HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
2. Kohesi Leksikal Wacana Saur Matua Etnik Batak Toba
4.2 Dimensi Mesostruktural Wacana Saur Matua Etnik Batak Toba
4.2.1 Tahapan Upacara Saur Matua etnik Batak Toba
Pelaksanaan adat bagi orang meninggal berbeda-beda dengan tingkat hagabeon dari orang yang meninggal. Hagabeon merupakan kehormatan karena lengkapnya keturunan. Saur matua merupakan istilah kematian yang derajatnya tinggi setelah kematian mauli bulung. Hal ini sejalan dengan Gultom (1992) bahwa “saur matua ialah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan”.
Simatupang (2016:14-19) mengemukakan bahwa “saur matua adalah sebutan kepada suami atau istri yang meninggal yang mempunyai anak laki-laki maupun perempuan, dan semuanya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu, baik dari anak laki-laki maupun perempuan, meskipun belum semuanya belum punya anak.”
Adapun tahapan upacara dari saur matua ialah 1. Pasada Tahi
Acara pasada tahi merupakan musyawarah singkat untuk mempersiapkan upacara. Acara pasada tahi dilakukan di rumah orang yang meninggal. Orang yang harus hadir dalam acara pasada tahi ada 1) semua anak dari orang yang meninggal (suhut), dan 2) paidua ni suhut/ dongan tubu na sumolhot (saudara terdekat dari orang yang meninggal) untuk membahas persiapan apa saja yang akan dibicarakan dalam musyawarah umum (ria raja) nantinya. Dalam musyawarah semua pembicaraan dicatat oleh para paidua ni suhut untuk kemudian dipersiapkan ke musyawarah umum. Dalam acara ini juga ditentukan orang-orang yang akan bertanggung jawab pada setiap bidang kerja yang sudah diberikan kepadanya, misalnya: (a) menentukan orang yang membacakan riwayat hidup almarhum, (b) mengurus peti mayat (ruma-ruma), (c) mengedarkan undangan SM kepada pihak 1) hula-hula (hula-hula tangkas, 2) hula-hula ni haha
anggi, 3) hula-hula naposo, 4) tulang, 5) bona tulang, 6) bana ni ari, dohot 5) tulang rorobot), (d) menunjuk orang mengedarkan kepada dongan tubu, dongan sahuta, dongan saulaon, rodi ale-ale, (e) menentukan orang yang menyiapkan makanan untuk keluarga dan pihak paradaton, (f) menentukan orang khusus untuk piso-piso ni ulos dan juga bendahara umum, (g) waktu dilaksanakan maria raja/tonggo raja, (h) apa hewan yang akan disembelih, (i) waktu diadakan mompo, maralaman/partuatna, memberikan saput dan sampetua, (j) menentukan orang yang mempersiapkan sijagaron sanggul marata, (j) menentukan orang yang menyambut kedatangan hula-hula.
2. Mompo/Mangoppoi
Kata mangoppoi berasal dari kata moppo yang artinya “memestakan memasuki rumah”. Jadi mangompoi artinya “memasuki rumah secara resmi dan pada saat tersebut orang-orang sekampung akan mendapat hadiah” (J. Warneck dalam Joosten, 2007:223). Pengertian mangompoi adalah memasukkan jenazah ke dalam peti mayat (yang menjadi rumah baru orang yang meninggal).
Acara mompo ini dilakukan oleh pihak suhut, hula-hula (panaput), dongan tubu (panambak), dan boru. Pihak hula-hula (panaput) berperan penting yaitu sebagai saksi utama acara moppo. Bila hula-hula (panaput) tidak ada maka acara mompo tertunda.
Pihak dongan tubu (panambak) berperan penting dalam acara mompo karena merekalah yang akan memasukkan jenazah ke dalam peti jenazah. Bila mereka tidak hadir maka acara tersebut tidak akan bisa dilanjutkan. Menurut adat yang berlaku tidak dibenarkan pihak manapun yang memasukkan jenazah ke dalam peti mayat yang telah disediakan selain dongan tubu (panambak). Waktu
acara mompo ini dilakukan di dalam rumah yang meninggal. Umumnya acara dilakukan pukul tiga pada sore hari.
3. Maria Raja
Maria raja dilakukan ketika pihak hasuhuton telah mendapatkan kesepakatan dalam acara pasada tahi, maka akan dilanjutkan ke acara ria raja yang bertujuan untuk menyepakati urutan acara yang akan dilaksanakan pada acara maralaman keesokan harinya yang diberikan oleh pihak suhut. Menurut tradisi desa Siunong-Unong Julu acara ria raja ini dulu dilaksanakan oleh Raja Bius Si Onom Ompu tetapi pada saat ini hanya dilaksanakan oleh tiga horja bius saja yang dikenal dengan sebutan horja bius Sibigo Ambaroba/Horja Simamora yang terdiri dari Toga Simamora, Toga Bakara dan Toga Sihite. Pada acara ini pihak suhut juga akan mengundang pihak hula-hula, dongan tubu, boru, raja adat, parsahutaon, dan juga punguan ni huria. Adapun hal-hal yang dibahas pada acara ini ialah: (a) orang yang sudah diundang, (b) membahas silsilah almarhum mulai dari lahir hingga meninggal, (c) menikah dengan (apabila laki-laki, menikah dengan boru tertentu, dan apabila perempuan menikah dengan marga tertentu), (d) jumlah anak almarhum, (e) status kematian (saur matua), (f) nama acara adat tersebut (adat na gok/partangiangan), (g) waktu memberikan ulos saput, sampetua sampai mangungkap hombung, (h) orang yang menyambut kedatangan hula-hula, (i) hewan yang akan disembelih (pukul berapa makan), (j) waktu acara umum, (k) lokasi kuburan, (l) marsijagaron. Umumnya acara ini dilakukan pada malam hari kira-kira pukul delapan.
4. Acara Mangembak-Embaki dan Panggalangon
Acara mangembak-embaki/panggalangon adalah acara yang dilaksanakan pada malam hari menjelang acara partuat ni na monding esok harinya. Acara mangembak-embaki dilakukan sebagai pengganti mangandung (meratapi orang yang meninggal). Istilah ini diganti karena masyarakat pada zaman dahulu berpikir bahwa orang yang telah meninggal SM tidak layak lagi untuk ditangisi/diratapi. Dengan alasan bahwa semua beban, kewajiban dan tanggungjawab terhadap anak-anaknya telah selesai dilaksanakan bahkan memperoleh kebahagiaan semasa hidupnya juga telah berumur panjang dan bergembira. Yang hadir pada acara ini ialah hula-hula, dongan tubu, boru, raja ni horja, dan juga dongan sahuta. Adapun urutan dari acara mangembak-embaki ialah mulai dari pihak hasuhuton, boru, dongan tubu, raja ni horja, dan hula-hula.
Pada acara mangembak-embaki dan acara panggalangon inilah terlihat bahwa boru menghormati hula-hula dan hula-hula mengasihi boru.
Acara panggalangon merupakan acara yang dilakukan oleh pihak boru kepada pihak hula-hula. Dalam acara ini, pihak boru memberi rasa syukur (galang) berupa uang kepada hula-hula. Acara diawali oleh boru suhut yang memberikan rasa syukur kepada hula-hula yaitu keturunan laki-laki dari yang SM. Acara ini dilaksanakan bila semua keturunan SM sudah mamora ‘kaya’.
Acara panggalangon terkadang tidak bersifat keharusan dengan alasan tidak semua keturunan orang yang meninggal mamora (kaya) dan mampu melaksanakan acara panggalangon.
Kedua acara di atas bermakna memupuk rasa solidaritas pihak boru dengan hula-hula tetap harmonis.
5. Acara Panambolon
Pada saat upacara panambolon dimulai, semua pihak suhut serta dongan tubu raja ni panambol sudah berada di tengah halaman suhut, mereka berbicara dengan baik dan pihak suhut membujuk pihak panambol di atas piring yang berisi beras, sirih, uang serta pisau yang akan digunakan untuk memotong atau menyembelih kerbau. Acara ini dilakukan pada pagi hari kira-kira pukul tiga pagi.
Pada acara ini pihak panambol akan menarikan kepada hewan yang disembelih sebanyak tujuh keliling di hadapan suhut setelah itu kepala hewan yang disembelih akan diletakkan pada kayu di atas pansa.
6. Acara Maralaman
Upacara maralaman adalah upacara terakhir yang dilakukan sebelum acara penguburan mayat orang meninggal. Akan tetapi sebelum jenazah dibawa ke tengah halaman rumah maka terlebih dahulu dilaksanakan acara gereja, setelah itu semua keturunan yang telah saur matua mengucapkan kata-kata perpisahan, setelah selesai dilaksanakan maka jenazah diangkat ke halaman rumah sambil diiringi dengan lagu perpisahan (biasanya lagu gereja). Yang mengakat peti mayat ke halaman rumah ialah pihak panambak. Semua unsur dalihan natolu sudah berkumpul di halaman dan mengambil posisi masing-masing.
Di dalam adat Batak Toba, kalau orang yang sudah saur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antara bidang ke kuburan (disebut partuatna), maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini, posisi dari semua unsur dalihan natolu berbeda dengan posisi mereka ketika berada di dalam rumah. Pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri, di belakang
mereka berdiri parumaen (menantu perempuan) dari orang yang meninggal, dan posisi suhut ini berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.
Setelah semua unsur dalihan natolu dan pargonsi pada tempatnya, maka pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman dengan bernyanyi dari kidung jemaat terlebih dahulu, kemudian membaca firman Tuhan, setelah itu bernyanyi lagi dan diakhiri dengan doa penutup. Setelah acara kebaktian selesai, maka acara selanjutnya ialah membacakan riwayat hidup dari almarhum, setelah itu setiap kelompok dalihan natolu, dongan sahuta dan pihak ale-ale melakukan acaranya secara berurutan. Setelah acara di halaman ini selesai, maka tibalah saatnya acara pemakaman, acara ini dibawakan oleh pengurus gereja. Setelah acara pemakaman selesai maka semua orang yang mengantar almarhum ke kuburan/ke pemakaman akan kembali lagi ke rumah duka untuk melanjutkan acara ungkap hombung.
7. Acara Ungkap Hombung
Hombung ialah “peti kayu yang besar untuk menyimpan bermacam barang” (J. Warneck dalam Joosten, 2001:316). Hombung juga dapat diartikan sebagai suatu tempat yang tersembunyi di dalam rumah, di mana seorang ibu biasanya menyimpan harta keluarga; pusaka, perhiasan, emas, dan uang (Togatorop, 2003:42). Acara ini dilakukan setelah selesai penguburan. Ungkap hombung ini dilakukan oleh pihak hula-hula kepada suhut di mana mereka berhak melihat harta benda yang ditingkalkan oleh borunya, saudara perempuan mereka atau namboru ‘bibi’ mereka (apabila yang hidup adalah keponakannya). Mereka
berhak meminta harta bendanya sebagai kenang-kenangan, juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu sebagai simpanan atau peninggalan dari boru ‘putri’ mereka. Biasanya acara ini dilakukan di dalam rumah karena pihak suhut mengundang hula-hulanya naik ke rumah tetapi pada saat ini acara dilakukan di tengah halaman rumah setelah selesai penguburan dan tanpa memberikan kunci hombung dari borunya melainkan pihak suhut hanya menyalamkan uang saja. Setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup oleh pengetua adat.