di-tapa-kan ini, amat mirip dengan konsep etika-moral Hindu, Trikaya Parisuddha, yang sudah tak asing lagi di Nusantara, terdiri dari:

• pensucian pikiran (manacika), • pensucian ucapan (wacika) dan • pensucian perbuatan (kayika).

Ini merupakan upaya pensucian integral terhadap tiga modus utama perbuatan. Dalam Trikaya Parisuddha secara inklusif terangkum hampir semua landasan moral-etik Yoga, Yama-Niyama. Ia juga mewakili pelaksanaan tiga dari Jalan Utama Beruas Delapan dari Buddhisme, yakni: Pikiran Benar sankappa), Ucapan Benar vaca) dan Perbuatan Benar (sammã-kammanta). Secara praktis, membiasakan tiga etika-moral-spiritual (abhyasa) ini mengantarkan pada vairagya dan viveka, yang akan amat diperlukan demi terjaminnya pencapaian tujuan akhir. Kena Upanishad menyebut Tapa sebagai salah-satu tiang Brahmavidya (Pengetahuan

Ketuhanan), disamping Dama (pengekangan diri) dan Karma (kegiatan dalam kebajikan). Dalam Prasna Upanishad-pun Tapa mendapat tempat istimewa dengan ditekankannya secara berulang-ulang. Swami Satya Prakas Saraswati menyebutkan toleransi, kesabaran dan latihan yang terus menerus dengan tekun sebagai tiga aspek dari Tapa, yang mematangkan seorang siswa spiritual (sadhaka). Setiap usaha untuk mencapai pengalaman duniawi maupun transenden merupakan Tapa. Hanya dalam artian yang terbatas sajalah Tapa diartikan sebagai kesederhanaan.

Disebutkan pula, secara menyeluruh Tapa dilakukan bukan saja pada lima indria sensorik dan lima indria motorik, akan tetapi juga dilakukan bagi sikap mental dan daya vital (prana). Jadi, Tapa merupakan upaya pensucian menyeluruh, lahir maupun batin. Manusmrti —kitab suci Smrti yang hingga kini masih paling sering diacu dalam jenisnya—juga menyebutkannya demikian.

Di dalam Manusmrti atau Manava Dharmasastra Tapa dan Brata dipaparkan secara panjang lebar dalam banyak sloka-slokanya. Beberapa diantaranya, yang khusus menyangkut Tapa pada

adhyaya XI, dikutipkan berikut ini.

Para Rshi mengendalikan diri beliau dengan hidup hanya dari buah-buahan, umbi-umbian dan udara, beliau mengarungi triloka bertemu dengan makhluk bergerak maupun tidak bergerak, hanya melalui kesucian Tapa.

Apapun yang sukar untuk dilalui, apapun yang sukar untuk dicapai, apapun yang sukar untuk diperoleh, apapun yang sukar untuk dilakukan, semuanya dapat dicapai dengan kesucian Tapa, karena Tapa mempunyai kekuatan untuk melintasinya. Mereka yang telah melakukan dosa besar dan beberapa kesalahan lainnya, dapat dibebaskan dengan melakukan Tapa. Serangga, ular,

(20)

ngengat, kumbang, burung dan makhluk lainnya, berhenti bergerak dan mencapai surga hanya karena Tapa-nya. Apapun dosa-dosa yang telah diperbuat oleh seseorang melalui pikirannya, perkataannya ataupun perbuatan-perbuatannya, semua dapat dimusnahkan dengan segera melalui Tapa-nya yang teguh, terjaga bak hartawan menjaga kekayaannya. Para Dewa-Dewa menerima setiap persembahan para Brahmana, yang telah disucikan oleh Tapa-nya, akan menerima pahala dan dikabulkan semua permintaannya. Yang Maha Kuasa, Hyang Prajapati, menciptakan lembaga suci itu melalui Tapa-Nya; demikian pula halnya dengan para Rshi, menerima wahyu Veda karena Tapa mereka. Para Dewa-Dewa melalui Tapa-nya kembali ke alam kesucian; demikianlah keutamaan dari Tapa." [MDs. XI: 237, 239, 240, 241, 242, 243, 244 dan 245] Dalam banyak pustaka suci dan ajaran mental-spiritual Tapa berkait erat dengan Sauca, pensucian lahir-batin (yang dibicarakan nanti dalam pembahasan sutra II.40 dan II.41); dan menduduki posisi fundamental dalam praktek kehidupan spiritual. Tapa berkaitan langsung dengan kehidupan suci itu sendiri. Bahkan, para rshi di jaman dahulu menerima wahyu-wahyu melalui kehidupan suci ini.

Svadhyaya adalah upaya mempelajari kitab-kitab suci atau kitab-kitab spiritual-filosofis secara mandiri, guna memperoleh pengertian yang sejelas-jelasnya tentang hakekat yang terkandung di dalamnya. Mempertanyakan (vicara), melakukan analisa-analisa penalaran (vitarka), maupun perenungan-perenungan mendalam serta perbandingan dengan kejadian sehari-hari terhadapnya, merupakan beberapa langkah dalam pembelajaran secara mandiri yang amat bermanfaat dalam memberi pengertian serta menumbuhkan pemahaman yang baik dan kian mendalam. Yang pasti, svadhyaya hendaknya tidak hanya diartikan sebagai membaca saja, belajar dari buku-buku saja, mengingat setiap bait sloka atau sutra, bahkan setiap kata dari kitab-kitab suci atau kitab-kitab spiritual-filosofis—seperti Yoga Sutra ini misalnya—mempunyai makna yang padat dan dalam. Mereka tak dapat dipahami dengan baik, bila hanya mengartikan secara harfiah, seperti membaca koran, atau buku-buku pelajaran sekolahan saja.

Mereka yang hanya berpegang dan terpatok pada arti harfiah, dan memperlakukan kitab-kitab ajaran hanya seperti buku-buku pelajaran sekolahan, dapat dipastikan akan memperoleh pemahaman yang amat dangkal, sebatas kata-kata saja. Cara pembelajaran seperti inilah yang punya andil besar di dalam melahirkan sikap dogmatis, yang menjurus pada fanatisme. Dalam masyarakat heterogen, global dan terbuka seperti sekarang ini, sikap-sikap dogmatis dan fanatis bisa amat membahayakan masyarakat luas dan juga penganutnya. Bukti-bukti tentang fenomena ini, dapat kita lihat dengan mudah di sekeliling kita.

Dalam proses pembelajaran secara mandiri ini, ‘mengetahui’ adalah yang mula pertama diperoleh. Apa yang kita ketahui harus dimatangkan lagi sehingga kita menjadi benar-benar ‘mengerti’. Dari sinilah tumbuh pengertian-pengertian tentang apa yang diketahui tersebut. Bersama dengan berjalannya waktu, mendengar, membandingkan, bertukar-pikiran atau berdiskusi dengan mereka yang telah lebih dahulu mengetahui atau mengerti, apalagi

berpengalaman, secara akumulatif akan membentuk ‘pengertian’ yang semakin baik, lengkap dan kian mendalam tentang apa yang kita pelajari. Melalui perenungan-perenungan serta pembuktian-pembuktian seperlunya, pengertian kita lambat laun meningkat menjadi ‘pemahaman’. Nah....dengan semakin halus dan mendalamnya ‘pemahaman’ kita,

pengetahuanpun semakin mengembang dengan sendirinya. Yang pasti, dalam Yoga Sutra ini Patanjali telah telah menegaskan bahwa ‘pengamatan langsung (pratyaksa), penyimpulan

(anumana) dan penegasan para bijak dan kitab-kitab ajaran (agama), membentuk suatu rangkaian metode penalaran yang baik’.

(21)

Isvarapranidhana adalah penyerahan diri kepada Isvara (Tuhan), dengan menerima sepenuhnya serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya perlindungan. Bahkan disebutkan, nanti dalam sutra II.45, bahwa pencapaian Samãdhi merupakan siddhi dari praktek Isvarapranidhana. Menurut Swami Satya Prakas Saraswati, ia merupakan suatu istilah spiritual-teknis khusus ciptaan Patanjali, yang tidak disebut-sebut oleh Maharshi Kapila dalam Sankhya Darsana-nya. Bilamana ketiganya diterapkan dengan baik dan benar, walaupun ia disebut sebagai “Yoga Pendahuluan”, memberikan nilai manfaat spiritual yang tinggi kepada penekunnya. Ia menumbuhkan sikap batin yang kokoh, mantap, untuk mulai melanjutkan ke jenjang-jenjang berikutnya dengan pemahaman yang baik, dan tanpa disertai sikap-sikap dogmatis dan fanatis. Iapun mengarahkan penekun menjauh dari sikap ekstrim atau mempertontonkan ke-ekstrim-an pada khalayak.

Dalam Jñana Vahini, Bhagavan Sathya Narayana bahkan menyatakan bahwa melalui Tapa (dalam arti luas) saja, seseorang dapat mencapai tingkat yang tertinggi. Bukan main memang kekuatan yang dapat dihasilkan Yoga guna mencapai realisasi Diri-Jati dan Kebebasan. Dipublikasikan di majalah Media Hindu No. 15 — Edisi Mei 2005.

(22)

Hambatan Utama Dan Kiat Memusnahkannya

Kebodohan atau kegelapan batiniah (avidya), egoisme (asmita), kelekatan atau kecintaan ragawi (raga), kebencian (dvesa), dan kecintaan yang amat sangat pada kehidupan sehingga amat takut mati (abhinivesa) adalah lima kekotoran batin penghambat (panca kléša). Avidya merupakan ‘bidang gerak’ bagi yang lainnya; apakah mereka terpendam, kemudian menghilang, teratasi, ataupun malah lebih meluas.

Terhubung dengan yang tak-kekal, tak-murni, yang bukan-jiwa, yang dalam kondisi

menyedihkan, yang kekal, murni, kesadaran dari jiwa —yang sebetulnya berbahagia—juga jadi terselimuti oleh avidya.

Ada dalam liputan kabut asmita, Sang Subjek tampak teridentifikasikan dengan kekuatan penglihatan.

Terbenam di dalam kenikmatan dunia dan ragawi adalah kemelekatan atau kecintaan (raga); (Sebaliknya) tersusupi oleh penderitaan sehingga menimbulkan sikap penolakan adalah dvesa. Seakan-akan mengalir dengan sendirinya demikian, bahkan seorang bijak-pun masih bisa mencintai hidupnya ini dan takut pada kematian (abhinivesa).

[YS II.3 - II.9]

Disebutkan bahwa avidya adalah cikal-bakal Samsara. Yang satu ini memang amat patut untuk ditakuti oleh seorang penekun jalan spiritual, yang mendambakan kebebasan. Berpangkal pada avidya inilah bermunculan kléša-kléša yang lainnya, yang pada gilirannya menjadi sumber dari segala sumber penderitaan; persis seperti disebutkan bahwa, Avidya merupakan ‘bidang gerak’ bagi yang lainnya, apakah mereka terpendam, menghilang, teratasi, ataupun malah lebih meluas. Sebaliknya, terhapusnya avidya oleh vidya, berarti meniadakan 'bidang gerak' dari kléša-kléša yang lainnya, sehingga merekapun tiada menemukan pijakan dalam batin kita. Dalam konteks ini, vidya dikelompokkan dalam dua kelompok besarkan yakni Paravidya (pengetahuan duniawi atau yang umum sifatnya) dan Aparavidya atau Brahmavidya (pengetahuan spiritual-filosofis, kebenaran atau ketuhanan). Penguasaan Paravidya menunjang pencapaian Brahmavidya, bila diarahkan dengan baik. Ia juga mengkondisikan dan menunjukkan bukti-bukti konkret, yang mudah dicerap dan dimengerti, atas nilai-nilai luhur dan kebenaran yang terkandung didalam Brahmavidya. Oleh karenanyalah, Brahmavidya dapat pula disebut Dharmavidya.

Bukan saja sebagai penunjang dan pengkondisi, Paravidya juga merupakan bekal hidup pada kehidupan ini. Ia memberi kemudahan-kemudahan dalam menjalani hidup. Apa yang kita sebut sebagai sains dan teknologi adalah Paravidya itu adanya. Bukankah penguasaannya memberi kemudahan-kemudahan dan kenyamanan fisik dan psikis bagi manusia? Akan tetapi, terhenti dan mandek hanya sampai disana, bukan saja perlu disayangkan namun bisa berbahaya bagi

penguasanya. Peningkatan penguasaan Paravidya, mutlak perlu di-imbangi dengan dan

dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meraih Brahmavidya. Ini sejalan dengan lontaran Albert Einstein, yang terkenal: “Pengetahuan tanpa agama adalah pincang. Sedang agama tanpa

pengetahuan adalah buta.” ini. Dengan penuh keyakinan ia juga mengemukakan pandangannya: “Setiap orang yang terlibat secara serius di dalam pencarian pengetahuan, menjadi yakin

bahwasanya, ada suatu jiwa termanifestasikan pada hukum semesta raya —jiwa yang secara luas superior terhadap jiwa-jiwa manusia, dan sesuatu dimana di hadapan-Nya, kita beserta kekuatan mutahir kita terasa sedemikian lemahnya."

(23)

(raga-dvesa); segala penilaian yang berdasarkan atas raga-dvesa, semakin mempertebal kabut avidya dan memperkuat asmita. Dengan semakin kuatnya asmita, mempertebal kepemilikan atas segala sesuatu, termasuk hidup atau kelahiran ini. “Kekayaan-ku, keluarga-ku, anak-ku, istri-ku, suami-ku, tubuh-suami-ku, diri-suami-ku, hidup-ku....dll.”, demikianlah ungkapan mereka yang tebal dan kuat asmita-nya. Dengan demikian abhinivesa berkembang dengan subur.

Namun jangan keliru, mengikis abhinivesa bukan berarti membahayakan atau menyiksa diri, atau sebaliknya menyia-nyiakan kelahiran dalam jasad manusia ini dengan cara memanjakannya. Kitab Sarasamuschaya menegaskan bahwa, hendaknya kelahiran dalam jasad manusia, yang sangat berharga ini dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dimanfaatkan untuk memupuk kebajikan dan mencapai kebebasan. Bagaimana itu bisa dilakukan? Dalam sutra-sutra berikut akan kita

temukan penjelasannya.

Kiat Memusnahkan Hambatan-hambatan.

Semua itu dapat diatasi lewat perambatan yang berlawanan (pratiprasava) menuju penghalusannya (suksmah).

Meditasi (dhyana) mengatasi pengaruh pusaran atau modifikasi (vritti)-nya.

Panca kléša menyebabkan pola-pola perbuatan yang menyebabkan derita dalam kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya.

Selama akar-akarnya semula masih ada, mereka mematangkan tumimbal-lahir ke dalam golongan, kehidupan dan pengalaman makhluk hidup.

Mereka menyajikan pahala berupa ‘kebahagiaan’ atau penderitaan, yang disebabkan oleh kebajikan atau kejahatan.

[YS II.10 - II.14]

Yang menarik untuk dicermati lebih jauh adalah apa yang disebut dengan istilah ‘pratiprasava’ atau mengatasi suatu kecenderungan melalui perambatan atau menghadirkan serta membiasakan yang berlawanan dengannya. Ini dapat disebut sebagai suatu ‘metode tandingan’, metode untuk memusnahkan yang buruk dengan menandinginya dengan yang baik, atau sejenis itu. Prinsip atau esensi serupa diulang lagi nanti pada sutra II.33 oleh Patanjali dengan menyebutnya sebagai: Pratipaksa Bhavana. Inilah metode praktis dalam yogasadhana yang diajukannya.

Bila panca kléša juga menghadirkan ‘kebahagiaan’ —seperti yang disebutkan dalam sutra II.14.—mengapa mesti dihapus? Pertanyaan seperti itu bisa saja muncul dalam benak kita bukan? Sesungguhnya, dalam sutra sebelumnya, secara implisit, pertanyaan ini telah dijawab. Tujuan utama kita adalah terbebas dari lingkaran tumimbal-lahir yang tiada berkesudahan, yang tiada lain dari rangkaian kesengsaraan dan penderitaan. Samsara, sesungguhnya juga terbaca Sangsara; seperti juga Ahamkara dibaca Ahangkara, dan yang lainnya.

Kebahagiaan yang disebutkan tadi, yang merupakan pahala dari kebajikan adalah kebahagiaan temporer dan semu, yang diperoleh dalam kehidupan berjasad (kasar maupun halus) berupa kenikmatan-kenikmatan pemenuhan nafsu dan keinginan-keinginan yang tak terhitung banyaknya itu; bukan kebahagiaan sejati, anandam.

Bagi seorang pertapa yang telah menghacurkan kesan-kesan pengalamannya (samskara) dan mengembangkan daya memilih dan memilah-milah (viveka) memahami bahwa berbagai derita (dukha) yang disebabkan oleh perubahan-perubahan (vritti) bentuk-bentuk pikiran dan perasaan yang berlawanan (rwabhinneda, seperti: senang-susah, untung-rugi, sehat-sakit dsb.)

dan pengaruh tiga sifat (sattva, rajas dan tamas) adalah derita adanya. Dukha yang belum muncul (anãgata), dapat dihindari.

(24)

Penghindaran dimungkinkan melalui peniadaan sebabnya;

sebabnya adalah ‘si pengamat’ (drastr) mengidentifikasikan-diri sebagai ‘yang diamati’ (drsyayoh).

[YS II.15 - II.17]

Dalam dua sutra terakhir dengan gamblang disebutkan bahwa, sebab dari dukha adalah adanya kecenderungan manusia untuk mengidentifikasikan-diri sebagai ‘yang diamati’ (drsyayoh). Kecenderungan inilah yang menimbulkan hasrat untuk memiliki atau ‘ingin menjadi’. Inilah yang menggerakkan atau menjadi motivasi utama manusia untuk berbuat dan berbuat atau menghindari perbuatan tertentu. Hampir semua aktivitasnya bersandar pada motivasi ini. Semakin sempit lingkup manfaat aktivitasnya, semakin menguatlah asmita-nya.

Namun secara keseluruhan, secara lebih luas lagi, paparan dalam kedua sutra itu menunjukkan satu prinsip dasar yakni ‘meniadakan akibat dengan cara meniadakan sebab yang

mendahuluinya.’ Inilah sesungguhnya pengejawantahan dari Hukum Kausalitas Universal yang mendasari semua kejadian dan ciptaan. Paradigma ini akan lebih diperjelas lagi dalam sutra-sutra berikut.

Dipublikasikan di majalah Media Hindu No.16—Edisi Juni 2005.

(25)

Musnahnya Identitas Diri Dalam Pencerahan

MUSNAHNYA IDENTITAS-DIRI DALAM PENCERAHAN.. Kejelasan bahwasanya kegiatan (kriya), dan pemeliharaan kelangsungannya (sthiti) di dalam kegiatan mengamati, hanya

merupakan kehebatan dari bekerjanya elemen-elemen dasar (bhuta) dan sensasi-sensasi indriawi, yang terbentuk dari sari-sari makanan (bhoga); makanya, pengalaman yang diperoleh dari

pengamatan itu hendaknyalah ditujukan hanya demi meraih Kebebasan.

Baik yang universal maupun tidak universal, yang pasti maupun yang tak-pasti, hanyalah tahapan-tahapan spesifik dari bekerjanya tiga sifat-dasar, triguna (sattvam, rajas dan tamas). Si pengamat sesungguhnya hanyalah matra persepsi murni (drsimatrah suddho); walaupun demikian, pengamatan berlangsung melalui campur-tangan citra mental.

Padahal semua itu hanya dimaksudkan untuk pencarian Sang Diri-Jati lewat mengamati semesta (drsyasãtma).

Walaupun semua itu musnah bagi Sang Yogi yang telah tercerahi, namun belum bagi kebanyakan orang.

[YS II.18 - II.22]

Ditegaskan kembali disini bahwasanya setiap kegiatan yang dilakukan manusia melalui segenap indria-indrianya hendaknya ditujukan bagi tercapainya Kebebasan itu sendiri—tentunya

termasuk kebebasan dari kungkungan indria-indria itu sendiri. Terlebih lagi kalau telah disadari bahwa semua itu hanya kerja dari sintesa lima elemen-elemen dasar (mahabhuta) pembentuknya yang kita peroleh dari sari-sari makanan dan minuman yang dikonsumsi, yang punya tiga sifat-dasar—aktif, pasif dan netral.

Si pengamat sendiri bukan semua itu. Ia bukan pelaku. Ia matra persepsi murni yang tiada tercemar. Sayangnya, di dalam melangsungkan pengamatan campur-tangan beraneka citra mental atau kesan-kesan batin—yang terbentuk pada pengalaman-pengalaman sebelumnya— menodai kemurnian persepsinya.

Terbitnya serta semakin dimatangkannya viveka merupakan pencerahan buddhi, yang hanya dipengaruhi guna sattvam. Pencerahan ini merupakan ‘pencerahan awal’, sebagai pijakan yang semakin berkembang lewat penguasaan jñana menuju semakin bersinarnya kebijaksanaan (prajña). Semua ini mesti diperjuangkan secara mandiri, bukan secara kolektif atau massal. Pencerahan yang dihasilkannyapun langsung dirasakan hanya oleh Sang Yogi sendiri. Oleh karenanya pula disebutkan bahwa, ‘walaupun semua itu musnah bagi Sang Yogi yang telah tercerahi, namun belum bagi kebanyakan orang’.

Tidak seperti Bhakti dan Karma Yoga yang memang dirancang sebagai praktek kolektif atau massal, Raja Yoga jelas merupakan praktek pribadi yang mandiri. Pada tahap-tahap awal saja sang sadhaka masih punya ketergantungan besar kepada Guru-nya ataupun saudara

seperguruannya; selanjutnya, secara berangsur-angsur mau-tak-mau ia mesti semakin mandiri, hingga akhirnya sepenuhnya mandiri. Hanya sesudahnyalah beliau benar-benar mampu dan berkompeten memberikan petunjuk dan bimbingan bagi awam di jalan kecerahan dan kebebasan ini.

IDENTIFIKASI-DIRI DAN KEMUSNAHAN IDENTITAS-DIRI SEMU

Penyamaan (samyoga) antara orang yang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual dengan

kekuatan-kekuatan spiritual (sakti) yang dicapainya itu sendiri, melahirkan ‘identitas-diri semu’ (swarupopalabdhi).

(26)

Femomena itu disebabkan oleh Avidya.

Sebaliknya, dengan tidak hadirnya penyamaan itu, musnah pulalah ‘identitas-diri semu’ ini; inilah yang menghadirkan Kebebasan (kaivalyam) bagi si pengamat (drseh).

[YS II.23 - II.25]

Samyoga disini adalah identifikasi-diri terhadap berbagai hal atau segala sesuatu. Di permukaan ia berupa sikap ‘mengakui’, yang juga butuh ‘pengakuan’ pihak luar. Bila identifikasi ini tertuju pada pencapaian-pencapain dalam Yoga, nyaris pasti menimbulkan keangkuhan, atau setidaknya rasa bangga-diri. Akibatnya, ke-aku-an (asmita) dibuatnya kian menjadi-jadi.

Identifikasi-diri seperti ini telah menjadi kebiasaan mental kita. Di kalangan pejalan spiritual, bentuk halusnya adalah idenfikasi-diri pada Guru-nya. Fenomena ini didorong oleh rasa ‘ingin menjadi’. Ia ingin menjadi ‘seperti’ Guru-nya. Walaupun ini teramat sangat halus —dan oleh karenanya seringkali diwajarkan — hadirnya viveka memungkinkan sang penekun

menyadarinya. Bila belenggu halus dan kuat ini telat disadari, ia menjadi semakin halus dan semakin kuat daya-ikatnya. Ia akan amat sulit dikendorkan, apalagi dilepas. Akibatnya, kebebasan yang dicita-citakanpun tak kunjung datang. Ini sangat patut diwaspadai oleh setiap sadhaka.

Dipublikasikan dalam majalah Media Hindu edisi 17 — Juli 2005.

(27)

Disiplin Moral Dan Jurus Ampuh Mengatasi Insting-Insting Destruktif Sepuluh Disiplin Moral Sang Yogi Yama terdiri dari Ahimsa, Satya, Asteya, Brahmacarya, dan Aparigraha; semuanya merupakan ‘sumpah-sumpah universal yang agung’. Sementara itu, Sauca, Santosa, Tapa, Svadhyaya, Isvara pranidhana adalah Niyama. [YS II.30 - II.32]

Dalam sutra II.30 sampai II.32 belum dipaparkan makna praktis daripada Yama dan Niyama ini, kecuali menyebutkan Yama sebagai ‘sumpah-sumpah (samaya) universal (sarvabhuma) yang agung’, oleh karena tidak dibatasi oleh golongan kelahiran (jati), ruang dimana mereka lahir dan hidup (desa) dan penjamanan (kala) serta merupakan mahavrata—praktek brata yang agung. Paparan dari Yama disampaikan kemudian pada sutra II.35 sampai dengan II.39, dilanjutkan dengan paparan Niyama pada sutra II.40 sampai dengan II.45.

Paparan dalam sutra-sutra ini, disampaikan justru sesudah pemaparan tentang viveka, tujuh langkah penyatuan yang merupakan kemampuan dasar dan rambu-rambu. Jelas ini bukan suatu kebetulan atau sekedar sebagai penunjang sistematika saja, mengingat Yama-Niyama merupakan pondasi dari Yoga itu sendiri. Kokoh dan tegaknya mercusuar Yoga dimungkinkan oleh

kokohnya pondasi Yama-Niyama; demikian pula sebaliknya, melalui tahapan-tahapan pencapaian dalam Yoga, Yama-Niyama semakin diperkokoh. Demi kokohnya, ia mesti senantiasa diterapkan berdasarkan viveka, bukan atas dasar emosi atau rasa sentimental saja. Justru emosi dan rasa sentimental inilah yang memancing kemunculan dan menjadi tunggangan insting-insting destruktif dan ikut andil dalam mengotori citta, yang hendak dimurnikan kembali. Pratipaksa Bhavana — Jurus Ampuh mengatasi Insting-insting Destruktif.

Guna mengatasi insting-insting yang destruktif sifatnya (vitarka), hadirkanlah sifat-sifat yang berlawanan dengannya (pratipaksa bhavana). Insting-insting destruktif merupakan pemikiran-pemikiran yang berdaya rusak tinggi (himsãdayah), apakah ia diperbuat, disebabkan oleh atau disetujui, maupun dimotivasi oleh keserakahan (lobha), kemurkaan (krodha), ataupun

kebingungan karena mabuk (moha), apakah yang kwalitasnya halus (mrdu), menengah (madhya), ataupun intens (adhi), semua mengakibatkan penderitaan dan semakin tebal dan berkepanjangannya kabut kebodohan. Oleh karenanya, kembangkanlah sifat-sifat yang berlawanan (pratipaksa bhavana) ini.

[YS II.33 dan II.34]

Dalam dua sloka ini amat ditekankan pratipaksa bhavana—metode mengembangkan sifat-sifat atau kecenderungan yang berlawanan dengan insting-insting distruktif kita. Metode ini

dikembangkan atas fakta bahwa ‘pikiran hanya dapat memegang satu objek saja, pada suatu saat yang sama’. Bentuk-bentuk pemikiran destrutif tidak punya kesempatan untuk mengisi pikiran, bilamana pikiran telah terisi oleh pemikiran-pemikiran konstruktif, yang menunjang

pengembangan dan pemurniaan batin (citta-suddhi).

Agar secara instingtif tidak muncul pemikiran-pemikiran yang bersifat himsa misalnya, maka hadirkan selalu yang berlawanan, yaitu ahimsa. Demikianlah kurang lebih prinsip yang dianut oleh pratipaksa bhavana ini. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari, apakah ini

memungkinkan? Umumnya tidak. Insting-insting destruktif—seperti lobha, krodha atau dvesa dan moha—pada kebanyakan orang umumnya terlanjur telah mengakar kuat, karena dibawa

(28)

sejak beberapa kelahirannya yang lampau.

Keserakahan (lobha) akan segera mengikuti bila sebentuk keinginan atau kegandrungan

terpenuhi. Terpenuhinya satu keinginan atau kegandrungan, langsung lebih menguatkannya. Dan ini membangkitkan dorongan untuk terus-menerus memenuhinya lagi. Disinilah keserakahan menemukan pijakan kokoh dan lahan suburnya. Bagai benih yang disiram dan diberi ‘pupuk kenikmatan’ secukupnya, iapun tumbuh kian subur. Dalam proses itu, kemelekatan,

kegandrungan dan kecenderungan untuk selalu memenuhinya, terbentuk dan menguat secara alami.

Bila itu telah terjadi, maka siapapun yang mengusik, apalagi menyerobot untuk ikut

menikmatinya, membangkitkan ketidak-berkenanan, persaingan, kebencian (dvesa) hingga kemurkaan (krodha). Dalam bentuknya yang lebih halus, muncul kecemburuan, iri-dengki. Sesuai dengan dua sifat alami manusia—guna rajas dan tamas—ini bagaikan tak terhindari. Rangkaian proses di dalam inilah tanpa disadari, secara akumulatif, telah semakin mempertebal kabut kemabukan dan kebodohan, moha. Tentu, dalam kondisi batin demikian, seseorang tak akan segan-segan melakukan himsa-karma. Ia yang telah terjebak dalam siklus iterasi yang terakumulasi ini, akan semakin jauh dari kesadaran, apalagi pengetahuan luhur (jñana). Oleh karenanya, dukha-ajñana-ananta merupakan konsekuensi atau pahalanya yang paling logis. Dari pengamatan yang jernih terhadap fenomena-fenomena empiris ini, serta mengingat sebagian besar manusia cenderung masih membawa insting-insting destruktif karena kuatnya pengaruh triguna, maka Yama dan Niyama diketengahkan disini dengan penekanan yang kuat. ‘Jauh lebih baik menghindari ketimbang mengobati’. Mungkin atas dasar pola pikir seperti ini pula dua sloka ini diposisikan sebagai penyela, menyusul paparan rinci dari Yama-Niyama.

Atas pola pikir yang sama, maka amat dianjurkan untuk mengisi terlebih dahulu pemikiran-pemikiran yang konstruktif bagi pengembangan batin, sehingga pemikiran-pemikiran-pemikiran-pemikiran destruktif tidak memperoleh kesempatan untuk menyusup. Pikiran yang terisi pemikiran-pemikiran konstruktif akan membentuk bentengnya sendiri secara alami. Bilamana ini dikuatkan, secara akumulatif, melalui pengulangan-pengulangan secara berkesinambungan, maka sattvam

berkembang dengan subur, mendesak, hingga mendominasi rajas dan tamas. Nah...kondisi batin yang jernih inilah yang dapat diharapkan memberi dorongan kuat pada seorang penekun jalan spiritual di dalam meraih keberhasilannya.

(29)

Mahavrata - Sumpah Universal Nan Agung

Dengan hadirnya kemantapan Ahimsa, rasa permusuhan tidak punya tempat berpijak

(vairatyaga). Dengan hadirnya kemantapan Satya, ketulusan di dalam menyerahkan kerja dan hasilnya dimungkinkan (phalasrayatvam). Dengan hadirnya kemantapan Asteya, semua ‘kekayaan’ mendekat dengan sendirinya bagi Sang Yogi. Dengan hadirnya kemantapan Brahmacarya, semangat spiritual yang kuat (virya) diperoleh. Dengan hadirnya kemantapan Aparigraha, muncullah pemahaman yang baik tentang proses kelahiran manusia (janma kathamta).

[YS II.35 - II.39]

Hasil-hasil nyata berupa perkembangan sikap batin lewat pelaksanaan kelima sumpah batin yang diterapkan berupa disiplin mental atau moral-etik dipaparkan dalam kelima sutra ini. Ini

semestinya lebih menyadarkan kita kalau Asana disini bukan semata-mata sebagai olah tubuh ataupun sikap-sikap tubuh tertentu saja, seperti yang umumnya kita pahami sebelumnya. Ini akan kita bicarakan lebih lanjut pada ulasan terhadap sutra II.46 - II.48.

Di Indonesia, ia lebih dikenal dengan sebutan Panca Yama Brata, atau ada pula yang memberinya sebutan Panca Sila, yang bersama dengan Panca Niyama Brata membentuk Dasasila. Tidak membunuh atau menyiksa makhluk hidup, tidak mencuri, tidak berjinah atau melakukan perbuatan asusila, tidak berbohong atau berkata-kata tidak jujur, dan tidak mabuk-mabukan atau menghindari yang memabukkan merupakan lima ajaran moral-etik buddhis, yang juga disebut Panca Sila.

Ajaran moral-etik adalah ajaran praktis, yang harus diterapkan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Mereka jelas bukan sekedar untuk dihafal. Seperti yang disebutkan dalam sutra II.30 dan II.31, Yama mesti diposisikan sebagai mahavrata —sumpah universal yang agung.

Ahimsa dipraktekkan dengan tiada menyakiti baik lewat pemikiran, ucapan, maupun tindakan fisik. Banyak yang memandang Gandhi sebagai ‘Nabi Ahimsa’, mengingat perjuangan

kemerdekaannya yang tanpa kekerasan fisik. Bahkan sebutan Mahatma —‘manusia yang berjiwa besar’— diberikan oleh Rabindranath Tagore, pemenang nobel sastra dan penggubah “Gitanjali” yang termasyur itu, kepadanya.

Ahimsa bukan saja merupakan pengkondisi ketentraman hati dari setiap pelakunya, namun ia secara aktif ikut menjaga kedamaian dunia. Pertanyaannya kini adalah: Bagaimana melatih Ahimsa atau penerapan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari?

Berikut ini saya sertakan petunjuk-petunjuk dari Sri Swami Sivananda. Manakala pemikiran untuk membalas dendam dan kebencian muncul, cobalah mengendalikan tindakan dan ucapan Anda terlebih dahulu. Jangan sekali-kali ikuti godaan setan dengan mengucapkan kata-kata kasar. Jangan lemah! Janganlah mencoba menyakiti orang lain. Bila Anda berhasil

(30)

kebencian, tak akan punya kesempatan untuk menampakkan dirinya ke luar, merekapun akan mati dengan sendirinya.

Awalnya memang amat sulit mengendalikan pemikiran-pemikiran serupa itu, tanpa upaya untuk mengendalikannya terlebih dahulu. Pertama-tama kendalikanlah jasmani Anda. Ketika seseorang memukulmu, berdiamlah. Tekan perasaanmu. Ikutilah perintah Jesus Kristus dalam ‘Kotbah di atas Bukit’-nya: “Bila seseorang menampar sebelah pipimu, serahkanlah pipimu yang sebelah lagi. Bila seseorang mengambil jaketmu, berikanlah ia kemejamu juga”. Tentu saja ini amat sulit pada awalnya. Kesan-kesan tua yang terlanjur tersimpan untuk membalas, seperti ‘sebuah gigi, bagi sebuah gigi’, ‘sebuah mata untuk sebuah mata’ dan ‘membayar dengan koin yang sama’, akan menekan Anda untuk berontak. Namun Anda mesti menunggu dahulu hati Anda

mendingin. Refleksikanlah itu dan bermeditasilah terhadapnya.

Lakukanlah upaya mempertanyakannya atau upaya yang benar lainnya. Batin Anda akan

menjadi kalem. Sang musuh yang tadinya mencak-mencakpun akan menjadi kalem, karena ia tak mendapat tantangan dari pihak Anda. Iapun akan tertegun dan mendingin, oleh karena Anda tetap tegar layaknya orang suci. Demikianlah, Andapun akan memperoleh kekuatan di dalam diri Anda. Jagalah prinsip itu. Cobalah selalu untuk melakukannya, walaupun awal-awalnya Anda gagal. Milikilah sikap yang jelas dan nyata dari citra Ahimsa serta manfaatnya yang pasti. Nah...setelah berlatih mengend alikan tubuh Anda, kini latihlah ucapan. Ambil sebentuk kebulatan tekad, "Mulai saat ini saya tak akan mengucapkan kata-kata kasar kepada siapapun juga". Awalnya Anda bisa saja gagal beratus-ratus kali. Tak mengapa. Secara lambat namun pasti Anda akan memperoleh kekuatan itu. Periksalah impuls dari ucapan Anda. Latihlah Mouna (diam).

Praktekkanlah Kshama (memaafkan). Dan katakanlah pada diri Anda: “Ia masih berjiwa kekanak-kanakan. Ia lalai; itulah sebabnya ia melakukan itu. Biarlah saya memaafkannya kali ini. Manfaat apa yang saya peroleh dengan membalas tindakannya itu?” Hentikanlah

kemelekatan pada ke-aku-an (Abhimana) perlahan-lahan. Abhimana adalah akar dari semua penderitaan yang dialami manusia. Akhirnya mulailah memeriksa dan mengamati dengan seksama bentuk-bentuk pemikiran —di benak Anda— yang bersifat menyakiti. Jangan sekali-kali berpikir untuk mencelakai orang lain.

Diri-Jati menyelusupi semuanya. Semuanya adalah manifestasi dari Yang Esa. Dengan

menyakiti yang lain, sesungguhnya Anda juga menyakiti Diri-Jati Anda. Dengan melayani orang lain, Anda juga melayani Diri-Jati Anda. Kasihilah semua. Layani semua. Jangan membenci siapapun. Janganlah menyakiti siapapun melalui pikiran, ucapan dan tindakan atau prilaku Anda. Cobalah selalu memandang bahwa Diri-Jati yang ada pada Anda juga ada pada semua orang. Inilah yang akan menghadirkan Ahimsa.

Satya diterapkan melalui kejujuran dan senantiasa dalam jalur kebenaran. Setiap manusia punya hati-nurani. Kita tak dapat membohonginya. Ia adalah saksi yang senantiasa hadir kemanapun kita melangkah. Kata hati-nurani inilah yang dapat dipegang kejujurannya. Namun berhati-hatilah! Ini seringkali amat mengelirukan, sehingga banyak orang menyangka kalau kilasan emosi atau pemikiran sesaat sebagai kata hati-nurani. Ia jauh lebih dalam daripada itu.

Referensi

Dokumen terkait

ini memiliki tiga babag yakni, rodat; mondholan dan siluman (2) pesan dakwah yang terkandung dalam kesenian Topeng Ireng dapat ditinjau dari tiga aspek

Social capital strength is examined according to length of relationship, interaction intensity, in- terdependence and closure between individuals (Nahapiet and Ghoshal, 1998), and

Setelah mengikuti pembelajaran, siswa dapat Menulis karangan sederhana berdasarkan gambaran seri menggunakan pilihan kata dan kalimat yang tepat dengan

The objective of this research is to find out the effect of using small group discussion on students’ reading comprehension at VIII B class in SMP Negeri 22 Kota Jambi2. The

Penelitian mengenai kariotipe dengan perbedaan lokasi pada satu spesies juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain oleh Sugiri yang melaporkan bahwa

Bilangan riil atau sering disebut juga bilangan real dalam matematika menyatakan suatu bilangan yang dapat dibentuk menjadi desimal seperti 3.2678.. Bilangan riil

Penelitian ini difokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan pesan-pesan dakwah dalam syair lagu yang dinyanyikan dan juga gerakan tari kesenian Topeng Ireng.. Data

The independent variables are; (1) Audit opinion (DUMMY_OPINI), expressed by dummy, 1 for unqualified audit opinion, and 0 others; (2) Audit finding of internal control