• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tak Cukup Menutup Pabrik, Perlu Komitmen Semua Pihak

K

ita semua mendadak terperangah lagi, lihat saja dengan mewabah- nya untuk kedua kali kejadian muntaber tahun ini di Kecamatan Sepatan, Pakuhaji, Mauk, dan Sukadiri, Kabupaten Tangerang, sebagian besar tidak memiliki jamban keluarga, buang air besar mereka lakukan di mana saja, di sungai, sawah, kebun atau selokan.

Tak heran wabah muntaber menye- rang mereka sehingga mendapat status Kejadian Luar Biasa (KLB). Kejadian ini jelas menampar aparat Pemerintah

Kabupaten Tangerang dengan teru- langnya kejadian yang sama pada dua tahun lalu di periode bulan yang sama. Tetapi, toh masalah yang mendasar itu tak pernah teratasi.

Kabupaten Tangerang suatu pelosok yang tak terlalu jauh dari jantung ibu kota negara, dengan waktu tempuh hanya 1,5 jam perjalanan atau sekitar 40 kilometer dari Istana Negara. Hingga 16 Juli 2007, warga desa di Kecamatan Sepatan, Pakuhaji, Mauk, dan Sukadiri, Kabupaten Tangerang telah berjatuhan korban. Membudayakan cuci tangan pakai sabun dengan menyediakan peralatan cuci

Pada 15 Juli 2007, sejumlah 469 kor- ban harus dirawat di Puskesmas dan rumah sakit serta 3 orang di antaranya meninggal dunia. Kejadian dua tahun lalu bahkan merenggut 17 jiwa melayang. Penyakit muntaber muncul karena warga tak belajar dari pengalaman menjaga kebersihan lingkungan dan makanan.

Sehingga beberapa petugas kesehatan mengungkapkan rasa malu atas jatuhnya korban meninggal dunia atau rawat inap karena serangan muntaber. "Ini kan penyakit yang seharusnya sudah tidak ada lagi karena menyangkut masalah amat mendasar, kebersihan.

"Di zaman sudah begini maju, ada satelit, internet, tetapi muntaber masih ada di Tangerang yang merupakan dae- rah penyangga Ibu Kota," ujar seorang dokter di Tangerang.

Situasi ini terus memiliki mata rantai dengan problematika utama sanitasi, yang meliputi aspek air bersih, limbah, drainase dan sampah. Kenapa? Makin sedikit penduduk yang memiliki hunian yang sehat dan memenuhi standar kese- hatan, pasti makin tinggi pula laju pro- blematika sanitasi di Indonesia. Padahal derajat kesehatan penduduk Indonesia kini betul-betul menghadapi ancaman serius.

Dari rangkaian situasi yang terjadi,

pasti akan terus menggurita berbagai persoalan baru di belakang masalah buruknya layanan sanitasi penduduk Indonesia, yang langsung dirasakan saat ini, yaitu soal hilangnya angka pertum- buhan ekonomi sekitar 65 trilyun selama satu tahun APBN. Angka itu sama dengan 2,4 persen total jumlah APBN yang bisa membuka jutaan angka pekerjaan baru bagi puluhan juta angkatan kerja yang menganggur sekarang ini.

Mengulang apa yang dikemukakan Kepala Bidang Pemberantasan Pence- gahan Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, dr. Yuliah Iskandar, nampaknya ada empat faktor yang menyebabkan terjadinya wabah muntaber dikabupaten Tangerang yaitu sanitasi lingkungan yang minim dan tidak sehat penyumbang terbesar sebesar 45 persen. Perilaku penduduk yang tidak sehat atau perilaku hidup biasa sehat sebanyak 35 persen, pelayanan kesehatan sebanyak 15 persen, dan keturunan atau kepadatan penduduk sebanyak 5 persen.

"Seharusnya mengambil pelajaran dua tahun lalu, akan tetapi masyarakat Tangerang tidak mengubah perilaku hidup bersih dan sehat. Mereka tetap BAB di sungai dan menggunakan air tersebut untuk mandi, mencuci dan memasak. "Sekitar 70 persen masyarakat

Kecamatan Sepatan, dan Pakuhaji melakukan BAB di sungai, di selokan dan di kebun, padahal umumnya mereka mempunyai kamar mandi dan sumur tapi tidak mempunyai jamban." ujar Dinkes PPL Tangerang, Dadang Iskandar SKM.

Walau KLB muntaber di minggu ini mulai reda, tetapi perlu ada pember- dayaan kepada warga setempat agar mereka mengubah kebiasaan hidup yang tidak sehat. "Beberapa cara pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penggalangan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) atau perilaku higienis, yang antara lain dengan menyisipkan kurikulum kesehatan diusia sekolah SD- SMA selama 1-2 jam serta melibatkan perguruan tinggi setempat dan para tokoh masyarakat untuk melakukan kam- panye PHBS.

Sistem CLTS (Community Led Total Sanitation) yang memperkenalkan metode pemberian fasilitasi bagi partisi- pasi masyarakat dalam menghilangkan kebiasaan buang air besar disembarang tempat dan telah berhasil dikembangkan pada kondisi lingkungan yang sama di beberapa negara juga dapat diterapkan dengan segera membentuk anggota- anggota Pokja AMPL (Air Minum dan Penyehatan Lingkungan) hingga ke tingkat kecamatan di Kabupaten Tangerang. Hal tersebut juga sempat disimpulkan pula dalam rapat Pokja AMPL Provinsi Banten, 17 Juli 2007.

Partisipasi aktif serta aksi masyarakat inilah sangat diperlukan karena penye- baran penyakit muntaber bergerak sa- ngat cepat dan terus bisa terulang kem- bali bila tidak segera diatasi dari sum- bernya. Tidak cukup hanya menutup dua pabrik pembuat sirup orson yang dila- kukan Kepolisian Resort (Polres) Ta- ngerang. Dimana semula diduga penyakit mutaber ini disebabkan minuman terse- but karena mengandung kuman e-coli danvibrio cholerae yang ada dalam li- mun tersebut dan merupakan penyebab meluasnya penyakit muntaber yang me- wabah di Kabupaten Tangerang. z

Ahmad Rukny Assegaff Communication Advocacy Indonesia Sanitation Sector Development (ISSDP) Perilaku tidak sehat warga menjadi salah satu penyebab terjangkitnya penyakit diare.

„

S E PU TA R I SS D P „

M

ungkin Noviana, begitu nama balita berusia 2,5 tahun itu diberi nama, tidak tahu mengapa perutnya terus menerus terasa mulas meski sudah beberapa kali buang air besar. Seperti anak seusianya, Noviana belum bisa menjelaskan kondisi penyakitnya, sehingga meski- pun parah, kondisinya mungkin tidak dapat di- mengerti dan dianggap biasa saja oleh orang dekat- nya. Cukup diperlakukan 'sebagaimana biasanya' dan akan sembuh seperti sedia kala. Sampai akhir- nya Noviana meninggal dunia. Katanya karena ter- lambat datang ke pusat rehidrasi dan belum sempat mendapat perawatan.

Klise memang kedengarannya, tapi itulah ke- nyataannya. Sebagian orang pasrah menerima pen- jelasan itu. Sebagian lagi gamang dan mulai ber-

tanya, apakah memang dari situ awal permasalahannya? Entahlah. Noviana bisa jadi merupakan korban meninggal dunia pertama dari kejadian luar biasa (KLB) diare Tangerang yang terjadi sejak 12 Juli lalu. Bersamanya masih ada 2 orang lagi yang tercatat juga mengalami nasib yang sama. Mungkin yang tidak tercatat lebih ba- nyak lagi.

Meski kasus meninggal dunia pada KLB Tangerang ini di bawah 1 persen atau masih di bawah toleransi WHO, namun bukan berar- ti kejadian ini pantas untuk didiamkan. Sejak dinyatakan KLB, Departemen Kesehatan sudah melakukan tindakan cepat berupa pengamanan sumber air yang menjadi penyebab wabah diare. Selain itu untuk antisipasi, di lokasi Puskesmas Sepatan, disediakan jamban mobil, serta dikirim pula fasilitas alat penjernih air yang bi- sa bekerja cepat. Sehingga jumlah penderita semakin menurun.

Namun tindakan kuratif nampaknya tidak menyelesaikan akar persoalan diare, mengingat ini bukan KLB diare pertama di daerah itu. Kejadian yang sama terjadi pada 2005 lalu dan lebih parah dari tahun ini. Sekitar 600 korban harus dirawat di Puskesmas dan 17 orang (ada yang memberitakan 19 orang) di antaranya meninggal dunia. Lebih lanjut terkait dengan hal tersebut, Republika14 Juli 2007 memuat pernyataan Bupati Tangerang, Ismet Iskandar, yang mengatakan bahwa wabah diare yang kembali terjadi di tiga keca- matan tersebut disebabkan perilaku masyarakat yang kurang sadar menjaga kebersihan.

Menurut Ismet, pihaknya telah melakukan sosialisasi mening- katkan kesadaran masyarakat akan hidup sehat. Kenyataannya ma- sih banyak warga membuang air besar di sungai yang sebenarnya juga dikonsumsi masyarakat untuk mandi, mencuci, dan memasak. Padahal, pemerintah setempat telah membuat fasilitas mandi cuci kakus (MCK).

Kalau begitu apa persoalannya ? Harusnya tidak susah meminta orang untuk tidak makan 'maaf' kotoran manusia, baik sengaja atau tidak sengaja, baik langsung atau tidak langsung! Harusnya tidak su- sah meminta orang untuk tidak memakan bakteri dan kuman yang menyebabkan mereka sakit! Harusnya tidak susah meminta orang

untuk BAB di tempat yang bersih dan tertutup! Atau mungkin ada yang salah, sehingga fasilitas yang sudah disediakan tidak dipergunakan dan dipelihara dengan semestinya? Sehingga sosialiasi yang disampaikan tidak dapat merubah perilaku masyarakatnya? Atau memang sosialisasi merupa- kan kegiatan yang harus dilakukan secara terus me- nerus untuk selalu mengingatkan? Apapun jawab- annya, yang pasti kejadian serupa telah terjadi lagi.

Berangkat dari adanya kebutuhan penyediaan layanan air bersih dan sanitasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, sebetulnya saat ini telah dikembangkan metode promosi/sosial- isasi/kampanye yang tidak hanya dapat menum- buhkan rasa memiliki terhadap fasilitas sanitasi, namun juga mampu menggerakkan masyarakat untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Berdasarkan pengamatan, setidaknya ada 3 nama pendekatan perubahan peri- laku yang cukup populer dikenal tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia internasional. Tiga pendekatan itu adalah Community Led Total Sanitation(CLTS),Total Sanitation Campaign(TSC), dan Participatory Hygiene And Sanitation Transformation(PHAST).

Ketiga pendekatan tersebut telah mulai diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Tidak ada salahnya untuk memulai me- nerapkan pendekatan perubahan perilaku dalam mengatasi ma- salah sanitasi di Tangerang. Sehingga harapan agar tidak ada lagi Noviana yang lain bukan sekedar mimpi. zHony Irawan

1. Community Led Total Sanitation (CLTS) yang pertama kali dila- kukan di Bangladesh pada tahun 1999 kemudian digunakan juga di beberapa negara seperti Bolivia, Cambodia, China, Ethiopia, India, Nepal, Pakistan, Tanzania dan Afrika Barat, termasuk Indonesia. Karakteristik CLTS adalah merubah perilaku masyarakat melalui fasilitasi partisipatif, serta tanpa subsidi untuk perangkat keras (jamban keluarga) dan tidak menetapkan jenis jamban yang nanti- nya akan dibangun oleh masyarakat. CLTS ditujukan untuk mengu- rangi/menghilangkan kebiasaan Buang Air Besar (BAB) di semba- rang tempat atau open defecation.

2. Total Sanitation Campaign(TSC) dikembangkan di Propinsi Maha- rasthra (India) yang mengadopsi pendekatan CLTS ke dalam pro- gram pemerintah India secara massal. Beberapa negara lain seper- ti Cambodia, Afrika, Nepal, dan Mongolia telah menerapkan dalam porsi yang lebih kecil. Berbeda dengan CLTS, TSC memperbolehkan pengenalan pilihan teknologi jamban.

3. Participatory Hygiene And Sanitation Transformation(PHAST) me- rupakan adaptasi metode SARAR (Self-esteem, Associative Strengths, Resourcefulness, Action-planning, and Responsibility) yaitu sebuah metode belajar partisipatif membangun kesadaran masyarakat agar dapat mengatasi persoalannya sendiri. Ruang lingkup PHAST lebih luas, yaitu pendekatan untuk mempromosikan kesehatan, sanitasi, dan manajemen fasilitas air dan sanitasi masyarakat. PHAST pernah dilakukan di Afrika, India, dan Amerika Serikat.z

Dokumen terkait